293. Perda No. 3 Tahun 2013 ( Pengelolaan Pertambangan Mineral)

 
 PERATURAN DAERAH KOTA PADANG
NOMOR  3  TAHUN 2013
TENTANG
PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA PADANG,

Menimbang

Mengingat

: a.

bahwa   pengambilan   dan   pemanfaatan  Sumber   Daya
Mineral   agar   dapat   memberikan   manfaat   kepada
masyarakat  dan  Pemerintah  Daerah  maka    kegiatan
usaha pernambangannya perlu dikelola secara efektif,
efisien, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;

b.


bahwa   di   Kota   Padang   sumber   daya   alam
pertambangan   cukup     potensial,   karena   itu
pengelolaannya harus dilakukan secara tepat aturan,
tepat   guna   dan   tepat   manfaatnya   yang   dapat
memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat; 

c.

bahwa  sesuai   dengan  ketentuan   Pasal   26,   Pasal   72
dan Pasal 143 Undang­Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang   Pertambangan   Mineral   dan   Batubara,
Kabupaten/Kota   di   beri   wewenang   untuk   mengatur
pertambangan;

d.

bahwa   berdasarkan   pertimbangan  sebagaimana
dimaksud  pada huruf a, b, dan c, perlu  menetapkan
Peraturan  Daerah   tentang  Pengelolaan   Usaha

Pertambangan Mineral.

: 1.

Undang­Undang   Nomor   9  Tahun   1956   tentang
Pembentukan  Daerah Kota  Besar  dalam  Lingkungan
Daerah  Provinsi Sumatera Tengan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 20;

2.

Undang­Undang   Nomor   5   Tahun   1960   tentang
Peraturan   Dasar   Pokok   Pokok   Agraria   (Lembaran
Negara   Republik   Indonesia   Tahun   1960   Nomor   104;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);

3.

Undang­Undang   Nomor   41  Tahun   1999   tentang
Kehutanan   (Lembaran   Negara   Republik   Indonesia


Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888);
4.

Undang­Undang   Nomor   7   Tahun   2004   tentang
Sumber   Daya   Air   (Lembaran   Negara   Republik
Indonesia   Tahun   2004   Nomor   32,   Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

5.

Undang­Undang   Nomor   32   Tahun   2004   tentang
Pemerintahan   Daerah   (Lembaran   Negara   Rebuplik
Indonesia   Nomor   125,   Tambahan   Lembaran   Negara
Republik Indonesia  Nomor 4337),  sebagaimana telah
diubah   dengan   Undang­Undang   Nomor   12   tahun
2008 tentang perubahan kedua atas Undang­Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran   Negara   Rebuplik   Indonesia   Tahun   2008

Nomor   59,   Tambahan   Lembaran   Negara   Republik
Indonesia  Nomor 4844);

6.

Undang­Undang   Nomor   26   Tahun   2007   tentang
Penataan   Ruang   (Lembaran   Negara   Republik
Indonesia   Tahun   2007   Nomor   68;   Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

7.

Undang­Undang   Nomor   4   Tahun   2009   Tentang
Pertambangan   Mineral   dan   Batubara   (Lembaran
Negara   Republik   Indonesi   Tahun   2009   Nomor   4,
Tambahan   Lembaran     Negara   Republik   Indonesia
Nomor 4959);

8.


Undang­Undang   Nomor   32   Tahun   2009   Tentang
Perlindungan   dan   Pengelolaan   Lingkungan   Hidup
(Lembaran   Negara   Republik   Indonesia   Tahun   2009
Nomor   140,   Tambahan   Lembaran   Negara   Republik
Indonesia Nomor 5059;

9.

Undang­Undang   Nomor   12   Tahun   2011   tentang
Pembentukan   Peraturan   Perundang­Undangan
(Lembaran   Negara   Republik   Indonesia   Tahun   2011
Nomor   82   Tambahan   Lembaran   Negara   Republik
Indonesia Nomor 5234);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun1980 tentang
Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat
II   Padang   (Lembaran   Negara   Republik   Indonesia
Tahun 1980 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3164).
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara pemerintah,
pemerintahan   daerah   propinsi   dan   pemerintahan
daerah   Kota   /kota   (Lembaran   Negara   Republik
Indonesia   Tahun   2007   Nomor   82,   Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 Tentang
Wilayah   Pertambangan   (Lembaran   Negara   Republik
2

Indonesia   Tahun   2010   Nomor   28,   Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan   Kegiatan   Usaha   Pertambangan   Mineral
dan  Batubara   (Lembaran   Negara   Republik   Indonesia
Tahun   2010   Nomor29,   Tambahan   Lembaran   Negara
Republik Indonesia Nomor 5111);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang
Pembinaan   dan   Pengawasan   Penyelenggaraan
Pengelolaan   Usaha   Pertambangan   Mineral   dan

Batubara   (Lembaran   Negara   Republik   Indonesia
Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5142);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang
Reklamasi   dan   Pascatambang   (Lembaran   Negara
Republik   Indonesia   Tahun   2010   Nomor   138,
Tambahan   Lembaran   Negara   Republik   Indonesia
Nomor 5172);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA  PADANG
dan
WALIKOTA PADANG
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:      PERATURAN   DAERAH   TENTANG   PENGELOLAAN   USAHA
PERTAMBANGAN MINERAL 
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Padang.

2. Pemerintah   Daerah   adalah   Walikota   Padang   dan   perangkat   daerah
sebagai unsure penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Dewan   Perwakilan   Rakyat   Daerah   yang   selanjutnya   disingkat   DPRD
adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
4. Kepala Daerah adalah Walikota Padang.

