293. Perda No. 3 Tahun 2013 ( Pengelolaan Pertambangan Mineral)
PERATURAN DAERAH KOTA PADANG
NOMOR 3 TAHUN 2013
TENTANG
PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA PADANG,
Menimbang
Mengingat
: a.
bahwa pengambilan dan pemanfaatan Sumber Daya
Mineral agar dapat memberikan manfaat kepada
masyarakat dan Pemerintah Daerah maka kegiatan
usaha pernambangannya perlu dikelola secara efektif,
efisien, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
b.
bahwa di Kota Padang sumber daya alam
pertambangan cukup potensial, karena itu
pengelolaannya harus dilakukan secara tepat aturan,
tepat guna dan tepat manfaatnya yang dapat
memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat;
c.
bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 72
dan Pasal 143 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Kabupaten/Kota di beri wewenang untuk mengatur
pertambangan;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, b, dan c, perlu menetapkan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Usaha
Pertambangan Mineral.
: 1.
UndangUndang Nomor 9 Tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah Kota Besar dalam Lingkungan
Daerah Provinsi Sumatera Tengan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 20;
2.
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
3.
UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888);
4.
UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
5.
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Rebuplik
Indonesia Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4337), sebagaimana telah
diubah dengan UndangUndang Nomor 12 tahun
2008 tentang perubahan kedua atas UndangUndang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Rebuplik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
6.
UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
7.
UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran
Negara Republik Indonesi Tahun 2009 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4959);
8.
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059;
9.
UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan PerundangUndangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun1980 tentang
Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat
II Padang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1980 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3164).
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara pemerintah,
pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan
daerah Kota /kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 Tentang
Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik
2
Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor29, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5111);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5142);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang
Reklamasi dan Pascatambang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5172);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PADANG
dan
WALIKOTA PADANG
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN USAHA
PERTAMBANGAN MINERAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Padang.
2. Pemerintah Daerah adalah Walikota Padang dan perangkat daerah
sebagai unsure penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
4. Kepala Daerah adalah Walikota Padang.
3
5. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang melaksanakan
urusan pemerintahan daerah dibidang pertambangan.
6. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Sumatera Barat.
7. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara
yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
8. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam yang memiliki
sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau
gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas
maupun padu.
9. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah
yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat
dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari
tata ruang nasional.
10. Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WIUP.
11. Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP.
12. Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat WPR adalah
bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat,
13. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk
memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk,
dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian,
serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
14. Peta potensi mineral dan/atau berbatuan adalah data dan informasi
hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan
Walikota.
15. Peta potensi/cadangan mineral dan atau berbatuan adalah data dan
informasi hasil eksplorasi yang dilakukan Walikota.
16. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disingkat IUP adalah izin
untuk melaksanakan usaha pertambangan.
17. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan
tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
18. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai
pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan
19. Upaya Pengelolaan Lingkungan selanjutnya disingkat dengan UKL.
20. Upaya Pemantauan Lingkungan selanjutnya disingkat dengan UPL.
21. Izin Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat IPR adalah izin
untuk melaksanakana usaha pertambangan dalam wilayah
pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
22. WilayahPertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat WPR.
23. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orangseorangatau
badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasar atas asas kekeluargaan.
4
24. Izin Usaha Pertambangan Khusus Eksplorasi yang selanjutnya disingkat
IUPK Eksplorasi.
25. Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi yang selanjutnya
disingkat IUPK Operasi Produksi.
26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha
pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas
lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai
peruntukannya.
27. Kegiatan pascatambang yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah
kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau
seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi
lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh
wilayah penambangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pengelolaan pertambangan dilaksanakan berasaskan pada:
a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b. keberpihakan kepada kepentingan daerah;
c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pasal 3
Dalam rangka mendukung pembangunan berkesinambungan, pengelolaan
pertambangan bertujuan:
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha
pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan berbatuan secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
c. menjamin tersedianya mineral dan berbatuan sebagai bahan baku
dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan daerah;
d. mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan daerah nasional
agar lebih mampu bersaing di tingkat regional;
e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah dan menciptakan
lapangan kerja untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat; dan
f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha
pertambangan mineral dan berbatuan.
BAB III
IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
5
Pasal 4
(1) IUP diberikan oleh Walikota berdasarkan permohonan yang diajukan
oleh:
a. badan usaha;
b. koperasi; dan
c. perseorangan
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa
badan usaha swasta, BUMN, atau BUMD.
