Lilis Dwi H. BAB II
BAB II LANDASAN TEORI A. Bilangan Bulat Himpunan bilangan – bilangan {…..,-3,-2,-1,0,1,2,3,…..} disebut
himpunan bilangan bulat dan diberi simbol dengan hurup besar B. Anggota – anggota dari {-1,-2,-3,…..} disebut bilangan – bilangan bulat negatif.
Definisi II.A.1
Sistem bilangan bulat terdiri atas himpunan
B = { ....., −
3 , − 2 , − 1 , , 1 , 2 , 3 ,...... } dengan operasi biner penjumlahan ( ) + dan perkalian untuk a, b, c bilangan – bilangan bulat sebarang.
( ) ×
Memenuhi sifat – sifat :
- 1. Sifat tertutup terhadap penjumlahan. Jika a , b ∈ B maka ( a b ) ∈ B
2. Sifat tertutup terhadap perkalian. Jika a , b ∈ B maka ( a × b ) ∈ B
3. Sifat komutatif penjumlahan,
a b = b a
4. Sifat komutatif perkalian, a × b = b × a
5. Sifat assosiatif penjumlahan, a b c a ( b c )
( ) =
6. Sifat assosiatif perkalian, ( a × b ) × c = a × ( b × c )
7. Sifat distributif kiri perkalian terhadap penjumlahan,
a × ( b c ) ( + = a × b ) ( a × c ) +
8. Sifat distributif kanan perkalian terhadap penjumlahan,
( a b ) × c = ( a × c ) ( b × c ) + +
4
9. Jika a bilangan bulat maka ( ) ( ) = + − = − + a a a a , ( ) a − disebut lawan ( invers ) penjumlahan dari a. Hal ini menyatakan bahwa untuk setiap bilangan bulat a ada dengan tunggal bilangan bulat ( ) a − sedemikian hingga
( ) ( ) = + − = − + a a a a
10. Untuk setiap a , ada dengan tunggal elemen dalam B sehingga
a a a
= + = + , 0 disebut elemen identitas penjumlahan.
11. Untuk setiap a , ada dengan tunggal elemen 1 dalam B sehingga
a a a = × = ×
1 1 , 1 disebut elemen identitas perkalian.
B. Matriks Definisi II.B.1 ( Ali, 2004 : 81 )
Matriks adalah suatu susunan elemen-elemen atau entri-entri yang diatur dalam bentuk baris dan kolom. Susunan elemen ini diletakkan dalam tanda kurung biasa ( ), atau kurung siku [ ]. Elemen-elemen atau entri-entri tersebut dapat berupa bilangan atau berupa huruf.
= mn m m m n n
a a a a a a a a a a a a A
....
. . . . . .... ....
3 2 1 2 23 22 21 1 13 12 11 Matriks ] [ ij A a = , dengan i dan j merupakan bilangan asli yang menunjukan baris ke-i dan kolom ke-j.
Matriks dinotasikan dengan huruf kapital seperti A, B, C dan seterusnya. Sedangkan elemennya, jika berupa huruf, maka ditulis dengan huruf kecil.
1. Macam – macam matriks
a. Matriks persegi, ialah suatu matriks yang memiliki baris dan kolom yang sama banyaknya ( m = n ) Contoh II.B.1 : Matriks persegi m = n = 4
2
2
4
4
1
7
7
A =
1
2
3 4
5
1
4
1
b. Matriks diagonal, ialah suatu matriks persegi dimana semua elemen di luar diagonal utama mempunyai nilai 0 dan paling tidak satu elemen pada diagonal utama , biasanya diberi simbol D.
≠
Contoh II.B.2 :
1
D =
3
2
c. Matriks identitas, ialah suatu matriks persegi dimana elemen – elemennya mempunyai nilai 1 pada diagonal utama dan 0 pada tempat
- – tempat lain di luar diagonal utama. Contoh II.B.3 :
1
E =
1 1
d. Matriks skalar, ialah suatu bilangan konstan. Jika k suatu bilangan konstan, maka hasil kali k.I dinamakan matriks skalar.
Contoh II.B.4 :
a a a a a a A
berukuran ( m n × ) maka
T
matriks A
a berukuran ( n m × ) maka transpose dari A adalah
g. Matriks Transpose Misal A = ] [ ij
a a a a a a A
= 33 32 31 22 21 11
Contoh II.B.6 :
A a = disebut matriks segi tiga bawah jika = ij a untuk < . j i
f. Matriks segi tiga bawah, ialah matriks persegi dimana elemen – elemen yang terletak di atas diagonal utama semuanya nol, atau matriks ] [ ij
= 33 23 22 13 12 11
Contoh II.B.5:
A a = disebut matriks segi tiga atas jika = ij a untuk j i > .
e. Matriks segi tiga atas, ialah matriks persegi dimana elemen – elemen yang terletak di bawah diagonal utama semuanya nol, atau matriks ] [ ij
1 .
1
1
I k
k k k k
=
=
A T = ] [ ji a .
- + B
− − =
Contoh II.B.8 :
− − =
5
1
3
1
6
2
3
2
1 A maka,
5
h. Matriks Simetris, ialah matriks yang transposenya sama dengan dirinya sendiri, dengan perkataan lain bila T
1
3
1
6
2
3
2
1 T A
i. Matriks Orthogonal
Definisi II.B.2 ( Howard, 1985 : 216 )
Matriks A adalah sebuah matriks persegi n n × dengan sifat
I A A AA T T
= = atau 1
−
A A = atau ji ij = a a
T A T
Contoh II.B.7 :
3
=
6
5
4
3
2
1 A maka
=
6
4
2
5
1 T
T = B
A
Beberapa sifat matriks transpose :
a. ( A + B )
T = A
T
T
b. (A
T )
T = A c.
λ ( A
T ) = (
λ
A) T
d. ( AB )
= A A T dikatakan matriks orthogonal. Contoh II.B.9 : −
1
A =
−
1
−
1 T maka
A =
−
1
1
1
1 T − − sehingga AA = =
I
=
1
1
1 − −
1.
Rank Matriks Definisi II.C.2 ( Howard , 1985 : 174 )
Dimensi ruang baris dan ruang kolom dari sebuah matriks A dinamakan rank dari A, ditulis rank(A) Contoh II.B.10 :
1 2 −
1
Diberikan matriks A =
2 6 − 3 −
3
3 10 − 6 − 5 dengan serangkaian operasi baris elementer ( OBE ), dapat ditentukan rank(A), yaitu :
1 2 −
1
1 2 −
1
A =
2 6 − 3 − 3 b − 2
2 b A =
1 2 − 3 −1
3 10 − 6 − 5 b − 3
3 b
1 4 − 6 − 5 b − 3 2 b 2 1 2 −
1
A =
2 − 3 −
1
Dari langkah tersebut, terlihat bahwa banyaknya baris yang taknol pada matriks terakhir adalah 2, maka rank(A) = 2
Definisi II.B.3
b. Diberikan matriks
5
1
14
2
− − =
1 B dengan menggunakan operasi baris elementer, didapat :
5
1
4
6
2
=
A ( rank(A) = n ), maka matriks A mempunyai rank kolom penuh.
Diberikan matriks A berukuran n m × , matriks A dikatakan mempunyai rank kolom penuh ( full column rank ) jika rank(A) = n dan mempunyai rank baris penuh ( full row rank ) jika rank(A) = m Contoh II.B.11 :
1 A rank(A) = 2 dan rank(A) sesuai dengan banyaknya kolom pada matriks
2
2
− =
1 A dengan menggunakan operasi baris elementer, didapat :
2
3
4
5
6
=
a. Diberikan matriks
1 B rank(B) = 2 dan rank(B) sesuai dengan banyaknya baris pada matriks B ( rank(B) = m ), maka matriks B mempunyai rank baris penuh.
2. Operasi matriks a. Operasi Penjumlahan
Definisi II.B.4 ( Howard, 1985 : 27 )
Jika A dan B adalah sebarang dua matriks yang ukurannya sama, maka jumlah A + B adalah matriks yang didapatkan dengan menambahkan bersama – sama entri yang bersangkutan di dalam kedua matriks tersebut. Matriks – matriks yang ukurannya berbeda tidak dapat dijumlahkan. Contoh II.C.12 : Diberikan matriks :
5 3 −
2
6
2
A = B = C =
2
1 4 − 3 −
8 maka
3
9
A B = +
6 −
2 sedangkan A + C dan B + C tidak didefinisikan karena matriks C ukurannya berbeda dengan matriks A dan matriks B.
b. Operasi Perkalian Definisi II.B.5 ( Howard, 1985 : 28 )
Jika A adalah sebuah matriks m × dan B adalah matriks r r × , n maka hasil kali AB adalah matriks m × n yang entri – entrinya ditentukan sebagai berikut. Untuk mencari entri di dalam baris i dan kolom j dari AB, maka pilihlah baris i dari matriks A dan kolom j dari matriks B. Kalikanlah entri – entri yang bersangkutan dari baris dan kolom tersebut bersama – sama dan kemudian tambahkanlah hasil perkalian yang dihasilkan.
Contoh II.B.13 : Diberikan matriks :
4
1
4
3
1
2
4
A = B = −
1
3
1
2
6
2
7
5
2 maka
12
27
30
13
AB =
8 −
4
26
12
Sifat II.B.1 ( Howard, 1985 : 33 )
Secara umum perkalian matriks tidak bersifat komutatif, yaitu tidak selalu berlaku AB = BA Contoh II.B.14 :
2
4
6
1 −
Diberikan matriks A = dan matriks B =
3
1
4
1 dengan mengalikannya maka akan memberikan :
4
2
AB =
22
4
9
25 −
BA =
5
17 −
jadi AB ≠ BA
10). ( ) lC kC C l k + = +
2
C kC kB B k − = −
( ) kC kB C B k + = + 9). ( )
( Sifat distributif ) 5). ( ) CA BA A C B + = + ( Sifat distributif ) 6). ( ) AC AB C B A − = − 7). ( ) CA BA A C B − = − 8).
( ) AC AB C B A
1). A B B A + = + ( Sifat komutatif pada penjumlahan ) 2). ( ) ( ) C B A C B A + + = + + ( Sifat asosiatif pada penjumlahan ) 3). ( ) ( ) C AB BC A = ( Sifat asosiatif pada perkalian ) 4).
2 A dengan k = 2 Penjumlahan dua matriks, perkalian skalar dan perkalian dua matriks, memenuhi sifat sebagai berikut :
2
3
2
1
4
6
4
8
Definisi II.B.6 ( Howard, 1985 : 27 )
− =
− =
3 A maka
2
1
4
− =
Jika A adalah suatu matriks dan k adalah suatu skalar, maka hasil kali ( product ) kA adalah matriks yang diperoleh dengan mengalikan masing – masing entri dari A oleh k. Contoh II.B.15 : Diberikan
- = +
11). ( k − l ) C = kC − lC 12). ( ) kl C = k ( ) lC 13). k ( ) ( ) BC = kB C = B (kC )
k, l adalah skalar C.
Fungsi Determinan Definisi II.C.1 ( Howard, 1985: 67 )
Diberikan A adalah matriks persegi n × n . Fungsi determinan dinyatakan oleh det( A ), dan det( A ) didefinisikan sebagai jumlah semua hasil kali elementer bertanda dari A. Jumlah det( A ) dinamakan determinan A. Contoh II.C.1 :
a a
11 12 det = a a − a a 11 22 12 21
a a 21 22
Selanjutnya akan diperlihatkan hubungan dari invers matriks dengan determinan matriks.