3

5. Dinas   adalah   Satuan   Kerja   Perangkat   Daerah   yang   melaksanakan
urusan pemerintahan daerah dibidang pertambangan.
6. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Sumatera Barat.
7. Pertambangan   adalah   sebagian   atau   seluruh   tahapan   kegiatan   dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara
yang   meliputi   penyelidikan   umum,   eksplorasi,   studi   kelayakan,
konstruksi,   penambangan,   pengolahan   dan   pemurnian,   pengangkutan
dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
8. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam yang memiliki
sifat   fisik   dan   kimia   tertentu   serta   susunan   kristal   teratur   atau
gabungannya   yang   membentuk   batuan,   baik   dalam   bentuk   lepas

maupun padu.
9. Wilayah   Pertambangan,   yang   selanjutnya   disebut   WP,   adalah   wilayah
yang   memiliki   potensi   mineral   dan/atau   batubara   dan   tidak   terikat
dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari
tata ruang nasional.
10. Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WIUP.
11. Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP.
12. Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya  disingkat  WPR adalah
bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat,
13. Eksplorasi   adalah   tahapan   kegiatan   usaha   pertambangan   untuk
memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk,
dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian,
serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
14. Peta   potensi   mineral   dan/atau   berbatuan   adalah   data   dan   informasi
hasil   penyelidikan   dan   penelitian   pertambangan   yang   dilakukan
Walikota.
15. Peta   potensi/cadangan   mineral   dan   atau   berbatuan   adalah   data   dan
informasi hasil eksplorasi yang dilakukan Walikota.
16. Izin   Usaha   Pertambangan,   yang   selanjutnya   disingkat   IUP   adalah   izin
untuk melaksanakan usaha pertambangan.

17. IUP   Eksplorasi   adalah   izin   usaha   yang   diberikan   untuk   melakukan
tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
18. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan  setelah selesai
pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan
19. Upaya Pengelolaan Lingkungan selanjutnya disingkat dengan UKL.
20. Upaya Pemantauan Lingkungan selanjutnya disingkat dengan UPL.
21. Izin Pertambangan Rakyat  yang selanjutnya disingkat    IPR adalah izin
untuk   melaksanakana   usaha   pertambangan   dalam   wilayah
pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
22. WilayahPertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat WPR.
23. Koperasi   adalah   badan   usaha   yang   beranggotakan   orangseorangatau
badan hukum Koperasi  dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip   Koperasi   sekaligus   sebagai   gerakan   ekonomi   rakyat   yang
berdasar atas asas kekeluargaan.

4

24. Izin Usaha Pertambangan Khusus Eksplorasi yang selanjutnya disingkat
IUPK Eksplorasi.
25. Izin   Usaha   Pertambangan   Khusus   Operasi   Produksi   yang   selanjutnya

disingkat IUPK Operasi Produksi.
26. Reklamasi   adalah   kegiatan   yang   dilakukan   sepanjang   tahapan   usaha
pertambangan   untuk   menata,   memulihkan,   dan   memperbaiki   kualitas
lingkungan   dan   ekosistem   agar   dapat   berfungsi   kembali   sesuai
peruntukannya.
27. Kegiatan pascatambang yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah
kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau
seluruh   kegiatan   usaha   pertambangan   untuk   memulihkan   fungsi
lingkungan   alam   dan   fungsi   sosial   menurut   kondisi   lokal   di   seluruh
wilayah penambangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pengelolaan  pertambangan dilaksanakan berasaskan pada:
a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b. keberpihakan kepada kepentingan daerah;
c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pasal 3
Dalam   rangka   mendukung   pembangunan   berkesinambungan,   pengelolaan
pertambangan bertujuan:
a. menjamin   efektivitas   pelaksanaan   dan   pengendalian   kegiatan   usaha
pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
b. menjamin   manfaat   pertambangan   mineral   dan   berbatuan   secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
c. menjamin   tersedianya   mineral   dan   berbatuan     sebagai   bahan   baku
dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan daerah;
d. mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan daerah nasional
agar lebih mampu bersaing di tingkat regional;
e. meningkatkan   pendapatan   masyarakat   lokal,   daerah   dan   menciptakan
lapangan kerja untuk sebesar­besarnya kesejahteraan rakyat; dan
f. menjamin   kepastian   hukum   dalam   penyelenggaraan   kegiatan   usaha
pertambangan mineral dan berbatuan.
BAB III
IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
5

Pasal 4
(1) IUP   diberikan   oleh   Walikota   berdasarkan   permohonan   yang   diajukan
oleh:
a. badan usaha;
b. koperasi; dan
c. perseorangan
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa
badan usaha swasta, BUMN, atau BUMD.
(3) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa
orang perseorangan atau perusahaan komanditer.
(4) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada
ayat   (1)   yang   melakukan   usaha   pertambangan   wajib   memenuhi
persyaratan   administratif,   persyaratan   teknis,   persyaratan   lingkungan,
dan persyaratan finansial.
Bagian Kedua
Tahapan Izin dan Jenis  Usaha
Pasal 5
IUP diberikan melalui tahapan:
a. pemberian WIUP; dan
b. pemberian IUP.
Pasal 6
(1) Pemberian  WIUP  sebagaimana   dimaksud   dalam  Pasal  5  huruf  a  terdiri
atas:
a. WIUP mineral logam;
b. WIUP mineral bukan logam; dan/atau
c. IUP batuan.
(2) WIUP   mineral   logam   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   huruf   a
diperoleh dengan cara lelang.
(3) WIUP   mineral   bukan   logam   dan   batuan   sebagaimana   dimaksud   pada
ayat   (1)   huruf   b   dan   huruf   c   diperoleh   dengan   cara   mengajukan
permohonan wilayah.
Pasal 7
(1) Dalam 1 (satu) WUP dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP.
(2) Setiap   pemohon   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   7   ayat   (1)   hanya
dapat diberikan 1 (satu) WIUP.
(3) Dalam   hal   pemohon   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (2)   merupakan
badan usaha yang telah terbuka (go public), dapat diberikan lebih dari 1
(satu) WIUP.

