Dampak Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Pada Kualitas Fine, Coarse Root Dan Bahan Organik Tanah Di Hutan Tropis Dataran Rendah Jambi

DAMPAK KONVERSI HUTAN MENJADI PERKEBUNAN PADA
KUALITAS FINE, COARSE ROOT DAN BAHAN ORGANIK
TANAH DI HUTAN TROPIS DATARAN RENDAH JAMBI

YUNA PRANSISKA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Konversi Hutan
Menjadi Perkebunan Pada Kualitas Fine, Coarse root dan Bahan Organik Tanah
di Hutan Tropis Dataran Rendah Jambi adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016
Yuna Pransiska
NRP. G353130311

RINGKASAN
YUNA PRANSISKA. Dampak Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Pada
Kualitas Fine, Coarse root dan Bahan Organik Tanah di Hutan Tropis Dataran
Rendah
Jambi. Dibimbing oleh
TRIADIATI dan SOEKISMAN
TJITROSOEDIRJO.
Akhir-akhir ini, laju deforestasi yang terjadi di Sumatera masih tinggi.
Hutan Harapan Jambi merupakan kawasan yang mengalami konversi dalam skala
yang cukup besar di wilayah Sumatera. Transformasi hutan menjadi sistem
perkebunan telah berdampak negatif pada komponen ekosistem seperti penurunan
produktivitas fine root dan coarse root. Saat ini, sebagian besar studi hanya fokus
pada pengaruh penggunaan lahan terhadap produktivitas fine root, sedangkan data
mengenai biomassa dan kandungan hara pada coarse root masih sedikit. Fine root

dan coarse root berkontribusi sekitar 30-50% pada produksi primer bersih
tahunan, yang berpengaruh signifikan pada siklus karbon global. Meskipun fine
root memiliki kandungan hara lebih tinggi dibanding coarse root, namun
biomassa yang tinggi pada coarse root menjadikan coarse root sebagai komponen
yang lebih berperan dalam menyimpan hara di areal hutan. Kandungan hara yang
terdapat pada coarse root dapat menjadi sumber hara pada bahan organik bila
jaringannya mati. Akar mati menyumbang karbon dan nitrogen serta unsur hara
penting ke dalam tanah, dan keberadaanya dapat dipertahankan dalam tanah
dalam waktu yang cukup lama. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengukur
biomassa, simpanan karbon dan nitrogen coarse root serta mengetahui
hubungannya dengan biomassa aboveground, (2) biomassa dan nekromassa fine
root dan morfologi fine root, serta (3) mengukur fraksi aktif bahan organik tanah
pada hutan alam, hutan karet, perkebunan karet, dan perkebunan kelapa sawit di
wilayah Hutan Harapan, Jambi.
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni 2014 - Januari 2015.
Sampel akar diperoleh dengan metode destruktif dengan kedalaman tanah hinggga
150 cm pada empat tipe penggunaan lahan yakni hutan alam, hutan karet,
perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit. Analisis karbon dilakukan dengan
metode Walkley and Black, sedangkan total nitrogen dianalisis dengan metode
Kjeldahl. Data morfologi fine root diperoleh dengan menggunakan analisis

WinRhizo. Kemudian data morfologi dan data biomassa fine root digunakan
untuk menghitung densitas jaringan akar (RTD), kelimpahan ujung akar, dan
specific root area (SRA). Pendugaan biomassa aboveground dilakukan dengan
menggunakan persamaan allometrik. Bahan organik tanah dianalisis dengan
metode fraksionasi.
Total biomassa akar menurun seiring dengan meningkatnya intensitas
penggunaan lahan, demikian juga biomassa aboveground. Biomassa aboveground
memiliki korelasi positif dengan kandungan karbon maupun nitrogen pada coarse
root. Perkebunan monokultur (karet dan kelapa sawit) memiliki kandungan hara
pada coarse root lebih rendah dibandingkan hutan alam dan hutan karet.
Distribusi vertikal fine root memperlihatkan penurunan yang cukup tajam di hutan
alam dan hutan karet dibandingkan perkebunan karet dan kelapa sawit. Morfologi
fine root hutan karet memperlihatkan nilai SRA dan kelimpahan ujung akar yang
tinggi. Perkebunan karet memiliki total bahan organik yang rendah. Hasil

penelitian ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa transformasi hutan alam
menjadi sistem agroforestri dan perkebunan monokultur mengakibatkan
penurunan biomassa dan kandungan hara pada coarse root serta penurunan total
bahan organik tanah.
Kata kunci: biomassa belowground, biomassa aboveground, bahan organik tanah,

morfologi fine root, tipe penggunaan lahan

SUMMARY
YUNA PRANSISKA. Forest Conversion Impact on Fine, Coarse roots, and Soil
Organic Matters in Tropical Lowlands of Jambi. Supervised by TRIADIATI and
SOEKISMAN TJITROSOEDIRJO.
Recently, the rate of deforestation in Sumatera is still high. Harapan Forest
Jambi is areas experiencing a large scale conversion, within Sumatera.
Transformation of natural forest to plantations impacted negatively to ecosystem
component, e.g. reduction in fine and coarse root production. Currently, most of
studies on impacts of forest conversion on the root system of tropical land-use
types have focused on biomass stocks and productivity of the fine root. In
contrast, precise data on biomass and nutrients in the coarse root stocks of tropical
forest are few. Fine and coarse roots contribute about 30-50% of annual net
primary production, and therefore to have a significant role in the global C cycle.
Furthermore, coarse root have been recognized as important component
contributing to soil organic matter, because they can transfer carbon and nitrogen
as well as other important nutrients once incorporated into the soil, and can be
maintained in the soil in a long time. The objectives of the study were (1) to
quantify the coarse root biomass, C and N coarse root stocks in their relation to

above ground biomass, (2) to quantify dead root biomass, fine root biomass and
fine root morphology (3) to determine active fraction on soil organic matter in the
natural forests, jungle rubber, rubber and oil palm plantations in the Harapan
Forest, Jambi.
The study was conducted from June 2014 to January 2015. Root biomass
and fine root morphology were investigated with a destructive method in 150 cm
deep soil pits along a gradient of increasing land-use intensity, i.e. in natural
forest, jungle rubber, rubber and oil palm monocultures. The carbon concentration
was measured by Walkley and Black method, whereas N concentration was
determined with Kjeldahl technique. Fine root morphology were analysed using
WinRhizo image processing unit. The morphological and fine root biomass data
were then used to calculate the root tissue density (RTD), specific root tip
abundance, and specific root area (SRA). A tree allometric equation was used to
estimate associated aboveground biomass. Soil organic matter was assessed using
a fractionation method.
Total root biomass generally decreased with increasing land-use intensity as
aboveground tree biomass did. The monoculture plantations (rubber and oil palm
plantation) had lower carbon and nutrient than natural forest and jungle rubber.
There was a positive correlation between C and N stock in coarse root and
aboveground biomass. Vertical root distribution showed non-linear decrease in

vertical fine root abundance in the natural forest and the jungle rubber plots that
was less pronounced in rubber and oil palm plantation. However, fine root
morphology in jungle rubber systems revealed a large SRA and specific root tip
abundance. Soil organic matter was particularly low in rubber plantations. In
conclusion, the results of our study suggests that conversion of natural forest to
agroforestry and monoculture systems has a profound belowground impact
reflected in the decrease of root biomass, nutrient stocks in coarse root, and total
soil organic matter.