Definisi II.C.2 ( Howard, 1985 : 83 )
Jika A adalah matriks persegi, maka minor entri a dinyatakan oleh M ij ij dan didefinisikan sebagai determinan submatriks A setelah baris ke i dan i j + kolom ke j dihilangkan dari A. Bilangan ( ) −1 M dinyatakan oleh C dan ij ij dinamakan kofaktor entri a . ij Contoh II.C.2 :
3
1
4 −
Diberikan A
2
5
6 =
1
4 8 Minor entri a adalah : 11
3 1 −
4
5
6
M = 11
2
5 6 = =
16
4
8
1
4
8
Kofaktor a adalah : 11 1 1
- C = ( ) 11 −
- C = ( ) − 32
- − − − =
- 1
- v k v k w =
- Jadi w
- 5 λ
- 3
+
adalah matriks n × n yang kolomnya adalah vektor – vektor orthonormal. Misalkan rank(A) = r, bisa diasumsikan r kolom pertama dari V adalah vektor T T 2 σ eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen dari A A , yaitu A Av = v , i i i untuk i = 1, 2, 3, ...., r. Sisanya, n – r kolom dalam V adalah vektor – vektor T eigen dari A A berkorespondensi dengan nilai eigen nolnya. Karena kolom dari V orthonormal, maka V matriks yang orthogonal. Dari sini terbentuk matriks V dengan elemen – elemen yang terdefinisi.- =
- .... ....
- A >+ memenuhi sifat – sifat berikut
- 3.
- ×m n
- AA = AA A A
- #
- + # Dengan cara yang sama, A A = A A .
+ + #
- + + + + # A A A = A AA = A .
- + # +
- − − −
- + + T + T Akibatnya, A = (USV ) = VS U .
- + + T T + T T + T + +
- + + + T + T
- + + T + T T T
- = USS SV = USV = A ; dengan mengingat sifat SS .
- + T + T T + T + +
- + T + T + T T T T
- + + T T T +
- + + + + T T
- + Matriks A ini disebut p-invers dari A, yang merupakan singkatan dari pseudo-inverse dan diartikan sebagai invers semu dari A.
-1
adalah invers semu kanan dari C.- -1
1 M = M = 11 11
16 Demikian juga, minor entri a adalah : 32
3 1 −
4
3
4 −
M = 32
2
5 6 = =
26
2
6
1
4 8
Kofaktor a adalah : 32 3 2
1 M = − M = − 32 32
26 Determinan dari matriks A dapat dihitung dengan mengalikan entri – entri dalam baris pertama A dengan kofaktor – kofaktornya dan menambahkan hasil kalinya. Metode menghitung det( A ) ini dinamakan ekspansi kofaktor sepanjang baris pertama A.
Contoh II.C.3 :
3
1
Diberikan matriks
A = − 2 −
4
3
5 4 −
2
maka −
4 3 −
2 3 − 2 −
4 3 − 1 + det ( ) A = 4 −
2 5 −
2
5
4
6
− −
16
10
12
16
2
4
16
12
2
dan adjoint A adalah adj ( )
− − =
16
16
16
10
2
6
12
4
3 A Sehingga matriks kofaktor A adalah :
1
( ) ( )
..... ..... ..... ..... ..... .....
1
11
1
4
3 − =
Definisi II.C.3 (Howard, 1985:88)
Jika A adalah sebarang matriks n n × dan C ij adalah kofaktor a ij , maka martiks
nn n n n n
C C C C C C C C C .....
2 1 2 22 21 1 12 11 Dinamakan matriks kofaktor A. Transpose matriks ini dinamakan adjoint dari A
1
dan dinyatakan dengan adj
( ) A .
Contoh II.C.4 : Diberikan
− −
=
4
2
3
6
12 A
D. Invers Matriks Definisi II.D.1 ( Howard , 1985 : 38 )
Jika A adalah matriks persegi, dan jika dapat dicari matriks B sehingga
AB = BA = I , maka A dikatakan dapat dibalik ( invertible ) dan B dinamakan invers ( inverse ) dari A.
Teorema II.D.1 ( Howard, 1985 : 39 ) Jika B dan C keduanya adalah invers dari matriks A, maka B = C.
Bukti : Karena B adalah invers A, maka BA = . Dengan mengalikan kedua ruas dari
I
sebelah kanan dengan C maka akan memberikan ( ) BA C =
IC = C . Tetapi BA C B AC BI B , sehingga B = C
( ) = ( ) = =
Metode / cara mencari invers matriks :
1. Metode Adjoint Langkah – langkahnya adalah :
a. Menentukan nilai determinan dari matriks
b. Menentukan adjoint matriks
c. Mengalikan Adjoint matriks dengan kebalikan determinan 1
1
− A = ⋅ adj ( ) A
det ( ) A Contoh II.D.1 :
1
2
3
5 Diberikan matriks C =
4
1 3
4
14 3 −
5 Adj (C) = − 10 −
1 3
det ( ) C = 4
4
1
1
14 3 −
5 7 /
2 3 / 4 − 5 /
4 Jadi C = =
4 − 10 −
1 3 − 5 / 2 − 1 /
4 3 / 4
2. Metode Transformasi Elementer baris Diberikan A , dan A merupakan matriks non singular ( det ( ) A ≠ ) n × n 1
−
maka A
I → A
I [ ]
[ ]
Contoh II.D.2 :
1
1
Diberikan matriks A=
4
3
1
1 1
1
1 1 A I =
[ ]
1
1
1
b − b − −
1
4
3
1 2 1
4 b 2
4
4
4
1
1 1 b b 1 + 2 1 −
3 1
− 1 −
4 1 − 1 −
4 1 − b 2
1 −
3 1 1
−
=
I A [ ]
1 4 −
1
−
3
1
− 1 Jadi A =
4 −
1
E. Kombinasi Linier
Definisi II.E.1 ( Howard, 1985 : 148 )
Sebuah vektor w dinamakan kombinasi linier dari vektor – vektor r
,....... v v v , 2 1
jika vektor tersebut dapat diungkapkan dalam bentuk : r r + v k v k v k w + + = ....... 2 2 1 1 dimana r
,......., k k k , 2 1 adalah skalar.
Contoh II.E.1: Diambil vektor ) 1 ,
2 , 1 ( 1 − = v dan ) 2 , 4 , 6 ( 2 = v didalam 3 R , akan dinyatakan bahwa )
7 , 2 , = 9 ( w adalah kombinasi linier dari 1
v dan 2 v .
Supaya w merupakan kombinasi linier dari 1
v dan 2 v , maka harus ada skalar 1 k dan 2 k sehingga 2 2 1 1
( ) ( ) ( )
2 ,
4 ,2
k k k k k k
= + = +
6 2 1 2 1 2 1 = + −
9
2
4
2
7
6 1 , 2 ,
2 , 9 k k k k k k + − + + = artinya
4 2 , 6 7 ,
2 ,
( ) ( ) 2 1 2 1 2 1
atau
diperoleh
1 7 , 2 ,
9 2 1 + k k − = atau dapat dituliskan :
9
1
6
k
1 2 =
2
4
k 2
7 −
1
2 dengan menyelesaikan persamaan diatas diperoleh k = − 1 3 , k = 2
2
3 v 2 v = − 1 2 F.
Dekomposisi Nilai Singular
Sebelum dekomposisi nilai singular, terlebih dahulu dibahas mengenai nilai eigen dan vektor eigen. Berikut ini definisi dari vektor eigen dan nilai eigen.
Definisi II.F.1 ( Howard, 1985 : 279 ) n
Jika A adalah matriks persegi n × n , maka vektor tak nol x didalam R dinamakan vektor eigen dari A jika Ax adalah kelipatan skalar dari x, yaitu λ λ . Skalar λ dinamakan nilai eigen dari A dan x
Ax = x untuk suatu skalar
λ dikatakan vektor eigen yang bersesuaian dengan λ
Mencari nilai eigen : menyelesaikan persamaan karakteristik det ( A − I ) = sehingga didapat akar – akar persamaannya.
Mencari vektor eigen : menentukan basis untuk ruang solusi ( A −
I ) x =
λ untuk λ yang bersesuaian.
Contoh II.F.1 :
4
2
A =
3 −
1 Persamaan karakteristiknya :
4 2 4 − λ 2
λI λ λ det − = det = ( 4 − )( − 1 − ) − 6 =
3 − 1 3 − 1 − λ
(
4 − λ )( − 1 − λ ) − 2 6 = λ λ λ
⇒ − + 4 − − 2 4 − 6 = λ 3 λ
10 ⇒ − − =
λ
2 ⇒ ( − )( ) = ⇒ λ = 1 5 λ = − 2
2 Nilai eigennya adalah λ
5 dan λ
2
1 = = − 2 x Vektor eigen yang bersesuaian dengan λ = 1 5 , misalkan v = 1
y
4 − 5 2 x −
1 2 x
= ⇒ = 3 −
1 − 5 y 3 − 6 y
Sehingga –x + 2y = 0 atau -x + 2y = 0 α
3x – 6y = 0 x = 2y, misal y = α
2
2
α maka v = = 1
α
1
2
Jadi vektor merupakan vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen
1
λ = 1
5
4
2
2
10
2
= =
5 3 −
1
1
5
1
Definisi II.F.2 ( NN, 2007 : 6 )
Diberikan matriks A , dengan rank(A) = r, nilai eigen dari matriks m n T × adalah :
A A
λ ≥ λ ≥ ..... ≥ λ > λ = ......... = λ = 1 2 r r 1 n
1
Tentukan nilai singular dari matriks A =
1
1
2
1 T
A A =
1
1
3
5
T ±
Nilai eigen dari A A adalah , sehingga nilai singular dari A adalah
2
5 3 −
5 dan
2
2 Definisi II.F.3 ( NN, 2007 : 11 ) Diberikan A matriks berukuran σ dikatakan nilai
m × , bilangan positif n
m nsingular matriks A jika ada vektor tak nol u ∈ R dan v ∈ R , sedemikian sehingga T σ
Av = u dan A u = σ v
Dari pengertian nilai eigen dan nilai singular matriks A, dapat dinyatakan 2 T hubungan bahwa jika A A maka λ merupakan nilai λ nilai eigen matriks singular matriks A.
Definisi II.F.4 ( Howard, 1985 : 193 )
Sebuah himpunan dari vektor – vektor di dalam sebuah ruang perkalian dalam dinamakan himpunan orthogonal jika semua pasangan vektor – vektor yang berbeda di dalam himpunan tersebut orthogonal. Sebuah himpunan dimana setiap vektor mempunyai norm / jarak sama dengan 1
orthogonal dinamakan ortonormal.
Teorema II.F.1 ( Datta dalam Ariyanti, 2008 : 2 )
Jika diberikan A matriks berukuran m × n dengan rank r, maka terdapat T matriks orthogonal U dan m n m n V sedemikian sehingga A = USV dengan S
× ×
adalah matriks m × dengan bentuk n σ σ σ
S = diag ( ) ∑ , = diag ( , ,......., , ,......., ) 1 2 r
σ σ σ Dengan , ,......, adalah nilai – nilai singular dari A. 1 2 r
Bukti : T T
Dapat ditunjukan bahwa A A dan AA adalah matriks simetri. Oleh karena itu nilai eigen tak nolnya adalah positif dan sama serta akar positif dari nilai eigen didefinisikan sebagai nilai singular matriks A. Diberikan :
V = v v v .... v v .... v [ ] 1 2 3 r r 1 n
Selanjutnya didefinisikan U sebagai berikut : untuk i = 1, 2,.....,r dibentuk
u = ( ) i i i 1 σ Av dimana himpunan { u , u ,....., u } adalah orthonormal. Sebanyak r vektor 1 2 r orthonormal ini membentuk r kolom pertama dari U.
2
V Kemudian matriks U dibentuk dari vektor eigen i i i Av u 1
v v
2 2 1
2
2
2
2
= σ
2
2
= =
−
[ ]
Sehingga dapat dibentuk matriks orthogonal V :
−
, yaitu
2
=
2 2
6
6
6
6
6
6
u , dan
2 1
2
2
2
− =
2 2 v , himpunan vektor – vektor eigen tersebut orthonormal.
2
Selanjutnya diperlihatkan :
σ σ σ σ
1
1
=
σ σ Contoh II.F.3 : Tentukan dekomposisi nilai singular matriks
1 1 1 1 1 1 1 1
1 A
.... ....
.... .... .... ....
= = = = =
U u u Av Av Av Av U T r r r T r r r T n r r T
[ ] S e e U u u U
[ ] [ ] [ ]
[ ] n r r T T A v v v v U AV U .... .... 1 1
1
2
2
=
v dan
2 1
2
2
=
−
1 2 1 = = λ λ , masing – masing berkorespondensi dengan vektor eigen
2 A A T , nilai eigen dari matriks ini adalah 3 ,
1
1
2
=
u
1 A
2
1
1
1
2
6
6
2
V G.
6
6
2
2
6
6
U S T
Pseudoinvers ( Invers semu suatu matriks n m A
3
( )
A
, terdapat dengan tunggal matriks
A ×
Untuk sebuah matriks n m
Teorema II.G.1
= AA AA T
= 4.
× ) Definisi II.G.1 ( Boullion dan Odell, 1971 : 41 )
( ) A A A A T
2. A A AA =
= A AA A
× m n dikatakan sebagai pseudoinvers dari matriks A jika dan hanya jika A
berukuran
× , sebuah matriks n m
Diberikan matriks A berukuran
1
2
sehingga bentuk matriks orthogonal U adalah :
6
2 2 1 U u u Matriks singular
6
6
2
2
6
2
2
6
6
− = =
[ ]
=
2
=
2
2
2
2
2
2
3
− =
−
1 S Dekomposisi nilai singular :
Bukti :
Akan dibuktikan sifat ketunggalan dari invers semu suatu matriks # Misal A adalah sebarang matriks yang memenuhi sifat 1 sampai sifat sampai 4 pada Definisi II.G.1 Dari Definisi II.G.1.2 # #
( )
Dari persamaan ini, dan karena matriks – matriks AA dan AA simetri, menurut Definisi II.G.1.4 # # # # # # T T T T
AA AA AA AA AA AA AA AA AA A A = AA
= = = = =
( ) ( )( ) ( ) ( ) ( ) ( )
# # +
Dengan mengalikan AA = AA dari kiri dengan A dan menurut Definisi
II.G.1.1 maka diperoleh
# + # # # + # A AA = A AA atau A = A AA .
Selanjutnya, dengan mengalikan A A = A A dari kanan dengan A diperoleh
Hal ini membuktikan, A = A , artinya A tunggal Selanjutnya, dibuktikan eksistensi matriks invers semu dari A.
Menurut Teorema II.F.1, untuk setiap matriks A terdapat matriks-matriks m × n
T
orhogonal U, V dan matriks S sedemikian sehingga A = USV dengan σ σ σ
S = diag ( ) ∑ , = diag ( , ,......., , ,......., ) 1 2 r didefinisikan : 1 1 1
σ σ σ
S = diag ∑ , = diag , ,......., , ,......., 1 2 r ( ) ( )
T +
Dibuktikan, VS U memenuhi keempat sifat pada Definisi II.G.1 Sifat –sifat :
1. A AA = VS U AVS U = VS U USV
VS U
= VS SS U = VS U = A
2. AA A = AVS U A = USV
VS U USV T T +
3. Dengan menggunakan (S S ) = S S dan A A = VS U USV = VS SV ,
(A A ) = (VS U USV ) = (VS SV )
= V(S S)
V = VS SV = A A
4. Dengan menggunakan (SS ) = SS dan AA = USS U
T + T T T + + T T
(AA ) = (USV
VS U ) = (USS U ) T T + T + +
= U(SS ) U = USS U = AA
Bukti :
T )
T (CC
Lemma II.G.1 Diberikan C matriks atas bilangan real.
1. Jika C matriks dengan rank baris penuh ( jika m < n dan rank (C) = m), T