faktor-faktor berhubungan dengan tingkat keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan filariasis di Puskesmas SE-Kota Pekalongan tahun 2016 - UDiNus Repository
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT
KEBERHASILAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN FILARIASIS DI PUSKESMAS SE-KOTA
PEKALONGAN TAHUN 2016
Zaenul Mufti*), Suharyo**)
*) Alumni Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
**) Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Jl Nakula I No 5-11 Semarang
Email: [email protected]
ABSTRACT
Background: Filariasis or elephantiasis, is a disease caused by infection filarial
worm that is transmitted through mosquito bites. The disease is widespread in
rural and urban areas. Can attack all groups regardless of age and gender.
Pekalongan is one of the endemic areas of filariasis in Indonesia. In 2010, cases
of filariasis in Pekalongan amounted to 63 patients, with 55 clinical and 8 cases
of chronic cases. In 2011 the city of Pekalongan has increased the number of
cases to 117 patients consisting of 110 clinical cases and 7 cases of chronic. In
2012 the number of cases of filariasis to 66 patients consisted of 59 clinical cases
and 7 cases of chronic taken from samples of four villages namely Village
Kertoharjo, Beard, Customs and Banyurip. Programs of prevention and control of
filariasis in Pekalongan in the form of two main programs namely prevention
program filariasis mass drug administration (POMP) and survey programs finger
blood (SDJ). The purpose of this study is to analyze the factors associated with
the success rate of filariasis prevention program in Puskesmas Se-Pekalongan
2016.
Method: This study uses a quantitative research with cross sectional analytic
survey design. The study population was all officers P2 puskesmas sePekalongan which amounted to 14 officers and the sample used is the entire
population of the officers. This study uses research instrument a questionnaire
and analyzed using Fisher exact test.
Result: The results showed no association between education level (p-value
0.559), reporting mechanisms (p-value 0.275), the role of the community (p-value
0.784) and laboratory facilities (p-value 1.000) with a success rate of programs of
prevention and control of filariasis in health centers as the city of Pekalongan in
2016. There is a relationship between the provision of POMP (p-value 0.049) with
a success rate of prevention and control programs in health centers filariasis sePekalongan 2016.
Conclution: Based on the research results should be actively Health Department
health counseling especially regarding filariasis ongoing basis in order to
increase public knowledge about the dangers of filariasis and always regularly in
the meetings of cadres for the delivery of information can be moved quickly and
precisely.
Keywords
:
Filariasis, a success rate of programs, programs of prevention
and control
ABSTRAK
Latar Belakang : Filariasis atau penyakit kaki gajah, adalah penyakit yang
disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit
ini tersebar luas di pedesaan dan perkotaan. Dapat menyerang semua golongan
tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. Kota Pekalongan merupakan salah satu
daerah endemis filariasis di Indonesia. Pada tahun 2010, kasus filariasis di Kota
Pekalongan berjumlah 63 penderita yang terdiri dari 55 kasus klinis dan 8 kasus
kronis. Pada tahun 2011 kota pekalongan mengalami peningkatan jumlah kasus
menjadi 117 penderita yang terdiri dari 110 kasus klinis dan 7 kasus kronis. Pada
tahun 2012 jumlah kasus filariasis menjadi 66 penderita yang terdiri dari 59 kasus
klinis dan 7 kasus kronis yang diambil dari sampel 4 kelurahan yaitu Kelurahan
Kertoharjo, Jenggot, Pabean dan Banyurip. Program pencegahan dan
penanggulangan filariasis di Kota Pekalongan berupa dua program utama yakni
program pemberian obat massal pencegahan filariasis (POMP) dan program
survey darah jari (SDJ). Tujuan dari penelitian ini yaitu Menganalisis faktor-faktor
yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan program pencegahan filariasis di
Puskesmas Se-Kota Pekalongan tahun 2016.
Metode : Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan
rancangan survei analitik cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh
petugas P2 puskesmas se-Kota Pekalongan yang berjumlah 14 petugas dan
sampel yang digunakan adalah seluruh populasi petugas. Penelitian ini
menggunakan instrumen penelitian kuesioner dan di analisis menggunakan uji
fisher exact.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan (p-value 0,559), mekanisme pelaporan (p-value 0,275), peran
masyarakat (p-value 0,784) dan sarana laboratorium (p-value 1,000) dengan
tingkat keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan filariasis di
puskesmas se-Kota Pekalongan tahun 2016. Terdapat hubungan antara
pemberian POMP (p-value 0,049) dengan tingkat keberhasilan program
pencegahan dan penanggulangan filariasis di puskesmas se-Kota Pekalongan
tahun 2016.
Saran : Berdasarkan hasil penelitian maka sebaiknya Dinas Kesehatan aktif
melakukan penyuluhan kesehatan khususnya mengenai filariasis secara
berkesinambungan dalam rangka peningkatan pengetahuan masyarakat tentang
bahaya filariasis serta selalu teratur dalam dalam mengadakan pertemuan kader
guna penyampaian informasi-informasi dapat berjalan dengan cepat dan tepat.
Kata Kunci
:
Filariasis, Tingkat keberhasilan, Program pencegahan dan
penanggulangan
PENDAHULUAN
Filariasis atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah, adalah penyakit yang
disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit
ini tersebar luas di pedesaan dan perkotaan. Dapat menyerang semua golongan
tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk
yang berisiko tertular penyakit kaki gajah di lebih dari 83 negara dan 60% kasus
berada di Asia Tenggara1.
Tahun 2004, filariasis menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara seluruh
dunia serta 1/5 penduduk dunia atau 1,1 milyar penduduk di 83 negara di seluruh
dunia berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini tidak mengakibatkan kematian, akan tetapi dapat mengakibatkan
kecacatan seumur hidup, stigma sosial, serta gangguan atau hambatan
psikososial sehingga dapat mempengaruhi produktivitas kerja penderita,
keluarga,
dan
masyarakat
yang
menimbulkan
masalah
ekonomi
yang
mengakibatkan kerugian yang besar. 2
Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis,
terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak
tahun 2000 hingga 2009 dilaporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914
kasus yang tersebar di 401 Kabupaten/kota. Hasil laporan kasus klinis kronis
filariasis dari kabupaten/kota yang ditindaklanjuti dengan survei endemisitas
filariasis, sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 kabupaten/kota endemis dan
135 kabupaten/kota non endemis. 1
Provinsi Jawa Tengah Kasus Filariasis dari tahun ke tahun semakin
bertambah. Secara kumulatif, jumlah kasus Filariasis pada tahun 2011 sebanyak
537 penderita. Tahun 2011 ada 141 kasus baru yang ditemukan di 9
kabupaten/kota yaitu Kota Pekalongan (125 kasus), Kabupaten Banjarnegara (5
kasus), Kota Semarang (2 kasus), Kabupaten Semarang (2 kasus), Kabupaten
Brebes (2 kasus), Kabupaten Boyolali (1 kasus), Kabupaten Demak (1 kasus),
Kabupaten Batang (1 kasus) dan Kabupaten Pemalang (1 kasus).5
Berdasarkan hasil survei darah jari (SDJ) yang telah dilakukan mulai tahun
2004 sampai dengan tahun 2010 jumlah kasus klinis yang ditemukan sebanyak
172 kasus, sedangkan untuk kasus kronis sebanyak 21 kasus. Pada tahun 2010,
kasus filariasis di Kota Pekalongan berjumlah 63 penderita yang terdiri dari 55
kasus klinis dan 8 kasus kronis. Pada tahun 2011 kota pekalongan mengalami
peningkatan jumlah kasus menjadi 117 penderita yang terdiri dari 110 kasus
klinis dan 7 kasus kronis. Pada tahun 2012 jumlah kasus filariasis menjadi 66
penderita yang terdiri dari 59 kasus klinis dan 7 kasus kronis yang diambil dari
sampel 4 kelurahan yaitu Kelurahan Kertoharjo, Jenggot, Pabean dan Banyurip.
7
Lingkungan tempat tinggal dapat mempengaruhi seperti penelitian Rizky Amelia
menunjukkan hasil bahwa responden yang dekat dengan tempat perindukan
nyamuk mempunyai risiko 8,556 kali lebih besar menderita filariasis daripada
responden yang tidak dekat dengan tempat perindukan nyamuk serta responden
yang kondisi sanitasi lingkungan sekitarnya buruk mempunyai risiko 8,556 kali
lebih besar menderita filariasis daripada responden yang kondisi lingkungan
sekitarnya baik.8 Sedangkan dari penelitian Nola Riftiana menunjukkan bahwa
pekerjan selain petani yang dilakukan pada malam hari akan meningkatkan risiko
terjadinya filariasis sebasar 3,519 kali dibandingkan dengan orang yang bekerja
pada siang hari. Terdapat 30,9% warga yang memilki pekerjaan sebagai
pedagang/wiraswasta, dan kegiatan tersebut dilakukan pada malam hari
sehingga memungkinkan mereka terpapar oleh gigitan nyamuk.9
Program pencegahan dan penanggulangan filariasis di Kota Pekalongan
berupa dua program utama yakni program pemberian obat massal pencegahan
filariasis (POMP) dan program survey darah jari (SDJ). Dimana POMP
dilaksanakan setiap tahun selama 5 tahun. POMP di mulai pada tahun 2011
hingga 2015. Sedangkan untuk program SDJ dilakukan ketika ada laporan
temuan kasus filariasis. SDJ dilakukan untuk membuktikan apakah ada atau
tidaknya mikrofilaria di darah penderita.
Indikator keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan filariasis,
meliputi minimal 85% penduduk yang berisiko tertular filariasis yang tinggal di
daerah endemis harus mendapatkan POMP filariasis.3 Angka penerima POMP
yang meminum obat harus lebih tinggi dibanding penerima POMP yang tidak
meminum obat, tidak ada peningkatan kasus filariasis kronis, serta tidak
ditemukannya mikrofilaria dalam darah penduduk.
Berdasarkan realita tersebut maka diperlukan suatu penelitian faktor-faktor
apa saja yang berhubungan dengan tingkat keerhasilan program pencegahan
dan penanggulangan filariasis.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan rancangan
survei analitik cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh petugas P2
puskesmas se-Kota Pekalongan yang berjumlah 14 petugas dan sampel yang
digunakan adalah seluruh populasi petugas. Penelitian ini menggunakan
instrumen penelitian kuesioner dan di analisis menggunakan uji fisher exact.
HASIL
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Kategori variabel bebas penelitian
Variabel
Kurang Baik
Baik
F
%
F
%
Tingkat Pendidikan
7
50,0
7
50,0
Mekanisme Pelaporan
6
42,9
8
57,1
Peran Masyarakat
9
64,3
5
32,7
Pemberian obat
9
64,3
5
32,7
Sumber: Data Primer 2016
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa persentase pendidikan
petugas dengan kategori kurang baik 50% (7 responden) sama besar dengan
pendidikan petugas dengan kategori baik 50% (7 responden). Hal tersebut
dikarenakan jenjang pendidikan formal terkahir seluruh responden adalah
terendah lulusan D3, namun 50%
petugas puskesmas belum pernah
mengikuti pelatihan khusus mengenai filariasis. Sedangkan 50% petugas
telah mengikuti pelatihan khusus filariasis.
Kategori variabel mekanisme pelaporan berdasarkan data di atas
menunjukkan bahwa 6 responden (42,9%) mekanisme pelaporan kasus
kurang baik berbanding 8 responden (57,1%) dengan mekanisme pelaporan
baik. Dimana data hasil wawancara diketahui bahwa 8 responden (57,1%)
memerlukan
waktu pencatatan laporan kasus baru < 1 (satu) minggu.
Sedangkan waktu yang diperlukan untuk pelaporan penanggulangan kasus
filariasis 6 responden (42,9%) menjawab < 1 (satu) minggu. Pada kategori
rata-rata waktu pelaporan, pencatatan dan penanggulangan kasus filariasis 6
responden (42,9%) menjawab > 1 (satu) minggu.
Variabel peran masyarakat berdasarkan tabel di atas menunjukkan
bahwa dalam variabel peran masyarakat responden yang termasuk dalam
kategori kurang baik 64,3% sedangkan kategori baik 32,7%. Dimana diketahui
bahwa 14 responden (100%) menyatakan adanya kader filariasis di wilayah
kerja puskesmas mereka. Sedangkan 4 (empat) responden (71,4%)
menyatakan bahwa peran kader di wilayah kerja puskesmas mereka kurang
membantu dalam kegiatan pencegahan filariasis, terdapat 4 responden
(28,6%) menyatakan warga binaan wilayah kerja puskesmas mereka hanya
melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan 3M plus hanya
dua kali dalam satu bulan, terdapat 10 responden (71,4%) menyatakan warga
binaan wilayah kerja puskesmas mereka melaksanakan kegiatan bersih desa
sebanyak 3 sampai 4 kali dalam satu bulan, 4 responden (28,6%) menyatakan
jumlah
warga sasaran yang menerima POMP filariasis di wilayah kerja
puskesmas
bemum
menyeluruh.
Sedangkan
35,7%
(9
responden)
menyatakan seluruh penduduk sasaran mempraktekkan minum obat POMP
filariasis.
Sedangkan dalam variabel pemberian obat 5 responden (32,7%)
tergolong dalam kategori baik. Sedangkan hanya 9 responden (64,3%) yang
menjawab pemberian obat kurang baik. Berdasarkan hasil data wawancara,
diketahui bahwa 3 responden (21,4%) menyatakan pemberian obat POMP di
wilayah kerja puskesmasnya tidak sesuai target. Sedangkan pada kategori
penerima obat POMP sebesar 64,3% (9 responden) menyatakan bahwa
belum seluruh penerima obat di wilayah kerja puskesmas telah meminum obat
POMP.
Tabel 4.13
Distribusi Frekuensi Variabel Sarana Laboratorium
Sarana Laboratorium
F
%
Kurang Mendukung
2
14,3
Mendukung
12
85,7
Jumlah
14
100
Sumber: Data Primer 2016
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa dalam variabel sarana
laboratorium 12 responden (85,7%) termasuk dalam kategori mendukung.
Sedangkan hanya 2 responden (14,3%) sarana laboratorium kurang
mendukung. kategori sarana laboratorium diketahui bahwa 14 responden
(100%)
yang menyatakan seluruh puskesmas terdapat laboratorium serta
terdapat petugas yang mampu mendiagnosis mikrofilaria, Sedangkan dalam
tabel kategori lama waktu pengujian sampel, 12 responden (85,7%)
menyatakan ≤1 jam.
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Variabel Terikat
Tingkat Keberhasilan Pogram
F
Kurang Baik
10
Baik
4
Jumlah
14
Sumber: Data Primer 2016
%
71,8
28,2
100,0
Sedangkan variabel terikat dalam penelitian yakni tingkat keberhasilan
program diketahui bahwa terdapat 4 puskesmas (28,2%) yang masuk
kedalam kategori baik. Sedangkan 10 puskesmas (71,8%) masuk kategori
kurang baik. frekuensi tingkat keberhasilan program pencegahan dan
penanggulangan filariasis dalam 4 pernyataan berupa terdapat 11 puskesmas
(78,6%)
dari total 14 puskesmas telah memenuhi target lebih dari 85%
penduduk binaan telah menerima POMP. Terdapat 14 puskesmas (100%)
dengan Penduduk binaan yang menerima POMP dan meminumnya lebih
besar dibanding penduduk yang menerima POMP tetapi tidak meminumnya.
Sedangkan tidak terjadi peningkatan kasus filariasis di seluruh (100%)
puskesmas se-Kota Pekalongan. Namun, ditemukan mikrofilaria di 10 (71,4%)
wilayah puskesmas se-Kota Pekalongan.
PEMBAHASAN
A. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Petugas Dengan Tingkat
Keberhasilan
Program
Pencegahan
Dan
Penanggulangan
Filariasis
Berdasarkan hasil analisis, proporsi tingkat pendidikan dengan kategori
baik maupun kurang baik sebanding yakni 50% (7 responden) dengan tingkat
pendidikan yang baik dan 50% (7 responden) dengan tingkat pendidikan
kurang baik.
Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan
dengan tingkat keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan
filariasis digunakan Chi square dengan nilai expected count < 5 sebesar 50%
atau lebih dari (20%) dari banyak sel seluruhnya dan sampel kurang dari 40,
maka syarat uji chi square tidak terpenuhi sehingga digunkan uji hasil uji
Fisher exact untuk menganalisis.
Berdasarkan analisis uji Fisher exact dengan tingkat kepercayaan 95%
dan α = 0,05 untuk n = 14 petugas P2, diperoleh nilai p-value lebih besar dari
0,05 yaitu 0.559 >α = 0,05 maka Ho (hipotesis nol) diterima, yang artinya tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan petugas dengan
tingkat keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan filariasis di
puskesmas se-Kota Pekalongan tahun 2016.
Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Nasrin (2008), dimana
berdasarkan hasil analisis secara statistik diperoleh nilai p value 0,059 jika
dibandingkan derajat kemaknaan (p>0,05), maka dapat dinyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan
kejadian filariasis.33
B. Hubungan
Antara
Keberhasilan
Mekanisme
Program
Pelaporan
Pencegahan
Dan
Dengan
Tingkat
Penanggulangan
Filariasis
Untuk mengetahui hubungan antara mekanisme pelaporan dengan
tingkat keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan filariasis
digunakan Chi Square dengan nilai expected count < 5 sebesar 100% atau
lebih dari (20%) dari banyak sel seluruhnya maka syarat uji chi square tidak
terpenuhi sehingga digunkan uji hasil uji Fisher Exact untuk menganalisis.
Berdasarkan analisis uji Fisher Exact dengan tingkat kepercayaan 95%
dan α = 0,05 untuk n = 14 petugas p2, diperoleh nilai p-value lebih besar dari
0,05 yaitu 0,275 >α = 0,05 maka Ho (hipotesis nol) diterima, yang artinya tidak
terdapat hubungan yang bermakna mekanisme pelaporan dengan tingkat
keberhasilan
program
pencegahan
dan
penanggulangan
filariasis
di
puskesmas se-Kota Pekalongan tahun 2016.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden, sebagian besar
responden yang menjawab mekanisme pelaporan kasus kurang dari 1 minggu
dikarenakan data dari kader bisa langsung terorganisir dan terkumpul dan
juga pada saat survey sidik jari sampel darah dapat terbaca langsung apakah
sampel darah positif mengandung mikrofilaria atau tidak. Sedangkan
mekanisme pelaporan yang lebih dari 1 minggu dikarenakan kurangnya
pengetahuan warga serta kontribusi warga maupun kerjasama warga yang
kurang terhadap kegiatan pendistribusian POMP maupun survey darah jari
(SDJ) hal tersebut dikarenakan sebagian warga sudah merasa bosan dengan
kegiatan-kegiatan tersebut.
Dalam hal pengumpulan data dari kader pun
kurang terjadwal sehingga kader tidak langsung menyerahkan data yang
diperlukan kepada pihak puskesmas khususnya petugas P2.
C. Hubungan Antara Peran Masyarakat Dengan Tingkat Keberhasilan
Program Pencegahan Dan Penanggulangan Filariasis
Untuk mengetahui hubungan antara peran masyarakat dengan tingkat
keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan filariasis digunakan
chi square dengan nilai expected count α = 0,05 maka Ho (hipotesis nol) diterima, yang artinya tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara peran masyarakat dengan tingkat
keberhasilan
program
pencegahan
dan
penanggulangan
filariasis
di
puskesmas se-Kota Pekalongan tahun 2016.
Peran dan partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk kelancaran
program pencegahan dan penanggulangan filariasis. Dibutuhkan kerjasama
antara petugas kesehatan dengan masyarakat dimana kegiatan atau program
tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya kerjasama antara kedua belah
pihak. Namun, kendala dilapangan masih cukup banyak mulai dari
menurunnya partisipasi masyarakat dalam kelangsungan program yang mana
dilaksanakan secara berkelanjutan selama 5 tahun (POMP).
Hal tersebut
dikarenakan warga sudah merasa bosan dengan kegiatan tersebut (POMP
dan SDJ). Hal tersebut dapat mempengaruhi tidak adanya hubungan antara
peran masyarakat dengan tingkat keberhasilan program pencegahan dan
penanggulangan filariasis di Kota Pekalongan.
D. Hubungan
Keberhasilan
Antara
sarana
Program
Laboratorium
Pencegahan
Dan
Dengan
Tingkat
Penanggulangan
Filariasis
Berdasarkan hasil analisis, proporsi responden yang memiliki sarana
laboratorium yang mendukung lebih banyak (85.7%) dibanding sarana
laboratorium kurang mendukung (14.3%).
Untuk mengetahui hubungan dengan tingkat keberhasilan program
pencegahan dan penanggulangan filariasis, digunakan chi square dengan
nilai expected count < 5 sebesar 83.3% atau lebih dari (20%) dari banyak sel
seluruhnya maka syarat uji Chi Square tidak terpenuhi sehingga digunkan uji
hasil uji Fisher Exact untuk menganalisis.
Hasil uji Fisher Exact dengan tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05
untuk n = 14 petugas P2, diperoleh nilai p-value lebih besar dari 0,05 yaitu
1,000 >α = 0,05 menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
sarana laboratorium dengan tingkat keberhasilan program pencegahan dan
penanggulangan filariasis di puskesmas se-Kota Pekalongan tahun 2016.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh puskesmas di Kota
Pekalongan memiliki laboratorium dalam membantu program pencegahan dan
penanggulangan filariasis khususnya dalam hal diagnosis atau pembacaan
sampel darah. Setiap puskesmas juga sudah terdapat petugas laboratorium
yang mampu mendiagnisis filariasis. Dalam hal pengujian sampel darah, lama
waktu yang diperlukan terdapat 85,7% responden (12 orang) menjawab
kurang dari 1 jam pemeriksaan, sedangkan 14,3% menjawab lebih dari 1 jam.
E. Hubungan Antara Pemberian Obat Dengan Tingkat Keberhasilan
Program Pencegahan Dan Penanggulangan Filariasis
Berdasarkan hasil analisis, proporsi pemberian obat POMP
3
responden (21.4%) menyatakan pemberian obat POMP tidak sesuai target.
Sedangkan pada kategori penerima obat POMP yang meminum obat sebesar
64.3% (9 responden) menyatakan belum menyeluruh, digunakan Chi Square
dengan nilai expected count < 5 sebesar 100% atau lebih dari (20%) dari
banyak sel seluruhnya maka syarat uji Chi Square tidak terpenuhi sehingga
digunkan uji hasil uji Fisher Exact untuk menganalisis.
Berdasarkan analisis uji Fisher Exact dengan tingkat kepercayaan 95%
dan α = 0,05 untuk n = 14 petugas P2, diperoleh nilai p-value kurang dari 0,05
yaitu 0,049
KEBERHASILAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN FILARIASIS DI PUSKESMAS SE-KOTA
PEKALONGAN TAHUN 2016
Zaenul Mufti*), Suharyo**)
*) Alumni Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
**) Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Jl Nakula I No 5-11 Semarang
Email: [email protected]
ABSTRACT
Background: Filariasis or elephantiasis, is a disease caused by infection filarial
worm that is transmitted through mosquito bites. The disease is widespread in
rural and urban areas. Can attack all groups regardless of age and gender.
Pekalongan is one of the endemic areas of filariasis in Indonesia. In 2010, cases
of filariasis in Pekalongan amounted to 63 patients, with 55 clinical and 8 cases
of chronic cases. In 2011 the city of Pekalongan has increased the number of
cases to 117 patients consisting of 110 clinical cases and 7 cases of chronic. In
2012 the number of cases of filariasis to 66 patients consisted of 59 clinical cases
and 7 cases of chronic taken from samples of four villages namely Village
Kertoharjo, Beard, Customs and Banyurip. Programs of prevention and control of
filariasis in Pekalongan in the form of two main programs namely prevention
program filariasis mass drug administration (POMP) and survey programs finger
blood (SDJ). The purpose of this study is to analyze the factors associated with
the success rate of filariasis prevention program in Puskesmas Se-Pekalongan
2016.
Method: This study uses a quantitative research with cross sectional analytic
survey design. The study population was all officers P2 puskesmas sePekalongan which amounted to 14 officers and the sample used is the entire
population of the officers. This study uses research instrument a questionnaire
and analyzed using Fisher exact test.
Result: The results showed no association between education level (p-value
0.559), reporting mechanisms (p-value 0.275), the role of the community (p-value
0.784) and laboratory facilities (p-value 1.000) with a success rate of programs of
prevention and control of filariasis in health centers as the city of Pekalongan in
2016. There is a relationship between the provision of POMP (p-value 0.049) with
a success rate of prevention and control programs in health centers filariasis sePekalongan 2016.
Conclution: Based on the research results should be actively Health Department
health counseling especially regarding filariasis ongoing basis in order to
increase public knowledge about the dangers of filariasis and always regularly in
the meetings of cadres for the delivery of information can be moved quickly and
precisely.
Keywords
:
Filariasis, a success rate of programs, programs of prevention
and control
ABSTRAK
Latar Belakang : Filariasis atau penyakit kaki gajah, adalah penyakit yang
disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit
ini tersebar luas di pedesaan dan perkotaan. Dapat menyerang semua golongan
tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. Kota Pekalongan merupakan salah satu
daerah endemis filariasis di Indonesia. Pada tahun 2010, kasus filariasis di Kota
Pekalongan berjumlah 63 penderita yang terdiri dari 55 kasus klinis dan 8 kasus
kronis. Pada tahun 2011 kota pekalongan mengalami peningkatan jumlah kasus
menjadi 117 penderita yang terdiri dari 110 kasus klinis dan 7 kasus kronis. Pada
tahun 2012 jumlah kasus filariasis menjadi 66 penderita yang terdiri dari 59 kasus
klinis dan 7 kasus kronis yang diambil dari sampel 4 kelurahan yaitu Kelurahan
Kertoharjo, Jenggot, Pabean dan Banyurip. Program pencegahan dan
penanggulangan filariasis di Kota Pekalongan berupa dua program utama yakni
program pemberian obat massal pencegahan filariasis (POMP) dan program
survey darah jari (SDJ). Tujuan dari penelitian ini yaitu Menganalisis faktor-faktor
yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan program pencegahan filariasis di
Puskesmas Se-Kota Pekalongan tahun 2016.
Metode : Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan
rancangan survei analitik cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh
petugas P2 puskesmas se-Kota Pekalongan yang berjumlah 14 petugas dan
sampel yang digunakan adalah seluruh populasi petugas. Penelitian ini
menggunakan instrumen penelitian kuesioner dan di analisis menggunakan uji
fisher exact.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan (p-value 0,559), mekanisme pelaporan (p-value 0,275), peran
masyarakat (p-value 0,784) dan sarana laboratorium (p-value 1,000) dengan
tingkat keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan filariasis di
puskesmas se-Kota Pekalongan tahun 2016. Terdapat hubungan antara
pemberian POMP (p-value 0,049) dengan tingkat keberhasilan program
pencegahan dan penanggulangan filariasis di puskesmas se-Kota Pekalongan
tahun 2016.
Saran : Berdasarkan hasil penelitian maka sebaiknya Dinas Kesehatan aktif
melakukan penyuluhan kesehatan khususnya mengenai filariasis secara
berkesinambungan dalam rangka peningkatan pengetahuan masyarakat tentang
bahaya filariasis serta selalu teratur dalam dalam mengadakan pertemuan kader
guna penyampaian informasi-informasi dapat berjalan dengan cepat dan tepat.
Kata Kunci
:
Filariasis, Tingkat keberhasilan, Program pencegahan dan
penanggulangan
PENDAHULUAN
Filariasis atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah, adalah penyakit yang
disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit
ini tersebar luas di pedesaan dan perkotaan. Dapat menyerang semua golongan
tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk
yang berisiko tertular penyakit kaki gajah di lebih dari 83 negara dan 60% kasus
berada di Asia Tenggara1.
Tahun 2004, filariasis menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara seluruh
dunia serta 1/5 penduduk dunia atau 1,1 milyar penduduk di 83 negara di seluruh
dunia berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini tidak mengakibatkan kematian, akan tetapi dapat mengakibatkan
kecacatan seumur hidup, stigma sosial, serta gangguan atau hambatan
psikososial sehingga dapat mempengaruhi produktivitas kerja penderita,
keluarga,
dan
masyarakat
yang
menimbulkan
masalah
ekonomi
yang
mengakibatkan kerugian yang besar. 2
Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis,
terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak
tahun 2000 hingga 2009 dilaporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914
kasus yang tersebar di 401 Kabupaten/kota. Hasil laporan kasus klinis kronis
filariasis dari kabupaten/kota yang ditindaklanjuti dengan survei endemisitas
filariasis, sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 kabupaten/kota endemis dan
135 kabupaten/kota non endemis. 1
Provinsi Jawa Tengah Kasus Filariasis dari tahun ke tahun semakin
bertambah. Secara kumulatif, jumlah kasus Filariasis pada tahun 2011 sebanyak
537 penderita. Tahun 2011 ada 141 kasus baru yang ditemukan di 9
kabupaten/kota yaitu Kota Pekalongan (125 kasus), Kabupaten Banjarnegara (5
kasus), Kota Semarang (2 kasus), Kabupaten Semarang (2 kasus), Kabupaten
Brebes (2 kasus), Kabupaten Boyolali (1 kasus), Kabupaten Demak (1 kasus),
Kabupaten Batang (1 kasus) dan Kabupaten Pemalang (1 kasus).5
Berdasarkan hasil survei darah jari (SDJ) yang telah dilakukan mulai tahun
2004 sampai dengan tahun 2010 jumlah kasus klinis yang ditemukan sebanyak
172 kasus, sedangkan untuk kasus kronis sebanyak 21 kasus. Pada tahun 2010,
kasus filariasis di Kota Pekalongan berjumlah 63 penderita yang terdiri dari 55
kasus klinis dan 8 kasus kronis. Pada tahun 2011 kota pekalongan mengalami
peningkatan jumlah kasus menjadi 117 penderita yang terdiri dari 110 kasus
klinis dan 7 kasus kronis. Pada tahun 2012 jumlah kasus filariasis menjadi 66
penderita yang terdiri dari 59 kasus klinis dan 7 kasus kronis yang diambil dari
sampel 4 kelurahan yaitu Kelurahan Kertoharjo, Jenggot, Pabean dan Banyurip.
7
Lingkungan tempat tinggal dapat mempengaruhi seperti penelitian Rizky Amelia
menunjukkan hasil bahwa responden yang dekat dengan tempat perindukan
nyamuk mempunyai risiko 8,556 kali lebih besar menderita filariasis daripada
responden yang tidak dekat dengan tempat perindukan nyamuk serta responden
yang kondisi sanitasi lingkungan sekitarnya buruk mempunyai risiko 8,556 kali
lebih besar menderita filariasis daripada responden yang kondisi lingkungan
sekitarnya baik.8 Sedangkan dari penelitian Nola Riftiana menunjukkan bahwa
pekerjan selain petani yang dilakukan pada malam hari akan meningkatkan risiko
terjadinya filariasis sebasar 3,519 kali dibandingkan dengan orang yang bekerja
pada siang hari. Terdapat 30,9% warga yang memilki pekerjaan sebagai
pedagang/wiraswasta, dan kegiatan tersebut dilakukan pada malam hari
sehingga memungkinkan mereka terpapar oleh gigitan nyamuk.9
Program pencegahan dan penanggulangan filariasis di Kota Pekalongan
berupa dua program utama yakni program pemberian obat massal pencegahan
filariasis (POMP) dan program survey darah jari (SDJ). Dimana POMP
dilaksanakan setiap tahun selama 5 tahun. POMP di mulai pada tahun 2011
hingga 2015. Sedangkan untuk program SDJ dilakukan ketika ada laporan
temuan kasus filariasis. SDJ dilakukan untuk membuktikan apakah ada atau
tidaknya mikrofilaria di darah penderita.
Indikator keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan filariasis,
meliputi minimal 85% penduduk yang berisiko tertular filariasis yang tinggal di
daerah endemis harus mendapatkan POMP filariasis.3 Angka penerima POMP
yang meminum obat harus lebih tinggi dibanding penerima POMP yang tidak
meminum obat, tidak ada peningkatan kasus filariasis kronis, serta tidak
ditemukannya mikrofilaria dalam darah penduduk.
Berdasarkan realita tersebut maka diperlukan suatu penelitian faktor-faktor
apa saja yang berhubungan dengan tingkat keerhasilan program pencegahan
dan penanggulangan filariasis.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan rancangan
survei analitik cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh petugas P2
puskesmas se-Kota Pekalongan yang berjumlah 14 petugas dan sampel yang
digunakan adalah seluruh populasi petugas. Penelitian ini menggunakan
instrumen penelitian kuesioner dan di analisis menggunakan uji fisher exact.
HASIL
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Kategori variabel bebas penelitian
Variabel
Kurang Baik
Baik
F
%
F
%
Tingkat Pendidikan
7
50,0
7
50,0
Mekanisme Pelaporan
6
42,9
8
57,1
Peran Masyarakat
9
64,3
5
32,7
Pemberian obat
9
64,3
5
32,7
Sumber: Data Primer 2016
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa persentase pendidikan
petugas dengan kategori kurang baik 50% (7 responden) sama besar dengan
pendidikan petugas dengan kategori baik 50% (7 responden). Hal tersebut
dikarenakan jenjang pendidikan formal terkahir seluruh responden adalah
terendah lulusan D3, namun 50%
petugas puskesmas belum pernah
mengikuti pelatihan khusus mengenai filariasis. Sedangkan 50% petugas
telah mengikuti pelatihan khusus filariasis.
Kategori variabel mekanisme pelaporan berdasarkan data di atas
menunjukkan bahwa 6 responden (42,9%) mekanisme pelaporan kasus
kurang baik berbanding 8 responden (57,1%) dengan mekanisme pelaporan
baik. Dimana data hasil wawancara diketahui bahwa 8 responden (57,1%)
memerlukan
waktu pencatatan laporan kasus baru < 1 (satu) minggu.
Sedangkan waktu yang diperlukan untuk pelaporan penanggulangan kasus
filariasis 6 responden (42,9%) menjawab < 1 (satu) minggu. Pada kategori
rata-rata waktu pelaporan, pencatatan dan penanggulangan kasus filariasis 6
responden (42,9%) menjawab > 1 (satu) minggu.
Variabel peran masyarakat berdasarkan tabel di atas menunjukkan
bahwa dalam variabel peran masyarakat responden yang termasuk dalam
kategori kurang baik 64,3% sedangkan kategori baik 32,7%. Dimana diketahui
bahwa 14 responden (100%) menyatakan adanya kader filariasis di wilayah
kerja puskesmas mereka. Sedangkan 4 (empat) responden (71,4%)
menyatakan bahwa peran kader di wilayah kerja puskesmas mereka kurang
membantu dalam kegiatan pencegahan filariasis, terdapat 4 responden
(28,6%) menyatakan warga binaan wilayah kerja puskesmas mereka hanya
melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan 3M plus hanya
dua kali dalam satu bulan, terdapat 10 responden (71,4%) menyatakan warga
binaan wilayah kerja puskesmas mereka melaksanakan kegiatan bersih desa
sebanyak 3 sampai 4 kali dalam satu bulan, 4 responden (28,6%) menyatakan
jumlah
warga sasaran yang menerima POMP filariasis di wilayah kerja
puskesmas
bemum
menyeluruh.
Sedangkan
35,7%
(9
responden)
menyatakan seluruh penduduk sasaran mempraktekkan minum obat POMP
filariasis.
Sedangkan dalam variabel pemberian obat 5 responden (32,7%)
tergolong dalam kategori baik. Sedangkan hanya 9 responden (64,3%) yang
menjawab pemberian obat kurang baik. Berdasarkan hasil data wawancara,
diketahui bahwa 3 responden (21,4%) menyatakan pemberian obat POMP di
wilayah kerja puskesmasnya tidak sesuai target. Sedangkan pada kategori
penerima obat POMP sebesar 64,3% (9 responden) menyatakan bahwa
belum seluruh penerima obat di wilayah kerja puskesmas telah meminum obat
POMP.
Tabel 4.13
Distribusi Frekuensi Variabel Sarana Laboratorium
Sarana Laboratorium
F
%
Kurang Mendukung
2
14,3
Mendukung
12
85,7
Jumlah
14
100
Sumber: Data Primer 2016
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa dalam variabel sarana
laboratorium 12 responden (85,7%) termasuk dalam kategori mendukung.
Sedangkan hanya 2 responden (14,3%) sarana laboratorium kurang
mendukung. kategori sarana laboratorium diketahui bahwa 14 responden
(100%)
yang menyatakan seluruh puskesmas terdapat laboratorium serta
terdapat petugas yang mampu mendiagnosis mikrofilaria, Sedangkan dalam
tabel kategori lama waktu pengujian sampel, 12 responden (85,7%)
menyatakan ≤1 jam.
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Variabel Terikat
Tingkat Keberhasilan Pogram
F
Kurang Baik
10
Baik
4
Jumlah
14
Sumber: Data Primer 2016
%
71,8
28,2
100,0
Sedangkan variabel terikat dalam penelitian yakni tingkat keberhasilan
program diketahui bahwa terdapat 4 puskesmas (28,2%) yang masuk
kedalam kategori baik. Sedangkan 10 puskesmas (71,8%) masuk kategori
kurang baik. frekuensi tingkat keberhasilan program pencegahan dan
penanggulangan filariasis dalam 4 pernyataan berupa terdapat 11 puskesmas
(78,6%)
dari total 14 puskesmas telah memenuhi target lebih dari 85%
penduduk binaan telah menerima POMP. Terdapat 14 puskesmas (100%)
dengan Penduduk binaan yang menerima POMP dan meminumnya lebih
besar dibanding penduduk yang menerima POMP tetapi tidak meminumnya.
Sedangkan tidak terjadi peningkatan kasus filariasis di seluruh (100%)
puskesmas se-Kota Pekalongan. Namun, ditemukan mikrofilaria di 10 (71,4%)
wilayah puskesmas se-Kota Pekalongan.
PEMBAHASAN
A. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Petugas Dengan Tingkat
Keberhasilan
Program
Pencegahan
Dan
Penanggulangan
Filariasis
Berdasarkan hasil analisis, proporsi tingkat pendidikan dengan kategori
baik maupun kurang baik sebanding yakni 50% (7 responden) dengan tingkat
pendidikan yang baik dan 50% (7 responden) dengan tingkat pendidikan
kurang baik.
Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan
dengan tingkat keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan
filariasis digunakan Chi square dengan nilai expected count < 5 sebesar 50%
atau lebih dari (20%) dari banyak sel seluruhnya dan sampel kurang dari 40,
maka syarat uji chi square tidak terpenuhi sehingga digunkan uji hasil uji
Fisher exact untuk menganalisis.
Berdasarkan analisis uji Fisher exact dengan tingkat kepercayaan 95%
dan α = 0,05 untuk n = 14 petugas P2, diperoleh nilai p-value lebih besar dari
0,05 yaitu 0.559 >α = 0,05 maka Ho (hipotesis nol) diterima, yang artinya tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan petugas dengan
tingkat keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan filariasis di
puskesmas se-Kota Pekalongan tahun 2016.
Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Nasrin (2008), dimana
berdasarkan hasil analisis secara statistik diperoleh nilai p value 0,059 jika
dibandingkan derajat kemaknaan (p>0,05), maka dapat dinyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan
kejadian filariasis.33
B. Hubungan
Antara
Keberhasilan
Mekanisme
Program
Pelaporan
Pencegahan
Dan
Dengan
Tingkat
Penanggulangan
Filariasis
Untuk mengetahui hubungan antara mekanisme pelaporan dengan
tingkat keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan filariasis
digunakan Chi Square dengan nilai expected count < 5 sebesar 100% atau
lebih dari (20%) dari banyak sel seluruhnya maka syarat uji chi square tidak
terpenuhi sehingga digunkan uji hasil uji Fisher Exact untuk menganalisis.
Berdasarkan analisis uji Fisher Exact dengan tingkat kepercayaan 95%
dan α = 0,05 untuk n = 14 petugas p2, diperoleh nilai p-value lebih besar dari
0,05 yaitu 0,275 >α = 0,05 maka Ho (hipotesis nol) diterima, yang artinya tidak
terdapat hubungan yang bermakna mekanisme pelaporan dengan tingkat
keberhasilan
program
pencegahan
dan
penanggulangan
filariasis
di
puskesmas se-Kota Pekalongan tahun 2016.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden, sebagian besar
responden yang menjawab mekanisme pelaporan kasus kurang dari 1 minggu
dikarenakan data dari kader bisa langsung terorganisir dan terkumpul dan
juga pada saat survey sidik jari sampel darah dapat terbaca langsung apakah
sampel darah positif mengandung mikrofilaria atau tidak. Sedangkan
mekanisme pelaporan yang lebih dari 1 minggu dikarenakan kurangnya
pengetahuan warga serta kontribusi warga maupun kerjasama warga yang
kurang terhadap kegiatan pendistribusian POMP maupun survey darah jari
(SDJ) hal tersebut dikarenakan sebagian warga sudah merasa bosan dengan
kegiatan-kegiatan tersebut.
Dalam hal pengumpulan data dari kader pun
kurang terjadwal sehingga kader tidak langsung menyerahkan data yang
diperlukan kepada pihak puskesmas khususnya petugas P2.
C. Hubungan Antara Peran Masyarakat Dengan Tingkat Keberhasilan
Program Pencegahan Dan Penanggulangan Filariasis
Untuk mengetahui hubungan antara peran masyarakat dengan tingkat
keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan filariasis digunakan
chi square dengan nilai expected count α = 0,05 maka Ho (hipotesis nol) diterima, yang artinya tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara peran masyarakat dengan tingkat
keberhasilan
program
pencegahan
dan
penanggulangan
filariasis
di
puskesmas se-Kota Pekalongan tahun 2016.
Peran dan partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk kelancaran
program pencegahan dan penanggulangan filariasis. Dibutuhkan kerjasama
antara petugas kesehatan dengan masyarakat dimana kegiatan atau program
tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya kerjasama antara kedua belah
pihak. Namun, kendala dilapangan masih cukup banyak mulai dari
menurunnya partisipasi masyarakat dalam kelangsungan program yang mana
dilaksanakan secara berkelanjutan selama 5 tahun (POMP).
Hal tersebut
dikarenakan warga sudah merasa bosan dengan kegiatan tersebut (POMP
dan SDJ). Hal tersebut dapat mempengaruhi tidak adanya hubungan antara
peran masyarakat dengan tingkat keberhasilan program pencegahan dan
penanggulangan filariasis di Kota Pekalongan.
D. Hubungan
Keberhasilan
Antara
sarana
Program
Laboratorium
Pencegahan
Dan
Dengan
Tingkat
Penanggulangan
Filariasis
Berdasarkan hasil analisis, proporsi responden yang memiliki sarana
laboratorium yang mendukung lebih banyak (85.7%) dibanding sarana
laboratorium kurang mendukung (14.3%).
Untuk mengetahui hubungan dengan tingkat keberhasilan program
pencegahan dan penanggulangan filariasis, digunakan chi square dengan
nilai expected count < 5 sebesar 83.3% atau lebih dari (20%) dari banyak sel
seluruhnya maka syarat uji Chi Square tidak terpenuhi sehingga digunkan uji
hasil uji Fisher Exact untuk menganalisis.
Hasil uji Fisher Exact dengan tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05
untuk n = 14 petugas P2, diperoleh nilai p-value lebih besar dari 0,05 yaitu
1,000 >α = 0,05 menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
sarana laboratorium dengan tingkat keberhasilan program pencegahan dan
penanggulangan filariasis di puskesmas se-Kota Pekalongan tahun 2016.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh puskesmas di Kota
Pekalongan memiliki laboratorium dalam membantu program pencegahan dan
penanggulangan filariasis khususnya dalam hal diagnosis atau pembacaan
sampel darah. Setiap puskesmas juga sudah terdapat petugas laboratorium
yang mampu mendiagnisis filariasis. Dalam hal pengujian sampel darah, lama
waktu yang diperlukan terdapat 85,7% responden (12 orang) menjawab
kurang dari 1 jam pemeriksaan, sedangkan 14,3% menjawab lebih dari 1 jam.
E. Hubungan Antara Pemberian Obat Dengan Tingkat Keberhasilan
Program Pencegahan Dan Penanggulangan Filariasis
Berdasarkan hasil analisis, proporsi pemberian obat POMP
3
responden (21.4%) menyatakan pemberian obat POMP tidak sesuai target.
Sedangkan pada kategori penerima obat POMP yang meminum obat sebesar
64.3% (9 responden) menyatakan belum menyeluruh, digunakan Chi Square
dengan nilai expected count < 5 sebesar 100% atau lebih dari (20%) dari
banyak sel seluruhnya maka syarat uji Chi Square tidak terpenuhi sehingga
digunkan uji hasil uji Fisher Exact untuk menganalisis.
Berdasarkan analisis uji Fisher Exact dengan tingkat kepercayaan 95%
dan α = 0,05 untuk n = 14 petugas P2, diperoleh nilai p-value kurang dari 0,05
yaitu 0,049