EVALUASI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT DI KABUPATEN PEKALONGAN | Mardijanto | Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan 2764 4801 1 SM

JMPK Vol. 08/No.01/Maret/2005

Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit

EVALUASI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT
DI KABUPATEN PEKALONGAN
EVALUATION OF THE INTEGRATED MANAGEMENT OF CHILDHOOD ILLNESS PROGRAM
IN PEKALONGAN DISTRICT OF CENTRAL JAVA
Djoko Mardijanto1 dan Mubasysyir Hasanbasri2
1
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
2
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan,
Universitas Gajah Mada,Yogyakarta

ABSTRACT
Background: The Central Java Province introduced Integrated Management of Childhood
Illness (IMCI) program since year 2000. Our study attempts to examine the performance of
IMCI practiced by puskesmas health workers during the last three year of implementation in
Pekalongan district.
Data and Method: This study took place in four government health centers of Pekalongan

District. The study used a case study design with field work taking place in August to November
2004. The data sources were (1) the health centers’ reports, (2) IMCI reporting forms, and (3)
in-depth interview to the Head of CDC Section of DOH, IMCI program coordinator, health
center managers, and midwives and nurses taking care of sick child.
Findings: Although, there is a tendency of improvement in treatment rationality in treating
coughs, health workers have not been able to follow classification of child conditions and keep
record as expected. We also documented lack of continuing education and training for new
health workers. The lack of socialization of the implementation of IMCI practice toward mothers
have created misunderstanding among mothers in regard to the longer time needed for their
child treatment to do a more comprehensive evaluation of the child.
Conclusion: The implementation of IMCI relies so much on the health workers trained in the
beginning of the program. Continuous management supports from the health center managers
and district health offices for its implementation and the IMCI continuing education are believed
as the key issues to further maintain this practice.
Keywords: integrated management of childhood illness, IMCI, management support,
supervisor, government health centre.

PENGANTAR
Pendekatan program perawatan balita sakit di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia,

yang dipakai selama ini adalah program intervensi
secara terpisah untuk masing-masing penyakit.
Program intervensi dilaksanakan secara vertikal,
antara lain pada program pemberantasan penyakit
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), program
pemberantasan penyakit diare, program
pemberantasan penyakit malaria, dan
penanggulangan kurang gizi. Penanganan yang
terpisah seperti ini akan menimbulkan masalah
kehilangan peluang dan putus pengobatan pada
pasien yang menderita penyakit lain selain penyakit
yang dikeluhkan dengan gejala yang sama atau
hampir sama.1,2
Untuk mengatasi kelemahan program atau
metode intervensi tersebut, pada tahun 1994 WHO

dan UNICEF mengembangkan suatu paket yang
memadukan pelayanan terhadap balita sakit
dengan cara memadukan intervensi yang terpisah
tersebut menjadi satu paket tunggal yang disebut

Integrated Management of Childhood Illness
(IMCI). IMCI yang oleh WHO dikembangkan di
negara-negara Afrika dan India telah berhasil
memberikan keterampilan terhadap tenaga
kesehatan yang bertugas di pelayanan kesehatan
dasar. Keterampilan tersebut antara lain meliputi
bagaimana cara melakukan klasifikasi penyakit,
menilai status gizi, melakukan pengobatan secara
benar, melakukan proses rujukan dengan cepat
dan benar dan juga dapat menjadikan
pengurangan biaya pada pelayanan kesehatan.3.
Pada tahun 1997 IMCI mulai dikembangkan
di Indonesia dengan nama Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) yaitu berupa suatu program

49

Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit

yang bersifat menyeluruh dalam menangani balita

sakit yang dating ke pelayanan kesehatan dasar.
Di Indonesia, MTBS masih menjadi sesuatu yang
baru bagi tenaga-tenaga kesehatan terutama yang
berada di pelayanan kesehatan dasar. Oleh karena
itu akan terus dikembangkan sehingga dapat
menjadi standar dalam menangani balita sakit di
pelayanan dasar dalam rangka menurunkan angka
kematian bayi dan balita. Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) menangani balita sakit
menggunakan suatu algoritme, program ini dapat
mengklasifikasi penyakit-penyakit yang diderita
secara tepat, mendeteksi semua penyakit yang
diderita oleh balita sakit, melakukan rujukan secara
cepat apabila diperlukan, melakukan penilaian status
gizi dan memberikan imunisasi kepada balita yang
membutuhkan. Selain itu, bagi ibu balita juga
diberikan konseling mengenai tata cara memberikan
obat kepada balitanya di rumah, pemberian nasihat
mengenai makanan yang seharusnya diberikan
kepada balita tersebut dan memberi tahu kapan

harus kembali ataupun segera kembali untuk
mendapat pelayanan tindak lanjut, sehingga MTBS
merupakan paket komprehensif yang meliputi aspek
preventif, promotif, kuratif maupun rehabilitatif.4
Seperti biasa program di puskesmas adalah
program yang dibuat olehDeparteman Kesehatan
pusat melalui tahap-tahap yang rasional yang
membuktikan program itu layak diterapkan.
Penerapan MTBS di Provinsi Jawa Tengah
dilaksanakan sejak tahun 1997 dengan daerah uji
coba di Kabupaten Purworejo dan Klaten. Dari hasil
uji coba ini kemudian MTBS dikembangkan di
Pekalongan, Jepara, Banjarnegara, dan Kebumen
melalui proyek ICDC, di Kabupaten Tegal, dan
Kabupaten Grobogan tahun 2000, serta di Kendal,
Kebumen, Blora, Cilacap, Rembang, Jepara,
Pemalang, dan Brebes tahun 2001.
Penerapan MTBS didahului dengan
membangun komitmen di tingkat kabupaten dan
memberikan pelatihan kepada petugas. Petugas

yang dilatih adalah dokter spesialis anak di rumah
sakit, pemegang program di kabupaten, dokter
puskesmas, perawat, bidan puskesmas.
Mekanisme pelayanan MTBS di kabupaten adalah
dokter spesialis anak sebagai tempat rujukan,
petugas kabupaten sebagai supervisor, petugas
puskesmas dan jajarannya sebagai tempat
pelayanan. Dengan demikian akan terjadi
mekanisme pelayanan terpadu yang terintegrasi
dan diharapkan akan dapat memberikan daya
ungkit terhadap penurunan angka kematian bayi
dan balita.
Yang menjadi alasan mengapa penelitian ini
dilakukan adalah bagaimana kelangsungan hidup
program ini di puskesmas? Apakah program yang

50

bagus dan yang dianggap dapat memecahkan
masalah kesehatan anak dan misopportunity ini

dapat betul-betul memenuhi sasaran dan apakah
kegiatan-kegiatan yang mendukung pelaksanaan
MTBS itu telah menjadi bagian rutin dari
manajemen puskesmas dan dinas kesehatan.
Berangkat dari hal itu, penelitian ini bermaksud
mempelajari kinerja MTBS selama 3 tahun
penerapan di Pekalongan. Kami berasumsi bahwa
jika program baru seperti MTBS berjalan dengan
baik, maka kita dapat mengharapkan kinerja dari
tahun ke tahun akan paling sedikit tetap atau makin
baik.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini mengambil tempat di 4
puskesmas-Kedungwuni, Kajen 1, Sragi 1, dan
Paninggaran-di Pekalongan Jawa Tengah. Karena
sejak awal merupakan daerah percobaan dalam
MTBS, kami menganggap empat puskesmas ini
dianggap sebagai kesatuan yang mewakili
Kabupaten Pekalongan. Studi ini memakai disain
studi kasus Yin, R.K. Riset Studi Kasus Disain dan

Metode, Jakarta.5. Kerja lapangan dilakukan bulan
Agustus sampai dengan November 2004.
Penelitian ini hanya dilakukan pada
penatalaksanaan pneumonia dikarenakan angka
kesakitan balita yang tinggi di unit rawat jalan
puskesmas. Sumber dari data yang dianalisis
dalam penelitian ini adalah laporan kabupaten
untuk mendapatkan informasi tentang cakupan
Pneumoni dan rasio kotrimoksasol, formulir MTBS
untuk mendapatkan informasi mengenai klasifikasi,
tingkat keparahan, penentuan tindakan, dan
kelengkapan pengisian formulir yang kemudian
digunakan untuk menilai standar tata laksana
penatalaksanaan pnemonia, dan wawancara
mendalam tehadap Kepala seksi P2ML dan
programmer ISPA di dinas kesehatan kabupaten,
kepala puskesmas dan petugas puskesmas untuk
mengetahui
kebijakan-kebijakan
dalam

pelaksanaan tata laksana Pneumonia, pelatihan,
pengawasan atau supervisi, dan penghargaan
yang dilaksanakan. Seorang asisten peneliti
direkrut untuk mengambil informasi pasien dengan
keluhan batuk di empat puskesmas di atas untuk
tahun 2001 hingga 2003.
Variabel penelitian mencakup beberapa hal.
Ketepatan penilaian dan klasifikasi penyakit
dilakukan dengan membandingkan tindakan
petugas kesehatan dalam melakukan penilaian dan
menentukan klasifikasi terhadap balita sakit dengan
algoritma MTBS, yang terdiri dari tanda bahaya
umum dan keluhan batuk atau sukar bernafas.
Ketepatan tindakan diukur dari catatan penyakit
yang dikaitkan dengan tindakan petugas kesehatan

Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit

dalam menentukan tindakan terhadap balita sakit
sesuai klasifikasinya dengan standar MTBS.

Kelengkapan pengisian formulir adalah tindakan
petugas kesehatan dalam mengisi formulir MTBS,
mulai dari identitas anak sampai dengan keluhan
batuk. Mutu pelayanan adalah standar tidaknya tata
laksana pnemonia yang meliputi penilaian,
klasifikasi dan pengobatan atau tindak lanjut yang
sesuai dengan standar medis (gold standard).
Dikatakan standar jika penderita Pneumonia
diklasifikasi dengan benar dan diberi pengobatan
secara standar. Rasio kotrimoksasol adalah dosis
kotrimoksasol yang diberikan oleh petugas
kesehatan dibandingkan dengan dosis yang
seharusnya menurut penatalaksanaan Pneumoni.
Tabel 1. Kasus Keluhan Batuk yang Dipelajari di 4
PuskesmasTahun 2001-2003
Tahun
Puskesmas

2001


2002

2003

Seluruh Kasus

KedungWuni
Kajen 1
Sragi 1
Paninggaran

17
19
4
2

8
50
9
20

12
60
5
5

37
129
18
27

Total

42

87

82

211

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kabupaten Pekalongan adalah salah satu dari
4 kabupaten yang merupakan daerah uji coba
MTBS dengan dana ADB dengan menggunakan
langkah-langkah pelaksanaan secara lengkap.
Diawali dengan beberapa kegiatan pada tahun
1999 yaitu disseminasi informasi dan pemahaman
MTBS ke Kabupaten, kemudian dilanjutkan dengan
lokakarya. Pada awal tahun 2000 dilakukan survei
data dasar implementasi berupa yaitu adaptasi
lokal mengenai pola penyakit, pola pemberian
makan dan istilah lokal sebagai dasar penyusunan
modul dan kartu nasehat ibu yang dilanjutkan
dengan kegiatan survei penilaian pelayanan
kesehatan di puskesmas dan pertemuan telaah
instrumen supervisi dan pemantauan MTBS.
Selanjutnya dilakukan lokakarya fasilitator dan
pertemuan pemantapan pelaksanaan uji coba.
Kemudian dilanjutkan dengan orientasi uji coba
bagi pengelolan program tingkat kabupaten, dokter
puskesmas, dan petugas pelaksana pelayanan di
Kedungwuni, Kajen 1, Sragi 1, dan Paninggaran.
Pada awal pelaksanaan MTBS, tidak semua
balita sakit ditangani dengan tata laksana MTBS,
mulai dengan 25% balita sakit, 50% dan
selanjutnya 100% balita sakit ditangani dengan tata
laksana MTBS hingga sekarang. Dari 4 puskesmas

tersebut semuanya belum memiliki ruang MTBS
tersendiri, masih menyatu dengan poliklinik KIA.
Formulir pencatatan dari bagian pendaftaran
diserahkan kepada petugas masih dalam keadaan
kosong, formulir tersebut menyatu dengan kartu
status pasien. Selanjutnya petugas melakukan tata
laksana balita sakit mulai dari identitas pasien,
tanda bahaya umum, penilaian dan klasifikasi
hingga menentukan tindakan, yaitu menentukan
obat atau menulis resep. Petugas kemudian
meminta ibu balita untuk mengambil obat lebih
dahulu ke ruang obat atau apotek. Setelah
mendapat obat, ibu balita diminta kembali ke
petugas tersebut, untuk selanjutnya dijelaskan cara
memberikan obat kepada balita sakit dengan
meminumkan dosis pertamanya. Adakala hal ini
tidak dilakukan bila pasien terlalu banyak. Di
Puskesmas Kajen 1, sebelum ibu balita diminta ke
apotik petugas MTBS menjelaskan terlebih dahulu
obat apa saja nanti yang akan diberikan dan
bagaimana caranya. Petugas MTBS juga
memberikan konseling bagaimana cara merawat
anak sakit di rumah dan cara memberikan
konseling bagaimana cara merawat anak sakit di
rumah dan cara pemberian makannya sesuai
kondisi dan kelompok umurnya. Di Puskesmas
Kajen 1, konseling diserahkan kepada petugas
yang berada di ruang klinik sanitasi. Kepada ibu
balita, petugas juga menjelaskan tentang
kunjungan ulang dan kapan ibu harus segera
kembali membawa balita sakitnya ke puskesmas,
seperti tercantum pada kartu nasehat ibu.
Pada tahun 2002 pelaksanaan MTBS di
Kabupaten Pekalongan dikembangkan secara
bertahap dan sekarang ini seluruh puskesmas
sudah melaksanakan MTBS. Pelatihan tersebut
menggunakan dana APBD II dengan difasilitasi
oleh fasilitator baik dari tingkat nasional, Provinsi
dan kabupaten. Monitoring evaluasi pelaksanaan
di Provinsi Jawa Tengah yang telah dilaksanakan
secara rutin untuk sebagian kabupaten/kota secara
terpadu oleh sebuah tim yang terdiri dari Dinkes
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, dinkes
kesehatan kabupaten/kota, kepala puskesmas,
dan tenaga kesehatan pelaksana di puskesmas.
Monitoring evaluasi tersebut bertujuan untuk
mengetahui kendala atau permasalahan yang
timbul selama pelaksanaan MTBS. Untuk sebagian
kabupaten/kota monitoring dilaksanakan oleh tim
dari kabupaten/kota dan puskesmas. Dalam monitoring evaluasi tersebut ditemukan beberapa
permasalahan antara lain: ada ketidaktersediaan
sementara dalam formulir MTBS kurang
mencukupi, misalnya: ARI timer, kartu nasehat ibu,
dan format penilaian, tenaga puskesmas yang

51

Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit

dilatih MTBS masih sebagian, kurangnya
penyebaran informasi ke masyarakat, sehingga
terjadi komplain karena lamanya waktu pelayanan
dan masih kurangnya keterampilan, dan kepatuhan
petugas dalam melaksanakan tata laksana MTBS.
Tabel 2. Presentase Kinerja yang Memenuhi Standar
MTBS di Empat Puskesmas Pekalongan tahun 2001-2003

Kelengkapan Pengisian
Kedungwuni
Kajen1
Sragi1
Paninggaran
Total
Penilaian Klasifikasi
Kedungwuni
Kajen1
Sragi1
Paninggaran
Total
Mutu Pelayanan
Kedungwuni
Kajen1
Sragi1
Paninggaran
Total
Tata laksana Pneumonia
Kedungwuni
Kajen1
Sragi1
Paninggaran
Total

2001

2002

2003

Seluruh
Kasus

0
84.2
50.0
50.0
66.7

75.0
70.0
30.0
44.0
59.6

100
58.6
0.
83.3
59.1

75.0
66.4
25.0
51.5
60.4

76.5
100
75.0
100
88.1

87.5
96.0
100
80.0
80.0

100
88.3
100
100
75.0

86.5
93.0
94.4
85.2
91.0

89.5
89.5
16.7
100
80.4

100
98.3
30.0
64.0
83.5

100
95.7
37.5
83.3
90.6

94.9
96.0
29.2
69.7
85.7

76.5
89.5
0
100

87.5
94.0
33.3
65.0

100
83.3
20.0
100

86.5
88.4
25.0
74.1

76.2

80.5

83.0

80.6

Belum semua formulir diisi dengan lengkap.
Petugas kesehatan sering tidak mencantumkan
suhu tubuh balita sakit, hal ini dikarenakan petugas
menganggap suhu tubuh dapat diukur dengan cara
lain misalnya anamnesa dan diraba. Kadangkala
petugas kesehatan juga tidak mencatumkan berat
badan anak, padahal berat badan tersebut sangat
penting terutama pada saat menentukan dosis obat
yang harus diberikan. Ada beberapa petugas
kesehatan yang tidak menanyakan berapa lama
anak batuk dan menghitung napas dalam 1 menit,
padahal hal tersebut sebagai dasar penilaian napas
cepat dan pada akhirnya menjadi dasar dalam
penentuan klasifikasi. Bahkan petugas kesehatan
terkadang tidak menulis tindakan yang diberikan
pada balita sakit. Bila melihat tabel di atas, perilaku
pengisian formulir tidak membaik. Demikian pula
dalam hal mengklasifikasi keluhan. Dari periode
tiga tahun pengamatan, kinerja yang sesuai standar
justru menurun. Tetapi dalam hal mutu pelayanan
dan tata laksana pneumonia, terdapat perbaikan
dari sisi yang memenuhi standar. Tabel 3
menyajikan rasio katrimoksasol menurut
puskesmas dan tahun.

52

Tabel 3. Rasio Kotrimoksasol
Puskesmas

Rasio Kotrimoksasol
2001

2002

2003

Kedungwuni
Kajen 1
Sragi 1
Paninggaran

1.36
1.38
1.91
1.10

1.12
1.12
1.81
0.49

1.10
1.04
0.82
3.02

Kabupaten

0.83

1.08

1.03

Sesuai dengan ketentuan program P2 ISPA,
rasio normal berkisar 0.9-1.1. Empat puskesmas
yang diteliti memperlihatkan pemakaian
kotrimoksasol yang tidak rasional. Rasio
penggunaan kotrimoksasol dapat menunjukkan
rasional tidaknya penggunaani kotrimoksasol yang
diberikan pada balita sakit. Masih ditemukan pada
beberapa kasus dimana antibiotik diberikan pula
pada balita sakit dengan klasifikasi bukan
pnemonia. Padahal menurut program, antibiotik
hanya diberikan pada klasifikasi pnemonia dan
pnemonia berat. Untuk klasifikasi bukan pnemonia
hanya diberi obat pelega tenggorokan saja.
Kehadiran dokter yang mengerjalan MTBS
rasanya memadai karena dengan semikian mereka
bisa memberikan bimbingan dan supervisi ke
tanaga kesehatan yang dikhawatirkan adalah
ketidaktahuan sama sakali tentang MTBS dapat
membuat resistensi pelaksanaannya di puskesmas
oleh dokter. Bidan tampaknya merupakan tulang
punggung dalam pelaksanaan MTBS. Terdapat
75% bidan di empat puskesmas yang
melaksanakan MTBS, meskipun baru setengah
dari seluruh bidan di sana mendapat pelatihan.
Rendahnya persentase perawat yang terlibat dalam
praktik MTBS dibandingkan bidan bisa dipahami
karena perawat tidak lebih langsung berurusan
dengan ibu dan anak. Meski denikian adanya
perawat paham tentang MTBS sangat perlu
mengingat pentingnya mereka menjadi pemberi
informasi kepada ibu pengguna puskesmas. (Tabel 4).
Pengetahuan petugas dalam penatalaksanaan
pnemonia dengan cara MTBS pada umumnya baik,
tetapi tidak diikuti dengan motivasi mereka. Hal ini
berkaitan dengan supervisi kepala puskesmas
yang belum maksimal. Selain itu juga karena tidak
adanya penghargaan yang diberikan sehubungan
dengan telah dilakukannya tata laksana pnemonia
dengan pendekatan MTBS. Hal ini perlu
diwaspadai oleh jajaran kesehatan di tingkat
puskesmas, kabupaten, provinsi, maupun
pemerintah pusat. Karena apabila hal ini dibiarkan
berlarut-larut dapat menyebabkan menurunnya
mutu pelayanan kesehatan pada umumnya
khusunya tata laksana pnemonia dengan MTBS.
(Tabel 5).

Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit

Tabel 4. Sumber Daya Manusia yang Mendukung Pelaksanaan MTBS

!
!
!

Tabel 5. Pengetahuan dan Motivasi Petugas MTBS di Empat Puskesmas 2004

Tingkat motivasi petugas terlatih MTBS di
masing-masing puskesmas juga sangat bervariasi.
Puskemas Kajen 1 mempunyai petugas dengan
tingkat motivasi tinggi yaitu masing-masing 87,5%.
Puskesmas Paninggaran mempunyai petugas
dengan tingkat motivasi kategori kurang paling
tinggi yaitu 62,5%. Petugas terlatih MTBS di 4
puskesmas mendapat pelatihan MTBS tidak
secara bersamaan. Petugas terlatih MTBS tersebut
ada yang mendapat pelatihan di tingkat Provinsi
maupun kabupaten.
DANA DAN SARANA
Tidak ada dana khusus untuk menunjang
pelaksanaan MTBS. Rata-rata puskesmas masih
mengharapkan bantuan sarana dan prasarana dari
tingkat kabupaten bahkan Provinsi. Terutama untuk
pengadaan formulir MTBS dan ARI timer. Sarana
penunjang
cukup
tersedia
sehingga
penatalaksanaan pnemonia dengan MTBS dapat
berjalan baik dan maksimal. Sarana tersebut
meliputi tenaga paramedis dan medis terlatih MTBS
yang mengerjakan tata laksana MTBS, alat bantu
hitung napas, barang cetakan yang antara lain
meliputi formulir MTBS dan Kartu Nasehat Ibu serta
obat-obatan.
Karena tidak ada dana khusus untuk
menunjang pelaksanaan MTBS yang dialokasikan
oleh puskesmas sampai saat ini, maka Dinas
Kesehatan Kabupaten, Dinas Kesehatan Provinsi,
dan Departemen Kesehatan RI masih berusaha
mengalokasikan dana untuk memenuhi sarana
tersebut. Namun selalu dijelaskan kepada pihak
puskesmas bahwa hal tersebut tidak dapat
berlangsung terus menerus sehingga diharapkan

sedikit demi sedikit puskesmas dapat memenuhi
kebutuhan sarana penunjang tersebut sendiri. Saat
ini sarana penunjang cukup tersedia, sehingga
penatalaksanaan pnemonia dapat berjalan baik
dan maksimal. Sarana tersebut meliputi tenaga
paramedis dan medis terlatih, yang mengerjakan
tata laksana MTBS, alat bantu hitung napas,
barang cetakan berupa pencatatan formulir kartu
nasehat ibu dan penyediaan obat-obatan.
PENGAWASAN DAN PENGHARGAAN
Pada umumnya pengawasan atau supervisi
rutin dilakukan di awal pelaksanaan MTBS baik
oleh kepala puskesmas, petugas Kabupaten
maupun Provinsi. Dengan berjalannya waktu
kegiatan tersebut frekuensinya semakin berkurang
bahkan di Puskesmas Paninggaran dan
Puskesmas Kedungwuni sekarang ini sudah jarang
dilakukan bahkan oleh kepala puskesmasnya.
Untuk Puskesmas Kajen pengawasan atau
supervisi masih terus dilakukan oleh kepala
puskesmas secara rutin, sedangkan di Puskesmas
Sragi 1 hal tersebut masih dilakukan tapi tidak
terjadwal secara rutin. Tidak ada penghargaan
ataupun imbalan secara materiil yang diberikan
bagi petugas yang melakukan tata laksana MTBS.
Penghargaan yang diberikan lebih berupa pujian
dan perhatian baik dari kepala puskesmas, petugas
Kabupaten, petugas Provinsi, dan petugas dari
Pusat.
Kepala puskesmas memegang peranan yang
sangat penting dalam rangka supervisi
pelaksanaan tata laksana pnemonia dengan
MTBS, oleh karena kepala puskesmaslah yang
berhubungan langsung dengan petugas pelaksana.

53

Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit

Pada umumnya pengawasan atau supervisi telah
dilakukan oleh semua kepala puskesmas dengan
frekuensi yang berbeda. Untuk kepala puskesmas
yang belum terlatih MTBS mempunyai sedikit
kendala dalam melaksanakan pengawasan atau
supervisi tersebut, karena belum mengetahui
secara rinci apa itu MTBS. Kendala juga ditemukan
apabila ada pergantian kepala puskesmas, karena
perhatian yang tidak sama besar terhadap
pelaksanaan MTBS.
KESIMPULAN DAN SARAN
Evaluasi ini menyimpulkan bahwa
pelaksanaan MTBS telah berjalan bergantung pada
petugas yang sudah pernah dilatih. Kinerja proses
seperti kelengkapan pengisian formulir dan
pembuatan klasifikas keluhan terjadi tidak
bertambah baik selama periode tiga tahun.
Meskipun mutu pelayanan dan pengelolaan
pneumonia bertambah bai, angka rasio
kotrimoksasol belum menggembirakan. Hasil
seperti ini, menurut kami terkait dengan dukungan
manajemen yang lemah di tingkat puskesmas
maupun dinas kesehatan
Perlu supervisi secara rutin lebih baik dari
tingkat puskesmas dalam hal ini kepala puskesmas
maupun dari tingkat Kabupaten, Provinsi bahkan
Pusat. Sarana dan prasarana yang menunjang
pelaksanaan tata laksana pnemonia dengan MTBS
harus selalu tercukupi. Bagi Puskesmas, beberapa
hal ini perlu (1) meningkatkan penggandaan
formulir MTBS dan Kartu Nasehat Ibu, (2)
meningkatkan sosialisasi MTBS bagi petugas
puskesmas sesuai dengan kompetensi dan uraian
tugasnya, dan (3) perlunya diadakan refreshing
MTBS bagi petugas pelaksana MTBS. Dinas
kesehatan perlu membuat suatu kebijakan
kesehatan tentang pelayanan kesehatan pada
balita sakit di puskesmas dengan menggunakan

54

pendekatan MTBS, karena hal ini diperlukan
sebagai pedoman bagi pimpinan puskesmas dalam
menetapkan kebijakan pelayanan di puskesmas.
Departemen Kesehatan perlu membuat suatu
kebijakan kesehatan tentang pelayanan kesehatan
pada balita sakit di puskesmas dengan
menggunakan pendekatan MTBS, karena hal ini
diperlukan sebagai pedoman bagi Provinsi dan
kabupaten/kota dalam rangka otonomi daerah dan
untuk menetapkan standar pelayanan minimal KIA
di puskesmas. Perlu penyempurnaan daftar tilik
pemantauan tata laksana MTBS yang variabel
pengamatannya tidak terlalu banyak tetapi dapat
mencakup indikator keberhasilan. Bagi peneliti
yang akan datang, perlunya meneliti semua
variabel yang berhubungan. Disain penelitian
sebaiknya
menggunakan
kohort
atau
eksperimental. Daftar tilik penilaian tingkat
kepatuhan perlu dikaji kembali.
KEPUSTAKAAN
1. Anonim. Integrated Management of the
Childhood Illness, WHO, UNICEF, Geneva.
1998.
2. Anonim. Laporan Hasil Kegiatan Program
Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut Pada Pelaksanaan PELITA
V, Ditjen PPM-PLP, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.1994.
3. Parkin, B.A., et.al. Evaluation of an algoritma
for integrated management of childhood illness
in an area of Kenya with high malaria
transmission, Bulletin of the WHO.1997.
4. Soerjono, A., Puskesmas Manajemen Terpadu
Balita Sakit di Kabupaten Purworejo,
Yogyakarta.1997.
5. Yin, R.K. Riset Studi Kasus Desain dan
Metode, Terjemahan. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.1987.