Hermawan Subiantoro BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Lansia

  a. Definisi Lanjut usia (lansia) adalah orang yang sistem - sistem biologisnya mengalami perubahan - perubahan struktur dan fungsi dikarenakan usianya yang sudah lanjut. Menua dalam proses menua biologis adalah proses terkait waktu yang berkesinambungan dan pada umumnya mencerminkan umur biologis namun sangat bervariasi dan bersifat individual, dengan perubahan yang dapat berlangsung mulus sehingga tidak menimbulkan ketidakmampuan atau dapat terjadi sangat nyata dan berakibat ketidakmamapuan total (Tamher,2009).

  Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (Ineko, 2012).

  Lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan manusia hal ini memiliki arti bahwa pada usia ini mengalami perkembangan dalam bentuk perubahan perubahan yang mengarah perubahan yang bersifat regresif yaitu terjadi kemunduran fungsi fungsi fisik dan psikologis (Pamungkas, 2009).

  10 Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup.

  Usia tua adalah fase akhir dari rentang kehidupan (Fatimah, 2010). Sedangkan menurut Affandi (2008), proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi manusia. Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut usia). Dalam tahap ini, pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik,

  

psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.

  Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum (fisik) maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lanjut usia

  b. Batasan Lanjut Usia

  World Health Organization (WHO) membagi lansia menjadi 4

  sebagai berikut (Bandiyah, 2009): 1) Usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun.

  2) Lanjut usia (elderly) yaitu antara 60 sampai 74 tahun. 3) Lanjut usia tua (old) yaitu 75 sampai 90 tahun. 4) Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

  c. Teori

  • – teori Proses Penuaan Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori biologi, teori psikologis, teori sosial dan teori spiritual (Maryam dkk, 2008), yaitu:

  1) Teori Biologi Dalam teori biologi dimana sel dalam tubuh akan mengalami kemunduran. Teori biologi mencakup teori genetik/ mutasi, imunology

  slow theory , teori stres, teori radikal bebas dan teori rantai silang.

  a) Teori Radikal Bebas Teori radikal bebas dewasa ini lebih banyak dianut dan dipercaya sebagai mekanisme proses penuaan. Radikal bebas adalah sekelompok elemen dalam tubuh yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga tidak stabil dan reaktif hebat.

  Sebelum memiliki pasangan, radikal bebas akan terus menerus menghantam sel-sel tubuh guna mendapatkan pasangannya termasuk menyerang sel-sel tubuh yang normal. Teori ini mengemukakan bahwa terbentuknya gugus radikal bebas (hydroxyl, superoxide, hydrogenperoxide, dan sebagainya) adalah akibat terjadinya otooksidasi dari molekul intraselular karena pengaruh sinar UV. Radikal bebas ini akan merusak enzim superoksida - dismutase (SOD) yang berfungsi mempertahankan fungsi sel sehingga fungsi sel menurun dan menjadi rusak. Proses penuaan pada kulit yang dipicu oleh sinar UV (photoaging) merupakan salah satu bentuk implementasi dari teori ini (Yaar & Gilchrest, 2007). b) Teori Genetik/ Mutasi Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies - spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi (Maryam. Dkk, 2008). Teori mutasi somatik, menurut teori ini penuaan terjadi karena adanya mutasi somatik akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi kesalahan dalam proses transkripsi DNA atau RNA dan dalam proses translasi RNA protein/ enzim. Kesalahan ini terjadi secara terus menerus sehingga menurunkan fungsi organ atau perubahan sel kanker atau penyakit (Nugroho, 2008).

  c) Teori Imunologi (imunology slow theory) Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies - spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul - molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi (Maryam. Dkk, 2008).

  d) Teori Stress Mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel - sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh telah terpakai (Maryam, dkk, 2008). e) Teori Rantai Silang Teori menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, karbohidrat, dan asam nukleat. Reaksi kimia ini menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan, dan hilangnya fungsi (Nugroho, 2008). 2) Teori Psikologi

  Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori dan belajar pada lanjut usia menyebabkan mereka sulit dipahami dalam berinteraksi (Nugroho, 2008).

  Perubahan psikologi yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif.

  Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai - nilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya. Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut.

  Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan.

  Dengan adanya penurunan fungsi sensorik, maka akan terjadi penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespon stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi yang berbeda dari stimulus yang ada (Maryam, dkk, 2008).

  3) Teori sosial Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan yaitu proses interaksi sosial, teori penarikan diri, teori aktivitas, teori kesinambungan, teori perkembangan dan teori stratifikasi usia (Maryam, dkk, 2008).

  a) Teori Interaksi Sosial Teori ini menjelaskan mengapa usia lanjut bertindak kepada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal - hal yang dihargai masyarakat. Kemampuan usia lanjut untuk terus menjalini interaksi sosial merupakan kunci mempertahankan status sosialnya berdasarkan kemampuan bersosialisasi. Pada usia lansia kekuasaan dan prestisenya berkurang, sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang yang tersisa adalah harga diri (Maryam, dkk, 2008).

  b) Teori Penarikan Diri Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya. Dengan bertambahnya usia lanjut, ditambah dengan adanya kemiskinan, usia lanjut secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Hal ini menyebabkan interaksi sosial usia lanjut menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering usia lanjut mengalami kehilangan peran, hambatan kontak sosial dan berkurangnya komitmen (Nugroho, 2008).

  c) Teori Aktivitas Teori aktivitas tidak menyetujui teori disagement dan menegaskan bahwa kelanjutan dewasa tengah penting untuk keberhasilan penuaan. Usia lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan sosial. Usia lanjut akan merasa puas bila dapat melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin (Nugroho, 2008)

  d) Teori Kesinambungan Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan usia lanjut. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambaran kelak pada saat menjadi usia lanjut. Pada teori kesinambungan ini pergerakan dan proses banyak arah, bergantung dari bagaimana penerimaan seseorang terhadap status kehidupannya. Pokok - pokok pada teori kesinambungan ini adalah, a) Usia lanjut disarankan untuk melepaskan peran atau harus aktif dalam proses penuaan, b) Peran usia lanjut yang hilang tidak perlu diganti, dan c) Usia lanjut berkesempatan untuk memilih berbagai macam cara untuk beradaptasi (Maryam, dkk. 2008).

  e) Teori Perkembangan Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami oleh usia lanjut pada saat muda hingga dewasa.

  Erickson (1930), membagi kehidupan menjadi delapan fase, yaitu: a) Usia lanjut yang menerima apa adanya, b) Usia lanjut yang takut mati, c) Usia lanjut yang merasakan hidup penuh arti,

  d) Usia lanjut menyesali diri, e) Usia lanjut bertanggung jawab dengan merasakan kesetiaan, f) Usia lanjut yang kehidupannya berhasil, g) Usia lanjut merasa terlambat untuk memperbaiki diri dan h) Usia lanjut yang perlu menemukan integritas diri melawan keputusasaan (Maryam, dkk, 2008).

  f) Teori Stratifikasi Usia Keunggulan teori ini adalah pendekatan yang dilakukan bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat usia lanjut secara kelompok atau bersifat makro. Kelemahan pada teori ini adalah tidak dapat dipergunakan untuk menilai usia lanjut secara perorangan (Stanley, 2006). 4) Teori Spiritual

  Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang atri kehidupan. Kepercayaan adalah sebagai suatu bentuk pengetahuan dan cara berhubungan dengan kehidupan akhir. Sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan antara orang dan lingkungan yang terjadi karena adanya kombinasi antara nilai - nilai dan pengetahuan (Maryam, dkk, 2008).

  d. Perubahan

  • – Perubahan pada lansia Menua merupakan suatu proses alami yang dialami oleh semua makhluk. Menurut Maryam dkk (2008), perubahan - perubahan fisik yang terjadi pada lanjut usia yaitu : 1) Penurunan kondisi fisik

  a) Sel Lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya, cairan tubuh menurun, dan cairan intra seluler menurun (Maryam, dkk, 2008).

  b) Kardiovaskuler Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun (menurunya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat (Maryam, dkk, 2008).

  c) Respirasi Otot - otot pernapasan kekakuannya menurun dan menjadi kaku, elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik nafas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun serta terjadi penyempitan pada bronkus (Maryam, dkk, 2008).

  d) Persarafan Saraf panca indera mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stres. Berkurangnya atau hilangnya lapisan mielin akson, sehingga menyebabkan berkurangnya respon motorik dan refleks (Maryam, dkk, 2008).

  e) Muskuloskeletal Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor, tendon mengerut dan mengalami sklerosis (Maryam, dkk, 2008).

  f) Genitourinaria Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan darah diglomerulus menurun, fungsi tubulus menurun sehingga kemampuan ikut mengonsentrasi juga ikut menurun (Maryam, dkk, 2008).

  g) Pendengaran Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan

  (Maryam, dkk, 2008). h) Penglihatan Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun, akomodasi menurun, lapang pandang menurun dan katarak. i) Endokrin

  Produksi hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah, pertumbuhan hormon ada tetapi tidak rendah dan hanya ada didalam pembuluh darah. 2) Perubahan Mental

  Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental yaitu perubahan fisik khususnya organ perasa kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungan. Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan struktural dan fisiolgi, begitu juga otak. Perubahan ini disebabkan karena fungsi neuron di otak secara progresif mengalami penurunan. Kehilangan fungsi ini akibat menurunnya aliran darah ke otak, lapisan otak terlihat berkabut dan metabolisme di otak lambat. Selanjutnya sangat sedikit yang diketahui tentang pengaruhnya terhadap perubahan fungsi kognitif pada lanjut usia. Perubahan kognitif yang dialami lanjut usia adalah demensia dan delirium (Nugroho, 2008). 3) Perubahan Psikologis

  Perubahan psikologis pada lansia meliputi frustasi, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi dan kecemasan. Dalam psikologi perkembangan, lansia dan perubahan yang dialami akibat proses penuaan digambarkan oleh hal-hal berikut. Masalah

  • – masalah umum yang sering dialami oleh lansia (Nugroho, 2008) :

  a) Keadaan fisik lemah dan tak berdaya, sehingga harus bergantung pada orang lain.

  b) Mulai merasakan kebahagiaan dari kegiatan yang sesuai untuk lansia dan memiliki kemauan untuk mengganti kegiatan lama yang berat dengan kegiatan yang cocok.

  c) Mulai terlibat dalam kegiatan masyarakat yang secara khusus direncanakan untuk orang dewasa.

2. Kecemasan

  a. Pengertian Menurut Stuart (2009), kecemasan adalah respon emosional terhadap kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Cemas adalah suatu emosi yang dihubungkan dengan kehamilan, cemas mungkin emosi positif sebagai perlindungan menghadapi kecemasan, yang bisa menjadi masalah apabila berlebihan (Salmah, 2006).

  Kecemasan yaitu pengalaman subjektif dari individu dan tidak dapat diobservasi secara langsung serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa objek yang spesifik. Kecemasan pada individu dapat memberikan motivasi untuk mencapai sesuatu dan merupakan sumber penting dalam usaha memelihara keseimbangan hidup (Suliswati, 2005). Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian individu yang subjektif yang mana keadaannya dipengaruhi alam bawah sadar dan belum diketahui pasti penyebabnya (Herri, 2011).

  b. Teori Predisposisi Kecemasan Stuart (2009) mengemukakan bahwa penyebab kecemasan dapat dipahami melalui berbagai teori yaitu teori psikoanalitis dimana Sigmud

  Freud mengidentifikasikan kecemasan sebagai konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitive, sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh norma budaya. Ego dan Aku, berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya. Teori interpersonal Sullifan menjelaskan bahwa kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, individu dengan harga diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat (Stuart, 2009).

  Teori perilaku meyebutkan kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu karena mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk meghindari kepedihan. Ahli teori pembelajaran meyakini bahwa individu terbiasa sejak kecil dihadapkan suatu ketakutan berlebihan lebih sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya. Ahli teori konflik memandang kecemasan sebagai pertentangan antar dua kepentingan yang berlawanan. Mereka meyakini adanya hubungan timbal balik antara konflik dan kecemasan yaitu konflik menimbulkan kecemasan, dan kecemasan menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan konflik yang dirasakan (Stuart, 2009).

  Kajian keluarga menyebutkan kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Kecemasan juga terkait dengan tugas perkembangan individu dalam keluarga (Stuart, 2009). Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk

  

benzodiazepine , obat - obat yang meningkatkan neuroregulator inhibisi

asam gama aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam

  mekanisme biologis yang berhubungan dengan kecemasan. Selain itu, kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan pada keluarga memiliki efek nyata sebagai predisposisi kecemasan. Kecemasan kemampuan individu untuk mengatasi stressor (Stuart, 2009).

  c. Tingkat Kecemasan Peplau membagi tingkat kecemasan ada empat (Stuart, 2009) yaitu: 1) Kecemasan ringan yang berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari - hari. Kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

  2) Kecemasan sedang yang memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan hal yang lain.

  Kecemasan ini mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian individu mengalami tindak pehatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.

  3) Kecemasan berat yang sangat mengurangi lapang persepsi individu.

  Individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.

  4) Tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terpengaruh, ketakutan dan teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan kematian. d. Rentang Respon Kecemasan Rentang respon kecemasan dapat dikonseptualisasikan dalam rentang respon. Respon ini dapat digambarkan dalam rentang respon adaptif sampai maladatif. Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat konstruktif dan deskruktif. Konstruktif adalah motivasi seseorang untuk belajar memahami terhadap perubahan - perubahan terutama tentang terhadap perasan tidak nyaman dan berfokus pada kelangsungan hidup.

  Sedangkan reaksi deskruktif adalah reaksi yang dapat menimbulkan tingkah laku maladaptif serta disfungsi yang menyangkut kecemasan berat atau panik (Suliswati, 2005).

Bagan 2.1 Rentang Respon Kecemasan

  

Rentang Respon Kecemasan

Respon adaptif

  Respon maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

  Sumber : Stuart, G.W dan Sundeen, S. J. (2006).

  e. Respon Kecemasan Menurut Stuart (2009), respons kecemasan ada 2 tingkat yaitu:

  1) Respon Fisiologis

  a) Kardiovaskuler Respons fisiologi terhadap sistem kardiovaskuler antara lain: palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meningkat, rasa ingin pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun. b) Pernafasan Respons fisiologi terhadap sistem pernafasan antara lain: nafas cepat, sesak nafas, tekanan pada dada, nafas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-engah.

  c) Neuromuskuler Respons fisiologi terhadap sistem neuromuskuler antara lain: reflek meningkat, reaksi terkejut, mata berkedip - kedip, insomnia, tremor, gelisah, mondar - mandir, wajah tegang, kelemahan umum, tungkai lemah.

  d) Gastrointestinal Respons fisiologi terhadap sistem gastrointestinal antara lain: kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati, diare.

  e) Saluran perkemihan Respons fisiologi terhadap sistem saluran perkemihan antara lain; tidak dapat menahan kencing, sering berkemih.

  2) Respon Psikologis

  a) Perilaku Respons psikologis terhadap perilaku antara lain: gelisah, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, menghindar, sangat waspada. b) Kognitif Respons psikologis terhadap kognitif antara lain: konsentrasi buruk, pelupa, perhatian terganggu, salah dalam memberikan penilaian, hambatan berpikir, kreativitas menurun, bingung, produktivitas menurun, takut cedera atau kematian, mimpi buruk.

  c) Afektif Respons psikologis terhadap afektif antara lain; mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, kengerian, kekhawatiran, mati rasa, malu.

  f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menurut Trismiati (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan ada dua yaitu:

  1) Faktor Internal

  a) Pengalaman Menurut Horney dalam Trismiati (2011), sumber - sumber ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan tersebut bersifat lebih umum. Penyebab kecemasan menurut Horney (2014), dapat berasal dari berbagai kejadian di dalam diri seseorang yang memiliki pengalaman dalam menjalani suatu tindakan maka dalam dirinya akan lebih mampu beradaptasi atau kecemasan yang timbul tidak terlalu besar. Pengalaman atau riwayat sebelumnya dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu pernah dan belum pernah. b) Respon Terhadap Stimulus Menurut Trismiati (2011), kecemasan seseorang menelaah rangsangan atau besarnya rangsangan yang diterima akan mempengaruhi kecemasan yang timbul.

  c) Usia Seseorang yang mempunyai umur lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan dari pada seseorang yang tua, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya.

  d) Gender Berkaitan dengan kecemasan pada pria dan wanita, Myers (1983) dalam Trismiati (2011) mengatakan bahwa perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki, Laki-laki lebih aktif, eksploratif, sedangkan perempuan lebih sensitif. Penelitian lain menunjukkan bahwa laki - laki lebih rileks dibanding perempuan. Stres sering dialami oleh wanita lebih tinggi dibandingkan dengan laki - laki. Menurut Kaplan and Sadock (1997) menyatakan bahwa kurang lebih 5% dari populasi, kecemasan pada wanita dua kali lebih banyak daripada pria, lebih tinggi kecemasan yang dialami oleh wanita kemungkinan disebabkan wanita lebih mempunyai kepribadian lebih labil, juga adanya peran hormon yang mempengaruhi kondisiemosi sehingga mudah meledak, mudah cemas dan curiga.

  2) Faktor Eksternal

  a) Dukungan Keluarga Adanya dukungan keluarga akan menyebabkan seseorang lebih siap dalam menghadapi permasalahan.

  b) Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan sekitar ibu dapat menyebabkan seseorang menjadi lebih kuat dalam menghadapi permasalahan, misalnya lingkungan pekerjaan atau lingkungan bergaul yang tidak memberikan cerita negatif tentang efek negatif suatu permasalahan menyebabkan seseorang lebih kuat dalam menghadapi permasalahan.

3. Kematian

  a. Pengertian kematian Kematian adalah apabila seseorang tidak lagi teraba denyut nadinya, tidak bernapas selama beberapa menit, dan tidak menunjukkan segala reflek serta tidak ada kegiatan otak (Nugroho, 2008). Pemberian perawatan pada lanjut usia yang sedang menghadapi kematian tidak selamanya mudah. Seorang lanjut usia akan memberi reaksi yang berbeda - beda, bergantung pada kepribadian dan cara lanjut usia menghadapi hidup. Hal ini mengandung maksud bahwa konsep diri yang dimiliki lansia ikut berpengaruh dalam penerimaan diri lanjut usia terhadap keadaan dirinya. Konsep diri yang baik akan membentuk kesadaran diri bahwa setiap manusia akan mengalami tahap penuaan dengan kemunduran semua kemampuan baik fisik maupun mental sehingga menerima diri dan berpasrah diri adalah hal terbaik yang dapat dilakukan oleh seorang lanjut usia (Nugroho, 2008).

  b. Tahapan kematian pada lanjut usia meliputi : 1) Tahap pertama (penolakan)

  Tahap ini adalah tahap kejutan dan penolakan. Selama tahap ini, lanjut usia sebenarnya mengatakan maut menimpa semua orang, kecuali dirinya. Lanjut usia biasanya terpengaruh oleh sikap penolakannya sehingga ia tidak memperhatikan fakta yang mungkin sedang dijelaskan kepadanya oleh perawat. Dirinya bahkan menekan apa yang telah didengar atau mungkin akan meminta pertolongan dari berbagai macam sumber profesional dan nonprofesional dalam upaya melarikan diri dari kenyataan bahwa maut sudah berada diambang pintu. 2) Tahap kedua (marah) Tahap ini ditandai oleh rasa marah dan emosi yang tidak terkendali.

  Seringkali seorang lanjut usia mencela setiap orang dalam segala hal. Ia mudah marah terhadap para petugas kesehatan tentang apa yang dilakukan. Pada tahap ini, lanjut usia lebih menganggap hal ini merupakan hikmah dari pada kutukan. Kemarahan di sini merupakan mekanisme pertahanan diri lanjut usia. Kemarahan sesungguhnya lebih tertuju kepada kesehatan dan kehidupannya.

  3) Tahap ketiga (tawar menawar) Pada tahap ini biasanya kemarahan sudah mereda dan lanjut usia dapat menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Namun pada tahap tawar menawar ini banyak orang cenderung akan menyelesaikan urusan rumah tangga mereka sebelum maut tiba, dan akan menyiapkan beberapa hal seperti membuat surat dan mempersiapkan jaminan hidup bagi orang tercinta yang ditinggalkan. Selama tahap tawar menawar ini sebaiknya permohonan yang dikemukakan dapat dipenuhi.

  4) Tahap keempat (sedih atau depresi) Tahap ini biasanya merupakan tahap yang menyedihkan karena lanjut usia dalam suasana sedang berkabung. Bersamaan dengan itu, lanjut usia berusaha merelakan untuk meninggalkan semua kesenangan yang telah dinikmatinya.

  5) Tahap kelima (menerima) Tahap ini ditandai dengan sikap menerima kematian. Menjelang saat ini, lanjut usia telah membereskan segala urusan yang belum selesai dan mungkin tidak ingin berbicara lagi karena sudah menyatakan segala sesuatunya. Tawar menawar sudah lewat dan saat kedamaian dan ketenangan (Ruben dalam Nugroho, 2008).

4. Kecemasan Lansia Menghadapi Kematian

  Atkinson dkk (2009) mengatakan bahwa kecemasan merupakan keadaan emosi seseorang yang tidak menyenangkan dengan gejala seperti kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang kadang - kadang dialami dengan tingkat yang berbeda - beda. Hal ini pun didukung oleh pendapat Mahmud (2010) yang mengatakan bahwa kecemasan adalah keadaan takut yan terus - menerus tetapi berbeda dengan ketakutan biasa yang merupakan respon terhadap rangsangan menakutkan yang terjadi, sebab ketakutan yang dialami merupakan respon terhadap kesukaran yang belum terjadi.

  Secarta biologis, kematian didefinisikan sebagai berhentinya semua fungsi vital tubuh meliputi detak jantung, aktifitas otak, seta pernafasan (Singh et. al.,2005). Kematian dinyatakan terjadi ketika nafas dan denyut jantung individu telah berhenti selama beberapa waktu yang signifikan atau ketika seluruh aktifitas syaraf otak berhenti bekerja (Papalia et. al., 2012). Chusairi (2007) menyatakan kematian merupakan pengalaman yang tidak bisa dihindari terjadi setiap saat, maka dari itulah hal ini dapat menimbulkan kecemasan dalam diri individu. Belsky (Henderson, 2012) menggambarkan kecemasan terhadap kematian sebagai pemikiran, ketakutan, dan emosi tentang peristiwa terakhir dari hidup yang dialami individu dibawah kondisi

  • kondisi hidup yang normal. Dengan kata lain, seseorang akan mengalami kecemasan yang berbeda - beda tentang kematian yang setiap saat bisa terjadi.

  Rattan (Anggreiny, 2009) berpendapat kecemasan terhadap kematian adalah kecemasan yang muncul disaat orang memikirkan akan mengahadapi kematian, memiliki pengalaman atau situasi dimana dirinya dalam keadaan hampir mati, membaca atau mendapat pengetahuan tentang kematian yang kemudian menimbulkan ketakutan. Tomer (Fry, 2013) mendefinisikan kecemasan menghadapi kematian sebagai ketakutan akan mati dan proses menjelang kematian yang dialami oleh individu dalam kehidupan sehari - hari, hal ini disebabkan sebagai antisipasi dasar kematian. Menurut Templer kecemasan menghadapi kematian (death anxiety) adalah suatu kondisi emosional yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang (secara subyektif) manakala memikirkan kematian (Schaie dan Willis, 2010).

  Menurut Blackburn dan Davidson (1994), kecemasan menghadapi kematian merupakan gejala fisik maupun psikologis yang tidak menyenangkan sebagai reaksi terhadap adanya perasaan takut yang subjektif, kabur, dan tidak jelas terhadap datangnya kematian itu, yang ditandai dengan munculnya perubahan suasana hati, motivasi, dan gejala biologis seperti jantung berdebar - debar, maupun tampak pada perilaku berupa gugup, gelisah, dan kewaspadaan yang berlebihan. Pada peneitian ini, teori kecemasan menghadapi kematian mengacu pada pendapat Blackburn dan Davidson.

  Untuk mengukur tingkat kecemasan terhadap kematian menggunakan alat ukur Death Anxiety Questionnaire yang merupakan salah satu skala yang dikembangkan untuk mengukur tingkat kecemasan kematian. Terdiri dari 15 item, untuk masing - masing item menunjukan respon pasien. Setiap item dinilai pada skala bernilai 0 (tidak merasakan) sampai 2 (sangat banyak). Dengan kisaran skor nilai total 0-30, dimana kurang dari 7 menunjukan tidak ada kecemasan, 7 - 13 menunjukan kecemasan ringan, 14

  • 20 menunujukan kecemasan sedang, 20 - 26 menunjukna tingkat kecemasan berat, 27 - 30 menunjukan kecemasan sangat berat (Conte, Weiner & Plutchik, 1982 dalam Hiroko & Ahmed, 2006).

  Menurut Forner dan Neimeyer (dalam Gire & Eyetesmitan, 2009), kematian itu tidak dapat digambarkan dalam kehidupan individu tetapi telah dikonsepsikan yaitu :

  a. Kecemasan kematian pada dirinya Berkaitan dengan takut akan peristiwa dari pengalaman kematian dan meliputi hal - hal seperti apa yang akan terjadi pada individu yang telah mati terlebih dahulu. Bagi beberapa individu, bisa menjadi takut karena penghukuman untuk orang yang telah mati yaitu akan pergi ke surga atau ke neraka, ketakutan dari pembakaran mayat, penguburan bumi, dan apa yang akan terjadi kepada individu - individu yang ditinggalkan.

  b. Kecemasan akan kematian pada yang lain Pengalaman individu dari kematian yang terjadi pada individu lain yang penting bagi dirinya, terutama anggota keluarga dan teman dekatnya.

  c. Kecemasan sekarat pada dirinya Ketakutan menjelang kematian diri sendiri yang dirasakan individu akan berbeda dengan kecemasan akan kematian orang lain. Beberapa individu tidak takut akan kematian dirinya sendiri, tetapi individu sangat khawatir akan bagaimana individu akan mati. Hal yang menarik yang sering dilakukan individu untuk menghilangkan kecemasan akan kematian adalah dengan memboroskan uang untuk bepergian, meningkatkan penampilan fisik individu yang sebentar lagi akan membusuk setelah individu mati, dan yang menyakitkan adalah semua individu lakukan menjelang kematian walaupun harus membuang waktu dan uang.

  d. Kecemasan akan sekarat pada yang lain Serupa dengan takut akan sekarat dari diri sendiri, yang menjadi perbedaannya adalah bahwa individu tersebut mungkin punya ketertarikan tentang proses menjelang kematian dari individu yang lain yang penting didalam hidupnya.

B. Kerangka Teori

  Kerangka teori merupakan rangkaian teori yang mendasari suatu topik penelitian yang akan diteliti (Saryono, 2010). Kerangka teori dalam penelitian ini adalah :

  • Teori Biologis - Teori Psikologis - Teori Sosial - Teori Spiritual
  • Pengalaman - Respon terhadap stimulus
  • Usia - Gender 2.
  • Dukungan keluarga
  • Kondisi lingkungan

Gambar 2.2 Kerangka Teori

  Sumber : Maryam (2008) dan Trismiatri (2011)

  Lansia Faktor- factor yang mempengaruhi kecemasan

  Factor eksternal

  kecemasan menghadapi kematian

1. Factor internal

C. Kerangka Konsep

  Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana peneliti menyusun teori/ menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah (Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

  Keterangan : : Yang diteliti : Arah penelitian

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

  

Tingkat Kecemasan Lansia Menghadapi Kematian