6

Pasal 8
Untuk   memperoleh   IUP   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   6   ayat   (1),
pemohon   harus   memenuhi   persyaratan   administratif,   teknis,   lingkungan,
dan finansial.
Bagian Ketiga
Bentuk  IUP
Pasal 9
(1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas:
a. IUP Eksplorasi; dan
b. IUP Operasi Produksi.
(2) IUP Eksplorasi  terdiri atas:
a. mineral logam;
b. mineral bukan logam; dan/atau
c. batuan.
(3) IUP Operasi Produksi terdiri atas:
a. mineral logam;
b. mineral bukan logam; dan/atau
c. batuan.
Bagian Empat
Persyaratan Izin
Pasal 10
Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan:
a. administratif;
b. teknis;
c. lingkungan; dan
d. finansial. 
Pasal 11
(1)   Persyaratan   administratif   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   10
huruf a untuk badan usaha meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam:
1. surat permohonan;
2. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan 
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam
dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil badan usaha;
3. akte   pendirian   badan   usaha   yang   bergerak   di   bidang   usaha
pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
6. surat keterangan domisili.
7

(2) Persyaratan   administratif   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   10
huruf a untuk koperasi meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam dan
batuan:
1. surat permohonan;
2. susunan pengurus; dan
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam
dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil koperasi;
3. akte   pendirian   koperasi   yang   bergerak   di   bidang   usaha
pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan pengurus; dan
6. surat keterangan domisili.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a
untuk orang perseorangan meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam:
1. surat permohonan; dan
2. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam
dan batuan:
1. surat permohonan;
2. kartu tanda penduduk;
3. nomor pokok wajib pajak; dan
4. surat keterangan domisili.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a
untuk perusahaan firma dan perusahaan komanditer meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam:
1. surat permohonan;
2. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam
dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil perusahaan;
3. akte   pendirian   perusahaan   yang   bergerak   di   bidang   usaha
pertambangan;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
6. surat keterangan domisili.
Pasal 12

8

(1) Persyaratan   teknis   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   10   huruf   b
untuk:
a. IUP Eksplorasi, meliputi:
1. daftar   riwayat   hidup   dan   surat   pernyataan   tenaga   ahli
pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit
3 (tiga) tahun;
2. peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang
dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang
berlaku secara nasional.
b. IUP Operasi Produksi, meliputi:
1. peta  wilayah dilengkapi  dengan  batas  koordinat   geografis   lintang
dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem  informasi geografi yang
berlaku secara nasional;
2. laporan lengkap eksplorasi;
3. laporan studi kelayakan;
4. rencana reklamasi dan pascatambang;
5. rencana kerja dan anggaran biaya;
6. rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan
operasi produksi; dan
7. tersedianya   tenaga   ahli   pertambangan   dan/atau   geologi   yang
berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun.
Pasal 13
Persyaratan   lingkungan   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   10   huruf   c
meliputi:
a. untuk   IUP   Eksplorasi   meliputi   pernyataan   untuk   mematuhi   ketentuan
peraturan perundang undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
b. untuk IUP Operasi Produksi meliputi:
1. menyusun dokumen lingkungan Amdal atau UKL/UPL;
2. pernyataan   kesanggupan   untuk   mematuhi   ketentuan   peraturan
perundang­undangan   di   bidang   perlindungan     dan   pengelolaan
lingkungan hidup; dan
3. memiliki izin lingkungan;
4. persetujuan   dokumen   lingkungan   hidup   sesuai   dengan   ketentuan
peraturan perundang­undangan.
Pasal 14
(1) Persyaratan   finansial   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   10   huruf   d
untuk:
a. IUP Eksplorasi, meliputi:

9

1. bukti   penempatan   jaminan   kesungguhan   pelaksanaan   kegiatan
eksplorasi; dan
2. bukti   pembayaran   harga   nilai   kompensasi   data   informasi   hasil
lelang WIUP mineral logam sesuai dengan nilai penawaran lelang
atau   bukti   pembayaran   biaya   pencadangan   wilayah   dan
pembayaran   pencetakan   peta   WIUP   mineral   bukan   logam   atau
batuan atas permohonan wilayah.
b. IUP Operasi Produksi, meliputi:
1. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan
publik;
2. bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir; dan
3. bukti   pembayaran   pengganti   investasi   sesuai   dengan   nilai
penawaran lelang bagi pemenang lelang WIUP yang telah berakhir.
(2) Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   persyaratan   finansial   dan   jaminan
kesungguhan diatur dengan Peraturan Walikota
Pasal 15
IUP Produksi diberikan sebagai upaya peningkatan kegiatan ekploitasi.
Pasal 16
(1) Pemegang   IUP   Eksplorasi   dijamin   untuk   memperoleh   IUP   Operasi
Produksi   sebagai   peningkatan   dengan   mengajukan   permohonan   dan
memenuhi persyaratan peningkatan operasi produksi.
(2) IUP   Operasi   Produksi   meliputi   kegiatan   konstruksi,   penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
(3) IUP   Operasi   Produksi   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   diberikan
kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. 
Bagian Kelima
IUP Operasi Produksi Khusus
Pasal 17
(1) IUP Operasi Produksi Khusus diberikan oleh Walikota. 
(2) Dalam   hal   pemegang   IUP   Operasi   Produksi   tidak   melakukankegiatan
pengangkutan   dan   penjualan   dan/atau   pengolahan   dan   pemurnian,
kegiatan   pengangkutan   dan   penjualan   dan/atau   pengolahan   dan
pemurnian dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki:
a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan;
b. IUP   Operasi   Produksi   khusus   untuk   pengolahan   dan   pemurnian;
dan/atau 
c. IUP Operasi Produksi.

