Wangsajaya's Weblog | Semangat berbagi untuk peningkatan kompetensi para siswa, guru dan masyarakat umum. Salam sukses dan tetap semangat

ARTI PENTING PENDIDIKAN MITIGASI BENCANA
DALAM MENGURANGI RESIKO BENCANA

Dradjat Suhardjo
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (e-mail: admisi@mts.uii.ac.id;
HP: 08122790518)
Abstract: The Significance of Disaster Mitigation Education in Reducing Disaster
Risks. More than 60% of the areas in our country are threatened by earthquakes,
besides tsunamis, volcano eruptions, floods, landslides, forest fires, and biodiversity degradation. This article focuses on the mitigation of such natural disasters,
especially earthquakes, tsunamis, and volcanic eruption, through the Disaster Risk
Reduction (DRR) program. Up to now, there has been no technology capable of
accurately predicting when earthquakes and tsunamis will occur. One effective
action to anticipate them is through sustainable education and training programs
for children, youths, and adults. The goals of the programs are to provide them
with self-help to save their lives, encourage them to participate in the programs,
and make the adults initiators in the disaster management. Thus the curriculum
should be designed for learning and training to implement the DRR program and
should include local wisdom.
Keywords: education, mitigation, local wisdom

PENDAHULUAN

Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) merupakan wilayah
yang mempunyai keunikan dan keistimewaan yang khas di dunia. Dengan
jumlah pulau lebih dari 17.000 buah
dan panjang garis pantai lebih dari
80.000 km merupakan jumlah pulau
terbesar dan garis pantai terpanjang di
dunia. Dari segi keaneka ragaman hayati menduduki peringkat ketiga setelah Brasilia dan Kolombia. Dari segi kegunungapian merupakan lokasi gunung api yang paling aktif di dunia dan
merupakan pertemuan lempeng tektonik di dunia yang berpotensi menimbulkan bencana letusan vulkanik, gempa, dan tsunami. Pada posisi yang de-

mikian Indonesia merupakan wilayah
dengan predikat dilalui sabuk api atau
ring of fire.
Dari predikat tersebut dalam sepuluh tahun terakhir ditandai dengan bencana gempa dan tsunami Aceh (2004),
gempa Yogyakarta (2006), Tasikmalaya
(2009), Sumatra Barat (2010), gempa
dan tsunami Mentawai (2010), tanah
longsor Wassior di Papua Barat (2010)
dan letusan Gunung Merapi Yogyakarta (2010) yang membawa korban ratusan jiwa dan ratusan triliun rupiah dalam nilai ekonomi. Letusan Gunung
Merapi yang tak kunjung reda, makin

mempertegas predikat NKRI sebagai
negara sabuk api.

174

175
Letusan Gunung Merapi sejak bulan
Oktober-November 2010 telah membawa
dampak yang sangat luar biasa terhadap
tatanan sosial ekonomi maupun kehidupan seputar puncak Gunung Merapi.
Zona berbahaya yang semula dalam radius 7 km dari puncak Merapi telah berkembang menjadi 10 km, 15 km dan terakhir dipicu letusan Jum’at dinihari 5
November 2010 yang dahsyat menjadi
radius 20 km. Jumlah pengungsi untuk
Yogyakarta dan Jawa Tengah telah mencapai ratusan ribu jiwa. Jumlah ini belum termasuk penduduk yang terancam
bencana sekunder yang pemukimannya
terancam bencana bahaya banjir lahar
dingin karena terletak di sepanjang sungai yang berhulu di lereng Gunung
Merapi. Pada posisi dalam bahaya tiga
atau zone paling berbahaya (Ring-I) alternatif yang paling aman adalah relokasi pemukiman.
Korban meninggal berdasarkan penjelasan Kepala Balai Penyelidikan dan

Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Subandriyo,
sampai dengan Selasa 9 November 2010,
tercatat 168 jiwa. Dari segi material vulkanik yang dimuntahkan sebesar 140
juta m3. Dari catatan historik, letusan
April 1872 memuntahkan 100 juta m3
material vulkanik, sedangkan letusan
Desember 1930 korban jiwa 1.369 jiwa.
(Subandriyo, dalam Republika 10 November 2010, hal: 6). Letusan terdahsyat
berdasarkan penjelasan arkheolog terjadi tahun 1005 sehingga beberapa candi sampai tertimbun material vulkanik
setinggi empat meter dan pusat kerajaan dinasti Syailendra bergeser ke Jawa
Timur. Dalam prasasti disebutkan bumi

pralaya (Hasan Jafar dalam TV One, 11
November 2010 jam 07.20).
Persoalan rumit yang dihadapi adalah di mana akan ditempatkan, apakah
mereka mau dipindah, apakah pihak penerima dapat menerima perpindahan tersebut. Bila tidak dipindah berarti membiarkan malapetaka terjadi baik cepat
ataupun lambat. Secara nasional, bila kebijakan pemerataan atau perpindahan
penduduk (migrasi) tidak dilakukan dengan 60% penduduk tinggal di Pulau
Jawa sementara luasnya hanya 6% wilayah NKRI, akan sangat merugikan bagi
kesejahteraan, kesatuan, kekuatan karena terjadi kesenjangan yang melebar antar-Jawa dengan luar Jawa.

Secara historik sebagai contoh pusat-pusat pemerintahan yang pernah ada
di Jawa juga berpindah-pindah sejak
abad ke-1M dengan masuknya agama
Hindu-Buddha seperti tercatat: Tarumanegara (5 M), Kalingga, Mataram (9 M),
Medang-Kahuripan, Kediri, Singasari
dan Majapahit (Waridah, dkk. 2005:28-32).
Dengan masuknya agama Islam muncul kerajaan-kerajaan Demak, Pajang
dan Mataram dengan lokasi masingmasing yang berbeda.
Dalam perjalanan sejak Nabi Muhammad menjadi nabi sekaligus sebagai khalifah, Beliau juga melakukan migrasi dari Mekah ke Madinah (24 September 622) karena keadaan Mekah yang
kurang kondusif (Suhardjo, 2003:146).
Secara historis, telah mengingatkan kepada para pencari kesejahteraan bahwa
migrasi merupakan salah satu upaya
untuk mendapatkan kesejahteraan yang
aman, nyaman, dan berkelanjutan. Ravenstein ahli demografi mengatakan,

Arti Penting Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Mengurangi Resiko Bencana

176
“Migrasi berarti hidup dan maju, penduduk
yang tetap di tempat tinggalnya berarti

stagnasi” (Lee, 1992:17).
Secara budaya dan alami tempat
lahir dan dibesarkan memang mempunyai daya ikat yang kuat secara emosional dan kultural. Dengan demikian,
dalam upaya memindah penduduk untuk migrasi karena terancam bahaya kecuali perlu dilakukan pendekatan rasional, juga budaya.
Rujukan tersebut memberikan gambaran upaya merelokasi suatu pemukiman yang terancam bencana merupakan kuwajiban bagi pemerintahan walaupun sulit dan rumit. Untuk relokasi
yang permanen perlu kesiapan bagi
pemukim yang akan dipindah maupun
masyarakat yang akan menerimanya.
Kejadian saat letusan Gunung Merapi
memberikan pelajaran yang nyata betapa sulitnya untuk mengevakuasi penduduk yang jelas-jelas terancam bencana walaupun demikian mereka tetap
bersikukuh untuk bertahan yang akhirnya menjadi korban dengan disertai
yang meminta dan mengajak untuk segera mengungsi. Kasus Mbah Marijan
merupakan bentuk kesetiaan total terhadap raja dan negara yang memberi
tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dengan segala akibatnya. Simbol
tersebut ditampilkan oleh sosok Patih
Suwanda, Kumbakarna dan Adipati
Karna yang ditampilkan dalam Serat
Tripama gubahan Mangkunegara. Secara tersirat maupun tersurat, bentuk justifikasi atau pembenaran sikap yang wajib dilakukan abdi raja dan Negara. Sikap yang kukuh ini juga berpengaruh
pada pemukim pada zone paling berbahaya ketika terjadi letusan Gunung


Merapi 1994 dari Dusun Turgo. Mereka
telah direlokasi dengan penggantian rumah dan pekarangan di Desa Sudimoro
dan Pelem. Ketika Merapi tampak dalam keadaan normal, mereka kembali ke
tempat semula (Suhardjo, 2009:9).
Rujukan tersebut memberikan gambaran akan arti pentingnya pendekatan
budaya dalam rangka program relokasi.
Sudah barang tentu simbol-simbol tersebut harus dimaknai kembali sesuai
dengan kepentingan kekinian dan masa
depan.
Merangkum keterkaitan pustaka
yang dirujuk dengan persoalan yang
dihadapi pasca letusan Gunung Merapi,
bahwa zone yang tidak aman tidak hanya pada zone yang terjangkau awan
panas, tetapi juga pada pemukiman di
bantaran sungai yang hulunya di lereng
Merapi. Sungai akan dipenuhi lahar dingin yang membahayakan pemukim
bila intensitas curah hujan tinggi. Untuk
relokasi memerlukan pendekatan yang
terpadu secara teknis, sosial, politik,
ekonomi maupun budaya.

Pada kondisi yang sudah terlanjur
familier dengan lingkungannya ketika
harus pindah sudah barang tentu merupakan beban psikologis yang berat.
Peran fasilitator sekaligus sebagai motivator menjadi sangat penting. Pemukim
mau pindah bila telah mempunyai motivasi yang kuat dan meyakinkan akan
hidup lebih aman, nyaman, dan berkelanjutan pada lokasi pemukiman yang
baru. Dalam hal ini, motivator (negara)
harus mampu menciptakan push factor
atau dorongan untuk hijrah atau migrasi dengan memberikan motivasi semangat untuk memperbaiki kehidupan.
Bangsa yang besar dan kuat adalah

Cakrawala Pendidikan, Juni 2011, Th. XXX, No. 2

177
bangsa yang mempunyai semangat pencarian sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan kekuatan
(Haggett, 1975:375-379).
Pada sisi lain, negara atau pemerintah juga harus mampu menggalang pull
factor atau daya tarik lokasi tujuan migrasi. Hal ini berarti negara harus mampu menciptakan suasana kondusif lokasi tujuan bersama tuan rumah calon penerima migran. Tuan rumah perlu diyakinkan bahwa kedatangan musafir (migrant) bukan untuk mengganggu atau
merongrong tuan rumah, tetapi justru
untuk memperkuat posisi sosial, ekonomi, politik, ketahanan dan keamanan

wilayah pemerintahannya yang sejalan
dengan kepentingan NKRI. Dalam riwayat-riwayat kerajaan maupun negara, pemerintah justru mendatangkan
sumber daya manusia (SDM) yang kualitas dan kuantitasnya diperlukan sesusuai tingkat kebutuhan untuk kemajuan wilayah pemerintahannya. Contoh,
Malaysia pada dekade tahun 60an telah
mendatangkan tenaga guru yang berjumlah ribuan orang berikut keluarganya untuk sekolah dasar sampai perguruan tinggi, yang kini hasilnya dapat
diuji lebih baik dalam pendidikan, sosial maupun ekonomi. Dinasti raja-raja
Mataram dalam menggalang perjurit
yang handal memilih dan mendatangkan putra-putra Bugis, ulama didatangkan dari Minang, Jawa Barat, bahkan
Sayid Aluwi berasal dari Arab sebagai
abdi dalem Pemetakan (Suhardjo, 2003:
55)
Hal yang menarik untuk dicermati,
model program migrasi yang dilakukan
Amerika Serikat dalam rangka usaha

meratakan tingkat kepadatan antara bagian timur yang menghadap ke arah
Eropa dan Samudra Atlantik yang padat, sementara bagian barat yang menghadap Samudra Pasifik dan Benua Asia
masih jarang bagaikan halaman belakang. Program dimulai tahun 1790 dengan kepadatan penduduk di bagian
timur di sekitar New York mendekati
500 jiwa per km2, sedang di pantai barat

baru sekitar 200 jiwa per km2. Setelah
berjalan sampai tahun 1960, dampak
positif yang terjadi adalah munculnya
kota-kota besar seperti Los Angeles dan
San Fransisco (Hagget, 1975:377-378).
NKRI dengan tingkat kerentanan dan
frekuensi yang tinggi terjadinya bencana, dengan luas wilayah yang luas,
lautan maupun daratan dan penduduk
terbesar keempat di dunia setelah RRT,
India, dan Amerika Serikat solusi masalah bencana menjadi periode lintasan
kritis dari segi waktu. Konsep solusi
bencana secara menyeluruh baru dicanangkan dalam ranah hukum pada
tahun 2007 dengan diundangkannya
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Mendesaknya persoalan yang dihadapi, solusi kebencanaan melalui program formal tidak cukup memadai untuk merespon bencana
yang sewaktu-waktu datang. Ancaman
bencana bukanlah hanya bagi kaum
miskin dan tidak terdidik tetapi juga
mengancam kaum kecukupan, terdidik
di perkotaan maupun di perdesaan. Dengan demikian, pengurangan risiko bencana perlu menempuh jalur formal maupun informal.


Arti Penting Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Mengurangi Resiko Bencana

178
PERAN PENDIDIKAN DALAM USAHA MENGURANGI RISIKO BENCANA
Acuan Perundang-undangan
Bencana gempa bumi dan letusan
gunung api merupakan bencana alami
yang tidak mungkin dicegah dari sumbernya. Yang dapat dilakukan adalah
pengurangan risiko bencana (PRB) bila
bencana terjadi lagi. Usaha untuk mengurangi resiko merupakan tindakan
mitigasi bencana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menimbulkan
perubahan paradigma penanggulangan
bencana yang sangat mendasar. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan melalui penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi. Pembangunan dilaksanakan seiring dengan
upaya untuk mengurangi resiko bencana. Komponen penting manajemen
bencana adalah mitigasi. Pasal 1 angka
9 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan mitigasi adalah serangkaian upaya untuk

mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang tersebut merupakan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
dengan adanya kenyataan bahwa faktor
bencana yang selalu dihadapi Indonesia
perlu dukungan berbagai pihak, baik

pemerintah, masyarakat, dan Lembaga
Swadaya Masyarakat dalam usaha
mengurangi risiko bencana. UndangUndang tersebut saling terkait dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana yang
dirancang dan diundangkan dalam tahun yang sama.
Undang-Undang Nomor 26 tahun
2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 23,
ayat (5). Pada undang-undang tersebut
bilamana terjadi bencana dan suatu kawasan yang terjadi bencana merupakan
zone berbahaya, peruntukan lahan dapat berubah fungsi. Akibat dari perubahan adalah bahwa zone yang membahayakan beralih fungsi dari fungsi
budidaya menjadi fungsi lindung yang
berarti tidak boleh untuk pemukiman.
Akibat yang lain adalah wajib disediakan ruang evakuasi bencana darurat
maupun permanen dalam lingkup lokal, regional, maupun nasional. Dengan
keadaan yang demikian RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Propinsi dapat
ditinjau kembali.
Acuan Konsep Solusi
Cakupan yang sangat luas bagi penduduk yang terancam bencana, memerlukan usaha terpadu dalam mengurangi risiko bencana. Secara substansi
adalah usaha menciptakan masyarakat
yang sadar dan tanggap bencana dengan melalui pendidikan Pengurangan
Risiko Bencana (PRB). Konsep solusi
PRB disesuaikan dengan siklus terjadinya bencana, pra bencana, saat bencana,
dan pasca bencana sebagaimana dapat
dilihat pada gambar.

Cakrawala Pendidikan, Juni 2011, Th. XXX, No. 2

179

Gambar 1. Siklus dan Konsep Solusi
Bencana (Sumber: Subandono, 2007)

Tahapan pelaksanaan solusi disesuaikan dengan karakteristik tahapan
siklus terjadinya bencana.
 Saat bencana, padat aktivitas dalam
suasana darurat.
 Pasca bencana, mereduksi komplikasi masalah yang rumit (complexity)
dalam rekontruksi dan rehabilitasi.
 Pra bencana, perlu perencanaan yang
menyeluruh. Masyarakat yang terancam bencana sangat majemuk. Bagi
yang telah terdidik maupun yang
masih belum tersentuh pendidikan
formal perlu faham akan pentingnya
pengurangan resiko bencana (PRB).
Cara yang paling strategis untuk pendidikan PRB diperlukan melalui jalur
pendidikan formal maupun informal.
Siklus menggambarkan bencana tidak pernah akan berhenti. Dengan data
empirik beberapa bencana dapat diperkirakan akan datang lagi, misalnya banjir dan tanah longsor setiap musim hujan akan terjadi. Tsunami juga pasti
akan terjadi lagi. Walaupun demikian,
belum ada teknologi yang mampu mendeteksi secara akurat kapan gempa

akan datang. Tsunami akan yang terjadi
didahului gempa, dapat terdeteksi kapan sampai ke pantai karena kecepatan
gelombang gempa lebih tinggi. Sebagai
contoh, tsunami di Mentawai datang
sampai pantai 25 menit setelah terjadi
gempa 7,2 Skala Richter pada jarak 78
km arah Barat Daya Pulau Pagai Selatan, Mentawai. Kedalaman epicenter
atau pusat gempa 10 km, dengan ketinggian gelombang tsunami 4-6 m
yang mencapai daratan sejauh 600 meter dari garis pantai. Tercatat jumlah
korban tewas 413 jiwa, 270 jiwa luka
berat dan 163 hilang (Saubani, 2010).
Durasi waktu antara datangnya gempa
dengan datangnya tsunami merupakan
peluang untuk evakuasi penduduk dalam menghindari bahaya tsunami. Teknologi dan sistem yang akan digunakan
masih dalam taraf uji coba.
Acuan Stimulan Tanggap Bencana
Sebelum pendidikan mitigasi bencana dilakukan, diperlukan pemahaman kesamaan persepsi dalam tindakan
merespon bencana yang akan datang.
Cara yang ditempuh dengan berbagai
metode agar program mitigasi bencana
dapat dipahami dan dilaksanakan karena merupakan kebutuhan dalam rangka mengurangi resiko bencana ketika
datang.
Kartono (2003) mendefinisikan, persepsi adalah proses seseorang menjadi
sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indra-indra yang
dimilikinya.
Sugiharto (2007) menafsirkan persepsi merupakan proses untuk menterjemahkan atau menafsirkan stimulus

Arti Penting Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Mengurangi Resiko Bencana

180
yang masuk ke alat indera. Perilaku manusia diawali dengan adanya pengindraan. Pengindraan adalah proses masuknya stimulus ke dalam alat indra manusia. Setelah stimulus masuk ke alat
indra manusia, hingga otak akan menterjemahkan stimulus tersebut. Kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus disebut dengan persepsi.
Seribulan (2005:27) menterjemahkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seperti berikut.
 Faktor dalam suasana ialah waktu,
keadaan, atau tempat kerja, dan keadaan sosial.
 Faktor pada individual pemersepsi
berupa: sikap, motivasi, kepentingan,
pengalaman dan pengharapan.
 Faktor pada target berupa: hal baru,
gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan.
Likert (Saifudin (1995:19) mendefinisikan sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak memihak ataupun
perasaan tidak mendukung atau tidak
memihak pada objek. Dalam setiap kehidupan, manusia mempunyai pendapat mengenai keadaan, pendapat tersebut seringkali diikuti dengan kecenderungan untuk bertingkah laku yang
disebut sikap. Komponen afeksi (perasaan), kognisi (pengetahuan/pengenalan/pemikiran) dan konasi (kehendak/
tindakan) sebagai jenjang pertama dalam
suatu model hirarkis. Ketiganya membentuk konsep sikap sebagai faktor
tunggal jenjang kedua. Sikap seseorang
terhadap suatu objek selalu berperan
sebagai perantara antar responnya dan

objek yang bersangkutan. Respon diklasifikasikan dalam tiga macam ialah kognitif, afektif dan perilaku. Sikap individu diperoleh dengan melihat ketiga respons secara lengkap.
Proses sosial yang berperan dalam
proses perubahan sikap adalah ketersediaan menerima informasi yang ditanggapi secara positif karena pemberi informasi atau stimulator dapat diterima.
Dengan demikian, stimulan mendapat
perhatian, pemahaman, dan penerimaan. Pada akhirnya, terjadi perubahan sikap tentang pendapat, persepsi, afeksi
dan tindakan yang diharapkan oleh stimulator.
Shadily (1983) mendefinisikan masyarakat (society) adalah sekelompok
orang yang membentuk sebuah sistem
semi tertutup yang berinteraksi antar
para individu dalam kelompok komunitas (community) tersebut hidup bersama secara teratur. Ciri komunitas dapat dilihat dari kehidupan bersama pada tempat dan derajat hubungan sosial
yang bersifat sentimen. Dalam masyarakat ada orang-orang yang dihormati
dan disegani karena kegiatan dalam kelompoknya serta kecakapan-kecakapan
dan sifat-sifat tertentu yang dimilikinya.
Dalam manajemen tanggap darurat
konvensional, masyarakat tidak sekedar
dipandang dalam aspek ruang karena
tinggal pada zone yang sama, tetapi
juga kepentingan yang sama. Misalnya,
karena adanya ancaman yang sama.
Pandangan ini mengabaikan dimensidimensi penting lainnya yang terkait
dengan kepentingan, nilai-nilai, kegiatan-kegiatan, dan struktur-struktur yang
sama. Masyarakat merupakan sesuatu

Cakrawala Pendidikan, Juni 2011, Th. XXX, No. 2

181
yang komplek dan sering tidak berbentuk dalam satu kesatuan ruang atau
lokasi, tetapi karena adanya ikatan atau
kebersamaan kepentingan. Masyarakat
adalah sesuatu yang dinamis, orang dapat berkumpul bersama untuk tujuantujuan tertentu yang sama dan dapat
berpisah kembali setelah tujuan-tujuannya tercapai.
Hasil penelitian terdahulu dilakukan oleh Setyaningrum, dkk. (2010:93)
yang berjudul Persepsi Masyarakat tentang Mitigasi Bencana di Kecamatan Pleret
Kabupaten Bantul menunjukkan bahwa
persepsi masyarakat tentang mitigasi
bencana kegempaan di Kecamatan Pleret sangat tinggi. Hasil diperoleh dari
100 responden yang mewakili 29.947
populasi. Dengan menggunakan rumus
Slovin dan strata pendidikan responden
diperoleh untuk pendidikan SMP 15 jiwa, SMA 18 jiwa, dan perguruan tinggi
67 jiwa responden.
Kecamatan Pleret adalah yang paling parah korbannya ketika terjadi gempa tanggal 27 Mei 2006. Pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana,
mereka mendapat pembinaan yang intensif tentang mitigasi bencana dengan
disesuaikan menurut strata umur dan
pendidikan.

Pembinaan dan pendidikan mitigasi
bencana bahkan telah dilakukan sejak
usia dini secara informal ketika masih
duduk di bangku Sekolah Taman Kanak-kanak. Cara yang dilakukan adalah
mengajarkan lagu bermain yang lirik
lagunya merupakan pesan dan peringatan ketika terjadi gempa. Pendidikan dini dengan permainan adalah hal
yang sangat menarik dan mengesan
bagi anak-anak karena mudah diingat,
dipahami apa yang harus dilakukan
pada saat bencana datang.
Lirik lagunya adalah:
Di sini gempa di sana gempa
Di mana-mana terjadi gempa
Di sini siaga di sana siaga
Di mana-mana tetap siaga
La la la la la la la la la la la la la la 2x
Kalau ada gempa lindungi kepala
Kalau ada gempa merunduk di bawah meja
Kalau ada gempa jauhi dari kaca
Kalau ada gempa lari ke lapangan

DESAIN KURIKULUM
Target peningkatan kecakapan untuk tiap masyarakat dan sasaran target
dicantumkan dalam Tabel 1. Dengan
adanya pembagian strata umur diharapkan semua elemen masyarakat yang terkait dapat merespon bencana sesuai dengan posisi dan fungsinya.

Tabel 1. Tujuan Peningkatan Kecakapan Masyarakat
Masyarakat Sasaran
Anak-anak
Remaja
Dewasa
Guru, wali murid, pengawas, kepala sekolah dan
dinas pendidikan, anggota, dan tokoh masyarakat

Target Kecakapan
Bisa menolong diri-sendiri
Bisa berpartisipasi aktif dalam PRB
Bisa mengkoordinasikan usaha PRB
Bisa mendesiminasi usaha PRB,
termasuk bila harus relokasi karena
tingkat ancaman dalam katagori
dalam Bahaya III.

Arti Penting Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Mengurangi Resiko Bencana

182
Hasil penelusuran di Pleret disimpulkan bahwa bagi penduduk, mitigasi
bencana adalah bagian yang penting untuk pengurangan resiko bencana (PRB).
Telah teruji dari hasil penelitian bahwa
penduduk sangat responsif pada program PRB. Pada umur anak-anak dengan lagu-lagu, pada usia remaja latihan tanggap darurat dengan mendirikan
tenda untuk pos pertolongan. Secara kelompok orang dewasa mendirikan Satuan Tanggap Darurat atau STANDART.
Secara berkala, dalam rangka memperingati bencana gempa 27 Mei 2006 mereka mengadakan pentas seni dengan
kemasan budaya lokal. Peringatan tersebut sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang berisi peringatan dan
pesan agar tetap waspada. Secara komunikasi menampilkan poster-poster
untuk memotivasi agar mampu terbebas dari bencana yang selalu mengancam (Setyaningrum, dkk 2010 p.66).
Persoalan yang lebih rumit adalah
solusi dari kejadian bencana bila harus
menyelamatkan penduduk dengan relokasi. Letusan Gunung Merapi yang
telah berulang kali terjadi dengan membawa korban pada sekitar puncak Merapi (Ring-I) atau Zone Bahaya-III. Solusi yang paling baik tidak ada jalan
lain adalah relokasi. Selain sangat berbahaya, zone tersebut tidak selayaknya
sebagai pemukiman, tetapi semestinya
sebagai kawasan lindung penahan aliran awan panas maupun kawasan lindung atau konservasi sumber daya air.
Sebagai penduduk yang telah lahir,
besar sampai berkeluarga akan sangat
lekat terikat pada tempat tinggalnya.
Secara budaya, masih banyak terpenga-

ruh bahwa tanah tumpah darah atau
tempat lahir wajib dibela sampai titik
darah penghabisan. Dalam ungkapan
budaya Jawa disebutkan sadumuk batuk
sanyari bumi dilabuhi pati yang artinya
kehormatan istri dan tanah tempat tinggal wajib dibela sampai mati.
Kasus relokasi pasca bencana Merapi 1994 memberikan petunjuk bahwa
tempat tinggal pada Ring-I yang paling
berbahaya tidak dihiraukan lagi ketika
Merapi tidak lagi ada tanda-tanda akan
meletus. Dalam keadaan tersebut, penduduk yang telah direlokasi permanen
dengan program translok atau transmigrasi lokal kembali lagi ke rumah semula yang sangat membahayakan.
Pada posisi Bahaya III pemahaman
atau persepsi pentingnya evakuasi memerlukan waktu sampai yakin bahwa
relokasi adalah satu-satunya cara yang
dapat mengamankan dari ancaman bencana. Tetap tinggal di tempat bahaya
adalah sama dengan bunuh diri. Masalah selanjutnya adalah di mana mereka akan dipindahkan. Usaha yang telah dilakukan adalah memindah penduduk dari posisi Bahaya III ke posisi Bahaya I. Tetapi penduduk kembali ke rumahnya lagi ketika Gunung Merapi tidak lagi menunjukkan tanda-tanda akan
meletus lagi. Dengan demikian, pendekatan secara budaya penting dilakukan
dengan pemberian stimulan agar sadar
untuk menghindari bahaya yang selalu
mengancam.
Berdasarkan pengalaman masa lalu,
relokasi yang terbaik adalah relokasi permanen dengan program transmigrasi.
Dalam hal ini, lokasi yang direkomendasikan oleh pemerintah sebagai tujuan

Cakrawala Pendidikan, Juni 2011, Th. XXX, No. 2

183
transmigrasi utama adalah ke Kalimantan. Pertimbangan yang digunakan adalah jarak tidak terlalu jauh, dengan kepadatan masih rendah 20 jiwa per km2
sementara luasnya 4,5 x luas Pulau Jawa sehingga biaya lebih murah. Kepadatan Pulau Jawa telah mencapai 1005
jiwa per km2. Walaupun demikian kendala budaya sangat rumit bagi yang
akan direlokasi maupun bagi tuan rumah yang akan menerima transmigran.
Perlu ada kesamaan persepsi bahwa lahan luas dengan potensi sumber daya
alam (SDA) yang melimpah, tidak dapat dimanfaatkan secara optimal bila kekurangan tenaga sumber daya manusia
(SDM) pengelolanya. Pada sisi lain tanpa pemerataan distribusi SDM maupun
SDA secara proporsional mengandung
kerawanan dalam sistem ketahanan nasional secara politik, sosial, ekonomi
maupun budaya.
Upaya pemerintah sebenarnya secara intensif telah dilakukan sejak Masa
Pelita I sampai Pelita VI (1970-2000).
Dalam kurun waktu tersebut telah berhasil melaksanakan program transmigrasi dengan relokasi permanen bagi
6.708.526 jiwa, tetapi dalam kurun waktu tahun 2000-2010 hanya mencapai
471.941 (Anonim, 2010). Data tersebut
menunjukkan kemerosotan tajam yang
perlu evaluasi. Bencana yang bertubitubi semestinya menjadi saat yang baik
untuk mulai program transmigrasi yang
lebih bermakna.
Apabila dicermati, model program
transmigrasi yang dilakukan Amerika
Serikat (AS) dalam rangka usaha meratakan tingkat kepadatan antara bagian
timur yang menghadap ke arah Samu-

dra Atlantik dan Benua Eropa yang padat, sementara bagian barat yang menghadap Samudra Pasifik dan Benua Asia
masih jarang. Sebenarnya program yang
dilaksanakan pemerintah NKRI sangat
mirip dengan yang dilaksanakan Amerika Serikat. Pada Pelita I-VI telah mampu melaksanakan program transmigrasi
dengan hasil 6,7 juta jiwa transmigran.
Tetapi, sejak tahun 2000-2010 hanya tercapai kurang dari 0,5 juta jiwa. Dengan
demikian, perlu evaluasi mengingat kebutuhan jangka panjang NKRI.
Belajar dari proses yang terjadi di
AS, perlu untuk menumbuhkan persepsi yang sama dalam membangun negara yang kuat. Secara keanekaragaman
etnik Amerika merupakan kumpulan
berbagai etnik, bedanya di Indonesia keanekaragaman etnik di Indonesia ada
secara alami, di AS berdatangan dari
berbagai penjuru sebagai migran untuk
mencari kehidupan yang lebih baik.
Perlu pemahaman yang formal dan terstruktur dalam sistem pendidikan nasional. Tanpa pemahaman dalam kesatuan yang utuh dalam bingkai NKRI,
disintegrasi adalah ancaman yang selalu membayangi.
Harus dipahami hal yang sulit dan
rumit ketika dalam pelaksanaan, tetapi
tetap wajib dilaksanakan bagi pemerintah yang memang mendapat amanah untuk menyelamatkan dan mensejahterakan segenap anak bangsa. Dengan demikian, pendidikan dan pemahaman tentang mitigasi bencana wajib dilakukan
sejak dini melalui jalur pendidikan formal dalam muatan kurikulum baku maupun informal dalam program-program
pembinaan masyarakat.

Arti Penting Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Mengurangi Resiko Bencana

184
PENDIDIKAN MITIGASI BENCANA
NON FORMAL
Untuk mendapatkan hasil guna yang
efektif dalam program Pengurangan Resiko Bencana (PRB) secara fisik maupun
nonfisik, pendidikan formal saja tidak
akan cukup mengingat rumitnya masalah. Secara fisik, bagian yang paling penting adalah membangun rumah tinggal
yang layak, aman lokasinya, nyaman,
dan berkelanjutan. Sebagai contoh, untuk bencana gempa Yogyakarta 27 Mei
2006 korban meninggal lebih dari 6.000
jiwa karena tertimpa reruntuhan 180.000
unit rumah yang runtuh. Dengan demikian, program sosialisasi rumah yang
layak dan tahan gempa merupakan prioritas utama bagi daerah yang rawan bencana gempa. Program ini sudah pernah
dilaksanakan dengan melatih para pengawas bangunan dan tukang bangunan dengan konsep membangun Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa
(BARRATAGA). Program ini dilaksanakan atas bantuan pemerintah Jepang selama dua tahun (2006-2007) yang berlanjut dilakukan oleh instansi pemerintah terkait Dinas Pekerjaan Umum yang
dimotori oleh Sarwidi (Sarwidi, dkk.
2007:17). Secara nonfisik, misalnya psikologis, sosial, ekonomi personalannya jauh
lebih rumit karena yang harus dibangun
adalah sumber daya manusia (SDM).
Untuk daerah bencana karena sebab
yang lain, misalnya ancaman banjir bandang pada pemukim di kawasan lindung bantaran sungai, letusan gunung
berapi tidak ada solusi lain bagi penduduk pada Ring-I kecuali relokasi. Lokasi pemukiman yang terancam bencana dalam Ring-I tersebut memang tidak
layak untuk pemukiman karena sangat

membahayakan. Wilayah ini merupakan
sempadan kawasan lindung bagi keberadaan dan fungsi sungai yang sangat
penting bagi kehidupan, dan areal tampungan material dari erupsi Gunung
Merapi.
Belajar dari dampak bencana yang
terjadi, program PRB dengan pelaksanaan program mitigasi bencana menjadi
kebutuhan yang wajib dilakukan melalui pendidikan formal maupun informal
karena masih banyak yang belum tersentuh pemahaman tentang mitigasi bencana. Sebagaimana telah diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Arti penting pendidikan mitigasi
bencana dapat dilakukan secara formal
melalui jalur pendidikan sesuai ketentuan pemerintah. Secara informal dapat
melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, forum temu warga ataupun kelompok-kelompok komunitas yang difasilitasi instansi terkait sebagai pembina ataupun komunikator masalah kebencanaan.
Evaluasi siaga bencana yang telah
ada menunjukkan belum ada standard
operational procedure (SOP) atau petunjuk prosedur pelaksanaan yang baku secara nasional maupun regional. Perlu
sistem komunikasi yang cepat dan akurat ketika terjadi bencana sebagai usaha
untuk mengurangi resiko bencana. Dengan adanya kriteria jenjang resiko yang
dihadapi normal, waspada, siaga, dan awas
yang telah dibakukan, diperlukan penyeragaman secara nasional dengan tetap
mempertimbangkan kearifan lokal. Hal
ini diperlukan agar pencapaian informasi ke penduduk yang terancam bencana dapat cepat dan akurat.

Cakrawala Pendidikan, Juni 2011, Th. XXX, No. 2

185
Sistem komunikasi dan informasi
modern tidak cukup untuk menjawab
kebutuhan penduduk yang terancam
bencana karena banyak yang tinggal
justru lokasinya terpencil dan jauh dari
fasilitas PRB. Sebagai contoh pemukim
di kaki Gunung Merapi yang setiap saat
dapat terancam bencana letusan, serta
pemukim di pantai yang juga setiap saat
dapat terancam bencana gempa dan tsunami. Dengan demikian, sistem informasi tanggap darurat tradisional, misalnya kentongan menjadi sangat penting
untuk menyampaikan informasi akan datangnya bencana secara cepat dan luas.
Sistem ini juga telah teruji, kentongan
telah mampu menyampaikan pesan secara sambung-menyambung (tundan)
dari Kota Yogyakarta sebagai pusat komando perlawanan terhadap pendudukan Belanda ke Banaran dan Samigaluh
di Kulon Progo sebagai markas gerilyawan. Hasilnya gerilyawan dapat mengusir Belanda dari Kota Yogyakarta, pada
1 Maret 1949 yang menunjukkan kepada dunia bahwa Negara Republik Indonesia masih ada (Atmakusumah, 1982).
Kentongan telah teruji manfaatnya
dan masih digunakan sebagai alat komunikasi yang menjadi bagian kehidupan
masyarakat. Yang menjadi soal adalah
belum ada keseragaman makna sandi
yang digunakan dalam bilangan ketukan kentongan. Sebagai contoh, di Kota
Yogyakarta (Prawirodirjan), 5 kali ketukan bertahap dimaknai keadaan aman,
sedangkan di Kabupaten Bantul (Pleret)
dimaknai ada pencurian hewan. Nampaknya, makna sandi kentongan baru
sebatas kesepakatan komunitas lokal.
Dengan demikian, perlu ada penyera-

gaman makna sandi kentongan yang
terkait PRB kapan normal (aman), kapan
waspada, kapan siaga dan kapan awas.
Minimal pada tingkat regional yang
mempunyai kesamaan dalam menggunakan sandi komunikasi lokal dengan
kentongan. Semua persoalan tersebut
secara bertahap akan dapat tercapai secara optimal dengan melalui jalur pendidikan formal maupun informal.
PENUTUP
Kesimpulan yang dihasilkan dari paparan tentang pendidikan mitigasi bencana dalam rangka PRB (Pengurangan
Risiko Bencana) sebagai berikut.
 Wajib dilakukan melalui pendidikan
formal dalam program Sistem Pendidikan Nasional (Diknas) dengan desain kurikulum dari Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
 Untuk jalur pendidikan informal melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bekerja sama dengan instansi terkait, misalnya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perhubungan.
 Untuk program relokasi pasca bencana merupakan tanggung jawab Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) bekerja sama dengan pemerintah daerah asal transmigran dan pemerintah daerah tujuan transmigran.
 Perlu peningkatan penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait
dengan program PRB dengan pendekatan teknologi tepat guna dengan
mempertimbangkan unsur kearifan
lokal.

Arti Penting Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Mengurangi Resiko Bencana

186
 Perlu penelitian lebih lanjut tentang
penduduk yang berada dalam koridor Ring-I atau paling berbahaya dengan solusi untuk terhindar dari bencana evakuasi yang diperlukan adalah relokasi permanen. Secara berkelanjutan diperlukan terkait dengan
usaha mitigasi bencana yang diharapkan dapat merubah persepsi tetap
bertahan di tempat kediaman yang
berbahaya dengan segala konsekuensinya, menjadi bersedia untuk pindah ke tempat yang baru yang aman,
nyaman dan berkelanjutan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih saya ucapkan
pada komunitas Desa Pleret, Bantul,
yang telah menerima tim investigasi dengan partisipasi aktif sehingga berjalan
dengan lancar. Hasil yang didapatkan
adalah bahwa masyarakat Desa Pleret
sangat setuju dalam program mitigasi
bencana. Suatu hal yang memang sangat diharapkan sehingga program-program yang terkait dengan program mitigasi bencana dapat menjadi percontohan dalam rangka usaha Pengurangan Risiko Bencana.
Harapan lebih lanjut adalah terciptanya masyarakat yang tanggap bencana di segenap penjuru tanah air yang sejahtera, aman, nyaman dan berkelanjutan. Usaha untuk mencapainya tidak boleh berhenti dan merupakan tujuan permanen.
Kepada masyarakat akademik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), saya
ucapkan terima kasih atas kesediaannya
untuk saling berkomunikasi. Dalam rencana menyusun program mitigasi bencana diharapkan berperan serta, khusus-

nya dalam menyusun kurikulum baku
program mitigasi bencana dalam bingkai
Sistem Pendidikan Nasional (Diknas) dengan desain kurikulum dari Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. UURI Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723.
_____. 2006. Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang
Pedoman Umum Mitigasi Bencana.
_____. 2006. ”Mikro Zona Gempa Patahan Opak. Jurnal Riset Daerah”.
Vol. V, No. 3. p. 656-669, Desember 2006. Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul.
_____. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Jakarta: Direktorat Mitigasi Lakhar BAKORNAS PB.
_____. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
_____. 2009. Safer Communities through Disaster Risk Reduction in Development/SC-DRR Programme. Term of
Reference
CFP-DRR-UNDP/
CPRU/8/2009
_____. 2010. Evaluasi Program Transmigrasi tahun 1970-2010. Jakarta: Ke-

Cakrawala Pendidikan, Juni 2011, Th. XXX, No. 2

187
mentrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian.
Edisi Revisi VI. Jakarta: Rineka
Cipta.
Atmakusumah. 1982. Tahta untuk Rakyat: Autobiografi Sultan Hamengku
Buwana IX. Jakarta: Gramedia.
Coburn A.W. 1994. Spence R. J. S., Pomonis A. 1994. Earth Quake Mitigation. United Kingdom: Cambridge Architectural Research Limited, The Oast House, Malting
Lane, Cambridge.
Gilbert, A and G. Josef, 1983. Cities, Poverty, and Development. Oxford:
Oxford University Press.
Gilbert and Gugler. 1996. Urbanisasi dan
Kemiskinan di Dunia Ketiga (Terjemahan: Urbanization and Poverty
in 3rd World). Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Gunawan. 2008. Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam (Studi
tentang Kondisi Sosial Masyarakat
dalam Managemen Bencana. http://www.depsos.go.id/unduh/pene
litian.
Haggett, P. 1975. Geography A Modern Synthesis. New York, Evanston, San
Francisco, London: Harper and
Row.
Kartono K, Dali G. 2003. Kamus Psikologi. Bandung: Penerbit Pionir Jaya.

Lee, E.S. 1992. Teori Migrasi. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Liaw, K.L. 1990. “Netral Migration Process and its Application to Analysis of Canadian Migration Data”.
Journal Environment and Planning.
Vol. 23.4. No.7., 5. p.969-986.
Sarwidi. 2006. Manual Bangunan Rumah
Rakyat Tahan Gempa (BARRATAGA). Kerjasama CEEDEDS UII dengan Pemerintah Jepang, Edisi 02
Revisi 01.
Setyaningrum, dkk. 2010. “Persepsi Masyarakat tentang Mitigasi Bencana Kegempaan di Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul”. Tesis S-2.
Yogyakarta: Program Pasca Sarjana. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia.
Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Subandono. 2007. Program Mitigasi Bencana dalam Zone Perairan Laut. Jakarta: Departemen Kelautan Republik Indonesia.
Subandriyo, Yulianingsih. 2010. “Merapi
Catat Sejarah Baru”. Republika 10
November 2010, hal: 6.
Shadily, H. 1983. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT. Bina
Aksara.

Arti Penting Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Mengurangi Resiko Bencana

188
of the Earthquake Disaster”. Enhancing Disaster Prevention and
Mitigation. 1st International Conference on Sustainable Built Environment. ISBN 978-979-96122-9-8

Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit UNY
Press.
Suhardjo, D. 1999. “Hubungan Daerah
Burit dengan Perkembangan Kota Wates”. Disertasi. Program Pasca Sarjana S-3, Ilmu Lingkungan
Universitas Universitas Gadjah
Mada.

Waridah, S.Q., dkk. 2005. Sejarah Nasional. Jakarta: PT. Bumi Karya.

_____. 2003. Mengaji Ilmu Lingkungan
Kraton. Yogyakarta: Yogya Safiria
Insania Press.
_____. 2007. “Mereduksi Korban Gempa
dengan Rekayasa Lingkungan Fisik dan Kultural”. Makalah Seminar Nasional: Antisipasi, Respons
dan Pemulihan Pasca Bencana
Gempa Bumi. Prosiding ISBN:
978-979-96122-8-1.

_____. 2009. “The Role of Traditional
Early Warning System to Respons Hazardous Condition”. International Seminar. The Reflection
of Three Years of Yogyakarta
Earth-quake May 2006 – May
2009 Yogyakarta. Proceeding
ISBN: 978-602-95013-0-8.
Suhardjo, D. dan Nugraheni, F. 2010.
“Sustainable Livelihood Community Development as the Respond

Cakrawala Pendidikan, Juni 2011, Th. XXX, No. 2