Makna Simbolik Sesaji Ritual

20 Segala bentuk dan macam kegiatan simbolik dalam masyarakat tradisional itu merupakan upacara pendekatan manusia kepada Tuhannya, yang menciptakan, menurunkannya ke dunia, memelihara hidup dan menentukan kematian manusia. Dengan demikian simbolik dalam masyarakat tradisional di samping membawakan pesan-pesan kepada generasi-generasi berikutnya juga selalu dilaksanankan dalam kaitannya dengan religi. Bentuk-bentuk simbolisme dalam budaya Jawa sangat dominan dalam segala hal dan dalam segala bidang. Hal ini terlihat dalam tindakan sehari-hari orang Jawa, sebagai realisasi dari pandangan dan sikap hidupnya. Budiono Herusatoto, 2008: 46-64.

9. Makna Simbolik Sesaji Ritual

a. Negosiasi Spritual Simbol-simbol ritual ada juga yang berupa sesaji, tumbal, dan umbarape. Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan prasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui sesaji sesungguhnya bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak. Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana „negosiasi‟ spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak menggangu. Dengan pemberian makan secara simbol kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia. 21 Kepercayaan terhadap roh halus, khusunya dhanyang roh pelindung sering diwujudkan dalam bentuk slametan. Salah satu bentuk slametan adalah tumbal, yaitu upaya persembahan untuk penolak bala. Tumbal Spiritual tadi mengandung pengaruh sinkretisme Hindu – Jawa dan Islam – Jawa yang menyatu padu dalam wawancara kultural mistik. Sinkretisme juga terlihat pada saat pelaku mistik meyakini bahwa dengan membakar kemenyan, pada saat ritual mistik merupakan perwujudan persembahan kepada Tuhan. Kukus asap dupa dari kemenyan yang membubung ke atas, tegak lurus, tidak mobat – mabit ke kanan ke kiri, merupakan tanda bahwa sesajinya dapat diterima. Sebagai ujud agar sesajinya dikabulkan, penganut mistik berniat: “Niat ingsun ngobong menyan menyan talining iman, urubing cahya kumata, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi dzat ingkang maha kuwasa”. Artinya, saya berniat membakar kemenyan sebagai pengikat iman. Nyala kemenyan merupakan cahaya kumara, asapnya diharapkan sampai surga, dan dapat diterima oleh Tuhan. Berbagai sesaji yang digunakan dalam ritual, di samping kemenyan juga menggunakan tumpeng dan ubarampe-nya. Sesaji tersebut dimaksudkan sebagai sarana wilujengan keselametan. Semua wilujengan, sebelum dikeluarkan dan diletakkan didekat gong, diletakkan pada suatu ruang khusus untuk diujud-kan. Ujub dari slametan itu menurut tradisi Jawa berupa mantra. Mantra yang dimaksud, hanya singkat saja yaitu: “Lemah sangar kayu aeng ronge landhak guwane 22 wong lwmah miring aja nganggu ewang- ewangana karepku”. Maksudnya, tanah yang gawat, pohon yang aneh, lubang landak, rumahnya manusia, tanah miring jangan mengganggu, bantulah keinginanku. Ujub semacam ini lama-kelamaan bergeser dan bercampur dengan doa Islam. Suwadi Endraswara, 2006: 247-250. b. Mencapai Kemulyaan Sejati Ubarampe sesisir pisang yang dipakai sesaji adalah pisang raja sepasang, yaitu raja biasa dan raja pulut. Pisang ini termasuk sesaji yang utama. Pemakaian pisang raja biasa dimaksudkan agar yang melakukan mistik kejawen berhasil seperti hal manusia raja. Yakni menjadi manusia „raja‟ yang bersikap mahambeg adil pamarta berbudi bawa leksana. Artinya, raja yang berwatak adil, berbudi luhur, dan tepat janji. Sedangkan pisang raja pulut, dimaksudkan agar pelaku mistik dapat pulut terjadi hiperkorek dengan kata luput bebas dari marabahaya. Setalah selametan tadi selesai, pisang tadi oleh pelaku mistik diphotel diambil pada bagian tengah sisiran. Pelaku tidak mau mengambil pisang bagian tepi sangkal, kerena meraka yakin bahwa hidup yang sedang dijalani berada di zaman madya tengah. Mereka tidak hidup di zaman wusuna akhir, karenanya tidak berani mengambil pisang bagian tepi pinggir yang dianalogikan sebagai zaman akhir. Jika mengambil pisang sangkal, berarti mereka telah nggere mangsa mendahului takdir Tuhan. 23 Tindakan simbolik semacam itu, kemungkinan yang mempengaruhi masyarakat Jawa mempunyai gugon tuhon: “Aja mangan gedhang sangkal, ora ilok” Jangan makan pisang pinggir, tidak pantas atau dilarang. Sesaji lain yakni jajan pasar lengkap berisi: kelapa, padi, pala kepnedhem, rujak degan, asem, cam, nanas, kopi dan lain-lain. Kelengkapan sesaji ini merupakan seratan winadi yang tersembunyi, yakni sebagai suguhan sajian kepada dhayang penyenyengan, yang baureksa menjaga tempat mistik, agar tidak diganggu. Jajanan pasar merupakan lambang sesrawungan hubungan. Jajanan pasar adalah lambang kemakmuran. Hal ini diasosiakan bahwa pasar adalah tempat bermacam-macam barang, seperti dalam jajan pasar ada buah-buahan, makanan anak-anak, sekar setaman, kinang, dan rokok. Dalam jajanan pasar juga ada uangnya berjumlah seratus rupiah. Maksudnya, satus berarti lambang bahwa manusia telah bersih dari dosa. Sesaji lain yang paling penting adalah tumpeng. Dalam ritual budaya Jawa memang banyak macam-macam tumpeng, seperti tumpeng sangga langit, arga dumilah, tumpeng robyong, tumpeng megono, dan lain-lain. Khusus ritual mistik kejawen menggunakan menggunakan tumpeng robyong yang telah dimodofikasi dengan gaya estetis. Wujudnya adalah seperti kerucut atau gunung. Puncak tumpeng diberi lombok merah, di bawahnya brambang dua butir, dan di bawahnya lagi diberi hiasan daun-daunan dan sayuran kacang panjang, adapun dasar 24 tumpengan berisi berbagai uban-rampe, antara lain: ikan ayam, telur, toge, kacang panjang, dan gudangan. Tumpeng robyong merpakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Puncak tumpeng merupakan lambang puncak keinginan manusia, yakni untuk mencapai kemulyaan sejati. Titik puncak juga merupakan gambaran kekuasaan Tuhan yang bersifat transendental. Tumpeng yang menyerupai gunung meru melukiskan kemakmuran sejati. Ubarampe tumpeng bermacam-macam, yang masing-masing merupakan simbol budaya. Simbol-simbol itu dibuat didasarkan pada analogi otak-atik mathuk dan olah nalar pelaku mistik. Suwadi Endraswara, 2006: 251-255.

B. Penelitian Yang Relevan