10

(3) Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   tata   cara   pemberian   IUP   Operasi
Produksi khusus diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Keenam
Pemasangan Tanda Batas
Pasal 18
(1) Dalam   jangka   waktu   6   (enam)   bulan   sejak   diperolehnya   IUP   Operasi
Produksi, pemegang IUP Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas
wilayah dengan memasang patok pada WIUP.
(2) Pembuatan   tanda   batas   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   harus
selesai sebelum dimulai kegiatan operasi produksi.
(3) Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP Operasi Produksi,
harus   dilakukan   perubahan   tanda   batas   wilayah   dengan   pemasangan
patok baru pada WIUP.

Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan tanda batas WIUP
diatur dengan Peraturan Walikota.

Bagian Ketujuh
Jangka Waktu Izin Pertambangan
Paragraf 1
Jangka Waktu IUP Eksplorasi
Pasal 20
(1) Jangka   waktu   IUP   Eksplorasi   mineral   logam   paling   lama   5   (delapan)
tahun.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyelidikan umum 1 (satu) tahun; 
b. eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing­
masing 1 (satu) tahun; 
c. studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1
(satu) tahun.
(3) Jangka waktu IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam
paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (3) meliputi;
a. penyelidikan umum 1 (satu) tahun; 
b. eksplorasi 1 (satu) tahun; dan
c. studi kelayakan 1 (satu) tahun.
11

(5) Jangka   waktu   IUP   Eksplorasi   untuk   pertambangan   batuan   dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(6) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:
a. penyelidikan umum 1 (satu) tahun; 
b. eksplorasi 1 (satu) tahun; dan 
c. studi kelayakan 1 (satu) tahun.
Paragraf 2
Jangka Waktu IUP Operasi Produksi
Pasal 21
(1) Jangka waktu IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam
dapat   diberikan   paling   lama   20   (dua   puluh)   tahun   termasuk   jangka
waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2
(dua) kali masing­masing 10 (sepuluh) tahun.
(2) Jangka waktu  IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan
logam   dapat   diberikan   paling   lama   10   (sepuluh)   tahun   dan   dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masing­masing 5 (lima) tahun.
(3) Jangka waktu  IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan
logam jenis tertentu dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun
termasuk   jangka   waktu   untuk   konstruksi   selama   2   (dua)   tahun   dan
dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing­masing 10 (sepuluh) tahun.
(4) Jangka waktu  IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat
diberikan paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing­masing 5 (lima) tahun.
(5) Jangka   waktu   Permohonan   perpanjangan   sebagaimana   dimaksud   pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diajukan paling cepat dalam jangka
waktu   2   (dua)   tahun   dan   paling   lambat   dalam   jangka   waktu   6   (enam)
bulan sebelum berakhirnya jangka waktu IUP.
Bagian Kedelapan
Luas WIUP
Pasal 22
WIUP mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan
perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada Walikota.
Pasal 23
(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling
maksimal 10.000 (sepuluh ribu) hektar.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas
paling banyak 5.000 (lima ribu) hektar.
(3) Pemegang   IUP   Eksplorasi   batuan   diberi   WIUP   dengan   luas   paling
maksimal 5.000 (lima ribu) hektar.
12

Pasal 24
(1) Pemegang  IUP Produksi  mineral  logam  diberi  WIUP dengan  luas paling
maksimal 5.000 (lima ribu) hektar.
(2) Pemegang IUP Produksi   mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas
paling banyak 2.000 (dua ribu) hektar.
(3) Pemegang IUP Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling maksimal
1.000 (seribu) hektar.
Bagian Kesembilan
Harga Mineral Bukan Logan dan Batuan
Pasal 25
(1) Harga patokan mineral logam dan batuan ditetapkan oleh Walikota.
(2) Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   tata   cara   penetapan   harga   patokan
mineral logam dan batubara diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB IV
IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 26
(1) Untuk   mendapatkan   IPR   pemohon   wajib   menyampaikan   permohonan
kepada Walikota.
(2) IPR diberikan setelah ditetapkan WPR oleh Walikota.
(3) Dalam 1 (satu) WPR dapat diberikan 1 (satu) sampai maksimal 5 (lima)
IPR.
Bagian Kedua
Persyaratan Pemberian IPR
Pasal  27
(1) Setiap   usaha   pertambangan   rakyat   pada   WPR   dapat   dilaksanakan
apabila telah mendapatkan IPR.
(2) Untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi:
a. persyaratan administratif;
b. persyaratan teknis; dan
c. persyaratan finansial.

13

Pasal 28
(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
huruf a untuk:
a. perseorangan, meliputi:
1. Surat permohonan;
2. Kartu tanda penduduk;
3. Komoditas tambang yang dimohon;
4. Surat keterangan dari Lurah setempat;
5. Surat rekomendasi dari kantor lingkungan hidup Kota ;
6. Surat   Pernyataan   Kesanggupan   Pengelolaan   dan     Pemantauan
Lingkungan   Hidup   atau   UKL­UPL   berdasarkan   peraturan
perundang­undangan;
7. Surat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air Kota bagi
kegiatan pertambangan rakyat yang dilakukan di sungai;
8. Surat persetujuan dari pemilik tanah atau penguasa tanah ulayat
apabila   kegiatan   pertambangan   rakyat   dilakukan   di   tanah   yang
bukan milik si pemohon.
b. kelompok masyarakat, meliputi:
1. Surat permohonan;
2. Komoditas tambang yang dimohon;
3. Surat keterangan dari Lurah setempat;
4. Surat rekomendasi dari kantor lingkungan hidup Kota ;
5. Surat   Pernyataan   Kesanggupan   Pengelolaan   dan     Pemantauan
Lingkungan   Hidup   atau   UKL­UPL   berdasarkan   peraturan
perundang­undangan;
6. Surat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air Kota  bagi
kegiatan pertambangan rakyat yang dilakukan di sungai;
7. Surat persetujuan dari pemilik tanah atau penguasa tanah ulayat
apabila   kegiatan   pertambangan   rakyat   dilakukan   di   tanah   yang
bukan milik si pemohon.
c. koperasi setempat, meliputi:
1. surat permohonan;
2. Nomor pokok wajib pajak;
3. Akta   pendirian   koperasi   yang   telah   disahkan   oleh   pejabat   yang
berwenang;
4. komoditas tambang yang dimohon;
5. Surat keterangan dari Lurah setempat;
6. Surat rekomendasi dari kantor lingkungan hidup;
7. Surat   Pernyataan   Kesanggupan   Pengelolaan   dan     Pemantauan
Lingkungan   Hidup   atau   UKL­UPL   berdasarkan   peraturan
perundang­undangan;

14

8. Surat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air Kota  bagi
kegiatan pertambangan rakyat yang dilakukan di sungai;
9. Surat persetujuan dari pemilik tanah atau penguasa tanah ulayat
apabila   kegiatan   pertambangan   rakyat   dilakukan   di   tanah   yang
bukan milik si pemohon.
(2) Persyaratan   teknis   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   27   ayat   (2)
huruf b berupa surat pernyataan yang memuat mengenai:
1. sumuran pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima) meter;
2. menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan
dengan jumlah tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power
untuk 1 (satu) IPR;
3. tidak   menggunakan   alat   berat,   bahan   peledak   maupun   alat­alat
lainnya yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup;
4. mematuhi   persyaratan   teknis   pertambangan   lainnya   yang   telah
ditetapkan oleh peraturan perundang­undangan.
(3) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
huruf c berupa laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir dan hanya
dipersyaratkan bagi koperasi setempat.
Bagian Ketiga
Kelompok Usaha Pemegang IPR
Pasal 29
Kegiatan usaha pertambangan rakyat dikelompokkan sebagai berikut: 
a. pertambangan mineral logam;
b. pertambangan mineral bukan logam;
c. pertambangan bebatuan.
Pasal 30
Pihak yang dapat memegang IPR ialah:
a. perseorangan;
b. kelompok masyarakat;
c. koperasi.
Bagian Keempat
Luas Wilayah dan Jangka Waktu pemberian IPR
Pasal 31
Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada:
a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektar;
b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektar;
c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektar.
Pasal 32

15

(1) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang.
(2) Pemegang   IPR   dapat   mengajukan   perpanjangan   IPR   kepada   Walikota
setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) habis.
(3) Tata   cara   perpanjangan   maupun   persyaratan   pengajuan   perpanjangan
IPR diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Pasal 33
Pemegang IPR dilarang memindahkan IPR tanpa persetujuan dari Walikota
atau pejabat yang berwenang.
Pasal 34
Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   tata   cara   dan   persyaratan   pengajuan
permohonan IPR diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN
Bagian Kesatu
Hak Pemegang Izin Pertambangan
Pasal 35
Pemegang IUP dan IPR berhak: 
a. melakukan   sebagian   atau   seluruh   tahapan   usaha   pertambangan   baik
kegiatan ekplorasi maupun kegiatan operasi produksi;
b. dapat   memanfaatkan   sarana   dan   prasarana   umum   untuk   keperluan
pertambangan sesuai ketentuan  peraturan perundang­undangan;
c. memiliki   mineral   termasuk   mineral   ikutannya   setelah   membayar   iuran
ekplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radio aktif;
d. mendapat   pembinaan   dan   pengawasan   di   bidang   keselamatan   dan
kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari
Pemerintah Kota ;
e. mendapat   bantuan   modal   sesuai   dengan   ketentuan   peraturan
perundang­undangan.
Bagian Kedua
Kewajiban Pemegang Izin
Pasal 36
Pemegang Izin Usaha Pertambangan wajib:
a. melakukan  kegiatan penambangan paling  lambat  3 (tiga) bulan setelah
IUP dan IPR diterbitkan;
b. menerapkan kaedah teknik pertambangan yang baik;
c. mematuhi   peraturan   perundang­undangan   di   bidang   keselamatan   dan
kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi
standar yang berlaku;
16

d. mematuhi batas toleransi lingkungan hidup; 
e. membayar iuran tetap dan iuran produksi; 
f. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
g. menjaga   kelestarian   fungsi   dan   daya   dukung   sumber   daya   air   yang
bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang­undangan;
h. melaksanakan   reklamasi   dan   pascatambang   sesuai   dengan   rencana
reklamasi dan rencana pascatambang yang telah disusun oleh Walikota;
i. Bagi   pemegang   IUP,   IUP   Operasi   Produksi   khusus   wajib   menerapkan
standar baku mutu lingkungan sesuai dengan karakter suatu daerah.
Pasal 37
Ketentuan   lebih   lanjut   hak   dan   kewajiban   pemegang   IUP,   IUP   Operasi
Produksi khusus, dan IPR diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB VI
PENGHENTIAN SEMENTARA DAN PEMBATALAN IZIN
Bagian Kesatu
Penghentian Sementara Kegiatan Usaha Pertambangan
Pasal 38
(1) Kegiatan usaha  pertambangan  dapat  dilakukan penghentian sementara
apabila terjadi:
a. keadaan kahar;
b. keadaan yang menghalangi; dan/atau
c. kondisi daya dukung lingkungan.
(2) Penghentian   sementara   kegiatan   usaha   pertambangan   sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku izin.
(3) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan   huruf   b,   penghentian   sementara   dilakukan   oleh   Walikota   sesuai
dengan permohonan dari pemegang izin.
(4) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
penghentian   sementara   dilakukan   Walikota   berdasarkan   permohonan
dari masyarakat.
Pasal 39
(1) Penghentian   sementara   karena   keadaan   kahar   harus   diajukan   oleh
pemegang izin dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
kalender   sejak   terjadinya   keadaan   kahar   kepada   Walikota   memperoleh
persetujuan.
(2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada  ayat  (1) diberikan
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1
(satu) kali.
(3) Penghentian   sementara   karena   keadaan   yang   menghalangi   diberikan   1
(satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1
17

(satu)   kali   dengan   jangka   waktu   1   (satu)   tahun   pada   setiap   tahapan
kegiatan dengan persetujuan Walikota.
(4) Apabila   jangka   waktu   penghentian   sementara   sebagaimana   dimaksud
pada ayat (3) telah berakhir, dapat diberikan perpanjangan jangka waktu
penghentian sementara dalam hal terkait perizinan dari instansi lain.
Pasal 40
(1) Pemegang  IUP dan IUPK yang telah diberikan  persetujuan penghentian
sementara   dikarenakan   keadaan   kahar   tidak   mempunyai   kewajiban
untuk   memenuhi   kewajiban   keuangan   sesuai   dengan   ketentuan
peraturan perundang­undangan.
(2) Pemegang izin yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara
dikarenakan keadaan yang menghalangi dan/atau kondisi daya dukung
lingkungan wajib:
a. menyampaikan laporan Walikota sesuai dengan kewenangannya;
b. memenuhi kewajiban keuangan; dan
c. tetap   melaksanakan   pengelolaan   lingkungan,   keselamatan   dan
kesehatan kerja, serta pemantauan lingkungan.
Pasal 41
Persetujuan penghentian sementara berakhir karena:
a. habis masa berlakunya; atau
b. permohonan pencabutan dari pemegang IUP atau IUPK.
Bagian Kedua
Pembatalan Izin Usaha Pertambangan
Pasal 42
IUP atau IPR dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan   yang   diajukan   dalam   permohonan   mengandung   cacat
hukum,   kekeliruan,   penyalahgunaan,   serta   ketidakbenaran   dan/atau
pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya   tanpa   memenuhi   syarat   dan   prosedur   sebagaimana
tercantum dalam peraturan perundang­undangan;
c. pemegang   Izin   tidak   memenuhi   kewajiban­kewajibannya   sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35;
d. pemegang  izin memindahkan izin ke pihak lain tanpa persetujuan dari
Walikota atau pejabat yang berwenang.
BAB VII
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 43
(1) Hak atas WUP dan WPR tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. 
(2) Hak atas WUP dan IPR bukan merupakan pemilikan hak atas tanah.

18

(3) Pemegang IPR hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat 
persetujuan dari pemegang hak atas tanah atau penguasa tanah ulayat. 
BAB VIII
REKLAMASI DAN PASCATAMBANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 44
(1) Pemegang IUP dan IPR wajib melaksanakan reklamasi pascatambang.
(2) Reklamasi   wajib   dilaksanakan   pada   lahan   terganggu   akibat   kegiatan
pertambangan.
(3) Reklamasi Pascatambang wajib dilaksanakan untuk memulihkan fungsi
lingkungan menurut kondisi lokal seluruh wilayah pertambangan.
(4) Pelaksanaan   Relamasi   pascatambang   sebagaimana   dimasud   pada   ayat
(1), (2), dan (3) wajib memenuhi prinsip:
a. lingkungan hidup pertambangan;
b. keselamatan dan kesehatan kerja; dan
c. konservasi mineral.
Pasal 45
(1) Untuk   mencegah   terjadinya   kerusakan   lingkungan   akibat   usaha
pertambangan, setiap Pengusaha  pertambangan wajib melakukan studi
lingkungan.
(2) Studi lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan
oleh   pengusaha   pertambangan   yang   akan   ataupun   yang   sudah
melakukan kegiatan usaha pertambangan.
(3) Tata   cara   pelaksanaan   studi   lingkungan   dilakukan   sesuai   ketentuan
peraturan perundang­undangan yang berlaku.

Pasal 46
Prinsip­prinsip   lingkungan   hidup   pertambangan   sebagaimana   dimaksud
Pasal 44 ayat (4) huruf a meliputi:
a. perlindungan terhadap kualitas air  permukaan,  air  tanah,  air  laut  dan
tanah serta udara sesuai dengan standar baku mutu lingkungan;
b. perlindungan keanekaragaman hayati;
c. pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; dan
d. menghormati nilai­nilai sosial budaya.

19

Pasal 47
Prinsip­prinsip   lingkungan   hidup   pertambangan   sebagaimana   dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (4) huruf b  meliputi:
a. perlindungan keselamatan terhadap setiap pekerja; dan
b. perlindungan setiap pekerja dari penyakit akibat kerja.
Pasal 48
Prinsip­prinsip   konservasi   mineral     pertambangan   sebagaimana   dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (4) huruf c  meliputi:
a. penambangan yang optimum dan pengunaan teknologi pengelolaan yang
efektif dan efisien;
b. pengelolaan   dan   pemanfaatan   cadangan   marginal   kualitas   rendah   dan
mineral kadar rendah serta mineral ikutan;
c. pendataan   sumberdaya   cadangan   mineral   yang   tidak   tertambang   serta
sisa pengolahan dan pemurniaan.
Bagian Kedua
Tata Cara Teknik Reklamasi
Pasal 49
Tata   cara   dan   teknik   reklamasi   lahan   bekas   tambang   secara   umum
ditetapkan sebagai berikut:
a. Tahap Prapenambangan, meliputi kegiatan:
1. Pengamanan   terhadap   penambangan   atau   perbaikan   tanaman   yang
dianggap perlu;
2. Pengamanan   dan   pemeliharaan   lapisan   tanah   penutup   dan   lapisan
pucuk dari bahaya erosi dan kelongsoran.
b. Tahap Penambangan, meliputi kegiatan:
1. Pengaturan   blok­blok   penambangan   untuk   mempermudah
pelaksanaan reklamasi;
2. Pengisian   dan   penimbunan   kembali   pada   lokasi­lokasi   yang   telah
ditambang pada setiap periode penambangan;
3. Penataan lahan bekas tambang yang telah ditimbun dan diisi dengan
cara perataan, pembuatan teras dan pengaturan peta;
4. Pengeboran lapisan tanah pucuk dan pemupukan lahan.
c. Tahap Pascapenambangan
1. Pembibitan dan penanaman kembali dengan jenis tanaman keras atau
tanaman produksi lainnya; dan/atau
2. Pemanfaatan   lahan   bekas   tambang   untuk   alternatif   lain   yang
disesuaikan dengan tata ruang yang berlaku.
Pasal 50
20

(1) Sebelum   pelaksanaan   reklamasi,   pemegang   IUP   wajib   menyampaikan
kepada Walikota tentang rencana, tata cara, dan teknik reklamasi yang
akan diterapkan untuk mendapatkan persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya rencana
reklamasi.
(3) Pemegang IUP bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan reklamasi
dan menanggung segala biaya yang diperlukan.
Pasal 51
(1) Pelaksanaan   reklamasi   harus   dilakukan   sesuai   jangka   waktu   rencana
reklamasi yang telah disetujui oleh Walikota.
(2) Pengusaha   pertambangan   pemegang   IUP   yang   melakukan   reklamasi
wajib   menyampaikan   laporan   kegiatan   reklamasi   setiap   3   (tiga)   bulan
kepada Walikota.
(3) Pelaksanaan reklamasi dianggap telah selesai dan memenuhi persyaratan
jika hasil reklamasi sesuai dengan rencana yang telah disetujui Walikota.
(4) Pengusaha   pertambangan   pemegang   IUP   tetap   bertanggung   jawab
terhadap   lahan   yang   telah   direklamasi   selama   hasil   reklamasi   belum
mendapat persetujuan Walikota. 
(5) Apabila   berdasarkan   penelitian,   pengusaha   pertambangan   belum   atau
tidak   dapat   menyelesaikan   reklamasi   sesuai   dengan   rencana,   Walikota
atau Instansi yang berwenang dapat melakukan tindakan atau tuntutan
sesuai dengan peraturan perundang­undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Jaminan Reklamasi Pascatambang
Pasal 52
(1) Pemegang   IUP   wajib   menyediakan   jaminan   reklamasi   dan   jaminan
pascatambang sesuai dengan perhitungan rencana biaya reklamasi dan
perhitungan rencana biaya pascatambang yang disetujui Walikota
(2) Jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang sebagaaiamana dimaksud
ayat (1) wajib ditempatkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah jadwal yang telah ditentukan.
(3) Dana   Reklamasi   pascatambang   ditentukan   oleh   Walikota   berpedoman
pada peraturan perundang­undangan yang berlaku.

Pasal 53
Pemegang   IUP   dapat   menempatkan   jaminan   reklamasi   dalam   bentuk
Deposito berjangka, Bank Garansi atau  Asuransi, atau cadangan Akutansi.
Pasal 54
21

Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan jumlah, tata cara penempatan,
dan pencaairan atau pelepasan jaminan reklamasi, serta penetapan pihak
ketiga diatur dalam Peraturan Walikota.
Bagian Keempat
Pelaporan
Pasal 55
(1) Pemegang   IUP   IUP   Operasi   Produksi   Khusus   dan   IPR   wajib
menyampaikan   laporan   pelaksanaan   kegiatan   pertambangan   setiap
tahun kepada Walikota melalui Kepala Dinas.
(2) Pemegang   IUP   IUP   Operasi   Produksi   Khusus   dan   IPR   wajib
menyampaikan   laporan   kegiatan   pertambangan   reklamasi   setiap   tahun
kepada Walikota melalui Kepala Dinas.
(3) Pemegang   IUP   IUP   Operasi   Produksi   Khusus   dan   IPR   wajib
menyampaikan   laporan   kegiatan   pertambangan   pascatambang   setiap   3
(tiga) bulan kepada Walikota melalui Kepala Dinas.
(4) Walikota akan melakukan evaluasi terhadap laporan tersebut.
(5) Tata cara evaluasi pelaporan kegiatan pertambangan, kegiatan reklamasi
dan pascatambang diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 56
(1) Dinas   harus   menyampaikan   laporan   tertulis   mengenai   pengelolaan
kegiatan usaha pertambangan kepada Walikota secara berkala setiap 6
(enam) bulan.
(2) Walikota   harus   menyampaikan   laporan   tertulis   mengenai   pengelolaan
kegiatan usaha pertambangan kepada Gubernur.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 57
(1) Walikota   melakukan   pembinaan   terhadap   penyelenggaraan   kegiatan
usaha pertambangan. 
(2) Pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi hal­hal sebagai berikut:
a. pemberian   bimbingan   dan   supervisi   tata   kelola   administrasi   dan
manajemen pengelolaan kegiatan usaha pertambangan;
b. pemberian   pedoman   penyusunan   laporan   penyelenggaraan   kegiatan
usaha pertambangan rakyat;
c. pemberian pedoman teknis pertambangan;
d. pemberian   pedoman   pengelolaan   dan   pemantauan   lingkungan
pertambangan, reklamasi, dan pascatambang;
22

e. pemberian pendidikan dan pelatihan kegiatan usaha pertambangan.
f. pemberian pedoman keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan
rakyat; dan
g. pemberian   bantuan   modal   sesuai   dengan   peraturan   perundang­
undangan.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 58
(1) Pengawasan   terhadap   penyelenggaraan   kegiatan   usaha   pertambangan
dilakukan pejabat yang ditunjuk oleh Walikota.
(2) Pengawasan   terhadap   pengelolaan   usaha   pertambangan   dilaksanakan
melalui:
a. evaluasi  terhadap  laporan rencana  dan pelaksanaan  kegiatan usaha
pertambangan dari pemegang izin; dan/atau
b. inspeksi ke lokasi izin.
(3) Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   pengawasan   diatur   dengan   Peraturan
Walikota.
BAB X 
PENYELESAIAN SENGKETA PERTAMBANGAN RAKYAT
Pasal 59
(1) Penyelesaian   sengketa   pertambangan   rakyat   dapat   ditempuh   melalui
pengadilan dan/atau di luar pengadilan.
(2) Pilihan penyelesaian sengketa pertambangan dilakukan secara suka rela
oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan   melalui   pengadilan   hanya   dapat   ditempuh   dalam   hal   apabila
upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil
oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Pasal 60
(1) Penyelesaian   sengketa   di   luar   pengadilan   dilakukan   dalam   bentuk
mediasi.
(2) Penyelesaian   sengketa   pertambangan     rakyat   dapat   dilakukan   melalui
musyawarah­mufakat melalui:
a. Kerapatan Adat Nagari; atau
b. Pemerintah Kota.
(3) Penunjukan mediator dalam penyelesaian sengketa dilakukan atas dasar
kesepakatan para pihak yang bersengketa.
(4) Penyelesaian   melalui   pengadilan   merupakan   upaya   terakhir   jika
musyawarah dan/atau mediasi tidak tercapai.
23

BAB XI
PENDAPATAN DAERAH
Pasal 61
(1) Pemegang IUP dan IPR wajib membayar pajak/iuran atas kegiatan usaha 
pertambangan yang dilakukannya.
(2) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: 
a. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
b. Iuran tetap; dan/atau 
c. Iuran produksi.
(3) Pendapatan daerah sebagaimana  yang  dimaksud  pada ayat (2) huruf a
sesuai Peraturan Daerah yang berlaku.
(4) Pendapatan   Daerah   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (2)   huruf   b   dan
huruf c diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 62
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini
dapat berupa berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian   sementara   sebagian   atau   seluruh   kegiatan   eksplorasi
atau operasi produksi; 
c. pencabutan izin;
d. Pengenaan Uang Paksa.
(2) Walikota dapat memberikan sanksi administratif   menurut ayat (1) atas
pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 36,
Pasal 37, Pasal 38, ayat (1) dan (2), Pasal 45 dan Pasal 55 ayat (1),(2),(3)
dan (4).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif
diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB XIII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal  63
(1) Penyidik Pegawai   Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah
diberi wewenang khusus sebagai  penyidik untuk melakukan penyidikan
terhadap   pelanggaran   peraturan   daerah   ini  sebagaimana   dimaksud
dalam   Undang­undang   Nomor   8   Tahun   1981   tentang   Hukum   Acara
Pidana.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) adalah :

24

a. menerima,   mencari   mengumpulkan   dan   meneliti   keterangan   atau
laporan  yang berkenaan dengan tindak pidana pelanggaran terhadap
peraturan daerah ini agar keterangan atau laporan  tersebut menjadi
lebih lengkap dan jelas.
b. meneliti,   mencari   dan   mengumpulkan   keterangan   mengenai   orang
pribadi   atau   badan   tentang   kebenaran   perbuatan   yang   dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana terhadap pelanggaran peraturan
daerah ini.
c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana pelanggaran terhadap peraturan
daerah ini.
d. memeriksa buku–buku, catatan­catatan dan dokumen­dokumen lain
yang   berkenaan   dengan   tindak   pidana   pelanggaran   terhadap
peraturan daerah ini.
e. melakukan   pengeledahan   untuk   mendapatkan   barang   bukti
pembukuan,   pencatatan   dan   dokumen­dokumen   lain   serta
melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut.
f.

meminta   bantuan   tenaga   ahli   dalam   rangka   pelaksanaan   tugas
penyidikan tindak pidana terhadap pelanggaran peraturan daerah ini.

g. menyuruh   berhenti     dan   atau   melarang   seseorang   meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan
memeriksa   identitas   orang   dan   atau   dokumen   yang   dibawa
sebagaiman dimaksud huruf e.
h. momotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap
pelanggaran peraturan daerah ini.
i.

memanggil   orang   untuk   di   dengan   keterangannya   dan   diperiksa
sebagai tersangka