ISLAM DIANTARA MITOLOGI KATA KATA

ISLAM DIANTARA MITOLOGI KATA-KATA
Oleh : Hardiwinoto
Setiap kata memiliki sejarah panjang dalam proses pembentukannya. Ada kata-kata
yang kemunculannya sangat monumental. Kata-kata yang dalam sejarah membutuhkan
pengorbanan, perjuangan, lalu terabadikan sebagai nama-nama, jargon-jargon atau
simbul-simbul lembaga perjuangan.
Antara lain, kata-kat yang meyejarah adalah, Nasional, Demokrasi dan Reformasi.
Tiga kata yang kehadirannya dalam blantika kata-kata sangat monumental dalam
membela kepentingan rakyat di Indonesia. Dalam abad 20 di Indonesia, yang tertua
adalah kata Nasional, kemudian disusul kata Demokrasi dan diakhir abad adalah kata
Reformasi.
Kata Nasional
Kata nasional naik ke permukaan diantara beribu-ribu kata digunakan oleh para
pejabat, pejuang, pahlawan, ilmuwan, pengusaha, tokoh LSM, eksekutuf, legislatif,
yudikatif, lurah, camat, bupati, gubernur sampai presidem, lalu santri, ustad dan kiyai
semua berjuang atas nama nasional. Kata nasional memotivasi dengan gigih
mempersatukan suku-suku dan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara menjadi
nasional (bangsa) Indonesia.
Kata nasional menjadi metodologi pemersatu bangsa Indonesia. Kata nasional
menjadi doktrin untuk segenap bangsa Indonesia dalam bernegara. Karena kata nasional
adalah sinonim dari kata bangsa, maka kata nasional di Indonesia berarti bangsa

Indonesia. Ketika kata bangsa melekat dengan kata Indonesia jadilah Frase kata bangsa
Indonesia. Kata bangsa dan kebangsaan Indonesia menjadi sakral yang kemudian
didoktrinkan, didongengkan, dinyanyikan, diwiridkan, dan dimantrakan untuk menjadi
nasionalisme.
Muncullah deretan kata-kata, Gerakan Nasional, Partai Nasional, Pahlawan Nasional,
Lagu Nasional, Sejarah Nasional, Musium Nasional, Tugu Nasional, Badan Nasional,
Lembaga Nasional, Radio Nasional, dan lain sebagainya dengan deretan kata primadona
bersanding dengan kata Nasional. Sedikit ditemukan jejeran kata berbunyi bandit
nasional, maling nasional, koruptor nasional, pelacur nasional, atau pengkianat nasional.
Apalagi jika dilembagakan menjadi lembaga pengkianat nasional atau badan korupsi
nasional dan kat sebayanya.
Kata nasional membentuk ideologi yaitu nasionalisme yang dibangun Diponegoro,
Imam Bonjol, Teuku Umar, Hasanuddin yang dilanjutkan oleh Cokroaminoto,
Soekarno, Natsir, Hatta, dan lainnya. Mereka adalah dengan gaya atau style perjuangan
masing-masing disemangati oleh “api Islam” (meminjam kata Soekarno), yaitu
memperjuangkan kemerdekaan dan keutuhan nasional/bangsa adalah bagian dari
keimanan dan keislaman.
Kata Nasionalisme paling tidak sejak awal abad 20, mulai didirikan, ditegakkan,
sekarang sudah dipoles dan dihiasi sampai indah mempesona menjadi bangunan yang
karena keindahan katanya kemudian dipuja-puja, dijunjung tinggi, disubya-subya oleh

kerena itu diperlukan “sesaji”.
Sementara itu Islam justru dicurigai dan dituduh sektarian ketika ingin menegakkan
warna aslinya. Yaitu ketika memberantas perjudian, pelacuran, kemaksiatan dan ketidak

adilan gara-gara nama Islam atau berafiliasi Islam, apalagi jika atas dasar hukum
(syari’ah) Islam. Ini karena paradoks dengan pandangan pendahulunya. Jika para
pejuang mengatakan perjuangan menegakkan negara nasional adalah bagian dari Islam
sementara sekarang memperjuangkan syari’at Islam adalah bagian dari nasional. Kata
Islam yang sudah terbangun indah, megah dan mewah menjadi hampa tanpa makna
perjuangan nilai-nilai Islam. Itulah sebabnya kemaksiatan merajalela dimana-mana
seantero Indonesia. Oleh sebab itu saya curiga bahwa kemaksiatan itu tercipta karena
diteladani oleh para pemimpin nasionalnya.
Islam yang diwakili para pejuang kemerdekaan, mengkrital dalam wacana perjuangan
nasional. Tapi sekarang meluntur. Apakah Islam seperti yang pernah disitir oleh
Abdussatar bahwa generasi sekarang adalah sebuah generasi yang hanya bisa
berkeliling di antara reruntuhan bangunan yang dulunya megah, sambil berkata dulu
nenek moyang kami adalah orang hebat.
Bangunan kata menjadi hilang makna sejarahnya, proses kejadiannya,
pembentukannya, semangat pembangunnya, serta ketulusan para penegaknya. Lalu kata
nasional menjadi bangunan kuno yang hanya minta dikunjungi, diperingati, disesajini,

dan diruwati sekedarnya untuk acara ritual atau rutinitas yang penting ada kata nasional,
bangsa, nasionalisme dan kebangsaan. Tetapi entahlah kata nasional menjadi kosong
melompong.
Nasionalisme dulunya sebagai metodologi sekarang tinggal mitologi, Nasionalisme
dulu sebagai idealisme sekarang tinggal idle (terdiam). Nasionalisme dulunya sebagai
laboratorium sekarang tinggal sebagai label. Nasionalisme dulu sebagai semangat
berjuang sekarang tinggal semangkok makanan.
Dapatkah dianalogikan didalam mencermati kasus Bulogate dan BLBI?. Padahal ada
kata Dewan Ekonomi Nasional, Badan Penyelamatan Nasional dan lain-lain bernama
nasional. Ditambah lagi Islam menjadi buruk muka karena tiga putra Islam yang sedang
dan pernah menjadi petinggi nasional duanya telah memperburuk citra Islam yaitu
Abdurrahman Wahid dan Akbar Tanjung. Tidak tanggung-tanggung, mereka dari HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) dan NU (Nahdhotul Ulama’), yaitu dua organisasi Islam
yang disegani di negara nasional Indonesia.
Kata Demokrasi
Kata Demokrasi pun menyusul di belakan terbentuknya negara nasional Indonesia.
Kata Demokrasi menjadi landasan operasional ketatanegaraan. Meskipun kata ini adalah
serapan atau pinjaman dari negara tempat asal kata terbentuk.
Kata demokrasi bangkit tegak karena pencerahan dari model feodalosme, monarchi
otoriter, theokrasi, atau tirani dalam bentuk apapun. Kata demokrasi pun menjadi

kesadaran bersama sebagai metodologi dalam menyemangati perjuangan untuk
mengentaskan rakyat dari cengkraman kekuasaan yang membodohkan dan
menyengsarakan, kerena rakyat tidak ikut terlibat dalam pertisipasi di kedaulatan
negara.
Kata Demokrasi berakar kata kedaulatan rakyat. Oleh karena itu kata demokrasi
terbentuk karena naiknya rakyat mengambil alih kendali negara. Ibarat dalam lakon
pewayangan adalah “petruk dari ratu”. Dimana petruk yang mewakili rakyat kecil
dapat menjadi pemimpin negara. Kata demokrasi adalah impian, harapan, perjuangan
dan prasyarat terbentuknya suatu negara. Oleh para pendirinya yang terwujud di negara-

negara yang sekarang dianggap maju seperti Amerika dan Eropa. Lalu Indonesia
meminjamnya.
Sahdan kata Demokrasi menjadi “pas word” dalam setiap ceremonial berbangsa dan
bernegara. Kata demokrasi berhamburan dimana-mana baik di eksekutif, yudikatif, dan
lebih-lebih legislatif. Kata demokrasi menjadi “dalil suci” yang tak terbantahkan di
setiap pemecahan masalah. Katanya.
Dengan dalil demokrasi bermakna suara rakyat adalah suara tuhan yang mengandung
arti bahwa disetiap keputusan oleh suara terbanyak adalah suatu titah yang harus di
jalankan sebagaimana sabda pendita ratu. Oleh karena itu semua pemecahan masalah
divotingkan. Dalam pemahaman demikian bonekapun dapat menjadi pemimpin tatkala

dipilih menjadi suara terbanyak. Dan mencuripun menjadi perilaku sah jika disahkan
oleh suara terbanyak. Semua orang pun tergopoh-gopoh untuk sami’na wa’ato’na untuk
menjalankan titah jika sudah dengan kata demokrasi.
Padahal untuk mendaptkan suara terbanyak diperlukan makelar, penjaja, atau asongan
demokresi, kalau perlu dengan model kredit, cicilan, diskon atau berhadiah. Kalau
demikian, belum lunas demokrasi sudah dikatakan demokrasi. Sehingga demokerasi
dapat dianatomikan menjadi demikian : “kalau pemimpinnya maling berarti mayoritas
rakyatnya sebenarnya maling”. Lha kalau rakyatnya sudah diwakili?. Adakah para
wakil maling di negeri demokrasi Indonesia kini?
Demokrasi dibangun dengan perenungan intelektual yang canggih menjadi barang
penjaman bagi tukang sulap yang hanya bisa aba kadabrah. Suatu bukti bahwa wakil
rakyat yang dipilih secara demokratis untuk memilih presiden secara demokrasi hanya
bagaimana berebut kata nasional semangkok makanan.
Demokrasi menjadi kata-kata para tukang obat di pasar tradisional, yaitu dikatakan
obat mujarab yang dijual secara obral tanpa resep, dosis, diagnosa, ukuran, kelayakan,
terget kesembuham dan bahaya samping. Yang penting dapat mengurangi rasa sakit
sesaat. Tapi itulah obat bagi para ekonomi lemah. Lebih pentin hari ini dari pada esok
keburu mati.
Begitulah demokrasi di Indonesia, sebuah kata yang sudah usang menjadi mitologi
besar yang dipinjam, tak kunjung dapat mengobati Indonesia yang sudah tegak satu

abad sejak kata Nasional di 1905 oleh Syarekat Islam, 1908 oleh Boedi Utomo, dan
1928 ketika sumpah pemuda.
Demokrasi adalah bagian dari konsep musyawarah yang di Islam diajarkan, tetapi,
Islam juga melarang kepada manusia yang baik (sholeh) untuk mengikuti kebanyakan
orang, karena kebanyakan orang adalah menganiaya dirinya sendiri (dholim) yaitu sesat
(Al Qur’an). Jika demikian halnya maka bisa jadi demokrasi di Indonesia mengarah
kepada kesesatan. Karena selalu voting mengikuti suara terbanyak dengan sistem jual
beli kredit, diskon atau berhadiah tersebut. Artinya demokrasi tanpa kepastian hukum.
Kepastian Hukum dalam Islam adalah syari’at Islam itu sendiri. Allah menanang kepada
manusia yuitu barang siapa yang ragu atas apa yang diwahyukan kepada Muhammad
(Al Qur’an) maka buatkanlah satu ayat saja yang serupa Al Qur’an (memiliki kepastian
hukum), niscaya kamu sekalian tidak mampu dan kamu benar-benar tidak mampu (Al
Baqoroh 23-24). Sampai sekarang tidak pernah kita temukan kepastian hukum dalam
negara demokrasi di Indonesia. Ketidak pastian hukum dalam bingkai demokrasi atas
dasar kebanyakan orang dapat menjadi dholim. Jika demikian kata demokrasi adalah
mitos belaka karena toh tak pernah dapat menghadirkan ketentraman.

Kata Reformasi
Kata yang hadir belakangan diakhir abad 20, tepatnya diakhir tahun 1997. Kata yang
diusung beramai-ramai untuk meruntuhkan tahta kepresidenan Soeharto penguasa

Rezim Orde Baru. Kata Reformasi dilanturkan, digemakan, dan diyelkan untuk
melengserkan Soeharto dari Keprabon. Beduyun-duyun para demonstran mengeyelkan
kata “Reformasi, Turunkan Soeharto” menggema ke seluruh pelosok tanah air dengan
diaminkan oleh hampir semua lapisan golongan masyarakat tak terkecuali para
komponen Golkar salah satu pilar kekuasaan Soeharto. Maklum Soeharto menjadi
presiden selama 32 tahun lamanya tak tergantikan. Sementara pada dirinya melekat
banyak kasus KKN, Tirani, Smileman Killer dan diktator.
Islam memberi pelajaran tentang reformasi adalah lewat kisah Ibrahim ketika
meruntuhkan kumpulan berhala sebagai simbul kekuasaan tirani raja Namtud, dan
kisah Musa ketika meruntuhkan tirani raja Fir’aun dalam memegang kekuasaan tak
terhingga. Sementara itu di Indonesia yang salah satu motornya adalah Amin Rais
merobohkan tirani kekuasaan Orde Baru. Artinya reformasi adalah sebuah gerakan
untuk menumbangkan mitos-mitos kekuasaan.
Di Indonesia kata reformasi mampu membongkar mitos-mitos, mulai dari bapak
pembangunan, jendral besar, dwifungsi ABRI, Cendana, Istana Merdeka, Tata Niaga
Perdagangan Monopoli, Paduan suara DPR, Hak Prerogatif Presiden, Inprs, Dewan
Pembina, Ketua, Penasihat, pelindung, Golkar dan lain-lain yang diasosiasikan bentukbentuk monolistik kekuasaan.
Karen Soeharto akhirnya jatuh tersungkur ketembak kata reformasi yang bertubi-tubi,
maka kata reformasi kemudian difungsikan untuk banyak hal. Kata reformasi
berhamburan kemana-mana, di kelurahan, di kepolisian, di TNI, di partai, di

perusahaan, di sekolahan, di tempat ibadah, di LSM, dan di manapun berada.
Dengan atas nama reformasi maka Lurah, Camat, RT, Takmir, Ketua Yayasan, Bapak
dan apa saja yang berkedudukan pemimpin dapat diturunkan. Kata reformasi menjadi
sinonim dari akta menganti. Sehingga reformasi tanpa visi baru hanya mengganti
menduduki kursi.
Kata reformasi menjadi primadona setiap orang. Kalau perlu semuanya diberi nama
reformasi mulai dari lembaga, dewan, intitusi, Bapak, Anak, Tokoh, Hari, bahkan bayi.
Dengan menggunakan kata reformasi dapat terkesan baru, keren, trendy, aduhai untuk
dapat menunjukkan performance yang lebih baik dari sebelumnya. Kata reformasi
memiliki kekuatan metodologi yang luar biasa karena dengan memakai kata reformasi
mampu merobohkan the big bos orde baru.
Kata reformasi termasuk kata baru. Janganlah cepat-cepat jadi mitologi kata-kata
sebagaimana kata nasional dan demokrasi. Dan mudah-mudahan kata Islam juga
Muhammadiyah tidak menjadi bagian dari mitologi kata-kata. (Semarang, 5 Februari
2002)
Sumber: SM-06-2002