(3) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa
orang perseorangan atau perusahaan komanditer.
(4) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi
persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan,
dan persyaratan finansial.
Bagian Kedua
Tahapan Izin dan Jenis Usaha
Pasal 5
IUP diberikan melalui tahapan:
a. pemberian WIUP; dan
b. pemberian IUP.
Pasal 6
(1) Pemberian WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri
atas:
a. WIUP mineral logam;
b. WIUP mineral bukan logam; dan/atau
c. IUP batuan.
(2) WIUP mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diperoleh dengan cara lelang.
(3) WIUP mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan huruf c diperoleh dengan cara mengajukan
permohonan wilayah.
Pasal 7
(1) Dalam 1 (satu) WUP dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP.
(2) Setiap pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) hanya
dapat diberikan 1 (satu) WIUP.
(3) Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
badan usaha yang telah terbuka (go public), dapat diberikan lebih dari 1
(satu) WIUP.
6
Pasal 8
Untuk memperoleh IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1),
pemohon harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan,
dan finansial.
Bagian Ketiga
Bentuk IUP
Pasal 9
(1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas:
a. IUP Eksplorasi; dan
b. IUP Operasi Produksi.
(2) IUP Eksplorasi terdiri atas:
a. mineral logam;
b. mineral bukan logam; dan/atau
c. batuan.
(3) IUP Operasi Produksi terdiri atas:
a. mineral logam;
b. mineral bukan logam; dan/atau
c. batuan.
Bagian Empat
Persyaratan Izin
Pasal 10
Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan:
a. administratif;
b. teknis;
c. lingkungan; dan
d. finansial.
Pasal 11
(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf a untuk badan usaha meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam:
1. surat permohonan;
2. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam
dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil badan usaha;
3. akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha
pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
6. surat keterangan domisili.
7
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf a untuk koperasi meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam dan
batuan:
1. surat permohonan;
2. susunan pengurus; dan
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam
dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil koperasi;
3. akte pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha
pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan pengurus; dan
6. surat keterangan domisili.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a
untuk orang perseorangan meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam:
1. surat permohonan; dan
2. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam
dan batuan:
1. surat permohonan;
2. kartu tanda penduduk;
3. nomor pokok wajib pajak; dan
4. surat keterangan domisili.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a
untuk perusahaan firma dan perusahaan komanditer meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam:
1. surat permohonan;
2. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam
dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil perusahaan;
3. akte pendirian perusahaan yang bergerak di bidang usaha
pertambangan;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
6. surat keterangan domisili.
Pasal 12
8
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b
untuk:
a. IUP Eksplorasi, meliputi:
1. daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga ahli
pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit
3 (tiga) tahun;
2. peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang
dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang
berlaku secara nasional.
b. IUP Operasi Produksi, meliputi:
1. peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang
dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang
berlaku secara nasional;
2. laporan lengkap eksplorasi;
3. laporan studi kelayakan;
4. rencana reklamasi dan pascatambang;
5. rencana kerja dan anggaran biaya;
6. rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan
operasi produksi; dan
7. tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang
berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun.
Pasal 13
Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c
meliputi:
a. untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
b. untuk IUP Operasi Produksi meliputi:
1. menyusun dokumen lingkungan Amdal atau UKL/UPL;
2. pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan
perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup; dan
3. memiliki izin lingkungan;
4. persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
Pasal 14
(1) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d
untuk:
a. IUP Eksplorasi, meliputi:
9
1. bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan
eksplorasi; dan
2. bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi hasil
lelang WIUP mineral logam sesuai dengan nilai penawaran lelang
atau bukti pembayaran biaya pencadangan wilayah dan
pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan logam atau
batuan atas permohonan wilayah.
b. IUP Operasi Produksi, meliputi:
1. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan
publik;
2. bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir; dan
3. bukti pembayaran pengganti investasi sesuai dengan nilai
penawaran lelang bagi pemenang lelang WIUP yang telah berakhir.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan finansial dan jaminan
kesungguhan diatur dengan Peraturan Walikota
Pasal 15
IUP Produksi diberikan sebagai upaya peningkatan kegiatan ekploitasi.
Pasal 16
(1) Pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi
Produksi sebagai peningkatan dengan mengajukan permohonan dan
memenuhi persyaratan peningkatan operasi produksi.
(2) IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
(3) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Bagian Kelima
IUP Operasi Produksi Khusus
Pasal 17
(1) IUP Operasi Produksi Khusus diberikan oleh Walikota.
(2) Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukankegiatan
pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian,
kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan
pemurnian dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki:
a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan;
b. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian;
dan/atau
c. IUP Operasi Produksi.
10
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP Operasi
Produksi khusus diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Keenam
Pemasangan Tanda Batas
Pasal 18
(1) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diperolehnya IUP Operasi
Produksi, pemegang IUP Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas
wilayah dengan memasang patok pada WIUP.
(2) Pembuatan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
selesai sebelum dimulai kegiatan operasi produksi.
(3) Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP Operasi Produksi,
harus dilakukan perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan
patok baru pada WIUP.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan tanda batas WIUP
diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Ketujuh
Jangka Waktu Izin Pertambangan
Paragraf 1
Jangka Waktu IUP Eksplorasi
Pasal 20
(1) Jangka waktu IUP Eksplorasi mineral logam paling lama 5 (delapan)
tahun.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyelidikan umum 1 (satu) tahun;
b. eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing
masing 1 (satu) tahun;
c. studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1
(satu) tahun.
(3) Jangka waktu IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam
paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (3) meliputi;
a. penyelidikan umum 1 (satu) tahun;
b. eksplorasi 1 (satu) tahun; dan
c. studi kelayakan 1 (satu) tahun.
11
(5) Jangka waktu IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(6) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:
a. penyelidikan umum 1 (satu) tahun;
b. eksplorasi 1 (satu) tahun; dan
c. studi kelayakan 1 (satu) tahun.
Paragraf 2
Jangka Waktu IUP Operasi Produksi
Pasal 21
(1) Jangka waktu IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam
dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun termasuk jangka
waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2
(dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun.
(2) Jangka waktu IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan
logam dapat diberikan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 5 (lima) tahun.
(3) Jangka waktu IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan
logam jenis tertentu dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun
termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun dan
dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun.
(4) Jangka waktu IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat
diberikan paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masingmasing 5 (lima) tahun.
(5) Jangka waktu Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diajukan paling cepat dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sebelum berakhirnya jangka waktu IUP.
Bagian Kedelapan
Luas WIUP
Pasal 22
WIUP mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan
perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada Walikota.
Pasal 23
(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling
maksimal 10.000 (sepuluh ribu) hektar.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas
paling banyak 5.000 (lima ribu) hektar.
(3) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling
maksimal 5.000 (lima ribu) hektar.
12
Pasal 24
(1) Pemegang IUP Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling
maksimal 5.000 (lima ribu) hektar.
(2) Pemegang IUP Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas
paling banyak 2.000 (dua ribu) hektar.
(3) Pemegang IUP Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling maksimal
1.000 (seribu) hektar.
Bagian Kesembilan
Harga Mineral Bukan Logan dan Batuan
Pasal 25
(1) Harga patokan mineral logam dan batuan ditetapkan oleh Walikota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan harga patokan
mineral logam dan batubara diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB IV
IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 26
(1) Untuk mendapatkan IPR pemohon wajib menyampaikan permohonan
kepada Walikota.
(2) IPR diberikan setelah ditetapkan WPR oleh Walikota.
(3) Dalam 1 (satu) WPR dapat diberikan 1 (satu) sampai maksimal 5 (lima)
IPR.
Bagian Kedua
Persyaratan Pemberian IPR
Pasal 27
(1) Setiap usaha pertambangan rakyat pada WPR dapat dilaksanakan
apabila telah mendapatkan IPR.
(2) Untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi:
a. persyaratan administratif;
b. persyaratan teknis; dan
c. persyaratan finansial.
13
Pasal 28
(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
huruf a untuk:
a. perseorangan, meliputi:
1. Surat permohonan;
2. Kartu tanda penduduk;
3. Komoditas tambang yang dimohon;
4. Surat keterangan dari Lurah setempat;
5. Surat rekomendasi dari kantor lingkungan hidup Kota ;
6. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup atau UKLUPL berdasarkan peraturan
perundangundangan;
7. Surat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air Kota bagi
kegiatan pertambangan rakyat yang dilakukan di sungai;
8. Surat persetujuan dari pemilik tanah atau penguasa tanah ulayat
apabila kegiatan pertambangan rakyat dilakukan di tanah yang
bukan milik si pemohon.
b. kelompok masyarakat, meliputi:
1. Surat permohonan;
2. Komoditas tambang yang dimohon;
3. Surat keterangan dari Lurah setempat;
4. Surat rekomendasi dari kantor lingkungan hidup Kota ;
5. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup atau UKLUPL berdasarkan peraturan
perundangundangan;
6. Surat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air Kota bagi
kegiatan pertambangan rakyat yang dilakukan di sungai;
7. Surat persetujuan dari pemilik tanah atau penguasa tanah ulayat
apabila kegiatan pertambangan rakyat dilakukan di tanah yang
bukan milik si pemohon.
c. koperasi setempat, meliputi:
1. surat permohonan;
2. Nomor pokok wajib pajak;
3. Akta pendirian koperasi yang telah disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
4. komoditas tambang yang dimohon;
5. Surat keterangan dari Lurah setempat;
6. Surat rekomendasi dari kantor lingkungan hidup;
7. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup atau UKLUPL berdasarkan peraturan
perundangundangan;
14
8. Surat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air Kota bagi
kegiatan pertambangan rakyat yang dilakukan di sungai;
9. Surat persetujuan dari pemilik tanah atau penguasa tanah ulayat
apabila kegiatan pertambangan rakyat dilakukan di tanah yang
bukan milik si pemohon.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
huruf b berupa surat pernyataan yang memuat mengenai:
1. sumuran pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima) meter;
2. menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan
dengan jumlah tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power
untuk 1 (satu) IPR;
3. tidak menggunakan alat berat, bahan peledak maupun alatalat
lainnya yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup;
4. mematuhi persyaratan teknis pertambangan lainnya yang telah
ditetapkan oleh peraturan perundangundangan.
(3) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
huruf c berupa laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir dan hanya
dipersyaratkan bagi koperasi setempat.
Bagian Ketiga
Kelompok Usaha Pemegang IPR
Pasal 29
Kegiatan usaha pertambangan rakyat dikelompokkan sebagai berikut:
a. pertambangan mineral logam;
b. pertambangan mineral bukan logam;
c. pertambangan bebatuan.
Pasal 30
Pihak yang dapat memegang IPR ialah:
a. perseorangan;
b. kelompok masyarakat;
c. koperasi.
Bagian Keempat
Luas Wilayah dan Jangka Waktu pemberian IPR
Pasal 31
Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada:
a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektar;
b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektar;
c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektar.
Pasal 32
15
(1) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang.
(2) Pemegang IPR dapat mengajukan perpanjangan IPR kepada Walikota
setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) habis.
(3) Tata cara perpanjangan maupun persyaratan pengajuan perpanjangan
IPR diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Pasal 33
Pemegang IPR dilarang memindahkan IPR tanpa persetujuan dari Walikota
atau pejabat yang berwenang.
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pengajuan
permohonan IPR diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN
Bagian Kesatu
Hak Pemegang Izin Pertambangan
Pasal 35
Pemegang IUP dan IPR berhak:
a. melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan baik
kegiatan ekplorasi maupun kegiatan operasi produksi;
b. dapat memanfaatkan sarana dan prasarana umum untuk keperluan
pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan;
c. memiliki mineral termasuk mineral ikutannya setelah membayar iuran
ekplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radio aktif;
d. mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan
kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari
Pemerintah Kota ;
e. mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Bagian Kedua
Kewajiban Pemegang Izin
Pasal 36
Pemegang Izin Usaha Pertambangan wajib:
a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
IUP dan IPR diterbitkan;
b. menerapkan kaedah teknik pertambangan yang baik;
c. mematuhi peraturan perundangundangan di bidang keselamatan dan
kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi
standar yang berlaku;
16
d. mematuhi batas toleransi lingkungan hidup;
e. membayar iuran tetap dan iuran produksi;
f. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
g. menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang
bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangundangan;
h. melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana
reklamasi dan rencana pascatambang yang telah disusun oleh Walikota;
i. Bagi pemegang IUP, IUP Operasi Produksi khusus wajib menerapkan
standar baku mutu lingkungan sesuai dengan karakter suatu daerah.
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut hak dan kewajiban pemegang IUP, IUP Operasi
Produksi khusus, dan IPR diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB VI
PENGHENTIAN SEMENTARA DAN PEMBATALAN IZIN
Bagian Kesatu
Penghentian Sementara Kegiatan Usaha Pertambangan
Pasal 38
(1) Kegiatan usaha pertambangan dapat dilakukan penghentian sementara
apabila terjadi:
a. keadaan kahar;
b. keadaan yang menghalangi; dan/atau
c. kondisi daya dukung lingkungan.
(2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku izin.
(3) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b, penghentian sementara dilakukan oleh Walikota sesuai
dengan permohonan dari pemegang izin.
(4) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
penghentian sementara dilakukan Walikota berdasarkan permohonan
dari masyarakat.
Pasal 39
(1) Penghentian sementara karena keadaan kahar harus diajukan oleh
pemegang izin dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
kalender sejak terjadinya keadaan kahar kepada Walikota memperoleh
persetujuan.
(2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1
(satu) kali.
(3) Penghentian sementara karena keadaan yang menghalangi diberikan 1
(satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1
17
(satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun pada setiap tahapan
kegiatan dengan persetujuan Walikota.
(4) Apabila jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) telah berakhir, dapat diberikan perpanjangan jangka waktu
penghentian sementara dalam hal terkait perizinan dari instansi lain.
Pasal 40
(1) Pemegang IUP dan IUPK yang telah diberikan persetujuan penghentian
sementara dikarenakan keadaan kahar tidak mempunyai kewajiban
untuk memenuhi kewajiban keuangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
(2) Pemegang izin yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara
dikarenakan keadaan yang menghalangi dan/atau kondisi daya dukung
lingkungan wajib:
a. menyampaikan laporan Walikota sesuai dengan kewenangannya;
b. memenuhi kewajiban keuangan; dan
c. tetap melaksanakan pengelolaan lingkungan, keselamatan dan
kesehatan kerja, serta pemantauan lingkungan.
Pasal 41
Persetujuan penghentian sementara berakhir karena:
a. habis masa berlakunya; atau
b. permohonan pencabutan dari pemegang IUP atau IUPK.
Bagian Kedua
Pembatalan Izin Usaha Pertambangan
Pasal 42
IUP atau IPR dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan mengandung cacat
hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau
pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat dan prosedur sebagaimana
tercantum dalam peraturan perundangundangan;
c. pemegang Izin tidak memenuhi kewajibankewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35;
d. pemegang izin memindahkan izin ke pihak lain tanpa persetujuan dari
Walikota atau pejabat yang berwenang.
BAB VII
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 43
(1) Hak atas WUP dan WPR tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.
(2) Hak atas WUP dan IPR bukan merupakan pemilikan hak atas tanah.
18
(3) Pemegang IPR hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat
persetujuan dari pemegang hak atas tanah atau penguasa tanah ulayat.
BAB VIII
REKLAMASI DAN PASCATAMBANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 44
(1) Pemegang IUP dan IPR wajib melaksanakan reklamasi pascatambang.
(2) Reklamasi wajib dilaksanakan pada lahan terganggu akibat kegiatan
pertambangan.
(3) Reklamasi Pascatambang wajib dilaksanakan untuk memulihkan fungsi
lingkungan menurut kondisi lokal seluruh wilayah pertambangan.
(4) Pelaksanaan Relamasi pascatambang sebagaimana dimasud pada ayat
(1), (2), dan (3) wajib memenuhi prinsip:
a. lingkungan hidup pertambangan;
b. keselamatan dan kesehatan kerja; dan
c. konservasi mineral.
Pasal 45
(1) Untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan akibat usaha
pertambangan, setiap Pengusaha pertambangan wajib melakukan studi
lingkungan.
(2) Studi lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan
oleh pengusaha pertambangan yang akan ataupun yang sudah
melakukan kegiatan usaha pertambangan.
(3) Tata cara pelaksanaan studi lingkungan dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 46
Prinsipprinsip lingkungan hidup pertambangan sebagaimana dimaksud
Pasal 44 ayat (4) huruf a meliputi:
a. perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut dan
tanah serta udara sesuai dengan standar baku mutu lingkungan;
b. perlindungan keanekaragaman hayati;
c. pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; dan
d. menghormati nilainilai sosial budaya.
19
Pasal 47
Prinsipprinsip lingkungan hidup pertambangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (4) huruf b meliputi:
a. perlindungan keselamatan terhadap setiap pekerja; dan
b. perlindungan setiap pekerja dari penyakit akibat kerja.
Pasal 48
Prinsipprinsip konservasi mineral pertambangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (4) huruf c meliputi:
a. penambangan yang optimum dan pengunaan teknologi pengelolaan yang
efektif dan efisien;
b. pengelolaan dan pemanfaatan cadangan marginal kualitas rendah dan
mineral kadar rendah serta mineral ikutan;
c. pendataan sumberdaya cadangan mineral yang tidak tertambang serta
sisa pengolahan dan pemurniaan.
Bagian Kedua
Tata Cara Teknik Reklamasi
Pasal 49
Tata cara dan teknik reklamasi lahan bekas tambang secara umum
ditetapkan sebagai berikut:
a. Tahap Prapenambangan, meliputi kegiatan:
1. Pengamanan terhadap penambangan atau perbaikan tanaman yang
dianggap perlu;
2. Pengamanan dan pemeliharaan lapisan tanah penutup dan lapisan
pucuk dari bahaya erosi dan kelongsoran.
b. Tahap Penambangan, meliputi kegiatan:
1. Pengaturan blokblok penambangan untuk mempermudah
pelaksanaan reklamasi;
2. Pengisian dan penimbunan kembali pada lokasilokasi yang telah
ditambang pada setiap periode penambangan;
3. Penataan lahan bekas tambang yang telah ditimbun dan diisi dengan
cara perataan, pembuatan teras dan pengaturan peta;
4. Pengeboran lapisan tanah pucuk dan pemupukan lahan.
c. Tahap Pascapenambangan
1. Pembibitan dan penanaman kembali dengan jenis tanaman keras atau
tanaman produksi lainnya; dan/atau
2. Pemanfaatan lahan bekas tambang untuk alternatif lain yang
disesuaikan dengan tata ruang yang berlaku.
Pasal 50
20
(1) Sebelum pelaksanaan reklamasi, pemegang IUP wajib menyampaikan
kepada Walikota tentang rencana, tata cara, dan teknik reklamasi yang
akan diterapkan untuk mendapatkan persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya rencana
reklamasi.
(3) Pemegang IUP bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan reklamasi
dan menanggung segala biaya yang diperlukan.
Pasal 51
(1) Pelaksanaan reklamasi harus dilakukan sesuai jangka waktu rencana
reklamasi yang telah disetujui oleh Walikota.
(2) Pengusaha pertambangan pemegang IUP yang melakukan reklamasi
wajib menyampaikan laporan kegiatan reklamasi setiap 3 (tiga) bulan
kepada Walikota.
(3) Pelaksanaan reklamasi dianggap telah selesai dan memenuhi persyaratan
jika hasil reklamasi sesuai dengan rencana yang telah disetujui Walikota.
(4) Pengusaha pertambangan pemegang IUP tetap bertanggung jawab
terhadap lahan yang telah direklamasi selama hasil reklamasi belum
mendapat persetujuan Walikota.
(5) Apabila berdasarkan penelitian, pengusaha pertambangan belum atau
tidak dapat menyelesaikan reklamasi sesuai dengan rencana, Walikota
atau Instansi yang berwenang dapat melakukan tindakan atau tuntutan
sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Jaminan Reklamasi Pascatambang
Pasal 52
(1) Pemegang IUP wajib menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan
pascatambang sesuai dengan perhitungan rencana biaya reklamasi dan
perhitungan rencana biaya pascatambang yang disetujui Walikota
(2) Jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang sebagaaiamana dimaksud
ayat (1) wajib ditempatkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah jadwal yang telah ditentukan.
(3) Dana Reklamasi pascatambang ditentukan oleh Walikota berpedoman
pada peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 53
Pemegang IUP dapat menempatkan jaminan reklamasi dalam bentuk
Deposito berjangka, Bank Garansi atau Asuransi, atau cadangan Akutansi.
Pasal 54
21
Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan jumlah, tata cara penempatan,
dan pencaairan atau pelepasan jaminan reklamasi, serta penetapan pihak
ketiga diatur dalam Peraturan Walikota.
Bagian Keempat
Pelaporan
Pasal 55
(1) Pemegang IUP IUP Operasi Produksi Khusus dan IPR wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan pertambangan setiap
tahun kepada Walikota melalui Kepala Dinas.
(2) Pemegang IUP IUP Operasi Produksi Khusus dan IPR wajib
menyampaikan laporan kegiatan pertambangan reklamasi setiap tahun
kepada Walikota melalui Kepala Dinas.
(3) Pemegang IUP IUP Operasi Produksi Khusus dan IPR wajib
menyampaikan laporan kegiatan pertambangan pascatambang setiap 3
(tiga) bulan kepada Walikota melalui Kepala Dinas.
(4) Walikota akan melakukan evaluasi terhadap laporan tersebut.
(5) Tata cara evaluasi pelaporan kegiatan pertambangan, kegiatan reklamasi
dan pascatambang diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 56
(1) Dinas harus menyampaikan laporan tertulis mengenai pengelolaan
kegiatan usaha pertambangan kepada Walikota secara berkala setiap 6
(enam) bulan.
(2) Walikota harus menyampaikan laporan tertulis mengenai pengelolaan
kegiatan usaha pertambangan kepada Gubernur.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 57
(1) Walikota melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan kegiatan
usaha pertambangan.
(2) Pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi halhal sebagai berikut:
a. pemberian bimbingan dan supervisi tata kelola administrasi dan
manajemen pengelolaan kegiatan usaha pertambangan;
b. pemberian pedoman penyusunan laporan penyelenggaraan kegiatan
usaha pertambangan rakyat;
c. pemberian pedoman teknis pertambangan;
d. pemberian pedoman pengelolaan dan pemantauan lingkungan
pertambangan, reklamasi, dan pascatambang;
22
e. pemberian pendidikan dan pelatihan kegiatan usaha pertambangan.
f. pemberian pedoman keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan
rakyat; dan
g. pemberian bantuan modal sesuai dengan peraturan perundang
undangan.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 58
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan
dilakukan pejabat yang ditunjuk oleh Walikota.
(2) Pengawasan terhadap pengelolaan usaha pertambangan dilaksanakan
melalui:
a. evaluasi terhadap laporan rencana dan pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan dari pemegang izin; dan/atau
b. inspeksi ke lokasi izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dengan Peraturan
Walikota.
BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA PERTAMBANGAN RAKYAT
Pasal 59
(1) Penyelesaian sengketa pertambangan rakyat dapat ditempuh melalui
pengadilan dan/atau di luar pengadilan.
(2) Pilihan penyelesaian sengketa pertambangan dilakukan secara suka rela
oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh dalam hal apabila
upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil
oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Pasal 60
(1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan dalam bentuk
mediasi.
(2) Penyelesaian sengketa pertambangan rakyat dapat dilakukan melalui
musyawarahmufakat melalui:
a. Kerapatan Adat Nagari; atau
b. Pemerintah Kota.
(3) Penunjukan mediator dalam penyelesaian sengketa dilakukan atas dasar
kesepakatan para pihak yang bersengketa.
(4) Penyelesaian melalui pengadilan merupakan upaya terakhir jika
musyawarah dan/atau mediasi tidak tercapai.
23
BAB XI
PENDAPATAN DAERAH
Pasal 61
(1) Pemegang IUP dan IPR wajib membayar pajak/iuran atas kegiatan usaha
pertambangan yang dilakukannya.
(2) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
b. Iuran tetap; dan/atau
c. Iuran produksi.
(3) Pendapatan daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf a
sesuai Peraturan Daerah yang berlaku.
(4) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf c diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 62
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini
dapat berupa berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi
atau operasi produksi;
c. pencabutan izin;
d. Pengenaan Uang Paksa.
(2) Walikota dapat memberikan sanksi administratif menurut ayat (1) atas
pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 36,
Pasal 37, Pasal 38, ayat (1) dan (2), Pasal 45 dan Pasal 55 ayat (1),(2),(3)
dan (4).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif
diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB XIII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 63
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan
terhadap pelanggaran peraturan daerah ini sebagaimana dimaksud
dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
24
a. menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau
laporan yang berkenaan dengan tindak pidana pelanggaran terhadap
peraturan daerah ini agar keterangan atau laporan tersebut menjadi
lebih lengkap dan jelas.
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang
pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana terhadap pelanggaran peraturan
daerah ini.
c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana pelanggaran terhadap peraturan
daerah ini.
d. memeriksa buku–buku, catatancatatan dan dokumendokumen lain
yang berkenaan dengan tindak pidana pelanggaran terhadap
peraturan daerah ini.
e. melakukan pengeledahan untuk mendapatkan barang bukti
pembukuan, pencatatan dan dokumendokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut.
f.
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana terhadap pelanggaran peraturan daerah ini.
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan
memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa
sebagaiman dimaksud huruf e.
h. momotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap
pelanggaran peraturan daerah ini.
i.
memanggil orang untuk di dengan keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka