BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PERAN PPAT DALAM PERKARA PENGUASAAN SEPIHAK ATAS TANAH HARTA WARISAN (Putusan P.A. Sbr. No : 2594/Pdt.G/2015) - Unissula Repository

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan

  hukum,maka keberadaan, kedudukan, fungsi, tugas kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dari institusi, organ-organ dan/atau alat-alat perlengkapan Negara ini diatur dengan Undang-Undang yang mengacu pada sistem Hukum Indonesia dan tidak boleh bertentangan dengan cita-cita Proklamasi sebagaimana tertuang dalam Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945. Menurut sistem Hukum Indonesia, organ-organ dan/atau alat perlengkapan Negara yang mempunyai kewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat itu salah satunya adalah PPAT.

  Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum

  

1

  tertentu mengenai hak atas tanah. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memang pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang- undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlndungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga 1 Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat

  

Pembuata Akta Tanah: Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 . 2007 (Jakarta: Media Makmur Majumandiri) hal 3. karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan sangat diperlukan dalam kaitannya pendaftaran tanah yang efektif di indonesia dan dalam rangka menghadapi kasus-kasus yang konkret

  2 di masyarakat, sangat diperlukan peraturan pelaksanaan dari UUPA.

  Keberadaan peraturan pelaksanaan ini akan berguna bagi para pemegang hak atas tanah untuk membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya. Selain itu berguna pula bagi para pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan serta bagi pemerintah berguna untuk pelaksanaan kebijakan pertanahan secara nasional.

  Untuk itu, sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (disingkat PP 24/1997) Tentang Pendaftaran Tanah, serta Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 (disingkat PermenAgra/Ka.BPN

  3 3/1997) tentang peraturan pelaksanaan PP 24/1997.

  Dengan demikian dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah sesuai PP 24/1997 dan 2 N.G. Yudara, 2006, Pokok-pokok Pemikiran Seputar Kedudukan dan Fungsi PPAT

  serta Akta PPAT Menurut Sistem Hukum Indonesia, Majalah Renvoi, hal 72 3 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaan , Djambatan, Jakarta, hal 69.

  PermenAgra/Ka.BPN 3/1997, maka pemerintah diwajibkan melakukan kegiatan pendaftaran terhadap seluruh bidang tanah di wilayah indonesia baik diproses secara sistematis melalui panitia ajudikasi maupun sporadik melalui inisiatif pemilik tanah sendiri di kantor Pertanahan.

  Berdaskan pasal 42 ayat 2 PP.24/1997 tanah yang merupakan warisan belum didaftar wajib dilampirkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kewarisan dalam proses pendaftaran haknya. Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang

  4 yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.

  Hukum waris itu sendiri sangat berkaitan dengan pewarisan dimana mengandung arti bahwa pewarisan adalah perpindahan hak milik kepada pihak lain karena pemiliknya meninggal dunia menyebabkan Peralihan hak milik terjadi demi hukum, artinya dengan meninggalnya pemilik harta waris, maka ahli waris harusnya memperoleh atau mendapat bagian dari harta warisan tersebut, peralihan atas hak waris yang berupa tanah melalui surat keterangan waris yang dibuat oleh para ahli waris, diketahui atau disahkan oleh pejabat yang berwenang, kemudian dilakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan setempat agar dicatat dalam buku tanah tentang pemegang hak

  

5

yang baru yaitu atas nama ahli waris.

4 Ahmad Rhofiq, 2003, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.

  355 5 Soepomo, 1984, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita cetakan ke-9, Jakarta, hal. 82

  Berkaitan dengan masalah kewarisan ini banyak permasalahan- permasalahan yang terjadi di masyarakat seperti halnya harta waris yang dikuasai kepemilikannya oleh salah satu dari ahli waris.

  Adapun salah satu contohnya di Desa Waruduwur, Kecamatan mundu, Kabupaten Cirebon terdapat kasus penguasaan sepihak atas hartawarisan almarhum Sakrib bin Carseni yang meninggal dunia pada tanggal 20 bulan mei tahun 1984, almarhum meningggalkan warisan berbentuk tanah sawah seluas 7.480m2. Namun setelah meninggalnya pewaris, harta warisan tersebut dikuasai oleh anak ke-2 almarhum yang bernama Darma, dengan dasar telah memilikidaftar ketetapan pokok dan pembayaran Iuran Pendapatan Daerah (IPEDA) No. 103 Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon tahun 1979yang sudah diatasnamakan Darma, maka beranggapan bahwa sudah memiliki alas hak atas tanah waris dan berhak menguasai hak atas tanah warisan tersebut. Padahal semasa hidupnya almarhum mempuyai 10 orang anak yang terdiri dari: a.

  Ny. Tanira binti Sakrib b.

  Ny. Warkeni binti Sakrib c. Ny. Raniti binti Sakrib d.

  Tuan Carya bin Sakrib e. Tuan Suganda bin Sakrib f. Ny. Kuresim binti Sakrib g.

  Ny. Turini binti Sakrib h. Tuan Darma bin Sakrib i.

  Tuan Kadsari bin Sakrib j. Ny. Kasiti bin Sakrib

  Seyogyanya merupakan ahli waris yang seharusnya berhak atas harta warisan almarhum.Peristiwa peguasaan tanah sepihak tersebut awalnya tidak disadari oleh para ahli waris yang lainnya karena beranggapan tanah warisan tersebut bukan harta peninggalan almarhum Sakrib, melainkan milik Darma, karena merasa membayar pajak IPEDA Darma merasa dialah yang memiliki tanah tersebut dan berhak menguasai tanah tersebut.

  Darma beranggapan bahwa surat bukti IPEDA tersebut sudah merupakan bukti kepemilikan tanah, padahal bukti kepemilikan yang sah tercatat di Desa Waruduwurberupa bukti Letter C no. 169 atas nama Sakrib yang diketahui oleh para ahli waris pada tahun 2013.

  Atas peristiwa tersbutmaka para ahli waris yang lain berupaya mendapatkan hak warisnya dengan cara melakukan musyawarah atau mediasipada tahun 2013, yang dihadiri olehmasing-masing ahli waris namun proses mediasi tersebut itu gagal, akhirnya para ahli waris menggugat Darmayang menguasai sepihak tanah warisan tersebut, dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama setempat yaitu Pengadilan Agama Sumber, Kabupaten Cirebon tertanggal 06 mei 2015.

  Dengan tuntutan agar tanah waris tersebut segera dibagikan kepada masing-masing ahli waris yang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dari dasar gugatan tersebut lalu lahirlah Putusan Pengadilan Agama Sumber nomor : 2594/Pdt.G/2015/P.A.Sbr. yang isi Putusannya adalah memutuskan tanah warisan tersebut dikembalikan dan dibagikankepada ahli waris sesuai dengan haknya masing-masing.

  Namun pada kenyataanya setelah keluarnya Putusan Pengadilan tersebut, para ahli waris yang menerima bagian warisan sebagaimana tercantum dalam Putusan tersebut, lalu mereka sepakat menjual bagian waris mereka kepada Darma (sebelumnya disebut sebagai penguasa sepihak atas tanah warisan tersebut).

  Untuk merealisasikan proses penjualan bagian waris setelah keluarnya Putusan Pengadilan Agama Sumber nomor : 2594/Pdt.G/2015/P.A.Sbr, penulis berpendapatbahwa hendaknya dibuatkan Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) ke kantor PPAT setempat agar mendapatkan kepastian hukum atas tanah tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP 24/97 Tentang Pendaftaran Tanah secara tegas menyatakan bahwa setiap peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta dari PPAT kecuali pemindahan hak melalui lelang, atas perbuatan hukum tersebut kemudian dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

  Selanjutnya pada pasal 42 ayat (4) PP 24/1997 menyatakan bahwa dalam hal peralihan hak tersebut juga harus disertai dengan pembuatan akta

  6 pembagian hak warisnya (Akta Pembagian Hak Bersama di singkat APHB).

  Dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul

  “PERAN PPAT DALAM

  6 ibid

  PERKARA PENGUASAAN SEPIHAK ATAS HARTA WARISAN (PUTUSAN P.A. Sbr. NO:2594/Pdt.G/2015 )’’ B.

   Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang diatas maka yang menjadi pokok bahasan atau permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1.

  Bagaimana mekanisme pembagian harta warisan berdasarkan Putusan Pengadilan Agama nomor : 2594/Pdt.G/2015/PA.Sbr? 2. Bagaimanakah proses pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama setelah keluarnya Putusan Pengadilan Agama nomor : 2594/Pdt.G/2015/PA.Sbr?

  3. Apakah kendala dan solusi dalam pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama (APHB)? C.

   Tujuan Penelitian 1.

  Untuk mengkaji dan menjelaskan mekanisme pembagian harta warisan berdasarkan Putusan Pengadilan Agama nomor : 2594/Pdt.G/2015/PA.Sbr;

  2. Untuk mengkaji dan menjelaskan pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama setelah keluarnya Putusan Pengadilan Agama nomor : 2594/Pdt.G/2015/PA.Sbr; 3. Untuk mengkaji kendala dan solusi dalam pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama.

D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun praktis.

  1. Manfaat Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan menjadi suatu konsep ilmiah yang dapat memberikan warna dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentang hukum, khususnya pembagian harta warisan berdasarkan Putusan Pengadilan Agama nomor : 2594/Pdt.G/2015/PA.Sbr, yang dilanjutkan dengan proses pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama.

  2. Manfaat Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik kepada Pembaca, PPAT maupun Penulis sendiri, Adapun manfaat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: a.

  Manfaat bagi pembaca Diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnyapembagian harta warisan berdasarkan Putusan Pengadilan Agama nomor : 2594/Pdt.G/2015/PA.Sbr, yang dilanjutkan dengan proses pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama.

  b.

  Manfaat bagi ahli waris Diharapkanproses pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama menjadi kepastian hukum bagi ahli waris.

  c.

  Manfaat bagi penulis sendiri Diharapkan disamping memenuhi salah satu syarat penyelesaian studi Magister Kenotariatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang, juga untuk menambah pengetahuan serta wawasan dibidang hukum kenotariatan.

E. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual

  Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris. Menurut Soerjono Soekanto, yuridis empiris adalah suatu pendekatan yang dilakukan untuk menganalisa tentang sejauh manakah suatu peraturan/perundang-undangan

  7

  atau hukum yang sedang berlaku secara efektif . Dalam melakukan pendekatan yuridis empiris ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif.

  Menurut Lexy J. Moleong, metode ini digunakan karena beberapa

  8

  pertimbangkan yaitu : “pertama, menyesuaikan metode ini lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden; ketiga metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola- pola nilai yang dihadapi”.

  Dalam hal ini pendekatan tersebut digunakan untuk menganalisis secara kualitatif tentang peran PPAT dalam penguasaan sepihak atas tanah warisan pada Putusan Pengadilan Agama Sbr. nomor : 2594//Pdt.G/2015.

  Sehingga dalam penulisan tesis ini penulis mempergunakan kerangka Teori :

1) Teori Tentang Peran dan Fungsi PPAT

  7 8 Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI, 1982), Hal 52 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,), hal. 5.

  Tugas pokok dan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa: a.

  PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

  b.

  Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: 1) jual beli; 2) tukar menukar; 3) hibah; 4) pemasukan ke dalam perusahaan tertentu; 5) pembagian hak bersama; 6) pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak

  Milik; 7) pemberian Hak Tanggungan;

  9

  8) pemberian Kuasa memberikan Hak Tanggungan.

  Jadi, menurut pernyataan yang disebutkan dalam pasal tersebut di 9 atas, tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan

  Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah: Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 . Opcit, hlm 4-5. pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran tentang perubahan data pendaftaran tanah yang meliputi: jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan tertentu, pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan, dan pemberian Kuasa memberikan Hak Tanggungan. PPAT adalah pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. PPAT dapat melaksanakan tugas pembuatan akta tanah baik di dalam maupun di luar kantornya.

  Hal ini diatur dalam Pasal 52 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa:

  a) PPAT melaksanakan tugas pembuatan akta PPAT di kantornya dengan Dihadiri oleh para pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan.

  b) PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam perbuatan hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT karena alasan yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan aktanya para pihak harus hadir di hadapan PPAT di tempat pembuatan akta yang disepakati.

  Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai peralihan maupun pembebanan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertifikat asli.

  Akta PPAT harus dibuat sedemikian rupasehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu, PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan dengan antara lain mencocokkan data yang terdapat dalam sertifikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.

  Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP No 37 Tahun 1986 Pada prinsipnya akta dibuat sebagai alat bukti yang fungsinya untuk memastikan bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum tentang apa yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam akta tersebut. Oleh karena itu, seorang PPAT harus menuangkan secara jelas perbuatan hukum-perbuatan hukum apa yang dilakukan oleh para pihak, yang ingin dibuktikan dan diketahui dari akta yang dibuat. Akta yang dibuat oleh PPAT jangan sampai memuat rumusan-rumusan yang dapat menimbulkan sengketa karena tidak lengkap dan jelas.

  Akta PPAT yang merupakan akta otentik mempunyai kekuatan mutlak mengenai hal-hal atau peristiwa yang disebut dalam akta, maka

  10 10 yang dibuktikan adalah peristiwanya.

  Adrian Sutedi, 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal.12

  Dalam pembuatan akta otentik harus memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yaitu : (1)

  Akta tersebut harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum; (2)

  Akta tersebut harus dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan didalam undang-undang; (3)

  Pejabat umum yang membuat akta harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta tersebut, baik kewenangan berdasarkan daerah (wilayah) kerjanya atau waktu pada saat akta tersebut dibuat. Sifat tertulis suatu perjanjian yang dituangkan dalam sebuah akta tidak membuat sahnya suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari, karena suatu perjanjian harus dapat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akta PPAT terkait dengan keperluan penyerahan secara yuridis.

  Kewajiban penyerahan surat bukti hak atas tanah yang dijual sangat penting karena Pasa 1482 KUHPerdata menyatakan “kewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik, jika itu ada.

  Jadi, penyerahan sebidang tanah meliputi penyerahan sertifikatnya. Peralihan hak atas tanah dari pemilik kepada penerima disertai dengan penyerahan yuridis (juridische levering), merupakan penyerahan yang harus memenuhi formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan syarat, dilakukan melalui prosedur yang telah ditetapkan, menggunakan

  11 dokumen, dibuat oleh/dihadapan PPAT.

2) Teori TentangPenguasaan Tanah

  Penguasaan adalah proses, cara, perbuatan menguasai atau menguasakan, pemahaman atau kesanggupan untuk menggunakan pengetahuan,kepandaian. Kata penguasaan juga dapat diartikan kemampuan seseorang dalam sesuatu hal menyatakan bahwa penguasaan merupakan kemampuan seseorang yang dapat diwujudkan baik dari teori maupun praktik. Seseorang dapat dikatakan menguasai sesuatu apabila orang tersebut mengerti dan memahami materi atau konsep tersebut sehingga dapat menerapkannya pada situasi atau konsep baru. Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa penguasaan adalah kemampuan seseorang dalam memahami materi atau konsep yang dapat diwujudkan baik teori maupun praktik.

  Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik, dalam arti yuridis juga beraspek perdata. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki.

11 Abdul Kadir Muhammad, 1994, Hukum Acara Perdata, Cetakan I, Citra Aditya Bakti,

  Bandung, hal.55

  Dalam hukum tanah di kenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak penguasaan yang didasarkan pada suatu hak maupun suatu kuasa yang pada kenyataannya memberikan wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya orang yang mempunyai hak.

  Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA dipakai dalam aspek publik, seperti dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA, bahwa : a.

  Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

  b.

  Hak menguasai dari Negara termasuk dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : 1)

  Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; 2)

  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

  c.

  Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) ini digunakan untuk mencapai sebesar- besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejatehraan dan kemerdekaan, berdaulat, adil dan kemakmuran dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesiayang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

  d.

  Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat- masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah 24 tahun 1997: Peraturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah yang ada sebagai lembaga hukum.

  Hak penguasaan tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukumtertentu sebagai pemegang haknya. Dalam hukum tanah nasional ada bermacam-macam hak penguasaan atas tanah yaitu : 1)

  Hak Bangsa Indonesia disebut dalam Pasal 1 UUPA, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik. 2)

  Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA, sematamata beraspek publik.

  3) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 UUPA, beraspek perdata dan publik.

  4) Hak Perseorangan atau Individual, semuanya beraspek perdata terdiri atas :

  Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung atau pun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 UUPA dan

  Pasal 53 UUPA. Macam-macam hak atas tanah dalam Pasal 16 UUPA, menentukan bahwa : Hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh perseorangan itu meliputi : (a)

  Hak Milik (b)

  Hak Guna Usaha (c)

  Hak Guna Bangunan (d)

  Hak Pakai (e)

  Hak Sewa (f)

  Hak Membuka Tanah (g)

  Hak Memungut Hasil Hutan Hak-hak yang lain termasuk dalam hak-hak tersebut di atas akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPABerdasarkan Pasal 16 ayat (1) sub (h) diatur hak atas tanah yang sifatnya sementara sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 53 UUPA hak atas tanah yang sifatnya sementara adalah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.

  Penguasaan terhadap tanah yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataan penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya apabila tanah waris yang dikuasai oleh salah satu dari ahli waris padahal dalam penerapannya tanah warisan tersebut belum dibagikan kepada masing-masing ahli waris namun tanah warisan tersebut disewakan kepada pihak lain, maka tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain dengan hak sewa. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik seluruh ahli waris yang sah.

  Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah

  12 No. 24 Tahun 1997 adalah:

  “Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terusmenerus,berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan datafisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenaibidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasukpemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membe 12 baninya.”Kata-kata “rangkaian kegiatan” menunjuk

  Boedi harsono, 2003, hukum agraria indonesia: sejarah pembentukan undang-undang pokokAgraria, isi dan pelaksnaannya, jilid i (jakarta : djambatan), hal. 460 adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah. Kata- kata “terus menerus” menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan, bahwa sekali dimulai tidak akanada akhirnya.

  Kata “teratur” menunjukkan, bahwa semua kegiatan harusberlandaskan kepada peraturan perundang-undangan yang sesuai. Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengumpulkan data fisik dan data yuridis dari bidang-bidang tanah yang akan didaftar. Sehingga dikatakan, bahwapendaftaran tanah merupakan proses administrasi yang merupakan kewenangan dari Kantor Pertanahan untuk menghasilkan sebuah sertipikat sebagai suatu tanda bukti hak kepemilikan atas sebidang tanah.

  Lebih lanjut menurut Suhadi dan Rofi Wahanisa Pengertian dari pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secam terns menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaandata fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidangbidangtanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai Surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang

  13 membebaninya.

  Berdasar rumusan pengertian dari pendaftaran tanah diatas, dapat disebutkan bahwa unsur-unsur dari pendaftaran tanah

  14

  yaitu: a. rangkaian kegiatan, bahwa kegiatan yang dilakukan dalam pendaftaran tanah adalah, kegiatan mengumpulkan baik data fisik, maupun data yuridis dari tanah; b. oleh pemerintah, bahwa dalam kegiatan pendaftaran tanah ini terdapat instansi khusus yang mempunyai wewenang dan berkompeten, BPN (Badan Pertanahan Nasional); c. teratur dan terus menerus, bahwa proses pendaftaran tanah merupakan suatu kegiatan yang didasarkan dari peraturan perundang-undangan,dan kegiatan ini dilakukan secara terns-menerus, tidak berhenti sampai dengan seseorang mendapatkan tanda bukti hak; d. data tanah, bahwa hasil pertama dari proses pendaftaran tanah adalah, dihasilkannya data fisik dan data yuridis. Data fisik memuat data mengenai tanah, antara lain, lokasi, batas- batas, luas bangunan, Berikut tanaman yang ada di atasnya.

  Sedangkan data yuridis meuat data mengenai haknya, antara 13 lain, hak apa, pemegang haknya, dll;

  Suhadi Dan Rofi Wahasisa, 2008, Buku Ajar Pendaftaran Tanah, (Semarang : Universitas Negeri Semarang), h. 12 14 Ibid,

h. 12-13

  e. wilayah, bisa merupakan wilayah kesatuan administrasi pendaftaran, yang meliputi seluruh wilayah Negara; f. tanah-tanah tertentu, berkaitan dengan oyek dari pendaftaran tanah; g. tanda bukti, adanya tanda bukti kepernil ikan hak yang berupa sertipikat.

  Berkaitan dengan pengaturan Pendaftaran Tanah, untuk pertama kali Indonesia mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun

  15

  1961, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, dan baru berlaku 8 Oktober

  16 1997.

  Sebelum berlaku Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tersebut, dikenal Kantor Kadaster sebagai KantorPendaftaran untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Barat. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tersebut merupakan perintah dari Pasal 19 UUPA yang berbunyi sebagai berikut: 1)

  Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah dilakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan 15 Peraturan Pemerintah.

  AP. Parlindungan, 1994, Pendaftaran Tanah Di Indoesia, Cetakan 2, (Bandung : Mandar Maju) hal. 1 16 Ibid . Hal 5

  2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi:

  a) pengukuran, penetapan, dan pembukuan tanah;

  b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

  c) pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

  3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

  Dalam peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

  Bahwa diterbitkannya sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukumTersedianya data fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah di Kantor Pertanahan.

  Oleh karena itu, Kantor Pertanahan haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang tanah, baik untuk pemerintah sendiri sehingga dapat merencanakan pembangunan negara dan juga bagi masyarakat sendiri informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan terkait tanah. Informasi tersebut dapat bersifat terbuka untuk umum, artinya dapat diberikan informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang bangunan yang ada.Untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal yang wajar.

3) Teori Tentang Warisanmenurut Hukum Agama

  Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al Qur‟an. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering

  17 menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.

  Secara etimologis, faraidh diambil dari kata fardh yang berarti taqdir “ketentuan”. Dalam istilah syara‟ bahwa kata fardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.

  Sedangkan hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak

  18 menerimanya.

  Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats. 17 makna Al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah

  Ahmad Rofiq, 1995, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta, hal.355. 18 Sayyid Sabiq, 2006, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta Selatan, hal.479.

  berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang Sditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal menurut syari‟i.

  Dasar hukum pelaksanaan pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu terdapat dalam Pasal 171-193 KHI. Syarat dan Rukun Pembagian Waris;

  19 a.

  Syarat Pembagian Waris Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu: Meninggal dunianya pewaris yang dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan).

  Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki, hukmi dan taqdiri adalah sebagai berikut : 1)

  Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia. 2)

  Mati hukmi, yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang, tanpa diketahui di mana dan bagaimana

19 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, hal.22

  keadannya. Setelah dilakukan upaya upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia.

  3) Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal. Tanpa ada kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan kepada

  20 ahli waris.

  b.

  Rukun Pembagian Waris Adapun beberapa rukun pembagian waris yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris, Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut : 1)

  Pewaris (Al-Muwarris) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang 20 masih hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan

  A.Rachmad Budiono, 1999, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT.CitraAditya Bakti, Bandung, h.10. mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya. Menurut sistem hukum waris Islam, pewaris adalah orang yang memiliki harta semasa hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama Islam. Baik yang mewariskan maupun yang diwarisi harta warisan harus beragama Islam.Sedangkan pengertian pewaris menurut Pasal 171 KHI huruf b yaitu : “Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. 2)

  Harta Warisan (Al Mauuruts) Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran

  

21

  utang serta wasiat pewaris. Harta warisan menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan harta bersama dikurang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pewaris selama sakit dan setelah meninggal dunia. Misalnya pembayaran hutang, pengurusan jenazah dan pemakaman. Harta warisan dalam hukum waris Islam tidak hanya harta benda tetapi juga hak-hak 21 dari pewaris. Harta warisan berbeda dengan harta peninggalan.

  Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit., h.29.

  Tidak semua harta peninggalan menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan semua harta warisan baik berupa benda maupun berupa hak-hak harus bersih dari segala sangkut paut dengan orang lain. Pengertian harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati secara mutlak. Sedangkan pengertian harta warisan menurut Pasal 171 huruf e KHI yaitu : “Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pember ian untuk kerabat.”

  3) Ahli Waris (Al Waarits) Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih berada dalam kandungan. Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut mendapatkan harta warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas minimal) atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan. Yang dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam adalah ahli waris yang beragama Islam. Ahli waris dapat dipandang Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian. sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut agama dari ayahnya atau lingkungan sekitar si bayi tersebut. Sedangkan pengertian ahli waris menurut Pasal 171 huruf c yaitu : “Ahli waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”

4) Teori Tentang Putusan Pengadilan Agama

  Penjelasan pasal 60 Undang

  • – Undang Nomor 7 tahun 1989 memberi definisi tentang putusan sebagai berikut: "Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatusengketa. Sedangkan menurut Drs. H.A. Mukti Arto, SH. Memberi definisi terhadap putusan, bahwa : "Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan.Sedangkan penetapan ialah juga pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang
terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan permohonan

  22 (voluntair).