Keywords: belowground biomass, aboveground biomass, soil organic matter,
fine root morphology, land-use types

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAMPAK KONVERSI HUTAN MENJADI PERKEBUNAN PADA
KUALITAS FINE, COARSE ROOT DAN BAHAN ORGANIK
TANAH DI HUTAN TROPIS DATARAN RENDAH JAMBI

YUNA PRANSISKA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Hamim, MSi


Judul

Nama
NRP

: Dampak Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Pada Kualitas
Fine, Coarse root dan Bahan Organik Tanah di Hutan Tropis
Dataran Rendah Jambi
: Yuna Pransiska
: G353130311

Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing

Dr Dra Triadiati, MSi
Ketua

Dr Ir Soekisman Tjitrosoedirjo, MSc
Anggota


Diketahui Oleh

Koordinator Program Studi
Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Miftahudin, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, Msc Agr

Tanggal Ujian: 25 Mei 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini yaitu

Dampak Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Pada Kualitas Fine, Coarse root
dan Bahan Organik Tanah di Hutan Tropis Dataran Rendah Jambi. Penelitian ini
dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai Januari 2015 di kawasan Hutan
Harapan dan area sistem transformasi Hutan Harapan Kabupaten Batang Hari,
Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Dra Triadiati, MSi dan Dr
Soekisman Tjitrosoedirjo, MSc selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan nasihat, motivasi, saran serta bimbingan. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada bapak dan ibu pengajar Program Studi Biologi Tumbuhan
(BOT) atas semua ilmu, pengalaman, bimbingan, dan nasihat selama ini, Dirjen
Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas pemberian Beasiswa Beasiswa Program
Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN), CRC 990 Project (German Research
Foundation) atas dukungan dana penelitian, Syahrul kurniawan untuk data
kandungan tanah, PT. REKI, Laboratorium Universitas Jambi, Laboratorium
Fisiologi Tumbuhan FMIPA IPB, untuk perizinan dan fasilitas penelitian.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, seluruh keluarga dan
sahabat atas segala doa, dukungan, serta kasih sayangnya.
Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2016

Yuna Pransiska

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Biomassa Belowground
Bahan Organik Tanah
Tipe Bahan Organik Tanah
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Pengukuran Biomassa Akar
Pendugaan Biomassa Aboveground
Fraksionasi Bahan Organik Tanah
Analisis Statistik
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
1
1
3
4
5
6
7
9
9
10
12
12
12
14
14
22
27
27
27
28
35

DAFTAR TABEL
1 Informasi lingkungan dan iklim mikro pada lokasi hutan alam (HF), hutan
karet (HJ), perkebunan karet (HR) dan perkebunan kelapa sawit (HO)
2 Kandungan C, N (g m-2), dan rasio C/N coarse root dari lokasi hutan
alam (HF), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan
kelapa sawit (HO) pada lima tingkat kedalaman tanah
3 Persentase relatif biomassa fine root, nekromassa fine root, biomassa
coarse root dan total biomassa akar pada kedalaman tanah 30 cm dari
permukaan tanah pada empat lokasi penelitian di Hutan Harapan
(Sumatera, Indonesia)
4 Rata-rata diameter, RTD, SRA, dan kelimpahan ujung akar dari fine root
pada lokasi hutan alam (HF), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR),
dan perkebunan kelapa sawit (HO) pada kedalaman tanah 150 cm
5 Rata-rata nekromassa fine root (g m-2) dari lokasi hutan alam (HF), hutan
karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit (HO)
pada lima tingkat kedalaman tanah
6 Bobot kering (g kg-1) fraksi bahan organik tanah (fraksi ringan, fraksi
sedang, dan fraksi berat) pada empat lokasi penelitian
7 Hasil komponen utama Principal Component Analysis (PCA) dari
biomassa, morfologi akar, dan kandungan tanah mineral pada empat
lokasi penelitian di Hutan Harapan

10

15

17

17

18
20

22

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi
2 Perbedaan kondisi empat lokasi penelitian
3 Lokasi pengambilan sampel
4 Rata-rata biomassa coarse root dari lokasi hutan alam (HF), hutan karet
(HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit (HO) pada
lima tingkat kedalaman tanah
5 Biomassa fine root dari empat lokasi penelitian pada tingkat kedalaman
tanah (0-150 cm)
6 Rata-rata total biomassa akar pada tingkat kedalaman tanah yang berbeda
dari empat lokasi penelitian.
7 Biplot hasil komponen utama Principal Component Analysis (PCA) dari
biomassa, morfologi akar dan kandungan tanah mineral pada empat
lokasi penelitian di Hutan Harapan

9
10

11
14
16
19

21

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan Sumatera telah menjadi pusat perhatian internasional, karena dalam
seperempat abad terakhir hampir 50% kawasannya terancam punah, diantaranya
adalah hutan yang terdapat di Provinsi Jambi (Margono et al. 2012). Konversi
hutan dalam skala luas telah menimbulkan dampak besar terhadap perubahan
ekosistem, degradasi lingkungan, emisi karbon dan penurunan biodiversitas
(Sodhi et al. 2004; Green et al. 2005; Houghton 2005; Fitzherbert et al. 2008).
Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi sistem pertanian sering
melibatkan deforestasi dan berkaitan dengan degradasi tanah dan penurunan pada
fungsi tanah (Amudson et al. 2015). Perubahan struktur dan komposisi vegetasi
telah mengubah sistem biologi dalam ekosistem yang meliputi siklus hara seperti
karbon dan nitrogen. Karbon merupakan komponen penting penyusun biomassa.
Berdasarkan keberadaannya di alam, karbon tersimpan dalam biomassa di atas
permukaan (aboveground) dan di bawah permukaan tanah (belowground). Jika
dilihat dari proporsi biomassanya, massa belowground memiliki biomassa lebih
rendah daripada massa aboveground (Coomes dan Grubb 2000; Mokany et al.
2006). Meskipun demikian komponen belowground diketahui dapat
mempengaruhi sekitar 30-50% dari total produksi primer bersih tahunan (Xiao et
al. 2003).
Massa belowground terdiri dari akar halus (fine root) dan akar kasar (coarse
root). Saat ini, sebagian besar studi hanya fokus pada pengaruh penggunaan lahan
terhadap produktivitas fine root (Sundarapandian dan Swamy 1996; Harteveld et
al. 2007; Hertel et al. 2009b), sedangkan data yang akurat mengenai biomassa dan
kandungan hara pada coarse root masih sangat jarang (Upadhaya et al. 2005).
Fine root merupakan akar berdiameter ≤2 mm yang memiliki fungsi utama
sebagai penyerap unsur hara, O2, dan air (Ostonen et al. 2007). Fine root dengan
fraksi kecil yakni kurang dari 2% dari biomasa pada hutan, namun berkontribusi
lebih dari 30% pada produksi primer bersih tahunan (Vogt et al. 1991). Fine root
merupakan komponen ekosistem yang mengalami perubahan secara cepat yang
mempengaruhi dinamika karbon pada ekosistem hutan dan sering menjadi
indikator terhadap perubahan lingkungan (Helmisaari et al. 2002; Finér et al.
2011; Misir et al. 2013). Coarse root merupakan akar bertekstur kuat dan kokoh
berfungsi dalam mengangkut air dan unsur hara yang penting untuk mendukung
pertumbuhan pohon. Coarse root memiliki biomassa yang lebih besar daripada
fine root, sehingga berperan penting dalam menyimpan hara hutan (Hellsten et al.
2013). Coarse root dapat menyumbang hara pada bahan organik bila jaringannya
mati. Akar mentransfer karbon dan nitrogen serta hara ke dalam tanah dan
keberadaanya dapat dipertahankan dalam tanah dalam waktu yang cukup lama
(Giardina et al. 2004; Sierra et al. 2007). Kandungan nitrogen pada jaringan akar
lebih rendah jika dibandingkan dengan karbon, meskipun demikian kandungan
nitrogen merupakan tolak ukur terhadap kualitas bahan organik yang berpengaruh
dalam dekomposisi. Penambahan bahan organik ke dalam tanah yang dihasilkan
dari dekomposisi coarse root dapat memperbaiki cadangan total bahan organik
tanah. Bahan organik tanah ini akan mengalami proses mineralisasi menjadi hara

2
tersedia dalam tanah, sehingga dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Bahan
organik tanah berdasarkan berat jenis, dikelompokkan menjadi fraksi ringan,
sedang, dan berat. Fraksi ringan atau dikenal dengan fraksi aktif merupakan
komponen yang paling sensitif terhadap perubahan lingkungan dan sering
dijadikan indikator kualitas tanah (Rovira dan Vallejo 2003). Fraksi ini sangat
penting dalam mempertahankan kesuburan tanah yaitu sebagai sumber hara,
karena laju dekomposisinya yang cepat (Lu et al. 2014). Penurunan bahan organik
tanah yang signifikan akibat konversi hutan menjadi perkebunan telah dilaporkan
oleh beberapa studi di hutan tropis (Guillaume et al. 2015; Van Straaten et al.
2015).
Penelitian tentang dampak transformasi hutan menjadi sistem perkebunan
terhadap biomassa, kandungan hara coarse root, serta kontribusinya terhadap
bahan organik tanah belum ada (Powers et al. 2011), terutama di Kabupaten
Batang Hari, Provinsi Jambi. Hutan Harapan merupakan kawasan hutan yang
terletak di perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Hutan dengan luasan
sekitar 100.000 hektar (ha) ini adalah bekas wilayah hak pengelolaan hutan
(HPH), yang dialihkan untuk dikelola dan dipulihkan menjadi kawasan restorasi
ekosistem pada areal hutan hujan tropis dataran rendah pertama dan terbesar di
Indonesia. Izin pengelolaan Hutan Harapan berdasarkan SK Menhut No
293/Menhut-II/2007 mengenai IUPHHK RE seluas 52.170 ha di Sumatera
Selatan. Kemudian berdasarkan SK Menhut No 327/Menhut-II/2010, tanggal 23
Mei 2010 tentang izin IUPHHK RE seluas 46.385 ha di Jambi (Mongabay
Indonesia 2014).
Hutan Harapan memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Kawasan hutan ini
menyimpan berbagai satwa diantaranya adalah harimau Sumatera (Panthera tigris
sumaterae), gajah asia (Elephas maximus), beruang madu (Malayan sun bear),
ajag (Cuon alpinus), dan ungko (Hylobates agilis). Berdasarkan data terakhir
dilaporkan bahwa kawasan Hutan Harapan memiliki sekitar 280 jenis burung, 49
jenis binatang mamalia dan 43 jenis binatang amfibi, 69 jenis diantaranya hampir
punah. Selain itu, ditemukan juga 159 jenis pohon, dan salah satu diantaranya
sudah rentan, yaitu jenis kayu bulian. Hutan Harapan telah lama menjadi
permukiman Suku Anak Dalam (SAD) dan Suku Bathin Sembilan. Kedua
komunitas ini merupakan suku asli tertinggal yang telah menetap di dalam hutan
sejak ratusan tahun lalu, yang hingga kini masih mengandalkan hutan sebagai
tempat tinggal dan mencari makan (Mongabay Indonesia 2014).
Hutan Harapan merupakan hutan dataran rendah yang masih tersisa di Pulau
Sumatera. Selama ini, kawasan hutan tersebut telah menghadapi berbagai
ancaman akibat pengembangan di sektor perkebunan. Sekitar 19.000 ha kawasan
hutan telah dikonversi menjadi hutan karet, perkebunan karet, dan perkebunan
kelapa sawit (Mongabay Indonesia 2014). Penelitian ini fokus pada kawasan
hutan alam dan area sistem transformasi Hutan Harapan di Muara Bulian,
Kabupaten Batang Hari. Hutan alam dalam penelitian ini merupakan hutan bekas
tebangan yang masih memiliki potensi vegetasi yang cukup tinggi, dengan ciri-ciri
yang mirip dengan hutan primer. Hutan karet merupakan suatu bentuk sistem
agroforestri berbasis karet, yang melibatkan proses penanaman pohon karet di
sela-sela pohon hutan. Proses pembukaan lahannya diawali dengan praktik sistem
tebas dan bakar. Sedangkan perkebunan kelapa sawit dan karet merupakan
representasi dari perkebunan monokultur, yang hanya menanam satu jenis

3
tanaman pada suatu lahan. Proses pembukaan lahannya juga melibatkan sistem
tebang bakar serta perambahan yang mengakibatkan potensi vegetasinya tidak ada
sama sekali. Umur tegakan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan dalam
penelitian ini yakni berkisar antara 9-10 tahun. Sedangkan, umur tegakan di
perkebunan karet berkisar antara 8-10 tahun. Informasi tentang perubahan
vegetasi yang terjadi akibat sistem transformasi penggunaan lahan diperlukan
sebagai pengetahuan dasar untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang
disebabkan oleh transformasi lahan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengukur biomassa, simpanan
karbon dan nitrogen coarse root serta mengetahui hubungannya dengan biomassa
aboveground pada hutan alam, hutan karet, perkebunan karet, dan perkebunan
kelapa sawit, (2) biomassa dan nekromassa fine root dan morfologi fine root, serta
(3) mengukur fraksi aktif bahan organik tanah pada hutan alam, hutan karet,
perkebunan karet, dan perkebunan kelapa sawit di wilayah Hutan Harapan, Jambi.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Laju konversi hutan di wilayah tropis cenderung semakin meningkat dalam
dua dekade terakhir (Gibbs et al. 2010; Tscharntke et al. 2011). Konversi hutan
menjadi lahan perkebunan merupakan salah satu permasalahan serius dan
kompleks di tingkat regional maupun global. Pada kasus yang terjadi di kawan
hutan Asia Tenggara pada akhir dekade, konversi hutan terjadi mulai dari
intensitas rendah hingga sedang (FWI/GFW 2002). Pada negara berkembang
sekitar 60% dari deforestasi hutan disebabkan oleh kemajuan pertanian (Reid et
al. 2004). Hilangnya pohon-pohon di hutan akibat kegiatan deforestasi tidak
hanya mengubah iklim mikro (Ostle et al. 2009) dan menurunkan
keanekaragaman hayati (Sala et al. 2000). Selain itu, deforestasi berdampak
secara signifikan terhadap simpanan karbon dalam ekosistem (Jandl et al. 2006;
Haghdoost et al. 2013).
Karbon merupakan unsur utama penyusun biomassa tumbuhan yang
diperoleh dari proses fotosintesis. Kandungan unsur karbon pada jaringan
tumbuhan sekitar 50% dari berat kering. Karbon yang tersimpan dalam biomassa
hutan dapat terlepas ke atmosfer dalam bentuk CO2 akibat pembakaran hutan.
Peningkatan konsentrasi CO2 secara drastis di atmosfer telah menimbulkan
masalah lingkungan secara global. Upaya dalam mestabilkan konsentrasi CO2 di
atmosfer sangat dibutuhkan untuk menurunkan dampak dari pemanasan global.
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melakukan penanaman jenis tumbuhan
berkayu pada areal-areal hutan dan lahan yang terdegradasi. Selain itu,
kuantifikasi pertumbuhan tegakan dan simpanan karbon dalam hutan maupun
lahan yang terdegradasi sangat dibutuhkan, karena hasilnya dapat menjadi
pertimbangan dalam kebijakan manajemen pengelolaan hutan.
Dalam inventarisasi karbon hutan, tehitung setidaknya ada empat kantong
karbon. Keempat kantong karbon tersebut adalah biomassa aboveground,
biomassa belowground, bahan organik mati dan karbon organik tanah (Sutaryo
2009).
a. Biomassa aboveground adalah semua material hidup di atas permukaan,
meliputi batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik
dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan.
b. Biomassa belowground adalah semua biomassa dari akar tumbuhan yang
hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang
ditetapkan.
c. Bahan organik mati meliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan
sebagai semua bahan organik mati dengan diameter yang lebih kecil dari
diameter yang telah ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang
terletak di permukaan tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang
tidak tercakup dalam serasah baik yang masih tegak maupun yang roboh di
tanah, akar mati, dan tunggul dengan diameter lebih besar dari diameter yang
telah ditetapkan.
d. Karbon organik tanah meliputi karbon pada tanah mineral dan tanah organik
termasuk gambut.

5
Biomassa Belowground
Biomassa belowground adalah jumlah total bahan organik di bawah
permukaan tanah, meliputi akar tumbuhan yang hidup yang dinyatakan dalam
berat kering per unit luas. Pengukuran dari simpanan biomassa belowground
sering terlupakan karena letaknya yang sulit dijangkau dan membutuhkan banyak
tenaga dalam proses pengukurannya. Akar dikelompokkan berdasarkan ukuran
menjadi 2 komponen penting yakni fine root dan coarse root.
Fine root merupakan akar yang memiliki ukuran diameter kurang dari 2
mm. Fine root berperan penting sebagai komponen penyerap hara, O2, dan air
(Ostonen et al. 2007). Meskipun fine root hanya terdiri dari beberapa persen dari
total biomassa pohon, ternyata akar ini dapat menghabiskan sekitar 30-50% dari
total produksi primer bersih tahunan. Biomassa dan mekanisme turnover fine root
lebih berperan dalam mengakumulasikan karbon tanah dibandingkan dengan
komponen yang berada di atas permukaan tanah (Block et al. 2006).
Fine root dapat mempengaruhi dinamika karbon yang menjadi indikator
terhadap perubahan lingkungan (Misir et al. 2013). Beberapa studi melaporkan
bahwa kerusakan hutan tropis memiliki dampak yang signifikan terhadap
penurunan biomassa fine root (Hertel et al. 2007). Triadiati (2008)
mengemukakan bahwa hutan alam memiliki biomassa fine root lebih tinggi
daripada sistem agroforestri di Sulawesi. Leuschner et al. (2009) juga menemukan
rata-rata biomassa fine root tertinggi terdapat pada tegakan hutan yang tidak
mengalami gangguan, kemudian rata-rata biomassa fine root menurun seiring
dengan tingginya intensitas kerusakan hutan. Selain wilayah tropis, reduksi
terhadap biomassa fine root akibat konversi juga telah banyak dilaporkan pada
beberapa studi di hutan sub tropis di Asia (Yang et al. 2004; Upadhaya et al.
2005). Penurunan yang terjadi pada biomassa fine root merupakan dampak dari
aktivitas perusakan selama konversi hutan yang meliputi pembukaan kanopi,
perubahan dalam biomassa aboveground dan struktur tegakan akibat sistem
penebangan liar pohon-pohon di hutan alam (Harteveld et al. 2007). Beberapa
studi menemukan korelasi positif antara tutupan kanopi pohon dengan biomassa
fine root (Hertel et al. 2007; Harteveld et al. 2007). Hal tersebut terbukti melalui
penelitian Hertel et al. (2007) bahwa produksi fine root secara signifikan lebih
besar di bawah kanopi tertutup dibandingkan dengan kanopi lebih terbuka.
Karakter morfologi fine root merupakan indikator penting sebagai respon
hutan terhadap perubahan ekosistem selain biomassa. Morfologi akar sangat
penting dalam menyeimbangkan antara rasio benefit/cost untuk pertumbuhan dan
aktivitas akar. Rasio benefit/cost pada fine root mempengaruhi perubahan
morfologi akar secara tunggal, maupun pada sistem perakaran (Leuschner et al.
2004). Adapun karakter morfologi yang penting untuk diamati adalah luas akar
spesifik (SRA) dan kelimpahan ujung akar. Akar yang memiliki nilai SRA yang
tinggi umumnya dicirikan dengan ukuran diameter yang lebih kecil atau yang
memiliki densitas jaringan yang lebih rendah (Eissenstat 1991). Berdasarkan hasil
penelitian Leuschner et al. (2009) nilai SRA yang tinggi dijumpai pada akar yang
berada di lapisan tanah teratas pada hutan yang mengalami kerusakan dengan
intensitas sedang, yang melibatkan sistem tebang pilih pada pohon berdiameter
besar dengan interval yang tidak teratur.

6
Kontribusi fine root terhadap biomassa belowground relatif lebih kecil
dibandingkan dengan coarse root (Vogt et al. 1996). Coarse root merupakan akar
yang berukuran diameter > 2 mm yang berperan dalam mendukung aktivitas fine
root dalam menyalurkan hara dan air untuk mendukung struktur pohon (Fogel
1983). Laju pertumbuhan coarse root sama dengan biomassa aboveground yang
berkorelasi positif dengan umur dan ukuran pohon (Bijak et al. 2013). Coarse
root memiliki tingkat pembusukan yang sangat lambat, sehingga berkontribusi
terhadap simpanan karbon pada biomassa belowground lebih dari satu abad
setelah panen (Liski et al. 2014). Selain itu coarse root dapat memberikan
masukan bahan organik ke tanah ketika jaringannya mati melalui dekomposisi
(Toenshoff et al. 2013). Akar mentransfer sejumlah unsur hara penting ke dalam
tanah dan keberadaanya dapat dipertahankan dalam tanah dalam waktu yang
cukup lama. Transfer hara dari akar mati tidak terlepas dari keberadaan populasi
mikroba di tanah yang terlibat dalam penghancuran jaringan tanaman serta
mineralisasi hara (Hertel et al. 2009b).
Bahan Organik Tanah
Di dalam ekosistem, terdapat hubungan antara beberapa komponen yang
dinamis yaitu tanah, tanaman, hara dan air. Tanaman menyerap hara dan air dari
dalam tanah untuk dipergunakan dalam proses-proses metabolisme dalam
tubuhnya. Sebaliknya tanaman memberikan masukan bahan organik melalui
serasah yang tertimbun di permukaan tanah. Ketersediaan hara dalam tanah
berawal dari proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik tanah yang telah
ada di permukaan dan di dalam tanah.
Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang
kompleks dan dinamis (Jobággy dan Jackson 2000). Sumber utama bahan organik
dapat berupa sisa tanaman maupun binatang yang terdapat di dalam tanah yang
terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor
biologi, fisika, dan kimia (Christensen 1992). Bahan organik tanah sangat penting
bagi ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber (source) dan pengikat (sink) hara dan
sebagai substrat bagi mikroba tanah. Bahan organik tanah berperan dalam
menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisika, kimia maupun dari segi biologi
tanah. Berikut ini adalah fungsi dari bahan organik tanah terhadap sifat-sifat tanah
yaitu:
1. Sebagai granulator, yaitu memperbaiki struktur tanah.
2. Sumber unsur hara N, P, S, unsur mikro dan lain-lain.
3. Menambah kemampuan tanah untuk menahan air.
4. Menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (kapasitas
tukar kation tanah menjadi tinggi).
5. Sumber energi bagi mikroorganisme (Lynch et al.2005; Wendling et al. 2010).
Selama proses dekomposisi bahan organik, terjadi immobilisasi dan
mobilisasi (mineralisasi) unsur hara. Immobilisasi adalah perubahan unsur hara
dari bentuk anorganik menjadi bentuk organik yaitu tergabung dalam biomassa
organisme dekomposer. Sedangkan mineralisasi terjadi sebaliknya. Kedua
kegiatan ini tergantung pada kandungan hara dalam bahan organik. Kecepatan
dekomposisi bahan organik tanah dipengaruhi oleh iklim mikro yang meliputi
temperatur dan kelembaban tanah serta keseimbangan biomassa mikrobia. Di

7
daerah tropika basah yang memiliki resim temperatur isothermik atau
isohiperthermik dan ketersediaan air tanah yang beragam sangat menentukan
perkembangan populasi mikrobia tanah, sehingga berpengaruh besar tehadap
kecepatan dekomposisi komponen bahan organik tanah (Xu et al. 2012).
Tipe Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah dapat diklasifikasikan ke dalam fraksi-fraksi
berdasarkan ukuran, berat jenis, dan sifat-sifat kimianya. Berdasarkan fungsinya,
bahan organik tersusun dari komponen labil dan stabil. Bahan yang termasuk ke
dalam fraksi labil adalah bahan yang sangat cepat terdekomposisi pada awal
proses mineralisasi dan akumulasi dari recalcitrant residue (residu yang tahan
terhadap pelapukan) yang merupakan sisa dari proses mineralisasi yang terdahulu.
Waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan organik dari fraksi labil
dan stabil ini bervariasi mulai dari beberapa bulan hingga ribuan tahun.
Fraksi labil terdiri dari bahan yang mudah didekomposisi, dengan umur
berkisar dari beberapa hari sampai beberapa tahun. Bahan organik tanah dari
fraksi labil diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Bahan yang paling labil merupakan bagian seluler tanaman seperti karbohidrat,
asam amino, peptida, gula-amino, dan lipida.
2. Bahan yang agak lambat didekomposisi terdiri dari malam (waxes), lemak,
resin, lignin dan hemiselulosa.
3. Biomass dan bahan metabolis dari mikrobia (microbial biomass) dan bahan
residu recalcitrant lainnya.
Fraksi labil memiliki peran penting dalam mempertahankan kesuburan
tanah yaitu sebagai sumber hara tanaman karena komposisi kimia bahan asalnya
dan tingkat dekomposisinya yang cepat. Biomassa mikrobia sangat penting dalam
mempertahankan status kandungan bahan organik tanah yang berperanan sebagai
source dan sink bagi ketersediaan hara karena daur hidupnya relatif singkat.
Fraksi stabil terdiri dari bahan organik tanah yang sangat sulit lapuk. Asamasam humik merupakan komponen yang termasuk ke dalam komponen fraksi
stabil. Asam-asam ini merupakan hasil pelapukan seresah (substansi organik
menyerupai lignin) atau kondensasi substansi organik terlarut yang dibebaskan
melalui dekomposisi gula, asam amino, polifenol dan lignin. Jadi bisa dikatakan
bahwa substansi humik adalah produk akhir dekomposisi bahan organik tanah
oleh mikrobia.
Kontribusi substansi humik terhadap ketersediaan hara masih belum
banyak diketahui, karena waktu turnover-nya yang terlalu panjang. Meskipun
demikian fraksi stabil dari bahan organik ini tetap memegang peranan penting
sebagai biological ameliorant terhadap unsur beracun bagi tanaman, berperan
dalam pembentukan agregat tanah dan pengikatan kation dalam tanah. Peranan
sebagai pengikat kation lebih diutamakan karena pada tanah-tanah masam bahan
organik tanah merupakan satu-satunya fraksi tanah bermuatan positif.
Ketersediaan bahan organik tanah tergantung pada interaksi yang kompleks
antara bahan organik dan lingkungannya (Thevenot et al. 2010; Schmidt et al.
2011). Menurut Chen et al. (2005) tiap lahan memiliki kandungan bahan organik
tanah yang berbeda, hal tersebut dipengaruhi oleh perbedaan kuantitas dan

8
kualitas dari input serasah atas dan di bawah tanah yang meliputi perbedaan
jumlah, komposisi kimia, dan tingkat transformasi bahan organik.
Bahan organik tanah merupakan indikator penting terhadap perubahan
manajemen lahan dan sering digunakan sebagai indikator bagi kualitas tanah
(Owen et al. 2008; Armenise et al. 2013; Lu et al. 2014). Kandungan bahan
organik tanah dapat mengalami perubahan akibat adanya faktor antropogenik,
seperti konversi lahan (Sabaruddin et al. 2009). Beberapa studi melaporkan bahwa
perubahan penggunaan dan praktek manajemen lahan mempengaruhi kuantitas
bahan organik tanah (Schwanghart dan Jarmer 2011; Azlan et al. 2012).
Guimarães et al. (2013) menyatakan bahwa pengelolaan lahan secara signifikan
menurunkan kandungan fraksi labil dari bahan organik tanah.
Bahan organik pada tanah hutan merupakan komponen penting yang
ditinjau dari siklus hara, siklus hidrologi, produktivitas hutan, dan neraca karbon
global (Sabaruddin et al. 2009). Penurunan kadar bahan organik tanah hutan
dengan cepat akibat konversi dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu pelapukan
(dekomposisi) bahan organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya
suhu udara dan tanah serta curah hujan yang tinggi. Pengangkutan bahan organik
keluar tanah bersama panen secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan
pengembalian sisa-sisa panen dan pemasukan dari luar, sehingga tanah kehilangan
potensi masukan bahan organik (Six et al. 2002).
Kadar bahan organik tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
kedalaman dan tekstur tanah. Kedalaman tanah menentukan kadar bahan organik
tanah. Kadar bahan organik tanah terbanyak ditemukan di lapisan atas tanah 20
cm (15-20%) (Chibsa et al. 2009). Kadar bahan organik semakin berkurang
seiring dengan meningkatnya kedalaman tanah (Guimaraes et al. 2013). Azlan et
al. (2012) melaporkan korelasi antara bahan organik tanah dengan tekstur tanah.
Tekstur tanah mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik tanah. Allen et al.
(2015) melaporkan bahwa tanah dengan kandungan liat tinggi memiliki
kandungan bahan organik tanah yang lebih tinggi karena dekomposisi bahan
organik lebih lambat, sedangkan tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang
baik, sehingga bahan organik cepat habis.

9

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai Januari 2015 di
kawasan Hutan Harapan dan area sistem transformasi Hutan Harapan Kabupaten
Batang Hari. Penelitian dirancang menurut Rancangan Split Plot yakni lokasi
penelitian sebagai petak utama dan tingkat kedalaman tanah sebagai anak petak.
Penelitian dilakukan pada hutan alam (HF1, HF2, HF3, dan HF4), hutan karet
(HJ1, HJ2, HJ3, dan HJ4), perkebunan karet (HR1, HR2, HR3, dan HR4), dan
perkebunan kelapa sawit (HO1, HO2, HO3, dan HO4) (Gambar 1). Perbedaan
kondisi dari empat lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan
informasi lingkungan dan iklim mikro pada area penelitian terlihat pada Tabel 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi.
Hutan alam (HJ1, HJ2, HJ3, dan HJ4), hutan Karet (HJ1, HJ2, HJ3,
dan HJ4), perkebunan karet (HR1, HR2, HR3, dan HR4), dan
perkebunan kelapa sawit (HO1, HO2, HO3, dan HO4).

10

B

A

C

D

Gambar 2 Perbedaan kondisi empat lokasi penelitian. A. hutan alam; B. hutan
karet; C. perkebunan karet; D. perkebunan kelapa sawit.
Tabel 1 Informasi lingkungan dan iklim mikro pada lokasi hutan alam (HJ), hutan
karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit (HO)
Lokasi Penelitian
Parameter

Hutan alam (HJ)

Hutan karet
(HJ)

Perkebunan karet
(HR)

Perkebunan kelapa sawit
(HO)

92.1

87.6

85.8

76.8

29.4

30.5

31.9

30.4

74.4

77.6

63.2

60.5

Kecepatan angin (m s )

0

0

0.1

0.1

Rata-rata tinggi pohon
(m)

30

17.7

16.5

13

02°09'09.9'' 02°11'15.2'' LS

01°47'07.3''01°55'40.0'' LS

01°48'18.2''01°54'39.5'' LS

01°47'12.7''01°54'35.6'' LS

103°19'57.8''103°21'43.2'' BT

103°15'33.8''103°17'59.9'' BT

103°15'52.0''103°18'02.1'' BT

103°15'58.3''103°18'27.4''BT

Tutupan Kanopi (%)a
o

Temperatur ( C)
Kelembapan (%)
-1

Koordinat

Ketinggian (m dpl)
a

58-77

51-95

59-90

48-81

Sumber: Kotowska et al. (2015a).

Pengukuran Biomassa dan Kandungan Hara Akar
Pengambilan sampel akar dilakukan dengan metode destruktif pada 16 plot
yang mewakili empat lokasi penelitian. Setiap plot digali 2 lubang pada area
destruktif. Area destruktif merupakan area yang berada di luar plot permanen non
destruktif (50 m x 50 m), yang digunakan khusus untuk penelitian dengan
melibatkan aktivitas perusakan (Gambar 3).

11

Gambar 3 Lokasi pengambilan sampel. (

) area destruktif.

Pengambilan sampel dilakukan pada jarak 5 m dari plot permanen non
destruktif. Selanjutnya dilakukan pengukuran jarak minimum 80 cm dari pohon
ke petak contoh yang berukuran 30 cm x 30 cm. Pada pekebunan kelapa sawit,
pengambilan sampel dilakukan pada 2 jarak yang berbeda, yakni 80 cm dan 4.5 m
dari pohon. Kemudian tanah digali pada petak tersebut dengan lima tingkat
kedalaman yaitu 0-10 cm, 10-30 cm, 30-50 cm, 50-100 cm, dan 100-150 cm.
Semua akar yang terlihat dimasukkan ke dalam plastik, setelah itu akar dicuci dan
dikelompokkan berdasarkan diameternya menjadi fine root (diameter ≤ 2 mm)
dan coarse root (diameter > 2 mm). Akar herba dan rumput yang banyak
ditemukan di perkebunan kelapa sawit dan karet dibedakan dari fine dan coarse
root berdasarkan ukuran diameternya yang kecil, warnanya yang terang, dan
ketiadaan periderm berlignin (Leuschner et al. 2009). Selanjutnya akar
dikeringkan pada suhu 70 oC selama 3 hari hingga bobot konstan dan ditimbang
beratnya untuk didapatkan data biomassa akar. Sampel coarse root dianalisis
karbon organiknya dengan menggunakan metode Walkley and Black, sedangkan
total nitrogen dianalisis dengan metode Kjeldahl (BPT 2009).
Pengukuran Nekromassa Fine root
Fine root diamati di bawah mikroskop dan dipisahkan antara yang hidup
dan mati berdasarkan warna, elastisitas, tingkat kohesi korteks, periderm, dan
stele. Fine root yang mati dicirikan dengan warna korteks dan stele gelap, tidak
turgid dan tidak ada periderm (Hertel et al. 2009b). Selanjutnya fine root mati
yang diperoleh dikeringkan pada suhu 70 oC selama 3 hari sampai bobot konstan
untuk didapatkan data nekromassa fine root.
Pengukuran Morfologi Fine root
Data morfologi fine root yang meliputi luas permukaan, volume, diameter
dan kelimpahan ujung akar diperoleh dengan menggunakan analisis WinRhizo

12
(Re’-gent, Quebec, Canada). Kemudian data morfologi dan data biomassa fine
root digunakan untuk menghitung kelimpahan ujung akar (n jumlah ujung akar
per biomassa fine root g), Specific root area (SRA) (cm2 luas permukaan akar per
biomassa fine root g), dan Root tissue density (RTD) (g biomassa fine root per
volume cm3).
Pendugaan Biomassa Aboveground
Biomassa aboveground diperoleh dari 16 plot penelitian (50 m x 50 m)
dengan total individu pohon 1929. Pendugaan biomassa aboveground dilakukan
dengan menggunakan beberapa persamaan allometrik. Untuk biomassa pohon
yang berada di lokasi hutan alam, digunakan rumus:
AGB (kg) = 0.0509 + ρ D2 H
(1)
Biomassa aboveground (AGB) diduga berdasarkan ukuran masa jenis
pohon yang disimbolkan dengan ρ, diameter yang disimbolkan dengan D, dan H
adalah simbol untuk tinggi pohon (Chave et al. 2005). Biomassa pohon karet
(Hevea brasiliensis) diduga berdasarkan ukuran area basal (BA) mengikuti IPCC
(2003), dengan rumus berikut:
(2)
AGB = -3.84 + 0.528 BA + 0.001BA2
Pada perkebunan kelapa sawit, digunakan persamaan allometrik yang
diterapkan oleh Asari et al. (2013) yaitu dengan rumus sebagai berikut:
AGB = 71.797 (H) – 7.0872
(3)
Fraksionasi Bahan Organik Tanah
Sampel tanah ditimbang sebanyak 500 g dan direndam selama 24 jam.
Tanah tersebut selanjutnya disaring sebanyak dua kali. Penyaringan pertama
dilakukan dengan menggunakan saringan yang berukuran lubang pori 250 µm,
kemudian dilanjutkan dengan menggunakan saringan dengan ukuran lubang pori
150 µm. Fraksi organik yang telah dihasilkan dari penyaringan disebut sebagai
makroorganik. Makroorganik kemudian difraksionasi dengan menggunakan
larutan suspensi silica (Ludox) dengan densitas 1.13 dan 1.37 g cm-3.
Makroorganik terlebih dahulu difraksionasi dengan larutan ludox berukuran 1.13
g cm-3. Setelah sekitar 10 menit, diambil bagian yang mengapung pada larutan
tersebut. Bagian yang terapung dikelompokkan menjadi fraksi ringan. Selanjutnya
dilakukan fraksionasi kedua pada larutan dengan densitas 1.37 g cm-3, kemudian
diambil bagian yang terapung dan dikelompokkan menjadi fraksi sedang,
sedangkan bagian yang mengendap disebut sebagai fraksi berat. Setiap fraksi
tersebut kemudian dioven pada suhu 60 oC selama 3 hari sampai mendapatkan
berat kering yang konstan (Meijboom et al. 1995).
Analisis Statistik
Data biomassa akar (coarse root, fine root), nekromassa fine root,
kandungan C dan N coarse root, dan fraksi bahan organik tanah dianalisis
menggunakan GLM (General Linear Model), kemudian uji lanjut yang digunakan
adalah Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Untuk mengetahui hubungan
antara kandungan karbon dan nitrogen coarse root dengan biomassa aboveground
digunakan analisis korelasi Pearson’s. Semua data dianalisis dengan

13
menggunakan aplikasi software SPSS 17.0. Untuk menentukan korelasi antara
masing-masing variabel dari data akar dan karakteristik tanah digunakan analisis
PCA (Principal Component Analysis). Analisis PCA dilakukan dengan
menggunakan software CANOCO, version 4.5 (Biometris, Wageningen, The
Netherlands).

14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Biomassa, dan Kandungan C, N dan Rasio C/N Coarse root
Hutan alam (HJ) memiliki total biomassa coarse root lebih tinggi daripada
perkebunan karet (HR) maupun perkebunan kelapa sawit (HO) (p < 0.05)
(Gambar 4). Hutan karet (HJ) memiliki total biomassa coarse root lebih tinggi
daripada perkebunan kelapa sawit (HO) (p < 0.05). Biomassa coarse root
menurun seiring dengan meningkatnya tingkat kedalaman tanah.

Gambar 4

Rata-rata biomassa coarse root dari lokasi hutan alam (HJ), hutan
karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit
(HO) pada lima tingkat kedalaman tanah. Huruf kapital yang
berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara lokasi
penelitian, sedangkan huruf kecil yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang signifikan diantara tingkat kedalaman tanah pada
lokasi penelitian. Garis bar pada grafik menunjukkan Standar Error
(SE) pada uji DMRT (p < 0.05).

Perkebunan kelapa sawit (HO) memiliki biomassa coarse root lebih rendah
pada kedalaman tanah 0-10 cm jika dibandingkan tiga lokasi lainnya (Gambar 4).
Biomassa coarse root pada kedalaman tanah 10-30 cm dan 50-100 cm tidak
berbeda secara signifikan (p < 0.05) diantara empat lokasi penelitian. Biomassa
coarse root di lokasi hutan alam (HJ) pada kedalaman tanah 30-50 cm lebih tinggi
daripada perkebunan karet (HR), sedangkan pada kedalaman tanah 100-150 cm,
lokasi hutan alam (HJ) memiliki biomassa coarse root lebih rendah daripada
hutan karet (HJ).

15
Tabel 2 Kandungan C, N (g m-2), dan rasio C/N coarse root dari lokasi hutan
alam (HJ), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan
kelapa sawit (HO) pada lima tingkat kedalaman tanah
Lokasi penelitian

Kedalaman

Kandungan C

Kandungan N

tanah (cm)

coarse root (g m-2)

coarse root (g m-2)

Rasio C/N coarse root

Hutan alam

0-10

617.04 ± 263.08 C

(b)

12.444 ± 6.795 A (a)

57.43 ± 7.56 A (a)

(HJ)

10-30

454.08 ± 235.06 C

(a)

8.715 ± 4.836 A (a)

56.01 ± 2.38 A (a)

30-50

241.84 ± 110.76 BC (b)

3.571 ± 1.659 A (ab)

76.21 ± 13.03A (a)

(a)

1.056 ± 0.352 B (a)

60.59 ± 9.47 A (a)

A (a)

0.004 ± 0.001 C (b)

14.79 ±14.79 A (a)

50-100

70.75 ± 34.29

100-150

0.20 ± 0.10

Total

B

1383.91 ± 134.27 B

25.790 ± 4.634 B

Hutan karet

0-10

361.49 ± 208.99 B

(b)

8.549 ± 6.037 A (ab)

56.63 ± 6.92 A (a)

(HJ)

10-30

369.54 ± 105.61 B

(a)

8.688 ± 2.486 A

45.04 ± 4.28 A (a)

30-50

117.87 ± 44.98

50-100
100-150

Perkebunan karet
(HR)

(HO)

74.94 ± 29.9 1 A

(a)

68.24 ± 46.47

(b)

A

2.549 ± 1.028 AB (ab)

48.91 ± 6.31 A (a)

1.526 ± 0.665 BC (a)

50.93 ± 3.16 A (a)

1.059 ± 0.671 C

(a)

60.63 ± 5.81 A (a)

Total

992.08 ± 280.29 AB

0-10

421.09 ± 260.13 C

(b)

8.341 ± 4.696 A (a)

46.68 ± 3.02 A (a)

10-30

150.56 ± 42.41 BC (a)

3.266 ± 0.811 A (ab)

45.47 ± 2.00 A (a)

22.371 ± 7.321 B

30-50

39.75 ± 6.56

AB (a)

0.673 ± 0.078 B

(b)

59.12 ± 6.68 A (a)

50-100

27.09 ± 9.69

A (a)

0.469 ± 0.145 B

(a)

56.47 ± 4.35 A (a)

100-150

17.44 ± 8.42

A (ab)

0.312 ± 0.167 B (ab)

61.37 ± 7.17 A (a)

Total

Perkebunan
kelapa sawit

AB (ab)

(a)

0-10
10-30

655.93 ± 297.04 A

13.061 ± 5.470 AB

38.71 ± 13.13 AB (a)
145.84 ± 46.33 B

(a)

0.474 ± 0.153 AB (b)

74.64 ± 8.00 A (a)

1.586 ± 0.465 A (b)

86.01 ± 9.25 A (a)
94.69 ± 9.99 A (a)

30-50

96.47 ± 32.71 AB (ab)

0.930 ± 0.289 A (ab)

50-100

61.47 ± 23.42 AB (a)

0.571 ± 0.223 AB (a)

100-150

20.04 ± 7.25

0.199 ± 0.062 B

Total

A (ab)

362.53 ± 70.52 A

(ab)

110.05 ± 2.56 A (a)
93.25 ± 11.61A (a)

3.760 ± 0.744 A

Angka yang diikuti huruf kapital yang sama menunjukkan tidak signifikan diantara tingkat
kedalaman tanah pada lokasi penelitian yang sama atau diantara total profil tanah yang berbeda,
sedangkan huruf kecil yang sama menunjukkan tidak signifikan diantara lokasi penelitian pada
tingkat kedalaman yang sama (DMRT, p < 0.05).

Distribusi vertikal biomassa coarse root memperlihatkan pola yang sama
dengan distribusi kandungan hara coarse root pada tingkat ekosistem maupun
pada tingkat kedalaman tanah. Total kandungan C dan N coarse root di lokasi
hutan alam (HJ) lebih tinggi (p < 0.05) daripada perkebunan kelapa sawit (HO).
Hutan karet (HJ) memiliki kandungan C dan N coarse root tidak berbeda
signifikan (p < 0.05) dengan hutan alam (HJ). Rasio C/N coarse root tidak
berbeda signifikan (p < 0.05) antar lokasi maupun antar tingkat kedalaman tanah
(Tabel 2).

16
Hasil analisis korelasi, terdapat korelasi positif yang signifikan (p < 0.05)
antara biomassa aboveground dengan kandungan C (r = 0.500, p = 0.048 ), dan N
(r = 0.619, p = 0.011) pada coarse root. Namun, tidak terdapat korelasi antara
biomassa aboveground dengan rasio C/N pada coarse root (p < 0.05).
Biomassa dan Morfologi Fine root
Biomassa fine root yang terdapat pada tegakan hutan alam secara signifikan
lebih tinggi (p < 0.05) daripada perkebunan kelapa sawit. Sebagian besar,
biomassa fine root lebih terkonsentrasi pada kedalaman tanah 0-10 cm, kemudian
biomassa menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman tanah. Pada
umumnya terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0.05) pada pola distribusi
vertikal biomassa fine root pada 4 tipe lokasi penelitian. Biomassa fine root
menurun seiring dengan meningkatnya intensitas penggunaan lahan (Gambar 5).
Sekitar 60% biomassa fine root ditemukan pada lokasi hutan alam, hutan karet
dan perkebunan karet, sedangkan pada lokasi perkebunan kelapa sawit hanya 45%
biomassa fine root yang ditemukan di lapisan permukaan atas tanah (10 cm dari
atas tanah) (Tabel 3).

Gambar 5

Biomassa fine root dari empat lokasi penelitian pada tingkat
kedalaman tanah (0-150 cm). Data menunjukkan nilai rata-rata ± SE
(n=8).

17
Tabel 3 Persentase relatif biomassa fine root, nekromassa fine root, biomassa
coarse root dan total biomassa akar pada kedalaman tanah 30 cm dari
permukaan tanah pada empat lokasi penelitian di Hutan Harapan
(Sumatera, Indonesia)
Lokasi Penelitian

Biomassa fine
root di lapisan
tanah 30 cm

Nekromassa fine
root di lapisan
tanah 30 cm

Biomassa coarse
root di lapisan
tanah 30 cm

Total biomassa
akar di lapisan
tanah 30 cm

Persentase massa relatif (%)
Hutan alam
(HJ)

59.54 ± 3.64

62.84 ± 11.53

75.79 ± 12.71

73.91 ± 11.09

Hutan karet
(HJ)

64.53 ± 7.40

74.45 ± 6.95

68.29 ± 7.57

69.45 ± 6.63

Perkebunan karet
(HR)

60.98 ± 6.69

72.35 ± 10.26

79.24 ± 6.32

77.21 ± 6.19

Perkebunan
kelapa sawit (HO)

43.38 ± 14.22

57.59 ± 21.05

39.41 ± 10.84

43.66 ± 8.41

Data menunjukkan nilai rata-rata ± SE.

Rata-rata diameter fine root berkisar antara 0.69 hingga 1.11 mm dari semua
tegakan yang diteliti. Pada penelitian ini diperoleh nilai RTD tidak berbeda secara
signifikan (p < 0.05) antar lokasi. Lokasi hutan karet (HJ) merupakan area
transformasi yang memiliki nilai SRA dan jumlah ujung akar per biomassa akar
yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi hutan alam (HJ) dan perkebunan
karet (HR). Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifi