Working Paper Epistema Institute 05 2012
Kertas kerja EPISTEMA No. 05/2012
Rakyat Dituduh Merambah Sekarang Pemerintah Mengizinkan:
Hutan Kemasyarakatan Santong, Lombok Utara,
dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Arya Ahsani Takwim
2012
Tentang Kertas Kerja Epistema
Paper‐paper dalam seri ini pada umumnya adalah dokumen sementara dari hasil‐hasil
penelitian yang dilakukan oleh staff, research fellow dan mitra EPISTEMA. Seri ini berisikan
paper‐paper yang mendiskusikan filsafat dan teori hukum, kerangka hukum dan kajian
sosio‐legal terhadap hak‐hak masyarakat adat dan komunitas lain atas tanah dan sumber
daya alam termasuk dalam konteks kebijakan dan proyek perubahan iklim.
Saran pengutipan:
Takwim, Arya Ahsani. Rakyat Dituduh Merambah sekarang Pemerintah Mengizinkan, Kertas
Kerja Epistema No.05/2012, Jakarta: Epistema Institute (http://epistema.or.id/rakyat‐
dituduh‐merambah/).
EPISTEMA Institute memegang hak cipta atas seri kertas kerja ini. Penyebarluasan dan
penggandaan diperkenankan untuk tujuan pendidikan dan untuk mendukung gerakan sosial,
sepanjang tidak digunakan untuk tujuan komersial.
Paper‐paper dalam seri ini menggambarkan pandangan pribadi pengarang, bukan
pandangan dan kebijakan EPISTEMA Institute. Para pengarang bertanggung jawab terhadap
isi paper. Komentar terhadap paper ini dapat dikirim melalui epistema@epistema.or.id.
Penata letak : Andi Sandhi
Epistema Institute
Jalan Jati Mulya IV No.23
Jakarta 12540
Telepon
: 021‐78832167
Faksimile
: 021‐7823957
E‐mail
Website
: epistema@epistema.or.id
: www.epistema.or.id
2
Rakyak Dituduh Merambah sekarang Pemerintah Mengizinkan:
Hutan Kemasyarakatan Santong, Lombok Utara,
dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Arya Ahsani Takwim
I.
Pendahuluan
Terbitnya PP Nomor 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan yang merupakan revisi atas PP No. 34 tahun 2002 yang kemudian
diterjemahkan lebih operasional melalui Permenhut Nomor P.37/2007 tentang Hutan
Kemasyarakatan (HKm) memberikan peluang kepada masyarakat yang sebelumnya mengakses
kawasan hutan secara illegal atau tanpa izin.izin. Dengan kata lain, kebijakan HKm dapat diposisikan
sebagai upaya penyelesaian terhadap illegalitas akses petani miskin atas tanah kehutanan dalam
jangka waktu tertentu menurut ketentuan yang ada.
Kebijakan HKm merupakan salah satu bentuk dari perhutanan sosial (social forestry) yang
menempatkan hutan dan rakyat sebagai dua hal yang tak terpisahkan, yaitu bahwa hutan sebagai
bagian dari rakyat dan sekaligus rakyat sebagai bagian dari hutan (Awang 2001). Selama ini banyak
penelitian yang telah dilakukan masih menekankan pada konflik dan ketidakadilan yang dialami oleh
masyarakat lokal dan jawabannya adalah memberikan hak kelola kepada masyarakat dalam bentuk
‘penguasaan tanah’ melalui legalisasi (Dipokusumo 2011, Asanga 2005, Humaidi 2006, dll). Tidak
banyak penelitian yang menelaah lebih dalam bagaimana proses legalisasi okupasi tanah kehutanan
oleh masyarakat desa yang semula adalah illegal, bentuk‐bentuk organisasi sosial petani miskin yang
berperan dalam proses legalisasi tersebut, dan dampak dari proses legalisasi akses masyarakat
terhadap hutan bagi peningkatan pendapatan. Hal itulah yang dibahas dalam penelitian ini.
Dalam membahas persoalan tersebut, maka penyajian hasil penelitian diawali dengan uraian
mengenai okupasi terhadap hutan negara oleh petani miskin Santong. Lebih lanjut dijelaskan proses
metamorfosa kelompok‐kelompok petani penggarap tanah kehutanan menjadi koperasi HKm
Santong, yang pada gilirannya menjadi pemegang izin yang diberikan oleh Kemenhut melalui SK
Bupati. Pada bab selanjutnya dijelaskan bagaimana dinamika dan implementasi kebijakan hutan
kemasyarakatan baik pada level nasional dan daerah, perubahan legalitas akses atas tanah serta
dampak keamanan tenurial (tenurial security) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat,
serta diakhiri dengan mengemukakan harapan dan tantangan hutan kemasyarakatan untuk
kemudian.
3
II. Okupasi terhadap Hutan Negara
HKm Santong dkk merupakan sebuah narasi bagaimana okupasi illegal tanah hutan yang dilakukan
oleh petani pinggir hutan kemudian memperoleh legalisasi oleh pemerintah. Sejarah ini bermula dari
program kopi penyangga pada tahun 1982 oleh Kanwil Kehutanan NTB seluas 105 ha untuk dikelola
oleh sebanyak 170 KK yang tinggal disekitar kawasan. Program ini dimaksudkan sebagai sabuk
pengaman kawasan hutan Santong, karena faktanya perambahan dengan sistem ladang berpindah
kerap terjadi di kawasan itu dan mengakibatkan terjadinya degradasi hutan membuat ketersediaan
air semakin terbatas. Oleh Pemda kemudian 170 KK ini ‘dipekerjakan’ untuk merehabilitasi hutan
dengan menanam kayu‐kayuan (Sonokeling dan Rajumas) dan sebagai imbalannya masyarakat
diizinkan untuk menanam kopi dibawah tegakan kayu dengan perpanjangan kontrak 3 tahun sekali.
Disisi lain, ada kompensasi yang harus diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah yakni sistem
bagi hasil (pajak), dimana hasil panen kopi tersebut hanya 40% untuk masyarakat sisanya untuk
diberikan kepada Pemda.
Ditengah perjalanan, pada Maret 1997 dilakukan inventarisasi dan identifikasi kawasan hutan
untuk dikelola dengan sistem ‘hutan kemasyarakatan’ sebagai implementasi SK Menhut
No.622/Kpts‐II/1995 tentang pedoman HKm. Dimulai dengan penjajakan eks lokasi proyek reboisasi
oleh Kanwil Kehutanan NTB. Inventarisasi dan identifikasi areal kelola HKm, menghasilkan data dan
informasi tentang sumberdaya hutan‐sosial ekonomi masyarakat setempat. Alhasil diperoleh kriteria
didalam penetapan areal kelola HKm yang didasarkan pada; (1) ketergantungan masyarakat
setempat pada kawasan hutan disekitarnya; (2) kawasan hutan tersebut belum dibebani izin lain di
bidang kehutanan; (3) menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat; dan (4) areal tersebut
memiliki potensi untuk dikelola oleh masyarakat setempat mengacu pada pedoman verifikasi calon
areal kerja hutan kemasyarakatan yang disempurnakan melalui surat Dirjen RLPS Dephut Nomor:
S.373/V‐BPS/2007.
Lokasi yang direkomendasikan untuk areal uji coba HKm adalah Desa Rempek seluas 116 ha.
Namun program HKm ini mendapat penolakan dari masyarakat setempat, berkenaan dengan masih
adanya permasalahan sertifikasi tanah di dalam kawasan hutan yang belum tuntas. Masyarakat
Santong yang mengetahui hal itu, mengusulkan agar program uji coba HKm yang ditolak di Desa
Rempek dapat dialihkan ke Desa Santong. Usulan itu kemudian disetujui dan masyarakat diizinkan
mengelola hutan dengan skema hutan kemasyarakatan (HKm). Masyarakat yang terlibat saat itu
sebanyak 113 KK dengan areal kelola seluas 116 ha.
Sosialisasi yang kurang optimal dilakukan menyebabkan SK Menhut diinterpretasikan berbeda
oleh masyarakat dan memunculkan banyak interpretasi atau pengertian HKm. Yang awalnya HKm uji
coba berada pada lokasi hutan Sesaot seluas 236 hektar (saat ini dikelola KMPH Mitra Sesaot).
4
Pansor hingga Akar‐Akar 721 hektar (OECF), Santong 221 hektar (uji‐coba), Sekotong 500 hektar
(OECF), Kekait 200 hektar (HCP), Pusuk 200 hektar (uji‐coba), Monggal eks HPH 300 hektar (PHTUL).
Sejak diuji cobakannya HKm pada lokasi‐lokasi tersebut, HKm‐isasi meluas hampir di seluruh
kawasan hutan di pulau Lombok. HKm‐isasi yang dimaksud adalah kegiatan pembukaan lahan hutan
oleh masyarakat dengan menjadikan HKm sebagai dalih bagi kegiatannya. Padahal kebanyakan
kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat bukan menjadi bagian dari program
HKm uji coba.
Melihat persoalan HKm‐isasi ini, Dinas Kehutanan dengan LSM (LP3ES NTB/Konsepsi)
berinisiatif melakukan kegiatan penjajakan kebutuhan dan perencanaan partisipatif dalam rangka
inventarisasi dan identifikasi areal HKm untuk kemudian dipergunakan dalam menjaring dan
menetapkan lokasi dan penggarap HKm, kriteria penggarap, pembagian blok (kaplingan garapan),
pengawasan dan pelaporan. Dari kegiatan ini, ditetapkan 258 KK untuk mengelola HKm Santong
yang terbagi dalam 9 sub kelompok/pokja. Komposisi dan jenis tanaman yang disepakati adalah 70%
tanaman kayu‐kayuan dan 30% MPTs (Multi pupose trees spesies/tanaman serbaguna). Namun
kenyataan dilapangan menunjukkan tegakan atau tutupan lahan didominasi dengan MPTs,
sedangkan jenis kayu‐kayuan adalah sengon, mahoni dan sonokeling yang relatif sedikit. Melihat
keberhasilan masyarakat Santong didalam mengelola hutan disambut oleh desa tetangga yakni desa
Salut, Munder dan Tangga dengan membuka lahan hutan secara illegal (okupasi) dengan dalih HKm.
Lokasi HKm Tangga dan Salut terletak pada satu hamparan kawasan hutan produksi dengan
topografi datar, bergelombang hingga berbukit. Bila dilihat dari kondisinya, maka lokasi‐lokasi HKm
tersebut cenderung memiliki tingkat adaptasi dan budidaya yang cukup tinggi, khususnya budidaya
tanaman pohon bertajuk sama halnya dengan yang terjadi di HKm Santong.
Salah satu fungsi dari keberadaan hutan ini adalah sebagai kawasan pengatur iklim mikro
(micro climate), dimana jumlah dan sebaran hari hujan cukup baik dan merata. Data Dinas
Kehutanan Propinsi NTB pada Peta Tanah Tinjau Skala 1 : 500.000 menunjukkan bahwa jenis tanah
pada lokasi ini terdiri atas Alluvial Kelabu, Regosol Coklat dan Regosol Coklat Kekelabuan dengan
bahan induk endapan pasir dan abu vulkan intermediet. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian dari
wilayah ini termasuk rawan erosi dan longsor, namun termasuk subur. Mata pencaharian
masyarakat di Dusun Tangga dan Desa Salut masih terkonsentrasi pada sektor pertanian (lahan
kering) seperti perkebun dan perladangan dengan kepemilikan lahan pertanian relatif sangat rendah
dengan kisaran antara 0,15 ‐ 0,50 ha/KK. Disamping masyarakat bekerja sebagai petani, juga bekerja
sebagai buruh tani untuk memperoleh tambahan pendapatan.
Seperti halnya masyarakat Tangga dan Salut, mata pencaharian masyarakat sekitar kawasan
Munder pun juga terfokus pada sektor pertanian. Ketergantungan masyarakat pada sektor pertanian
5
berlangsung secara turun temurun sebagai warisan orang tua dengan teknologi yang sederhana.
Sektor pertanian yang ditekuni adalah berkebun dan berladang karena di sekitar areal tersebut tidak
ada lagi usaha pertanian lahan basah atau persawahan. Kepemilikan tanah hanya berkisar antara
0,25‐0,50 ha/KK, sehingga selain bekerja sebagai petani masyarakat pun bekerja sebagai buruh tani.
Akibatnya, untuk meningkatkan pendapatannya masyarakat berusaha memperluas tanah. Dengan
melihat dan mempertimbangkan kecenderungan usaha pada sektor kehutanan, pada tahun 1998
dibentuklah Kelompok Tani Hutan (KTH) HKm Munder yang difasilitasi oleh LP3ES NTB/KONSEPSI
sekaligus melakukan pembinaan dan penguatan kapasitas kelembagaan. Pada awalnya pembukaan
lahan hanya 250 ha, kemudian diperluas sampai melebihi 350 ha dengan jumlah penggarap lebih
dari 347 KK.
Dinas Kehutanan yang mengetahui adanya ‘perambahan’ di dalam kawasan hutan Tangga,
Salut dan Munder, kemudian melakukan pengamanan bersama dengan melibatkan TNI, Polri dan
Polhut. Hasilnya, tidak sedikit masyarakat yang ditangkap dalam aksi pengamanan tersebut dan
beberapa pondok kerja masyarakat pun dirusak oleh aparat yang kemudian menyebabkan konflik
antar masyarakat (penggarap) dengan Dinas Kehutanan. Akan tetapi, tindakan aparat ini tidak serta
merta kemudian membuat masyarakat jera untuk masuk kedalam hutan. Ketergantungan
masyarakat sekitar terhadap sumber daya hutan yang ada di daerah telah menyebabkan Dinas
Kehutanan kesulitan untuk menghentikan aktivitas mereka dan terhadap masyarakat yang telah
melakukan aktivitas bercocok tanam di dalam kawasan hutan dibiarkan sehingga pada HKm Tangga,
Salut dan Munder dikatagorikan sebagai HKm non‐program.
Konflik serupa juga pernah terjadi di hutan Rigis Jaya Kabupaten Lampung Barat yang berawal
dari pembukaan lahan garapan dikawasan hutan dengan cara tebang habis. Ladang‐ladang ini
kemudian ditanami padi, tanaman kopi bahkan sampai menjadi perkebunan kopi monokultur.
Perambahan kawasan hutan ini memicu konflik antara penduduk di sekitar kawasan hutan dengan
Dinas Kehutanan. Pemerintah mengusir penduduk agar meninggalkan lahan garapan mereka di
kawasan hutan. Namun, masyarakat tetap menggarap lahan di kawasan hutan sebab lahan garapan
itu sumber penghidupan utama warga sehingga pemerintah tidak dapat terus memaksa penduduk
pindah (Santosa, 2012).
III. Pengorganisasian masyarakat menjadi Koperasi HKm Santong
Cikal bakal Koperasi HKm Santong sesungguhnya telah diinisiasi sejak tahun 1997, yang pada saat itu
masih berupa kelompok‐kelompok kecil yang mengusahakan kegiatan pembibitan dengan skala
kecil. Pada tahun 1998, Dinas Kehutanan Propinsi NTB menjalin kerjasama dengan LP3ES NTB untuk
menjadikan HKm Santong sebagai tempat belajar pengembangan pengelolaan hutan yang
6
menekankan partisipasi masyarakat. Kegiatan berupa penyulaman dengan bantuan bibit dari Dinas
Kehutanan NTB. Kemudian juga ada kegiatan fasilitasi menghasilkan kelompok baru berbasis
“gontoran” atau satuan hamparan lahan berdasarkan batas alam. Tahun 1999, anggota kelompok
mulai
R A P A T
A N G G O T A
memikirkan
pengembangan
dengan
kelompok
sasaran
agar
BADAN PENGAWAS
KETUA
1.
2.
3.
pekerjaan
M. Sabidi
dapat
selesai
Sirman
H. Zaini Ansori
tepat
pada
waktunya,
BENDAHARA
SEKRETARIS
sehingga terbentuklah 9 sub
kelompok sesuai jumlah
HKm
HKm
HKm
HKm
Salut
Santong
Tangga
Munder
gontoran. Untuk kelancaran
proses
Unit Simp
kemudian
Unit
Pinjam
Waserda
Kotak.1 : Struktur Kepengurusan Koperasi HKm Santong Tahun 2007 – sekarang.
Desember
pendampingan,
pada
akhir
1999
diselenggarakan musyawarah semua sub kelompok yang hasilnya adalah terbentuknya wadah
kelompok besar yang diberi nama Koperasi Tani Maju Bersama untuk menaungi seluruh sub
kelompok, tersusunnya kepengurusan Koptan untuk masa 3 tahun ke depan, dan juga ditetapkan
besarnya iuran koperasi yaitu iuran pokok sebesar Rp 25.000,‐ dan iuran wajib Rp 1000/bulan (untuk
tahun I).
Terbentuknya Koptan Maju Bersama direspon positif oleh Departemen Koperasi dan UKM,
sehingga pada tanggal 17 Mei 2000 berhasil memperoleh badan hukum Nomor
297/BH/KDK’23.1/V/2000 dan sekaligus disahkannya kepengurusan koperasi periode I tahun 2000 –
2003. Pada awal perjalanan koperasi, modal usaha untuk pengembangan koperasi dan pelayanan
anggota cukup berjalan baik. Hal ini dapat dibuktikan karena pada era tersebut koperasi bisa
mengembangkan enam unit usaha. Pada tahun yang sama koperasi mengajukan proposal
pengadaan bibit sengon sebanyak 20.000 batang kepada Dinas Kehutanan NTB, yang dalam
realisasinya hanya 15.000 batang. Pendampingan kemudian diperpanjang kembali hingga tahun
2001 dengan fokus kegiatan peningkatan sumber daya manusia. Dengan jumlah anggota koperasi
sebanyak 258 KK, yang juga merupakan masyarakat penggarap HKm. Agar kegiatan koperasi dapat
berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan maka dibuatlah syarat untuk menjadi anggota koprasi
yakni mengerti aturan hukum lokal (awik‐awik) koperasi, telah menikah atau sudah berusia 17
tahun, anggota diproritaskan masyarakat Desa Santong yang berdomisili di sekitar kawasan
hutan/HKm, membayar iuran simpok sebesar Rp.25.000,‐ dan simpanan wajib Rp.1000,‐ setiap calon
anggota mengajukan permohonan secara tertulis. Perjalanan koperasi memasuki tahun ke lima
7
(tahun 2005), dan kondisi koperasi mulai terpuruk disebabkan oleh kendala internal maupun kendala
eksternal. Kendala internal terjadi karena unit simpan pinjam mengalami defisit anggaran, sebab
dana yang dipinjamkan kepada anggota tidak rutin pengembaliannya. Hanya beberapa anggota saja
yang lancar mengembalikan. Sedangkan, kendala eksternal yang dihadapi oleh koperasi saat itu
cukup berat karena berbagai unit usaha pun mengalami kemacetan. Penyebabnya adalah fluktuasi
harga jual produk yang tidak menentu serta persaingan usaha dari pihak luar cukup marak sehingga
unit‐unit usaha tidak bisa berjalan. Modal yang dimiliki koperasi pun kian menipis yang diperparah
dengan tidak adanya suntikan modal dari pihak lain.
Pada tahun keenam dan tahun ketujuh hanya unit usaha simpan pinjam yang bisa bertahan,
walaupun dengan modal pas‐pasan. Tahun 2007, melalui RAT (Rapat Anggota Tahunan) terjadi
pergantian (resufle) pengurus dan merger unit usaha menjadi unit usaha simpan pinjam dan unit
waserda (lihat kotak.1)
Pada tahun 2009, petani HKm Santong menerima areal pencadangan oleh Menteri sebagai
areal hutan kemasyarakatan serta IUPHKm pada September 2011. Dengan adanya legalisasi hak atas
sumberdaya lahan/hutan kepada masyarakat Santong dkk telah menggambarkan sikap optimis
pemerintah atas kemampuan masyarakat didalam mengelola sumberdaya hutan. Legalisasi hak atau
formalisasi hak adalah kegiatan yang memberikan label hukum terhadap hak atas tanah.
IV. Proses Legalisasi: Dinamika dan Implementasi Kebijakan
4.1. Kebijakan HKm yang berubah dari waktu ke waktu
Kebijakan mengenai HKm berubah dari waktu ke waktu. Pada tingkat nasional, kebijakan mengenai
HKm dimulai sejak tahun 1995 dengan dikeluarkannya beberapa surat keputusan menteri kehutanan
dan peraturan menteri kehutanan dan perkebunan. Selanjutnya, kebijakan tersebut direspon oleh
pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten dengan terbitnya peraturan daerah dan surat keputusan
bupati (lihat kotak.2). Secara keseluruhan perubahan kebijakan pemerintah tentang HKm mengarah
pada perubahan konsep/definisi HKm, baik hak dan kewajiban masyarakat yang terlibat dalam
pengelolaan HKm (Dipokusumo 2011).
8
Perubahan
itu
1. SK Menhut No. 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman HKm,
2. SK Menhutbun No.677/Kpts-II/1998 tentang HKm jo.
No.865/Kpts-II/1999 Penyempurnaan SK Menhutbun No.
677/Kpts-II/1998 tentang HKm,
3. SK Menhut No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan HKm yang
menjadi pedoman nasional pengelolaan HKm,
4. Perda Lombok Barat No. 21/2001 tentang Retribusi Surat Izin
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu dan Retribusi Hasil Hutan
Bukan Kayu,
5. Perda Lombok Barat No.10/2003 tentang Penyelenggaraan HKm di
Lombok Barat,
6. Perda Propinsi NTB No. 6/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan
HKm di NTB,
7. Tahun 2006, HKm dijadikan salah satu fokus kegiatan pemb.
kehutanan SK. Menhut No. 421/Menhut-II/2006,
8. Peraturan Pemerintah RI No.6 T`ahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Perencanaan Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan Æ PP No.3
Tahun 2008.
9. Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan
10. Permenhut P.18/Menhut-II/2009 Æ Perubahan Pasal 9 dan Pasal 23
Permenhut P.37/Menhut-II/2007
11. Permenhut P.13/Menhut-II/2010 Æ Perubahan Pasal 8 dan Pasal 9
Permenhut P.37/Menhut-II/2007
12. Permenhut P.52/Menhut-II/2011 Æ Perubahan Pasal 8 Permenhut
P.37/Menhut-II/2007
13. SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 447/Menhut-II/2009 tentang
Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan Santong seluas ± 758
Ha.
14. SK Bupati Lombok Utara Nomor: 297/1195.b/ DPPKKP/2011
tentang IUPHKm (Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan).
mengarah pada penegasan
bahwa HKm merupakan hutan
negara, sedangkan perubahan
hak meliputi perubahan waktu
pengelolaan dan mekanisme
dari pengelolaan. Sementara
perubahan kewajiban meliputi
perlindungan kawasan dan
mekanisme
pembayaran
insentif
atas
pengelolaan
kawasan
HKm.
kebijakan
Perubahan
pemerintah
sesungguhnya sebagai langkah
kearah
perbaikan
dan
penyempurnaan isi sehingga
terjadi
Kotak.2 : Peraturan Perundangan‐undangan terkait hutan kemasyarakatan
konsep
konsistensi
antara
maksud dan tujuan tentang pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan dikaitkan
dengan implementasinya. Perubahan tersebut semakin memperlihatkan keberpihakan pemerintah
terhadap masyarakat miskin yang berdomisili disekitar kawasan hutan.
Dari gambaran informasi kebijakan diatas, tentang HKm sampai tahun 2011. Pada tingkat
nasional dapat dilihat, bahwa telah terbit empat surat keputusan menteri kehutanan dan
perkebunan, satu peraturan pemerintah dan satu peraturan menteri kehutanan. Sementara
kebijakan di tingkat provinsi berupa terbitnya satu peraturan daerah (perda). Di tingkat kabupaten
sendiri telah terbit dua peraturan daerah (perda) dan satu surat keputusan, dimana isi dari kebijakan
HKm provinsi dan kabupaten umumnya merupakan turunan dari kebijakan HKm ditingkat Nasional.
SK Menhut 622/Kpts‐II/1995 yang kemudian diperbaharui dengan SK Menhut No.677/Kpts‐
II/1998 jo. No.865/Kpts‐II/1999, SK Menhut No.31/Kpts‐II/2001, hingga saat ini masih lebih sebagai
wacana orang‐orang pusat (ditjen RLPS Dephut RI) ketimbang sebagai wacana Pemda. Gambaran ini
terlihat ketika SK ini belum secara inheren masuk dalam kesadaran dan kebijakan yuridis pemerintah
kabupaten.
Terlepas dari itu, melihat SK Menhut No.622/Kpts‐II/1995 tentang pedoman hutan
kemasyarakatan, mendefinisikan HKm sebagai sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya
dengan mengikutsertakan masyarakat. Artinya bahwa, HKm dilaksanakan di hutan dengan tujuan
9
lebih ditekankan pada pelibatan masyarakat, sedangkan di dalam SK Menhut No.677/Kpts‐II/1998 jo.
No.865/Kpts‐II/1999, SK Menhut No.31/Kpts‐II/2001 sampai dengan terbitnya PP No. 6 tahun 2007
dan Permenhut P.37 yang mendefinisikan HKm sebagai hutan negara dengan sistem pengelolaan
hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi
pokoknya. Definisi HKm ini lebih menekankan pada tujuan pemberdayaan masyarakat. Dalam
definisi tersebut juga telah menegaskan status hutan bahwa HKm termasuk dalam hutan negara
yang areal kerjanya dapat ditetapkan di hutan lindung dan hutan produksi.
Sekilas terlihat adanya kelemahan pada SK Menhut No.622/Kpts‐II/1995 dalam menjelaskan
definisi HKm yang dapat memberikan peluang di dalam perubahan status lahan (hutan). Penegasan
areal kerja HKm pada kawasan hutan negara pada SK Menhut No.677/Kpts‐II/1998 menjadi penting
untuk menghindari adanya penyerobotan kawasan hutan dan perubahan status lahan oleh
pengelola HKm.
Dalam hal jangka waktu pengelolaan kawasan, berdasarkan SK Menhut No 622/Kpts‐II/1995
bahwa jangka waktu pengelolaan HKm hanya 5 tahun dan dapat diperpanjang, sementara
berdasarkan SK Menhut Nomor: 677/Kpts‐II/1998; SK Menurut Nomor 31/Kpts‐II/2001 dan sampai
dengan Peraturan Pemerintah No.6/2007; P.37/Menhut‐II/2007 bahwa jangka waktu pengelolaan
HKm selama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Perubahan dari jangka waktu pengelolaan ini
memperlihatkan kesungguhan pemerintah untuk menjamin kepastian hak kelola masyarakat
didalam memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu serta jasa lingkungan yang terdapat
didalamnya.
Kemudian terjadi juga perkembangan hak yang diberikan kepada masyarakat pengelola HKm
dalam bentuk izin pemanfaatan hasil hutan. SK Menhut No 622/Kpts‐II/1995 hanya memberikan hak
terbatas pada pemanfaatan kawasan berupa pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa
lingkungan. Selanjutnya terjadi perkembangan dengan memberikan hak yang lebih luas pada
pemanfaatan kawasan HKm melalui SK Menhut No. 677/Kpts‐II/1998, Peraturan Pemerintah
No.6/2007 dan P.37/Menhut‐II/2007, melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
HKm (IUPHHK‐HKm) yang terbatas pada hutan produksi.
Meskipun mendapat ruang di dalam Peraturan Perundang‐undangan untuk memanfaatkan
hasil hutan kayu pada HKm, namun sampai saat ini belum ada masyarakat pengelola HKm yang
dapat memanen kayu dari HKm. Padahal fakta di lapangan (HKm Santong) menunjukkan bahwa kayu
yang ada di HKm saat ini secara keseluruhan sudah layak tebang. Hal ini bukan dikarenakan
kemampuan teknologi, pendanaan dan ketidakefesienan lahan kelola masyarakat tetapi lebih
dikarenakan adanya klausul pada Permenhut P.37/2007 dimana hasil hutan kayu (HHK) yang dapat
10
dipanen merupakan hasil dari penanaman masyarakat sendiri, sehingga menyebabkan polemik baik
di tingkat nasional maupun di tingkat lokal.
Hal ini kemudian memunculkan wacana baru di tengah masyarakat bahwa pelibatan
masyarakat dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan (utamanya kayu), hanya dikenal dalam
terminologi izin pemanfaatan kayu di atas tanah milik (IPKTM). Kebijakan yuridis mengenai
pemberian konsesi pengeloaan/pemanfaatan hutan yang menjamin nuansa kemasyarakatan nyaris
seluruhnya tak mengandung makna sadar untuk mendorong proses optimalisasi akses pemanfaatan
sumber daya hutan oleh masyarakat.
4.2. Kebijakan dan Implementasi Kebijakan Daerah tentang HKm
Sejak adanya program HKm pada tahun 1997, menunjukkan bahwa belum adanya pemahaman
menyeluruh tentang HKm, menyebabkan terjadinya pembukaan lahan hutan atas dalih HKm dan
telah meluas hampir diseluruh kawasan hutan. Meskipun demikian, Pemda Kabupaten Lombok Barat
melihat program hutan kemasyarakatan mampu mensejahterakan masyarakat. Di satu sisi, bisa
mendatangan sumber pendapatan bagi daerah sehingga diterbitkanlah Perda Lombok Barat
No.21/2001 tentang Retribusi Surat Izin Pemungutan HHBK dan Retribusi HHBK. Namun, masyarakat
dan beberapa kalangan menilai Perda ini tidak aspiratif. Menurut beberapa pandangan dari
kelompok masyarakat, implementasi aturan ini menimbulkan masalah baik dari sisi teknis
pemungutan maupun dari sisi praktek pemungutan retribusi dilapangan, karena dinilai bertentangan
dengan substansi Perda.
Ini disebabkan karena areal kelola masyarakat yang dipungut belum diberi izin oleh
pemerintah, meski secara de facto masyarakat telah mengelola kawasan ini dengan skema HKm.
Masalah lain yang menyangkut pro‐kontra masyarakat terhadap keberadaan Perda ini adalah
dilapangan sendiri kenyataannya masih terdapat aturan‐aturan (misalnya ada aturan desa) yang
merupakan duplikasi dari Perda 21/2001, sehingga dianggap memberatkan masyarakat. Dari
beberapa masalah atas implementasi Perda ini, kemudian mendorong beberapa anggota DPRD
untuk melakukan inisiasi produk kebijakan yang mengatur pengelolaan hutan di Lombok Barat
(sebagian menjadi Kabupaten Lombok Utara) yang menjamin aspirasi dan partisipasi publik.
Berselang dua tahun kemudian Pemda Kabupaten Lombok Barat mengeluarkan Perda
No.10/2003 tentang Penyelenggaraan HKm. Dimana proses penyusunannya dilaksanakan dengan
pelibatan partisipasi publik secara meluas baik individu maupun kelompok. Dilaksanakan dengan
proses dialog dan konsultasi sebagai sebuah komunikasi hukum. Namun, dalam implementasinya
mengalami resistensi dari kelompok masyarakat sekitar hutan, karena pada kenyataannya terdapat
Pasal yang dinilai secara substantif tidak berpihak pada kepentingan masyarakat, terutama yang
11
berkaitan dengan mekanisme perizinan (Bab III Pasal 7 ayat 3) dan sistem bagi hasil yang dinilai tidak
memberikan insentif bagi masyarakat pengelola (Pasal 33). Misalnya, aturan terkait dengan sistem
bagi hasil (retribusi) tidak boleh bertentang dengan peraturan yang diatas, sehingga bila terdapat
pertentangan perlu ada penyusuaian aturan yang mengatur tentang pajak dan retribusi. Kemudian
bagi hasil yang didorong saat itu oleh beberapa kalangan, meskipun ada tetap melihat aspek
keadilan dan diperuntukkan untuk dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan (PSDH). Dan yang
terpenting bahwa didalam Perda juga perlu mengatur mekanisme perizinan yang lebih sederhana
tetapi tetap bisa dipertanggungjawabkan.
Ketika Perda ini coba diimplementasikan, mendapat penolakan dari masyarakat. Masyarakat
kecewa terhadap rumusan Perda yang jauh melenceng dari rumusan hasil konsultasi publik. Namun,
ada upaya eksekutif untuk mengimplementasikannya namun Perda ini tetap tidak dapat bekerja
efektif karena tidak mendapat dukungan masyarakat. Pada tataran inilah, sebagian masyarakat
menilai jika Pemerintah Daerah hanya berorientasi pada PAD dalam hal pengelolaan sumber daya
hutan dengan mengabaikan arti penting sumber daya hutan bagi kepentingan peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui pemberian insentif pengelolaan. Benturan kepentingan (konflik)
yang berlatar belakang ekonomi bisa jadi akan muncul karena formulasi kebijakan terkait dengan
kehutanan daerah lebih mencerminkan ekspresi kepentingan pemerintah secara sepihak.
Pada waktu yang hampir bersamaan Pemprov NTB juga mengeluarkan Perda tentang
penyelenggaraan hutan kemasyarakatan. Pertimbangan terbitnya Perda ini adalah agar sumber daya
hutan pada kawasan hutan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat,
yang pengelolaannya dilakukan secara adil dan lestari melalui pendekatan ekologis dan sosial
budaya dengan memberikan peran yang besar kepada komunitas sosial setempat melalui pola hutan
kemasyarakatan dengan diterbitkannya Perda Provinsi NTB No.6 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Dalam perjalanannya, dengan terbitnya Perda Provinsi
NTB No.6 tahun 2004 bukan merupakan acuan penyelenggaraan HKm di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Karena pada saat perda tingkat Provinsi tersebut disyahkan, kabupaten lain telah memiliki
perda sendiri.
Zainal mengungkapkan bahwa Perda ini sesungguhnya memiliki kepentingan dan spirit
tertentu yakni untuk mengangkat berbagai bentuk praktik‐praktik pengelolaan hutan, baik oleh
masyarakat dan pihak pemerintah serta berbagai pihak lainnya dengan tetap konsisten pada istilah
Hutan Kemasyarakatan. Selain itu, Perda tersebut juga mencoba membawa pesan pentingnya
wacana jasa lingkungan sebagai bagian pengelolaan hutan secara integral. Melalui perda tersebut,
maka diharapkan dapat memberikan arahan kepada semua Kabupaten ketika menyusun kebijakan
HKm (sebagaimana dimuat dalam dalam Markum, 2006).
12
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang terbit dalam rangka akselerasi dan efektifitas
penerapan pengelolaan hutan lestari, yakni dengan memberikan akses kepada masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya hutan secara efisien dan lestari. PP.6/2007 salah satunya mengatur
tentang hutan kemasyarakatan (HKm). Tujuannya adalah untuk mendorong percepatan
pembangunan hutan tanaman, pengendalian degredasi hutan serta pemberdayaan ekonomi
masyarakat sekitar hutan melalui prinsip good governance yang secara teknis‐operasional dijabarkan
melalui Permenhut No.37/2007 dengan memberikan legalisasi didalam melakukan pengelolaan
dikawasan hutan negara.
Secara umum legalisasi tersebut dilakukan dengan dua cara: (a) dengan mengakui keberadaan
hak‐hak masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alam yang diatur melalui sistem normative yang
berbeda dengan negara, pada umumnya dengan hukum adat, tanpa memberikan intervensi
terhadap sistem tersebut. Hal ini disebut pula dengan ’pengakuan hukum’; (b) dengan memberikan
hak‐hak baru sesuai dengan kerangka hukum negara kepada masyarakat, misalkan dengan
pemberian izin‐izin pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya. Bila merujuk dari cara
pemberian legalisasi hak menurut Safitri, maka pemberian izin hutan kemasyarakatan Santong
termasuk pada cara yang disesuaikan dengan kerangka hukum negara (Safitri, 2010).
Penguasaan dan pemanfaatan lahan oleh masyarakat petani HKm Santong dalam bentuk
pemberian legalitas yakni secara kolektif (berkelompok) didalam satu wadah koperasi tani “Maju
Bersama” Santong. Ini didasarkan pada SK Bupati Lombok Utara Nomor : 297/1195.b/DPPKKP/2011
tentang IUPHKm yang diberikan kepada Koperasi Tani Maju Bersama Santong dengan jumlah
anggota sebanyak 852 KK dalam jangka waktu 35 tahun sesuai dengan peraturan yang berlaku dan
dapat diperpanjang lagi.
Sesuai dengan amanat Permenhut No.37/2007 tentang HKm, maka Pemkab dengan bantuan
fasilitasi oleh lembaga KONSEPSI menyiapkan dokumen usulan penetapan areal kelola untuk HKm
Santong, Salut dan Munder kepada Menteri Kehutanan, sekaligus upaya proses perizinan kelola HKm
dari Bupati. Melalui SK Nomor: 447/Menhut‐II/2009 tanggal 06 Agustus 2009, Menteri Kehutanan RI
menetapkan areal kerja HKm seluas ± 758 Ha di areal kelola kelompok HKm Santong, Salut, Munder
dan Tangga. SK Menteri Kehutanan RI kemudian ditindaklanjuti oleh Bupati Lombok Utara melalui SK
Nomor: 297/1195.b/DPPKKP/2011 tanggal 23 September 2011 tentang Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan Kemasyarakatan kepada Koperasi Maju Bersama Santong. Dengan terbitnya IUPHKm tersebut
memberi kepastian legalitas hak kelola masyarakat dan peluang terhadap pemanfaatan hasil hutan
kayu dan non kayu yang berasal dari HKm. Legalisasi akses atas tanah ini berwujud pemberian licensi
13
pemanfaatan hutan negara kepada Koperasi Maju Bersama Santong selama 35 tahun untuk
mengelola kawasan hutan seluas 758 ha.
4.3.Perubahan Akses atas Tanah
Dari total jumlah penduduk Kabupaten Lombok Utara, pada tahun 2009 sebagiannya bekerja sebagai
petani HKm yang tersebar pada 13 lokasi HKm dengan luas lahan kelola mencapai 10.000 ha, 758 ha
diantaranya telah memperoleh legalitas yakni HKm Santong (Taqiuddin et al., 2009).
HKm Santong dkk, secara adminitrasi berada pada dua kecamatan di Kabupaten Lombok Utara
yakni Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan. Hutan kemasyarakatan Santong dkk terdiri dari
Hkm Santong Desa Santong, HKm Tangga Dusun Tangga Desa Selengan, HKm Salut Desa Salut dan
HKm Munder Dusun Munder Desa Mumbulsari.
Berdasarkan hasil berita acara tata batas hutan dan stastitistik Dinas Kehutanan NTB (2011),
luas kawasan hutan di Kabupten Lombok Utara adalah 35.711,79 ha atau (44,11%) dari total luas
daratan kabupaten dan 3,34% dari total luas kawasan hutan di NTB. Terdiri dari hutan konservasi
seluas 12.357,67 ha (34,60%), hutan lindung seluas 11.198,22 ha (31,36%), dan hutan produksi
12.155,90 ha (34,04%). Dari total luas hutan produksi yang ada di Kabupaten Lombok Utara, ± 758
ha (6,26%) telah dikelola dengan skema hutan kemasyarakatan. HKm Santong seluas 221 ha, HKm
Tangga seluas 87 ha, HKm Salut seluas 350 ha dan HKm Munder seluas 100.
Perubahan akses tanah para penggarap sebelum dan pasca legalitas terhadap areal hutan
negara Santong sebagai berikut:
14
Gambar.1 Perbandingan distribusi akses tanah
sebelum dan sesudah legalisasi
Dapat dilihat bahwa sebelum dan sesudah legalitas, pengelola HKm memiliki luas garapan
paling banyak 0,4 – 0,7 ha atau 60% sebelum adanya legalitas. Setelah ada legalitas akses tanah
paling banyak tetap berada pada skala 0,4 – 0,7 ha, namun terdapat perubahan persantase dari 60%
menjadi 54%. Yang dikarenakan adanya transaksi tanah sesama petani pada tahun 2004‐2005.
Artinya tidak ada perubahan struktur akses tanah yang signifikan antara sebelum dan sesudah
adanya legalitas. Yang berbeda adalah status hukumnya dimana pada tahun 1998 status hukum yang
disandangnya adalah illegal melalui okupasi, menjadi akses legal atas hutan negara pada tahun 2009.
Dari hasil penelitian dengan mengklasifikasikan akses atas tanah ke dalam kategori, dapat
dilihat pada Tabel.1 berikut ini:
Tabel.1 Klasifikasi Luas Lahan Garapan Berdasarkan Skala (ha)
Kategori petani
Skala (ha)
Tunakisma
0
0,01 ‐ 0,3
Sempit
0,4‐ 0,7
0,8 – 1,1
Sedang
1,2 – 1,5
1,6 – 1,9
Luas
2,0 – 2,3
Sumber : Data Primer yang dikonvesi kedalam Kategori Kelas Lahan (2012).
Bila dilihat, dengan akses atas tanah paling banyak pada 0,4 – 0,7 ha atau 60% dari jumlah
penggarap yang ada. Maka, berdasarkan kategori penguasaan lahan diatas, petani di HKm Santong
masuk dalam kategori sempit. Padahal bila merujuk pada SK Menteri Kehutanan dan SK Bupati
Lombok Utara, jumlah pengelola lahan di HKm Santong sebanyak 857 KK, dengan areal pencadangan
seluas 758 ha. Bila dibagi rata, antara luasan dengan jumlah penggarap maka setiap kepala keluarga
semestinya memperoleh 0,9 ha.
D. Dampak Keamanan Tenurial
Dampak terhadap tatanan ekologi dan ekonomi
15
Masyarakat pengelola HKm Santong memiliki karakteristik yang beragam, sehingga memiliki dampak
terhadap beragamnya tipe dan bentuk partisipasi dan lebih jauh berdampak terhadap kondisi
ekonomi dan ekologi kawasan HKm. Karakteristik sosial ekonomi pengelola HKm dibedakan
berdasarkan usia, pekerjaan, serta tanggungan keluarga pengelola HKm.
Berdasarkan usia diketahui bahwa masyarakat pengelola HKm memiliki usia bervariasi yang
dibagi kedalam kelas interval sebagai berikut:
Gambar 1. Grafik Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Dari gambar di atas diketahui bahwa petani pengelola HKm Santong memiliki usia beragam,
yang didominasi oleh usia setengah baya 32 ‐ 40 tahun sebanyak 33 orang. Sebaran usia tersebut
masih cukup produktif dan mampu menerima inovasi teknologi dengan bertanggungjawab, sehingga
masih dimungkinkan untuk melakukan introduksi teknologi dan upaya pengembangan usaha tani ke
arah industi pedesaan dengan memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan
bukan kayu serta jasa lingkungan. Sebagian kecil pada usia 68 ‐ 76 tahun sebanyak 2 orang.
Berdasarkan Pekerjaan diketahui bahwa masyarakat pengelola HKm memiliki pekerjaan
sampingan yang bervariasi, sebagai berikut:
16
Gambar.2 Grafik Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Dari gambar diatas diketahui, bahwa petani HKm sebagian besar tidak memiliki pekerjaan
sampingan selain mengelola HKm. Ini dapat dimengerti, karena pada awalnya memang petani yang
sekarang mengelola HKm Santong, dahulu memang tidak memiliki lahan dan pekerjaan lain,
sehingga kawasan hutan merupakan sumber penghidupannya. Masyarakat selain menjadi petani
HKm juga memiliki pekerjaan sampingan yang sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan bertani
di kebun. Kebun‐kebun yang ada ini merupakan hasil keuntungan yang diperoleh dari hasil HKm.
Berdasarkan Tanggungan Keluarga diketahui bahwa masyarakat pengelola HKm memiliki
jumlah tanggungan keluarga yang bervariasi, seperti Gambar.3 sebagai berikut:
Gambar.3 Grafik Karakteristik Responden Berdasarkan
Jumlah Tanggungan Keluarga
Dapat dilihat petani HKm memiliki tanggungan paling banyak 4‐5 orang yakni sebesar 55% dan
paling sedikit 10‐11 orang atau 1%. Ini artinya bahwa semakin banyak jumlah tanggungan keluarga
maka pengeluran dalam rumah tangga akan semakin besar. Namun demikian, semakin banyak
jumlah tanggungan di dalam satu keluarga juga akan sangat membantu ketika proses pemanenan
hasil hutan sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan ketika pemanenan dapat menghemat
pengeluaran.
Fokus pada dampak terhadap tatanan ekologi sebelum memperoleh legalitas pengelolaan
hutan, pengelolaan lahan yang dilakukan oleh penggarap HKm belum terpola. Dari tata kelola
17
kawasan misalnya, masyarakat belum memiliki perencanaan (jangka pendek, menengah dan
panjang) didalam mengelola lahan. Perencanaan pengelolaan lahan ini menjadi penting, mengingat
perencanaan yang baik diperlukan agar pelaksanaan pengelolaan hutan dapat berjalan secara lancar
sesuai dengan yang diharapkan, yaitu berdasarkan prinsip‐prinsip kelestarian hutan, dimana hutan
selalu ada, produksi selalu ada dan kondisinya baik sehingga kelestarian hutan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dapat berjalan seimbang (balance). Disisi lain, masyarakat penggarap juga
belum memiliki batas kawasan dan batas antar blok yang jelas, sehingga kerap terjadi penyerobotan
atau perluasan lahan HKm oleh masyarakat yang belum memperoleh lahan. Diperparah lagi dengan
adanya ganti rugi lahan karena pemahaman masyarakat yang kurang terhadap program hutan
kemasyarakatan ini.
Dengan adanya program HKm dalam hal ini pemberian kepastian hak kelola masyarakat telah
menjawab beberapa kendala‐kendala di atas. Dalam pengelolaan batas kawasan, tetap mengacu
pada pal batas permanen yang sudah ditetapkan oleh bagian Planologi Kehutanan. Tata batas yang
berupa tonggak‐tonggak beton ini tetap dipelihara oleh penggarap HKm dengan maksud untuk; (1)
mencegah penyerobotan lahan hutan untuk perluasan areal HKm, (2) sebagai titik ikat untuk
menentukan koordinat dalam proses pembuatan Peta Kerja HKm. Areal HKm Santong kemudian
terbagi kedalam beberapa blok pengelolaan, dimana pengelolaan blok tersebut masih dilakukan
secara sederhana berdasarkan gontoran dengan batas‐batas alam seperti tebing sungai atau anak
sungai. Sedangkan tata batas areal kerja masing‐masing anggota penggarap dikelola juga secara
sederhana/tradisional dengan menggunakan tanda batas berupa batu atau pohon untuk mencegah
penyerobotan areal kerja.
Akan tetapi dengan adanya legalitas ini juga telah membantah opini sebagian kalangan
konservatif akan dampak buruk yang ditimbulkan terutama hubungannya dengan konservasi hutan.
Mengingat, masyarakat telah mengetahui, bahwa HKm pada hutan produksi dimungkinkan untuk
melakukan pemanfaatan/pemanenan kayu, sehingga saat ini masyarakat telah menunggu untuk
melakukan penebangan. Sayangnya selain regulasi yang belum dapat berjalan (tarik‐ulur
kepentingan), penting juga dilakukan kegiatan peningkatan kapasitas bagi penggarap, agar memiliki
pemahaman yang utuh terkait hak dan kewajibannya di dalam melakukan pengelolaan hutan.
Disisi lain kebutuhan semakin meningkat, maka kedepan diprediksikan bahwa pengelolaan
hutan akan difokuskan pada peningkatan ekonomi semata. Kasus ini juga terjadi di beberapa HKm di
Indonesia. Kasus Sumberjaya Lampung Barat misalnya, dimana masyarakat lebih mengedepankan
tanaman kopi dalam areal HKm. Di Bengkulu dikembangkan tanaman Kapulaga dibawah tegakan
tanaman Sengon. Tanaman Jagung dan peternakan domba sebagai bentuk agroforestri berbasis
Sengon juga dikembangkan di Kabupaten Mojokerto.
18
Dari sisi kelembagaan dapat dijelaskan, bahwa sebelum adanya legalisasi hak masyarakat
mereka belum terwadahi dalam kelompok.
Rakyat Dituduh Merambah Sekarang Pemerintah Mengizinkan:
Hutan Kemasyarakatan Santong, Lombok Utara,
dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Arya Ahsani Takwim
2012
Tentang Kertas Kerja Epistema
Paper‐paper dalam seri ini pada umumnya adalah dokumen sementara dari hasil‐hasil
penelitian yang dilakukan oleh staff, research fellow dan mitra EPISTEMA. Seri ini berisikan
paper‐paper yang mendiskusikan filsafat dan teori hukum, kerangka hukum dan kajian
sosio‐legal terhadap hak‐hak masyarakat adat dan komunitas lain atas tanah dan sumber
daya alam termasuk dalam konteks kebijakan dan proyek perubahan iklim.
Saran pengutipan:
Takwim, Arya Ahsani. Rakyat Dituduh Merambah sekarang Pemerintah Mengizinkan, Kertas
Kerja Epistema No.05/2012, Jakarta: Epistema Institute (http://epistema.or.id/rakyat‐
dituduh‐merambah/).
EPISTEMA Institute memegang hak cipta atas seri kertas kerja ini. Penyebarluasan dan
penggandaan diperkenankan untuk tujuan pendidikan dan untuk mendukung gerakan sosial,
sepanjang tidak digunakan untuk tujuan komersial.
Paper‐paper dalam seri ini menggambarkan pandangan pribadi pengarang, bukan
pandangan dan kebijakan EPISTEMA Institute. Para pengarang bertanggung jawab terhadap
isi paper. Komentar terhadap paper ini dapat dikirim melalui epistema@epistema.or.id.
Penata letak : Andi Sandhi
Epistema Institute
Jalan Jati Mulya IV No.23
Jakarta 12540
Telepon
: 021‐78832167
Faksimile
: 021‐7823957
E‐mail
Website
: epistema@epistema.or.id
: www.epistema.or.id
2
Rakyak Dituduh Merambah sekarang Pemerintah Mengizinkan:
Hutan Kemasyarakatan Santong, Lombok Utara,
dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Arya Ahsani Takwim
I.
Pendahuluan
Terbitnya PP Nomor 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan yang merupakan revisi atas PP No. 34 tahun 2002 yang kemudian
diterjemahkan lebih operasional melalui Permenhut Nomor P.37/2007 tentang Hutan
Kemasyarakatan (HKm) memberikan peluang kepada masyarakat yang sebelumnya mengakses
kawasan hutan secara illegal atau tanpa izin.izin. Dengan kata lain, kebijakan HKm dapat diposisikan
sebagai upaya penyelesaian terhadap illegalitas akses petani miskin atas tanah kehutanan dalam
jangka waktu tertentu menurut ketentuan yang ada.
Kebijakan HKm merupakan salah satu bentuk dari perhutanan sosial (social forestry) yang
menempatkan hutan dan rakyat sebagai dua hal yang tak terpisahkan, yaitu bahwa hutan sebagai
bagian dari rakyat dan sekaligus rakyat sebagai bagian dari hutan (Awang 2001). Selama ini banyak
penelitian yang telah dilakukan masih menekankan pada konflik dan ketidakadilan yang dialami oleh
masyarakat lokal dan jawabannya adalah memberikan hak kelola kepada masyarakat dalam bentuk
‘penguasaan tanah’ melalui legalisasi (Dipokusumo 2011, Asanga 2005, Humaidi 2006, dll). Tidak
banyak penelitian yang menelaah lebih dalam bagaimana proses legalisasi okupasi tanah kehutanan
oleh masyarakat desa yang semula adalah illegal, bentuk‐bentuk organisasi sosial petani miskin yang
berperan dalam proses legalisasi tersebut, dan dampak dari proses legalisasi akses masyarakat
terhadap hutan bagi peningkatan pendapatan. Hal itulah yang dibahas dalam penelitian ini.
Dalam membahas persoalan tersebut, maka penyajian hasil penelitian diawali dengan uraian
mengenai okupasi terhadap hutan negara oleh petani miskin Santong. Lebih lanjut dijelaskan proses
metamorfosa kelompok‐kelompok petani penggarap tanah kehutanan menjadi koperasi HKm
Santong, yang pada gilirannya menjadi pemegang izin yang diberikan oleh Kemenhut melalui SK
Bupati. Pada bab selanjutnya dijelaskan bagaimana dinamika dan implementasi kebijakan hutan
kemasyarakatan baik pada level nasional dan daerah, perubahan legalitas akses atas tanah serta
dampak keamanan tenurial (tenurial security) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat,
serta diakhiri dengan mengemukakan harapan dan tantangan hutan kemasyarakatan untuk
kemudian.
3
II. Okupasi terhadap Hutan Negara
HKm Santong dkk merupakan sebuah narasi bagaimana okupasi illegal tanah hutan yang dilakukan
oleh petani pinggir hutan kemudian memperoleh legalisasi oleh pemerintah. Sejarah ini bermula dari
program kopi penyangga pada tahun 1982 oleh Kanwil Kehutanan NTB seluas 105 ha untuk dikelola
oleh sebanyak 170 KK yang tinggal disekitar kawasan. Program ini dimaksudkan sebagai sabuk
pengaman kawasan hutan Santong, karena faktanya perambahan dengan sistem ladang berpindah
kerap terjadi di kawasan itu dan mengakibatkan terjadinya degradasi hutan membuat ketersediaan
air semakin terbatas. Oleh Pemda kemudian 170 KK ini ‘dipekerjakan’ untuk merehabilitasi hutan
dengan menanam kayu‐kayuan (Sonokeling dan Rajumas) dan sebagai imbalannya masyarakat
diizinkan untuk menanam kopi dibawah tegakan kayu dengan perpanjangan kontrak 3 tahun sekali.
Disisi lain, ada kompensasi yang harus diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah yakni sistem
bagi hasil (pajak), dimana hasil panen kopi tersebut hanya 40% untuk masyarakat sisanya untuk
diberikan kepada Pemda.
Ditengah perjalanan, pada Maret 1997 dilakukan inventarisasi dan identifikasi kawasan hutan
untuk dikelola dengan sistem ‘hutan kemasyarakatan’ sebagai implementasi SK Menhut
No.622/Kpts‐II/1995 tentang pedoman HKm. Dimulai dengan penjajakan eks lokasi proyek reboisasi
oleh Kanwil Kehutanan NTB. Inventarisasi dan identifikasi areal kelola HKm, menghasilkan data dan
informasi tentang sumberdaya hutan‐sosial ekonomi masyarakat setempat. Alhasil diperoleh kriteria
didalam penetapan areal kelola HKm yang didasarkan pada; (1) ketergantungan masyarakat
setempat pada kawasan hutan disekitarnya; (2) kawasan hutan tersebut belum dibebani izin lain di
bidang kehutanan; (3) menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat; dan (4) areal tersebut
memiliki potensi untuk dikelola oleh masyarakat setempat mengacu pada pedoman verifikasi calon
areal kerja hutan kemasyarakatan yang disempurnakan melalui surat Dirjen RLPS Dephut Nomor:
S.373/V‐BPS/2007.
Lokasi yang direkomendasikan untuk areal uji coba HKm adalah Desa Rempek seluas 116 ha.
Namun program HKm ini mendapat penolakan dari masyarakat setempat, berkenaan dengan masih
adanya permasalahan sertifikasi tanah di dalam kawasan hutan yang belum tuntas. Masyarakat
Santong yang mengetahui hal itu, mengusulkan agar program uji coba HKm yang ditolak di Desa
Rempek dapat dialihkan ke Desa Santong. Usulan itu kemudian disetujui dan masyarakat diizinkan
mengelola hutan dengan skema hutan kemasyarakatan (HKm). Masyarakat yang terlibat saat itu
sebanyak 113 KK dengan areal kelola seluas 116 ha.
Sosialisasi yang kurang optimal dilakukan menyebabkan SK Menhut diinterpretasikan berbeda
oleh masyarakat dan memunculkan banyak interpretasi atau pengertian HKm. Yang awalnya HKm uji
coba berada pada lokasi hutan Sesaot seluas 236 hektar (saat ini dikelola KMPH Mitra Sesaot).
4
Pansor hingga Akar‐Akar 721 hektar (OECF), Santong 221 hektar (uji‐coba), Sekotong 500 hektar
(OECF), Kekait 200 hektar (HCP), Pusuk 200 hektar (uji‐coba), Monggal eks HPH 300 hektar (PHTUL).
Sejak diuji cobakannya HKm pada lokasi‐lokasi tersebut, HKm‐isasi meluas hampir di seluruh
kawasan hutan di pulau Lombok. HKm‐isasi yang dimaksud adalah kegiatan pembukaan lahan hutan
oleh masyarakat dengan menjadikan HKm sebagai dalih bagi kegiatannya. Padahal kebanyakan
kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat bukan menjadi bagian dari program
HKm uji coba.
Melihat persoalan HKm‐isasi ini, Dinas Kehutanan dengan LSM (LP3ES NTB/Konsepsi)
berinisiatif melakukan kegiatan penjajakan kebutuhan dan perencanaan partisipatif dalam rangka
inventarisasi dan identifikasi areal HKm untuk kemudian dipergunakan dalam menjaring dan
menetapkan lokasi dan penggarap HKm, kriteria penggarap, pembagian blok (kaplingan garapan),
pengawasan dan pelaporan. Dari kegiatan ini, ditetapkan 258 KK untuk mengelola HKm Santong
yang terbagi dalam 9 sub kelompok/pokja. Komposisi dan jenis tanaman yang disepakati adalah 70%
tanaman kayu‐kayuan dan 30% MPTs (Multi pupose trees spesies/tanaman serbaguna). Namun
kenyataan dilapangan menunjukkan tegakan atau tutupan lahan didominasi dengan MPTs,
sedangkan jenis kayu‐kayuan adalah sengon, mahoni dan sonokeling yang relatif sedikit. Melihat
keberhasilan masyarakat Santong didalam mengelola hutan disambut oleh desa tetangga yakni desa
Salut, Munder dan Tangga dengan membuka lahan hutan secara illegal (okupasi) dengan dalih HKm.
Lokasi HKm Tangga dan Salut terletak pada satu hamparan kawasan hutan produksi dengan
topografi datar, bergelombang hingga berbukit. Bila dilihat dari kondisinya, maka lokasi‐lokasi HKm
tersebut cenderung memiliki tingkat adaptasi dan budidaya yang cukup tinggi, khususnya budidaya
tanaman pohon bertajuk sama halnya dengan yang terjadi di HKm Santong.
Salah satu fungsi dari keberadaan hutan ini adalah sebagai kawasan pengatur iklim mikro
(micro climate), dimana jumlah dan sebaran hari hujan cukup baik dan merata. Data Dinas
Kehutanan Propinsi NTB pada Peta Tanah Tinjau Skala 1 : 500.000 menunjukkan bahwa jenis tanah
pada lokasi ini terdiri atas Alluvial Kelabu, Regosol Coklat dan Regosol Coklat Kekelabuan dengan
bahan induk endapan pasir dan abu vulkan intermediet. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian dari
wilayah ini termasuk rawan erosi dan longsor, namun termasuk subur. Mata pencaharian
masyarakat di Dusun Tangga dan Desa Salut masih terkonsentrasi pada sektor pertanian (lahan
kering) seperti perkebun dan perladangan dengan kepemilikan lahan pertanian relatif sangat rendah
dengan kisaran antara 0,15 ‐ 0,50 ha/KK. Disamping masyarakat bekerja sebagai petani, juga bekerja
sebagai buruh tani untuk memperoleh tambahan pendapatan.
Seperti halnya masyarakat Tangga dan Salut, mata pencaharian masyarakat sekitar kawasan
Munder pun juga terfokus pada sektor pertanian. Ketergantungan masyarakat pada sektor pertanian
5
berlangsung secara turun temurun sebagai warisan orang tua dengan teknologi yang sederhana.
Sektor pertanian yang ditekuni adalah berkebun dan berladang karena di sekitar areal tersebut tidak
ada lagi usaha pertanian lahan basah atau persawahan. Kepemilikan tanah hanya berkisar antara
0,25‐0,50 ha/KK, sehingga selain bekerja sebagai petani masyarakat pun bekerja sebagai buruh tani.
Akibatnya, untuk meningkatkan pendapatannya masyarakat berusaha memperluas tanah. Dengan
melihat dan mempertimbangkan kecenderungan usaha pada sektor kehutanan, pada tahun 1998
dibentuklah Kelompok Tani Hutan (KTH) HKm Munder yang difasilitasi oleh LP3ES NTB/KONSEPSI
sekaligus melakukan pembinaan dan penguatan kapasitas kelembagaan. Pada awalnya pembukaan
lahan hanya 250 ha, kemudian diperluas sampai melebihi 350 ha dengan jumlah penggarap lebih
dari 347 KK.
Dinas Kehutanan yang mengetahui adanya ‘perambahan’ di dalam kawasan hutan Tangga,
Salut dan Munder, kemudian melakukan pengamanan bersama dengan melibatkan TNI, Polri dan
Polhut. Hasilnya, tidak sedikit masyarakat yang ditangkap dalam aksi pengamanan tersebut dan
beberapa pondok kerja masyarakat pun dirusak oleh aparat yang kemudian menyebabkan konflik
antar masyarakat (penggarap) dengan Dinas Kehutanan. Akan tetapi, tindakan aparat ini tidak serta
merta kemudian membuat masyarakat jera untuk masuk kedalam hutan. Ketergantungan
masyarakat sekitar terhadap sumber daya hutan yang ada di daerah telah menyebabkan Dinas
Kehutanan kesulitan untuk menghentikan aktivitas mereka dan terhadap masyarakat yang telah
melakukan aktivitas bercocok tanam di dalam kawasan hutan dibiarkan sehingga pada HKm Tangga,
Salut dan Munder dikatagorikan sebagai HKm non‐program.
Konflik serupa juga pernah terjadi di hutan Rigis Jaya Kabupaten Lampung Barat yang berawal
dari pembukaan lahan garapan dikawasan hutan dengan cara tebang habis. Ladang‐ladang ini
kemudian ditanami padi, tanaman kopi bahkan sampai menjadi perkebunan kopi monokultur.
Perambahan kawasan hutan ini memicu konflik antara penduduk di sekitar kawasan hutan dengan
Dinas Kehutanan. Pemerintah mengusir penduduk agar meninggalkan lahan garapan mereka di
kawasan hutan. Namun, masyarakat tetap menggarap lahan di kawasan hutan sebab lahan garapan
itu sumber penghidupan utama warga sehingga pemerintah tidak dapat terus memaksa penduduk
pindah (Santosa, 2012).
III. Pengorganisasian masyarakat menjadi Koperasi HKm Santong
Cikal bakal Koperasi HKm Santong sesungguhnya telah diinisiasi sejak tahun 1997, yang pada saat itu
masih berupa kelompok‐kelompok kecil yang mengusahakan kegiatan pembibitan dengan skala
kecil. Pada tahun 1998, Dinas Kehutanan Propinsi NTB menjalin kerjasama dengan LP3ES NTB untuk
menjadikan HKm Santong sebagai tempat belajar pengembangan pengelolaan hutan yang
6
menekankan partisipasi masyarakat. Kegiatan berupa penyulaman dengan bantuan bibit dari Dinas
Kehutanan NTB. Kemudian juga ada kegiatan fasilitasi menghasilkan kelompok baru berbasis
“gontoran” atau satuan hamparan lahan berdasarkan batas alam. Tahun 1999, anggota kelompok
mulai
R A P A T
A N G G O T A
memikirkan
pengembangan
dengan
kelompok
sasaran
agar
BADAN PENGAWAS
KETUA
1.
2.
3.
pekerjaan
M. Sabidi
dapat
selesai
Sirman
H. Zaini Ansori
tepat
pada
waktunya,
BENDAHARA
SEKRETARIS
sehingga terbentuklah 9 sub
kelompok sesuai jumlah
HKm
HKm
HKm
HKm
Salut
Santong
Tangga
Munder
gontoran. Untuk kelancaran
proses
Unit Simp
kemudian
Unit
Pinjam
Waserda
Kotak.1 : Struktur Kepengurusan Koperasi HKm Santong Tahun 2007 – sekarang.
Desember
pendampingan,
pada
akhir
1999
diselenggarakan musyawarah semua sub kelompok yang hasilnya adalah terbentuknya wadah
kelompok besar yang diberi nama Koperasi Tani Maju Bersama untuk menaungi seluruh sub
kelompok, tersusunnya kepengurusan Koptan untuk masa 3 tahun ke depan, dan juga ditetapkan
besarnya iuran koperasi yaitu iuran pokok sebesar Rp 25.000,‐ dan iuran wajib Rp 1000/bulan (untuk
tahun I).
Terbentuknya Koptan Maju Bersama direspon positif oleh Departemen Koperasi dan UKM,
sehingga pada tanggal 17 Mei 2000 berhasil memperoleh badan hukum Nomor
297/BH/KDK’23.1/V/2000 dan sekaligus disahkannya kepengurusan koperasi periode I tahun 2000 –
2003. Pada awal perjalanan koperasi, modal usaha untuk pengembangan koperasi dan pelayanan
anggota cukup berjalan baik. Hal ini dapat dibuktikan karena pada era tersebut koperasi bisa
mengembangkan enam unit usaha. Pada tahun yang sama koperasi mengajukan proposal
pengadaan bibit sengon sebanyak 20.000 batang kepada Dinas Kehutanan NTB, yang dalam
realisasinya hanya 15.000 batang. Pendampingan kemudian diperpanjang kembali hingga tahun
2001 dengan fokus kegiatan peningkatan sumber daya manusia. Dengan jumlah anggota koperasi
sebanyak 258 KK, yang juga merupakan masyarakat penggarap HKm. Agar kegiatan koperasi dapat
berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan maka dibuatlah syarat untuk menjadi anggota koprasi
yakni mengerti aturan hukum lokal (awik‐awik) koperasi, telah menikah atau sudah berusia 17
tahun, anggota diproritaskan masyarakat Desa Santong yang berdomisili di sekitar kawasan
hutan/HKm, membayar iuran simpok sebesar Rp.25.000,‐ dan simpanan wajib Rp.1000,‐ setiap calon
anggota mengajukan permohonan secara tertulis. Perjalanan koperasi memasuki tahun ke lima
7
(tahun 2005), dan kondisi koperasi mulai terpuruk disebabkan oleh kendala internal maupun kendala
eksternal. Kendala internal terjadi karena unit simpan pinjam mengalami defisit anggaran, sebab
dana yang dipinjamkan kepada anggota tidak rutin pengembaliannya. Hanya beberapa anggota saja
yang lancar mengembalikan. Sedangkan, kendala eksternal yang dihadapi oleh koperasi saat itu
cukup berat karena berbagai unit usaha pun mengalami kemacetan. Penyebabnya adalah fluktuasi
harga jual produk yang tidak menentu serta persaingan usaha dari pihak luar cukup marak sehingga
unit‐unit usaha tidak bisa berjalan. Modal yang dimiliki koperasi pun kian menipis yang diperparah
dengan tidak adanya suntikan modal dari pihak lain.
Pada tahun keenam dan tahun ketujuh hanya unit usaha simpan pinjam yang bisa bertahan,
walaupun dengan modal pas‐pasan. Tahun 2007, melalui RAT (Rapat Anggota Tahunan) terjadi
pergantian (resufle) pengurus dan merger unit usaha menjadi unit usaha simpan pinjam dan unit
waserda (lihat kotak.1)
Pada tahun 2009, petani HKm Santong menerima areal pencadangan oleh Menteri sebagai
areal hutan kemasyarakatan serta IUPHKm pada September 2011. Dengan adanya legalisasi hak atas
sumberdaya lahan/hutan kepada masyarakat Santong dkk telah menggambarkan sikap optimis
pemerintah atas kemampuan masyarakat didalam mengelola sumberdaya hutan. Legalisasi hak atau
formalisasi hak adalah kegiatan yang memberikan label hukum terhadap hak atas tanah.
IV. Proses Legalisasi: Dinamika dan Implementasi Kebijakan
4.1. Kebijakan HKm yang berubah dari waktu ke waktu
Kebijakan mengenai HKm berubah dari waktu ke waktu. Pada tingkat nasional, kebijakan mengenai
HKm dimulai sejak tahun 1995 dengan dikeluarkannya beberapa surat keputusan menteri kehutanan
dan peraturan menteri kehutanan dan perkebunan. Selanjutnya, kebijakan tersebut direspon oleh
pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten dengan terbitnya peraturan daerah dan surat keputusan
bupati (lihat kotak.2). Secara keseluruhan perubahan kebijakan pemerintah tentang HKm mengarah
pada perubahan konsep/definisi HKm, baik hak dan kewajiban masyarakat yang terlibat dalam
pengelolaan HKm (Dipokusumo 2011).
8
Perubahan
itu
1. SK Menhut No. 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman HKm,
2. SK Menhutbun No.677/Kpts-II/1998 tentang HKm jo.
No.865/Kpts-II/1999 Penyempurnaan SK Menhutbun No.
677/Kpts-II/1998 tentang HKm,
3. SK Menhut No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan HKm yang
menjadi pedoman nasional pengelolaan HKm,
4. Perda Lombok Barat No. 21/2001 tentang Retribusi Surat Izin
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu dan Retribusi Hasil Hutan
Bukan Kayu,
5. Perda Lombok Barat No.10/2003 tentang Penyelenggaraan HKm di
Lombok Barat,
6. Perda Propinsi NTB No. 6/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan
HKm di NTB,
7. Tahun 2006, HKm dijadikan salah satu fokus kegiatan pemb.
kehutanan SK. Menhut No. 421/Menhut-II/2006,
8. Peraturan Pemerintah RI No.6 T`ahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Perencanaan Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan Æ PP No.3
Tahun 2008.
9. Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan
10. Permenhut P.18/Menhut-II/2009 Æ Perubahan Pasal 9 dan Pasal 23
Permenhut P.37/Menhut-II/2007
11. Permenhut P.13/Menhut-II/2010 Æ Perubahan Pasal 8 dan Pasal 9
Permenhut P.37/Menhut-II/2007
12. Permenhut P.52/Menhut-II/2011 Æ Perubahan Pasal 8 Permenhut
P.37/Menhut-II/2007
13. SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 447/Menhut-II/2009 tentang
Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan Santong seluas ± 758
Ha.
14. SK Bupati Lombok Utara Nomor: 297/1195.b/ DPPKKP/2011
tentang IUPHKm (Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan).
mengarah pada penegasan
bahwa HKm merupakan hutan
negara, sedangkan perubahan
hak meliputi perubahan waktu
pengelolaan dan mekanisme
dari pengelolaan. Sementara
perubahan kewajiban meliputi
perlindungan kawasan dan
mekanisme
pembayaran
insentif
atas
pengelolaan
kawasan
HKm.
kebijakan
Perubahan
pemerintah
sesungguhnya sebagai langkah
kearah
perbaikan
dan
penyempurnaan isi sehingga
terjadi
Kotak.2 : Peraturan Perundangan‐undangan terkait hutan kemasyarakatan
konsep
konsistensi
antara
maksud dan tujuan tentang pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan dikaitkan
dengan implementasinya. Perubahan tersebut semakin memperlihatkan keberpihakan pemerintah
terhadap masyarakat miskin yang berdomisili disekitar kawasan hutan.
Dari gambaran informasi kebijakan diatas, tentang HKm sampai tahun 2011. Pada tingkat
nasional dapat dilihat, bahwa telah terbit empat surat keputusan menteri kehutanan dan
perkebunan, satu peraturan pemerintah dan satu peraturan menteri kehutanan. Sementara
kebijakan di tingkat provinsi berupa terbitnya satu peraturan daerah (perda). Di tingkat kabupaten
sendiri telah terbit dua peraturan daerah (perda) dan satu surat keputusan, dimana isi dari kebijakan
HKm provinsi dan kabupaten umumnya merupakan turunan dari kebijakan HKm ditingkat Nasional.
SK Menhut 622/Kpts‐II/1995 yang kemudian diperbaharui dengan SK Menhut No.677/Kpts‐
II/1998 jo. No.865/Kpts‐II/1999, SK Menhut No.31/Kpts‐II/2001, hingga saat ini masih lebih sebagai
wacana orang‐orang pusat (ditjen RLPS Dephut RI) ketimbang sebagai wacana Pemda. Gambaran ini
terlihat ketika SK ini belum secara inheren masuk dalam kesadaran dan kebijakan yuridis pemerintah
kabupaten.
Terlepas dari itu, melihat SK Menhut No.622/Kpts‐II/1995 tentang pedoman hutan
kemasyarakatan, mendefinisikan HKm sebagai sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya
dengan mengikutsertakan masyarakat. Artinya bahwa, HKm dilaksanakan di hutan dengan tujuan
9
lebih ditekankan pada pelibatan masyarakat, sedangkan di dalam SK Menhut No.677/Kpts‐II/1998 jo.
No.865/Kpts‐II/1999, SK Menhut No.31/Kpts‐II/2001 sampai dengan terbitnya PP No. 6 tahun 2007
dan Permenhut P.37 yang mendefinisikan HKm sebagai hutan negara dengan sistem pengelolaan
hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi
pokoknya. Definisi HKm ini lebih menekankan pada tujuan pemberdayaan masyarakat. Dalam
definisi tersebut juga telah menegaskan status hutan bahwa HKm termasuk dalam hutan negara
yang areal kerjanya dapat ditetapkan di hutan lindung dan hutan produksi.
Sekilas terlihat adanya kelemahan pada SK Menhut No.622/Kpts‐II/1995 dalam menjelaskan
definisi HKm yang dapat memberikan peluang di dalam perubahan status lahan (hutan). Penegasan
areal kerja HKm pada kawasan hutan negara pada SK Menhut No.677/Kpts‐II/1998 menjadi penting
untuk menghindari adanya penyerobotan kawasan hutan dan perubahan status lahan oleh
pengelola HKm.
Dalam hal jangka waktu pengelolaan kawasan, berdasarkan SK Menhut No 622/Kpts‐II/1995
bahwa jangka waktu pengelolaan HKm hanya 5 tahun dan dapat diperpanjang, sementara
berdasarkan SK Menhut Nomor: 677/Kpts‐II/1998; SK Menurut Nomor 31/Kpts‐II/2001 dan sampai
dengan Peraturan Pemerintah No.6/2007; P.37/Menhut‐II/2007 bahwa jangka waktu pengelolaan
HKm selama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Perubahan dari jangka waktu pengelolaan ini
memperlihatkan kesungguhan pemerintah untuk menjamin kepastian hak kelola masyarakat
didalam memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu serta jasa lingkungan yang terdapat
didalamnya.
Kemudian terjadi juga perkembangan hak yang diberikan kepada masyarakat pengelola HKm
dalam bentuk izin pemanfaatan hasil hutan. SK Menhut No 622/Kpts‐II/1995 hanya memberikan hak
terbatas pada pemanfaatan kawasan berupa pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa
lingkungan. Selanjutnya terjadi perkembangan dengan memberikan hak yang lebih luas pada
pemanfaatan kawasan HKm melalui SK Menhut No. 677/Kpts‐II/1998, Peraturan Pemerintah
No.6/2007 dan P.37/Menhut‐II/2007, melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
HKm (IUPHHK‐HKm) yang terbatas pada hutan produksi.
Meskipun mendapat ruang di dalam Peraturan Perundang‐undangan untuk memanfaatkan
hasil hutan kayu pada HKm, namun sampai saat ini belum ada masyarakat pengelola HKm yang
dapat memanen kayu dari HKm. Padahal fakta di lapangan (HKm Santong) menunjukkan bahwa kayu
yang ada di HKm saat ini secara keseluruhan sudah layak tebang. Hal ini bukan dikarenakan
kemampuan teknologi, pendanaan dan ketidakefesienan lahan kelola masyarakat tetapi lebih
dikarenakan adanya klausul pada Permenhut P.37/2007 dimana hasil hutan kayu (HHK) yang dapat
10
dipanen merupakan hasil dari penanaman masyarakat sendiri, sehingga menyebabkan polemik baik
di tingkat nasional maupun di tingkat lokal.
Hal ini kemudian memunculkan wacana baru di tengah masyarakat bahwa pelibatan
masyarakat dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan (utamanya kayu), hanya dikenal dalam
terminologi izin pemanfaatan kayu di atas tanah milik (IPKTM). Kebijakan yuridis mengenai
pemberian konsesi pengeloaan/pemanfaatan hutan yang menjamin nuansa kemasyarakatan nyaris
seluruhnya tak mengandung makna sadar untuk mendorong proses optimalisasi akses pemanfaatan
sumber daya hutan oleh masyarakat.
4.2. Kebijakan dan Implementasi Kebijakan Daerah tentang HKm
Sejak adanya program HKm pada tahun 1997, menunjukkan bahwa belum adanya pemahaman
menyeluruh tentang HKm, menyebabkan terjadinya pembukaan lahan hutan atas dalih HKm dan
telah meluas hampir diseluruh kawasan hutan. Meskipun demikian, Pemda Kabupaten Lombok Barat
melihat program hutan kemasyarakatan mampu mensejahterakan masyarakat. Di satu sisi, bisa
mendatangan sumber pendapatan bagi daerah sehingga diterbitkanlah Perda Lombok Barat
No.21/2001 tentang Retribusi Surat Izin Pemungutan HHBK dan Retribusi HHBK. Namun, masyarakat
dan beberapa kalangan menilai Perda ini tidak aspiratif. Menurut beberapa pandangan dari
kelompok masyarakat, implementasi aturan ini menimbulkan masalah baik dari sisi teknis
pemungutan maupun dari sisi praktek pemungutan retribusi dilapangan, karena dinilai bertentangan
dengan substansi Perda.
Ini disebabkan karena areal kelola masyarakat yang dipungut belum diberi izin oleh
pemerintah, meski secara de facto masyarakat telah mengelola kawasan ini dengan skema HKm.
Masalah lain yang menyangkut pro‐kontra masyarakat terhadap keberadaan Perda ini adalah
dilapangan sendiri kenyataannya masih terdapat aturan‐aturan (misalnya ada aturan desa) yang
merupakan duplikasi dari Perda 21/2001, sehingga dianggap memberatkan masyarakat. Dari
beberapa masalah atas implementasi Perda ini, kemudian mendorong beberapa anggota DPRD
untuk melakukan inisiasi produk kebijakan yang mengatur pengelolaan hutan di Lombok Barat
(sebagian menjadi Kabupaten Lombok Utara) yang menjamin aspirasi dan partisipasi publik.
Berselang dua tahun kemudian Pemda Kabupaten Lombok Barat mengeluarkan Perda
No.10/2003 tentang Penyelenggaraan HKm. Dimana proses penyusunannya dilaksanakan dengan
pelibatan partisipasi publik secara meluas baik individu maupun kelompok. Dilaksanakan dengan
proses dialog dan konsultasi sebagai sebuah komunikasi hukum. Namun, dalam implementasinya
mengalami resistensi dari kelompok masyarakat sekitar hutan, karena pada kenyataannya terdapat
Pasal yang dinilai secara substantif tidak berpihak pada kepentingan masyarakat, terutama yang
11
berkaitan dengan mekanisme perizinan (Bab III Pasal 7 ayat 3) dan sistem bagi hasil yang dinilai tidak
memberikan insentif bagi masyarakat pengelola (Pasal 33). Misalnya, aturan terkait dengan sistem
bagi hasil (retribusi) tidak boleh bertentang dengan peraturan yang diatas, sehingga bila terdapat
pertentangan perlu ada penyusuaian aturan yang mengatur tentang pajak dan retribusi. Kemudian
bagi hasil yang didorong saat itu oleh beberapa kalangan, meskipun ada tetap melihat aspek
keadilan dan diperuntukkan untuk dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan (PSDH). Dan yang
terpenting bahwa didalam Perda juga perlu mengatur mekanisme perizinan yang lebih sederhana
tetapi tetap bisa dipertanggungjawabkan.
Ketika Perda ini coba diimplementasikan, mendapat penolakan dari masyarakat. Masyarakat
kecewa terhadap rumusan Perda yang jauh melenceng dari rumusan hasil konsultasi publik. Namun,
ada upaya eksekutif untuk mengimplementasikannya namun Perda ini tetap tidak dapat bekerja
efektif karena tidak mendapat dukungan masyarakat. Pada tataran inilah, sebagian masyarakat
menilai jika Pemerintah Daerah hanya berorientasi pada PAD dalam hal pengelolaan sumber daya
hutan dengan mengabaikan arti penting sumber daya hutan bagi kepentingan peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui pemberian insentif pengelolaan. Benturan kepentingan (konflik)
yang berlatar belakang ekonomi bisa jadi akan muncul karena formulasi kebijakan terkait dengan
kehutanan daerah lebih mencerminkan ekspresi kepentingan pemerintah secara sepihak.
Pada waktu yang hampir bersamaan Pemprov NTB juga mengeluarkan Perda tentang
penyelenggaraan hutan kemasyarakatan. Pertimbangan terbitnya Perda ini adalah agar sumber daya
hutan pada kawasan hutan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat,
yang pengelolaannya dilakukan secara adil dan lestari melalui pendekatan ekologis dan sosial
budaya dengan memberikan peran yang besar kepada komunitas sosial setempat melalui pola hutan
kemasyarakatan dengan diterbitkannya Perda Provinsi NTB No.6 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Dalam perjalanannya, dengan terbitnya Perda Provinsi
NTB No.6 tahun 2004 bukan merupakan acuan penyelenggaraan HKm di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Karena pada saat perda tingkat Provinsi tersebut disyahkan, kabupaten lain telah memiliki
perda sendiri.
Zainal mengungkapkan bahwa Perda ini sesungguhnya memiliki kepentingan dan spirit
tertentu yakni untuk mengangkat berbagai bentuk praktik‐praktik pengelolaan hutan, baik oleh
masyarakat dan pihak pemerintah serta berbagai pihak lainnya dengan tetap konsisten pada istilah
Hutan Kemasyarakatan. Selain itu, Perda tersebut juga mencoba membawa pesan pentingnya
wacana jasa lingkungan sebagai bagian pengelolaan hutan secara integral. Melalui perda tersebut,
maka diharapkan dapat memberikan arahan kepada semua Kabupaten ketika menyusun kebijakan
HKm (sebagaimana dimuat dalam dalam Markum, 2006).
12
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang terbit dalam rangka akselerasi dan efektifitas
penerapan pengelolaan hutan lestari, yakni dengan memberikan akses kepada masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya hutan secara efisien dan lestari. PP.6/2007 salah satunya mengatur
tentang hutan kemasyarakatan (HKm). Tujuannya adalah untuk mendorong percepatan
pembangunan hutan tanaman, pengendalian degredasi hutan serta pemberdayaan ekonomi
masyarakat sekitar hutan melalui prinsip good governance yang secara teknis‐operasional dijabarkan
melalui Permenhut No.37/2007 dengan memberikan legalisasi didalam melakukan pengelolaan
dikawasan hutan negara.
Secara umum legalisasi tersebut dilakukan dengan dua cara: (a) dengan mengakui keberadaan
hak‐hak masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alam yang diatur melalui sistem normative yang
berbeda dengan negara, pada umumnya dengan hukum adat, tanpa memberikan intervensi
terhadap sistem tersebut. Hal ini disebut pula dengan ’pengakuan hukum’; (b) dengan memberikan
hak‐hak baru sesuai dengan kerangka hukum negara kepada masyarakat, misalkan dengan
pemberian izin‐izin pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya. Bila merujuk dari cara
pemberian legalisasi hak menurut Safitri, maka pemberian izin hutan kemasyarakatan Santong
termasuk pada cara yang disesuaikan dengan kerangka hukum negara (Safitri, 2010).
Penguasaan dan pemanfaatan lahan oleh masyarakat petani HKm Santong dalam bentuk
pemberian legalitas yakni secara kolektif (berkelompok) didalam satu wadah koperasi tani “Maju
Bersama” Santong. Ini didasarkan pada SK Bupati Lombok Utara Nomor : 297/1195.b/DPPKKP/2011
tentang IUPHKm yang diberikan kepada Koperasi Tani Maju Bersama Santong dengan jumlah
anggota sebanyak 852 KK dalam jangka waktu 35 tahun sesuai dengan peraturan yang berlaku dan
dapat diperpanjang lagi.
Sesuai dengan amanat Permenhut No.37/2007 tentang HKm, maka Pemkab dengan bantuan
fasilitasi oleh lembaga KONSEPSI menyiapkan dokumen usulan penetapan areal kelola untuk HKm
Santong, Salut dan Munder kepada Menteri Kehutanan, sekaligus upaya proses perizinan kelola HKm
dari Bupati. Melalui SK Nomor: 447/Menhut‐II/2009 tanggal 06 Agustus 2009, Menteri Kehutanan RI
menetapkan areal kerja HKm seluas ± 758 Ha di areal kelola kelompok HKm Santong, Salut, Munder
dan Tangga. SK Menteri Kehutanan RI kemudian ditindaklanjuti oleh Bupati Lombok Utara melalui SK
Nomor: 297/1195.b/DPPKKP/2011 tanggal 23 September 2011 tentang Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan Kemasyarakatan kepada Koperasi Maju Bersama Santong. Dengan terbitnya IUPHKm tersebut
memberi kepastian legalitas hak kelola masyarakat dan peluang terhadap pemanfaatan hasil hutan
kayu dan non kayu yang berasal dari HKm. Legalisasi akses atas tanah ini berwujud pemberian licensi
13
pemanfaatan hutan negara kepada Koperasi Maju Bersama Santong selama 35 tahun untuk
mengelola kawasan hutan seluas 758 ha.
4.3.Perubahan Akses atas Tanah
Dari total jumlah penduduk Kabupaten Lombok Utara, pada tahun 2009 sebagiannya bekerja sebagai
petani HKm yang tersebar pada 13 lokasi HKm dengan luas lahan kelola mencapai 10.000 ha, 758 ha
diantaranya telah memperoleh legalitas yakni HKm Santong (Taqiuddin et al., 2009).
HKm Santong dkk, secara adminitrasi berada pada dua kecamatan di Kabupaten Lombok Utara
yakni Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan. Hutan kemasyarakatan Santong dkk terdiri dari
Hkm Santong Desa Santong, HKm Tangga Dusun Tangga Desa Selengan, HKm Salut Desa Salut dan
HKm Munder Dusun Munder Desa Mumbulsari.
Berdasarkan hasil berita acara tata batas hutan dan stastitistik Dinas Kehutanan NTB (2011),
luas kawasan hutan di Kabupten Lombok Utara adalah 35.711,79 ha atau (44,11%) dari total luas
daratan kabupaten dan 3,34% dari total luas kawasan hutan di NTB. Terdiri dari hutan konservasi
seluas 12.357,67 ha (34,60%), hutan lindung seluas 11.198,22 ha (31,36%), dan hutan produksi
12.155,90 ha (34,04%). Dari total luas hutan produksi yang ada di Kabupaten Lombok Utara, ± 758
ha (6,26%) telah dikelola dengan skema hutan kemasyarakatan. HKm Santong seluas 221 ha, HKm
Tangga seluas 87 ha, HKm Salut seluas 350 ha dan HKm Munder seluas 100.
Perubahan akses tanah para penggarap sebelum dan pasca legalitas terhadap areal hutan
negara Santong sebagai berikut:
14
Gambar.1 Perbandingan distribusi akses tanah
sebelum dan sesudah legalisasi
Dapat dilihat bahwa sebelum dan sesudah legalitas, pengelola HKm memiliki luas garapan
paling banyak 0,4 – 0,7 ha atau 60% sebelum adanya legalitas. Setelah ada legalitas akses tanah
paling banyak tetap berada pada skala 0,4 – 0,7 ha, namun terdapat perubahan persantase dari 60%
menjadi 54%. Yang dikarenakan adanya transaksi tanah sesama petani pada tahun 2004‐2005.
Artinya tidak ada perubahan struktur akses tanah yang signifikan antara sebelum dan sesudah
adanya legalitas. Yang berbeda adalah status hukumnya dimana pada tahun 1998 status hukum yang
disandangnya adalah illegal melalui okupasi, menjadi akses legal atas hutan negara pada tahun 2009.
Dari hasil penelitian dengan mengklasifikasikan akses atas tanah ke dalam kategori, dapat
dilihat pada Tabel.1 berikut ini:
Tabel.1 Klasifikasi Luas Lahan Garapan Berdasarkan Skala (ha)
Kategori petani
Skala (ha)
Tunakisma
0
0,01 ‐ 0,3
Sempit
0,4‐ 0,7
0,8 – 1,1
Sedang
1,2 – 1,5
1,6 – 1,9
Luas
2,0 – 2,3
Sumber : Data Primer yang dikonvesi kedalam Kategori Kelas Lahan (2012).
Bila dilihat, dengan akses atas tanah paling banyak pada 0,4 – 0,7 ha atau 60% dari jumlah
penggarap yang ada. Maka, berdasarkan kategori penguasaan lahan diatas, petani di HKm Santong
masuk dalam kategori sempit. Padahal bila merujuk pada SK Menteri Kehutanan dan SK Bupati
Lombok Utara, jumlah pengelola lahan di HKm Santong sebanyak 857 KK, dengan areal pencadangan
seluas 758 ha. Bila dibagi rata, antara luasan dengan jumlah penggarap maka setiap kepala keluarga
semestinya memperoleh 0,9 ha.
D. Dampak Keamanan Tenurial
Dampak terhadap tatanan ekologi dan ekonomi
15
Masyarakat pengelola HKm Santong memiliki karakteristik yang beragam, sehingga memiliki dampak
terhadap beragamnya tipe dan bentuk partisipasi dan lebih jauh berdampak terhadap kondisi
ekonomi dan ekologi kawasan HKm. Karakteristik sosial ekonomi pengelola HKm dibedakan
berdasarkan usia, pekerjaan, serta tanggungan keluarga pengelola HKm.
Berdasarkan usia diketahui bahwa masyarakat pengelola HKm memiliki usia bervariasi yang
dibagi kedalam kelas interval sebagai berikut:
Gambar 1. Grafik Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Dari gambar di atas diketahui bahwa petani pengelola HKm Santong memiliki usia beragam,
yang didominasi oleh usia setengah baya 32 ‐ 40 tahun sebanyak 33 orang. Sebaran usia tersebut
masih cukup produktif dan mampu menerima inovasi teknologi dengan bertanggungjawab, sehingga
masih dimungkinkan untuk melakukan introduksi teknologi dan upaya pengembangan usaha tani ke
arah industi pedesaan dengan memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan
bukan kayu serta jasa lingkungan. Sebagian kecil pada usia 68 ‐ 76 tahun sebanyak 2 orang.
Berdasarkan Pekerjaan diketahui bahwa masyarakat pengelola HKm memiliki pekerjaan
sampingan yang bervariasi, sebagai berikut:
16
Gambar.2 Grafik Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Dari gambar diatas diketahui, bahwa petani HKm sebagian besar tidak memiliki pekerjaan
sampingan selain mengelola HKm. Ini dapat dimengerti, karena pada awalnya memang petani yang
sekarang mengelola HKm Santong, dahulu memang tidak memiliki lahan dan pekerjaan lain,
sehingga kawasan hutan merupakan sumber penghidupannya. Masyarakat selain menjadi petani
HKm juga memiliki pekerjaan sampingan yang sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan bertani
di kebun. Kebun‐kebun yang ada ini merupakan hasil keuntungan yang diperoleh dari hasil HKm.
Berdasarkan Tanggungan Keluarga diketahui bahwa masyarakat pengelola HKm memiliki
jumlah tanggungan keluarga yang bervariasi, seperti Gambar.3 sebagai berikut:
Gambar.3 Grafik Karakteristik Responden Berdasarkan
Jumlah Tanggungan Keluarga
Dapat dilihat petani HKm memiliki tanggungan paling banyak 4‐5 orang yakni sebesar 55% dan
paling sedikit 10‐11 orang atau 1%. Ini artinya bahwa semakin banyak jumlah tanggungan keluarga
maka pengeluran dalam rumah tangga akan semakin besar. Namun demikian, semakin banyak
jumlah tanggungan di dalam satu keluarga juga akan sangat membantu ketika proses pemanenan
hasil hutan sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan ketika pemanenan dapat menghemat
pengeluaran.
Fokus pada dampak terhadap tatanan ekologi sebelum memperoleh legalitas pengelolaan
hutan, pengelolaan lahan yang dilakukan oleh penggarap HKm belum terpola. Dari tata kelola
17
kawasan misalnya, masyarakat belum memiliki perencanaan (jangka pendek, menengah dan
panjang) didalam mengelola lahan. Perencanaan pengelolaan lahan ini menjadi penting, mengingat
perencanaan yang baik diperlukan agar pelaksanaan pengelolaan hutan dapat berjalan secara lancar
sesuai dengan yang diharapkan, yaitu berdasarkan prinsip‐prinsip kelestarian hutan, dimana hutan
selalu ada, produksi selalu ada dan kondisinya baik sehingga kelestarian hutan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dapat berjalan seimbang (balance). Disisi lain, masyarakat penggarap juga
belum memiliki batas kawasan dan batas antar blok yang jelas, sehingga kerap terjadi penyerobotan
atau perluasan lahan HKm oleh masyarakat yang belum memperoleh lahan. Diperparah lagi dengan
adanya ganti rugi lahan karena pemahaman masyarakat yang kurang terhadap program hutan
kemasyarakatan ini.
Dengan adanya program HKm dalam hal ini pemberian kepastian hak kelola masyarakat telah
menjawab beberapa kendala‐kendala di atas. Dalam pengelolaan batas kawasan, tetap mengacu
pada pal batas permanen yang sudah ditetapkan oleh bagian Planologi Kehutanan. Tata batas yang
berupa tonggak‐tonggak beton ini tetap dipelihara oleh penggarap HKm dengan maksud untuk; (1)
mencegah penyerobotan lahan hutan untuk perluasan areal HKm, (2) sebagai titik ikat untuk
menentukan koordinat dalam proses pembuatan Peta Kerja HKm. Areal HKm Santong kemudian
terbagi kedalam beberapa blok pengelolaan, dimana pengelolaan blok tersebut masih dilakukan
secara sederhana berdasarkan gontoran dengan batas‐batas alam seperti tebing sungai atau anak
sungai. Sedangkan tata batas areal kerja masing‐masing anggota penggarap dikelola juga secara
sederhana/tradisional dengan menggunakan tanda batas berupa batu atau pohon untuk mencegah
penyerobotan areal kerja.
Akan tetapi dengan adanya legalitas ini juga telah membantah opini sebagian kalangan
konservatif akan dampak buruk yang ditimbulkan terutama hubungannya dengan konservasi hutan.
Mengingat, masyarakat telah mengetahui, bahwa HKm pada hutan produksi dimungkinkan untuk
melakukan pemanfaatan/pemanenan kayu, sehingga saat ini masyarakat telah menunggu untuk
melakukan penebangan. Sayangnya selain regulasi yang belum dapat berjalan (tarik‐ulur
kepentingan), penting juga dilakukan kegiatan peningkatan kapasitas bagi penggarap, agar memiliki
pemahaman yang utuh terkait hak dan kewajibannya di dalam melakukan pengelolaan hutan.
Disisi lain kebutuhan semakin meningkat, maka kedepan diprediksikan bahwa pengelolaan
hutan akan difokuskan pada peningkatan ekonomi semata. Kasus ini juga terjadi di beberapa HKm di
Indonesia. Kasus Sumberjaya Lampung Barat misalnya, dimana masyarakat lebih mengedepankan
tanaman kopi dalam areal HKm. Di Bengkulu dikembangkan tanaman Kapulaga dibawah tegakan
tanaman Sengon. Tanaman Jagung dan peternakan domba sebagai bentuk agroforestri berbasis
Sengon juga dikembangkan di Kabupaten Mojokerto.
18
Dari sisi kelembagaan dapat dijelaskan, bahwa sebelum adanya legalisasi hak masyarakat
mereka belum terwadahi dalam kelompok.