  Putusan hakim atau yang lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan adalah merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan

  23 dalam perkara yang mereka hadapi.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suat pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan yang harus ditaati.

  Menurut bentuknya penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: a.

  Putusan / vonis : Suatu putusan diambil untuk memutusi suatu perkara b.

  Penetapan / beschiking : suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan 22yuridiksi voluntair”.

  Mukti Arto, 1996, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka 23 Pelajar), hal 168.

  Moh. Taufik Makarao, 2004, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 124.

  Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu.

  Putusan mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan yaitu kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial : 1)

  Kekuatan mengikat ini karena kedua pihak telah bersepakat untukmenyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka, maka dengan demikian kedua pihak harus tunduk terhadap putusan yang dibuat oleh pengadilan atau hakim. Putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat yang dimaksudkan adalah putusan yang mengikat kedua belah pihak

  24 (Pasal 1917 BW).

  2) Kekuatan pembuktian, Putusan merupakan akta otentik yang dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang nantinya akan diperlukan . Putusan dalam pembahasan hukum pembuktian menjelaskan bahwa putusan itu telah diperoleh suatu kepastian tentang sesuatu. Kekuatan pembuktian ini menjangkau para pihak yang berperkara, orang yang mendapatkan hak dari mereka, dan ahli waris mereka . ini dimaksudkan apabila suatu saat nanti timbul sengketa yang berkaitan langsung dengan perkara yang telah tercantum dalam putusan atau pun penetapan, putusan atau 24 penetapan tersebut dapat dijadikan alat pembuktian . Nilai kekuatan

  Ibid hal 128 pembuktian yang terkandung padanya adalah bersifat sempurna (volleding), mengikat (bindede), dan memaksa (dwinged).

  3) Kekuatan eksekutorial. Suatu keputusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hakatau hukumannya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (ekskutorialnya) secara paksa. Kekuatan mengikatsaja dari dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat realisir atau dilaksanakan.

  Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian terealisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang

  25 ditetapkan itu secara paksa oleh alat-alat negara.

25 Sudikno Metokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Bandung, 1993, hlm.

  173-174.

F. Metode Penelitian

  26 Menurut pendapat Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,mengatakan:

  “Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten melalui proses penelitian tersebut perlu diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.

  Dalam proses penelitian, penggunaan metode penelitianmerupakan syarat mutlak untuk memperdalam kajian suatu penelitian yang sedang dilaksanakan. Oleh karena itu penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai ilmu untuk mengungkapkan dan menerangkan gejala-gejala alam atau gejala-gejala sosial dalam kehidupan manusia, dengan menggunakan prosedur kerja yang sistematis, teratur dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pertanggungjawaban secara ilmiah berarti penelitian dilakukan untuk mengungkapkan dan menerangkan sesuatu yang ada dan mungkin sebagai suatu kebenaran dengan dibentengi bukti-bukti empiris atau yang dapat diterima oleh akal sehat manusia. Adapun metodologi penulisan penulis gunakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : 1)

  Pendekatan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang hendak di bahas dalam 26 masalah ini yaitu tentang peran PPAT dalam perkara penguasaansepihak

  Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985 Penelitian Hukum Empiris-Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press), Hal. 1 atas harta warisan pada Putusan Pengadilan Agama Sbr nomor : 2594/Pdt.G/2015, penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis

  Empiris , yang dimaksud pendekatan Yuridis adalah suatu cara yang

  digunakan di dalam suatu penelitian yang mempergunakan asas-asas serta peraturan perundangan guna meninjau, melihat serta menganalisis permasalahan, sedangkan metode pendekatan empiris merupakan kerangka pembuktian atau pengujian untuk memastikan suatu

  27 kebenaran.

  Sehingga yang dimaksud dengan Yuridis Empiris adalah suatupenelitian yang tidak hanya menekankan pada pelaksanaan hukum sajatetapi juga menekankan pada kenyataan hukum dalam praktik yangdijalankan oleh anggota masyarakat.