Sebagai refleksi perempuan tiang negara

  Sebagai refleksi, dalam mengenang kembali RA. Kartini sebagai Pahlawan Bangsa, khususnya pada Kaum Wanita Indonesia. Meskipun masih banyak nama beken lainnya, sebagai sosok Wanita Indonesia yang telah mengukir sejarah peradaban bangsa, di seluruh pelosok tanah air. Nilai perjuangan mereka hingga kini tetap hidup dan mampu memotifasi, serta menginspirasi kaumnya untuk berkontribusi dalam memajukan bangsa dan Negara, pada berbagai bidang kehidupan. Bahwa dalam setiap tahapan sejarah selalu saja memunculkan para Wanita yang mampu menjadi katalisator perubahan, dan dapat mencairkan kebekuan dalam berbagai hal. Dalam lapangan politik, Hillary Rodham Clinton di Amerika Serikat (Menteri Luar Negeri Amerika Serikat) muncul sebagai wanita cerdas yang dapat merajut problematika dalam upaya perdamaian dunia, begitu juga di Jerman, Angela Markel (Perdana Menteri Jerman), yang mampu merangkul kekuatan Eropa dalam menyatukan visi pembangunan dengan konsepsi kebersamaan. Kemudian, Yingluck Shinawatra di Thailand (Perdana Menteri Thailand), hadir sebagai ’kekuatan sintesa’ dari konflik politik yang dipenuhi berbagai tindakan kekerasan dan teror, Corazon Aquino di Filipina (Presiden Philipina), telah berhasil melahirkan reformasi politik dan struktural dalam bingkai demokratisasi,Christina Elisabet Fernandez de Kirchner di Argentina (Perdana Menteri Argentina),Megawati Sukarno Puteri di Indonesia (Presiden Indonesia) hadir untuk menjawab kebuntuan dalam dinamika faksional politik pada era transisi demokrasi, dan banyak lagi yang belum dapat diketengahkan dalam kesempatan ini. Pergeseran aktivisme perempuan akan selalu tumbuh-berkembang, timbul dan tenggelam, seirama dengan berputarnya ’roda waktu’ dalam perjalanan konstruksi sosial budaya, baik di tanah air, maupun di berbagai belahan dunia. Hal ini perlu didalami dan dicermati lebih lanjut, untuk memperkuat pengembangan visi dan strategi abad 21 Indonesia. Perempuan dapat menjadi pencerah peradaban di suatu negara. Oleh karena itu, Perempuan jangan terlalu bergulat dalam menghadapi tantangan internal keluarga semata, lebih-jauh lagi bahwa Perempuan harus mampu memasuki era modern dengan segala kekuatan jati-diri baik sebagai individu maupun sebagai bangsa yang berbudi- pekerti luhur.

  Perempuan adalah pribadi yang genuine dalam menentukan kualitas masyarakat Indonesia pada masa datang. Hal ini cukup beralasan bahwa masih besar potensi yang belum tergali dari proporsi jumlah kaum Perempuan Indonesia yang mampu memainkan peran-peran yang produktif. Oleh karenanya, dalam sudut pandang tertentu dari fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Perempuan adalah potensi strategis dalam skema pembangunan berkelanjutan. Keberhasilan pembangunan bisa ditakar dari postur peran sosial ekonomi warga bangsa yang tidak dibatasi lagi oleh kondisi yang kontroversi konsepsional tentang feminisme dan maskulinisme. Banyak peran yang telah dilaksanakan oleh Perempuan Indonesia hingga dewasa ini. Itulah sebabnya peran wanita kian nyata dalam berbagai bidang kehidupan dalam orientasi produktifitas sebagai satu kesatuan yang integratif/tak terpisahkan. Sebagai unsur dalam relatifitas kehidupan, maka Perempuan tidak dapat dilepaskan dari kodratnya, yang telah ditentukan sejak dilahirkan. Untuk itu, peradaban yang berkembang senantiasa seirama dengan dinamika peran Perempuan di berbagai segi kehidupan. Begitu strategis posisi perempuan dalam menentukan arah perkembangan suatu bangsa dan negara. Bahkan, Nabi Besar Muhammad SAW, pada suatu ketika pernah mengatakan bahwa kebaikan suatu bangsa ditentukan oleh kebaikan kaum wanitannya. Itulah sebabnya Wanita harus semakin berkualitas serta berkembang secara lineardengan arah, tujuan dan cita-cita bangsa. Perempuan mampu menjadi spirit kebangsaan dalam mengintegrasikan segala fungsi negara untuk mewujudkan kesejahteraan nasional. Mereka berperan dalam memperkuat eksistensi negara. Peran itu bisa berwujud dalam bentuk keterlibatan aktifnya sebagai Prajurit TNI, Polri, PNS lainnya, Pebisnis, dan aktifitas lainnya yang produktif. Peran itu akan semakin nyata ketika Wanita mampu menjaga spirit moralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tangannya terletak masa depan bangsa dan negara. Perempuan menjadi pembimbing generasi penerus masa depan yang berkualitas. Perempuan menjadi tulang-punggung keluarga – sebagai unit terkecil yang pada gilirannya membentuk masyarakat, bangsa dan negara. Peran-peran yang dilakukan oleh Perempuan dalam mengelola berbagai bentuk organisasi dalam sistem kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara – yang pada gilirannya dapat berpotensi merajut berbagai kepentingan untuk mencapai suatu tujuan. Termasuk tujuan internal keluarga, profesi, sebagai warga bangsa, dan sebagai umat beragama. Kemampuannya itu dapat mengurangi berbagai distorsi sosial budaya. Artinya, dari peran-peran tersebut, maka itu mampu meningkatkan produkifitas nasional secara seimbang. Meskipun faktanya memperlihatkan bahwa Perempuan menempati posisi di bawah laki- laki. Padahal secara progresif kalau dilihat kemampuan Perempuan tersebut maka tidak perlu memisahkannya dari posisi laki-laki. Keduannya menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Karena hakekat keberadaannya, maka segala yang dapat diprakarsai oleh kaum laki-laki pada dasarnya adalah juga potret kemajuan bagi kaum perempuan, begitu sebaliknya.

  Wanita Menguatkan Kepemimpinan Nasional

  Aktivisme Wanita Indonesia dewasa ini telah semakin luas cakupannya di berbagai lapangan kehidupan. Termasuk upaya melakukan terobosan ide pembaharuan menuju perubahan dan pencerahan peradaban di tanah air. Banyak gagasan besar yang regulasi, inspirasi kebijakan, seni dan budaya, serta keterlibatan perempuan di ranah politik praktis baik pusat maupun daerah, dan bahkan internasional. Perempuan dalam wacana politik, disamping statusnya – dalam pekerjaan, maupun dalam menjalankan ’organisasi’ ialah sebagai upaya penguatan kapasitas Perempuan untuk memperluas dan meningkatkan peran sosial dan politik, sehingga dimaknai sebagai partisipasi yang seimbang dengan kaum laki-laki. Proses itu sebaiknya harus dilalui secara alamiah bukan dengan affirmative action. Tujunnya agar posisi kepemimpinan Perempuan dapat diterima secara kompetitif, dan pantas diapresiasi oleh semua komponen bangsa dan negara. Rendahnya kesadaran politik pada kaum Perempuan, membutuhkan ketegasan sikap, ketika Perempuan memang harus terjun ke dunia politik. Jangan sampai budaya patriarkhi membelenggu setiap gerak-langkah perempuan dalam mengembangkan sayapnya untuk melakukan hal-hal yang positif. Mulai dari soal aktifitas sebagai organisatoris, keterwakilan Perempuan di Parlemen, Lembaga Negara, dan Posisi-posisi penting lainnya. Kondisi ini harus menjadi pemahaman kolektif ketika proses rekruitmen politik, sehingga tidak perlu menganggap Perempuan sebagai saingan. Kesadaran gender dalam proses pembangunan melalui kepemimpinan Perempuan harus dimulai sejak tahap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta beberapa langkah strategis lainnya. Pandangan-pandangan yang menganggap peran Perempuan sebagai subordinatif jangan sampai berpotensi menghalangi intensitas kontribusi maksimal Perempuan terhadap kemajuan bangsa dan negara. Norma-norma keagamaan yang berkaitan dengan Perempuan terkadang multitafsir, maka harus diselesaikan dengan serangkaian studi tentang keperempuanan di Abad 21, termasuk pemahaman yang sahih terhadap pendapat mazhab-mazhab klasik lainnya. Termasuk juga tentang perbedaan pandangan-pandangan antara yang klasik dan yang modern terkait soal Perempuan. Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam konteks sosial-kultural masyarakat. Tuntutan kesetaraan gender dan gerakan feminisme juga memberi pengaruh terhadap penafsiran yang misogini. Padangan dikotomis tentang Perempuan dalam urusan agama dan duniawi. Oleh karena itu, harus diperjelas sumber hukum yang dipakai dalam membuat berbagai penafsiran terkait potensi perempuan dalam menyikapi sistem sosial yang berlaku. Aspirasi tentang pemberdayaan Perempuan Indonesia semestinya berbanding lurus dengan dinamika sosial politik di tanah air. Sekaligus mempertahankan harkat kemanusiaannya sebagai Ibu dalam keluarga, Wanita yang selalu menjunjung tinggi tata-nilai, dan moralitas, serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disamping harus mempertahankan peranserta aktifnya dalam menjaga keutuhan bangsa dan Negara. Apa yang telah dicapai melalui peran laki-laki adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari peran perempuan. Sesungguhnya jiwa perempuan lebih peka dan

sensitif, terhadap ’peradaban baru’ maupun terhadap berbagai perubahan yang terjadi dari hari ke hari. Potensi ini dapat menjadi kekuatan responsifitas yang tinggi terhadap berbagai perubahan yang penuh hikmah, apabila mampu berintegrasi antara Kekuatan Emosional kaum Perempuan dengan Kekuatan Rasionalitas kaum Laki-laki. Bukan dengan cara mem-versus-kan dan/atau memperhadap-hadapkan, sehingga bisa keliru dalam menempatkan gerakan gender. Gerakan gender harus mampu menempatkan posisi Kaum Laki-laki dan Kaum Perempuan sebagai suatu kesatuan yang hakiki, dan integral – sehingga tetap menjadi ’energi yang produktif’ bagi bangsa dan negara. Perempuan dengan segala kepekaannya dapat menjadi pemrakarsa dalam kegiatan berbagai organisasi perempuan, konseling remaja-remaja perempuan, dan menjangkau berbagai kecenderungan kondisi psikologis perempuan dalam menghadapi perubahan peradaban terkini/mutakhir. Dengan demikian upaya memberdayakan perempuan harus dimulai dari akar persoalannya. Dibutuhkan kebijakan publik dengan perspektif, ’bagaimana kesejahteraan perempuan dapat diwujudkan dengan program pembangunan ekonomi’. Terbinannya suatu kondisi yang berbanding lurus dengan pertumbuhan angkatan kerja, kegiatan transfer sosial, kekerasan terhadap perempuan dan anak di bawah umur, angka kematian Ibu melahirkan, dan rendahnya tingkat produktifitas perempuan. Artinya, bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (vide UU No. 25 Tahun 2004), harus dapat memberi dampak pada realisasi pembangunan bagi kesejahteraan Wanita Indonesia.

  Maka itu, logika umum tentang keberadaan perempuan dalam problematika berbangsa dan bernegara harus dimaknai sebagai kesatuan utuh dalam kerangka pembangunan manusia Indonesia tanpa pretensi gender. Biarlah kondisi almiah memberikan ruang kepemimpinan perempuan dalam integritasnya sebagai anak bangsa. Oleh karena itu sensitifitas politik harus terbangun dengan titik-tumpu capacity-bulding yang kompetitif. Bukan karena adanya preferensi tertentu yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan kondisi kehidupan yang pincang.(uzn)