1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang dan Rumusan Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang dan Rumusan Masalah

1.1.1 Latar Belakang

  Karya sastra dianggap dapat mengungkapkan keadaan sosial budaya maupun semangat zaman yang ada pada sebuah masyarakat dalam suatu kurun waktu.

  Oleh karena itu, banyak penelitian yang mencoba mengungkapkan keadaan sosial budaya suatu masyarakat melalui karya sastra. Fungsi karya sastra sebagai dokumen sosial dapat ditemukan pada kesusastraan manapun di berbagai macam masyarakat dunia.

  Hubungan keterkaitan antara karya sastra dengan masyarakat mengundang banyak penelitian terhadapnya. Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan karya sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek & Warren, 1990: 122. ) Kesusastraan Jepang merupakan kesusastraan yang perkembangannya telah melewati berbagai zaman dan diklasifikasikan menjadi beberapa periode.

  Dalam perkembangannya, terdapat ciri khas yang membedakan kesusastraan Jepang suatu zaman dengan kesusastraan Jepang pada zaman lain. Ciri khas itu bisa dilihat dari bentuk ataupun tema karya sastra yang menggambarkan keadaan sosial budaya masyarakatnya. Contohnya, kesusastraan Jepang zaman Heian bisa pengarang dan pembaca kesusastraan sebagian besar adalah kaum bangsawan dan penghuni istana. Oleh karena itu, kesusastraan Jepang zaman tersebut banyak yang menceritakan tentang kehidupan bangsawan atau kehidupan di istana

  Pada periode kesusastraan modern Jepang yang berlangsung sejak zaman Meiji (1868-1912), kesusastraan Jepang banyak terpengaruh oleh kesusastraan modern Eropa. Hal ini merupakan dampak restorasi Meiji yang menitikberatkan pembaharuan di berbagai sektor kehidupan dengan mengadopsi pemikiran, nilai, budaya dan ilmu pengetahuan dari Eropa. Banyaknya karya sastra Eropa yang masuk dan diterjemahkan di Jepang pada saat itu, banyak mempengaruhi perkembangan bentuk kesusastraan modern Jepang

  Tujuan restorasi Meiji salah satunya adalah untuk mengejar ketertinggalan bangsa Jepang dari bangsa Eropa. Bangsa Jepang mengejar ketertinggalan tersebut dengan melakukan modernisasi pada berbagai sektor kehidupan. Upaya modernisasi bangsa Jepang salah satunya dilakukan dengan mengadopsi pemikiran, nilai, budaya dan ilmu pengetahuan dari Barat. Modernisasi dan pengadopsian segala hal berbau Barat yang merupakan dampak dari restorasi Meiji itu tidak hanya memberikan pengaruh positif saja, tapi juga pengaruh negatif. Selain itu, proses modernisasi juga menyebabkan munculnya berbagai perubahan di dalam masyarakat Jepang.

  Banyak sastrawan Jepang pada zaman itu yang menyorot tentang masalah maupun perubahan-perubahan dalam masyarakat tersebut pada karya sastranya. Banyak karya sastra, terutama prosa, yang di dalamnya perubahan di dalamnya yang merupakan pengaruh modernisasi akibat restorasi Meiji. Salah satu penulis yang mengungkapkan keadaan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat Jepang pada waktu itu dalam karya sastranya adalah tetsuko Kuroyanagi dalam novelnya Madogiwa no Totto-Chan.

  Novel Madogiwa no Totto-Chan merupakan salah satu karya Tetsuko Kuroyanagi yang sangat terkenal. Novel yang merupakan kritik terhadap sistem pendidikan yang keras di Jepang dimana sistem pendidikan pada masa itu dipengaruhi oleh militerisme dan ultranasionalisme yang berhasil merebut perhatian sebagian besar masyarakat Jepang. Pada tahun pertama novel ini diterbitkan tahun 1981, novel ini terjual hingga 4.500.000 eksemplar. Dalam novel ini dijelaskan bahwa sistem pendidikan di Jepang yang terkenal keras dan disiplin, bukanlah jaminan bahwa seorang anak akan berkembang dengan baik. Bahkan, bisa jadi seseorang yang tidak kuat dengan sistem tersebut akan mengalami tekanan mental dan bisa menjadi depresi.

  Di Indonesia pada tahun 1986 novel tersebut telah diterjemahkan oleh Latiefah H Rahmat dan Nandang Rahmat ke dalam bahasa Indonesia dengan judul

  

Totto-chan Si Gadis di Tepi Jendela. Pada tahun 2005 Gramedia telah menjual

  novel Totto-Chan Si Gadis di Tepi Jendela telah mencapai cetakan ke 10 dan terjual 57.000 eksemplar. Angka tersebut merupakan angka penjualan tertinggi pada tahun itu dibandingkan dengan penjualan novel-novel terjemahan lainnya, yang hanya mencapai angka tertinggi penjualan 5000 eksemplar.

  Penerbit-penerbit yang menerjemahkan novel Asia Timur mengaku penjualan novel-novel ini cukup memuaskan meski tak bagus-bagus amat. kata Anas, “sudah 57 ribu eksemplar dan cetakan ke-10.”(Baqja Qaris : Koran Tempo,30 April 2006) Novel Madogiwa no Totto-Chan ini merupakan otobiografi yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi. Kuroyanagi, yang ketika kecil di panggil Totto-chan yang dianggap nakal oleh orang-orang di sekitarnya. Padahal gadis cilik itu hanya punya rasa ingin tahu yang besar. Itulah sebabnya ia gemar berdiri di depan jendela selama pelajaran berlangsung. Karena para guru sudah tidak tahan lagi, akhirnya Totto-chan dikeluarkan dari sekolah. Mama pun mendaftarkan Totto- chan ke Tomoe Gakuen. Totto-chan girang sekali, karena di sekolah itu para murid belajar di gerbong kereta yang dijadikan kelas. Ia bisa belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan perjalanan.

  Di Tomoe Gakuen, para murid juga boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahasa dulu, pokoknya sesuka mereka. Karena sekolah itu begitu unik, Totto-chan pun merasa kerasan.

  Walaupun belum menyadarinya, Totto-chan tidak hanya belajar fisika, berhitung, musik, bahasa, dan lain-lain, tetapi juga mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan menjadi diri sendiri.

  Keunikan sekolah tersebut memang atas prakarsa dan ide dari sang kepala sekolah, Sosaku Kobayashi yang berpengetahuan luas. Dia, yang pernah bepergian ke luar negeri dan menyaksikan sistem pembelajaran di luar negeri, menginginkan murid Tomoe memiliki pengetahuan luas yang mencakup segala hal agar dapat mendukung masa depan mereka dan keinginan tersebut terwujud.

  Tidak seperti sekolah-sekolah lain di Jepang yang masih berpikiran kuno Tomoe

  

Gakuen merupakan satu-satunya sekolah dimana murid-muridnya tidak ingin

pulang ke rumah meskipun jam pelajaran sudah usai.

  Tomoe Gakuen juga memiliki mata pelajaran jalan-jalan dan senam

  ritmik yang di masa itu merupakan hal asing. Namun sang kepala sekolah berhasil menerapkan hal tersebut pada murid-muridnya. Sayangnya, Tomoe Gakuen hanya bertahan selama delapan tahun. Pada 1945, sekolah itu terbakar habis akibat dihantam bom B-29 yang dijatuhkan Tentara Sekutu dan tak pernah dibangun kembali. Adapun penggagas dan sekaligus pelaksana sekolah itu, Sosaku Kobayashi meninggal dunia pada tahun 1963. Dia tak pernah lagi mendapat kesempatan untuk menerapkan gagasannya yang orisinil dan revolusioner, yaitu pendidikan berbasis kepribadian. Kelak, metode pendidikan tersebut terbukti ampuh dengan berhasilnya hampir semua orang murid Tomoe Gakuen, baik dalam bidang akademis maupun non-akademis.

  Totto-chan atau Tetsuko Kuroyanagi sendiri kelak mempelajari opera di Sekolah Musik Tokyo, kemudian menjadi aktris. Di tahun 1972, Kuroyanagi belajar akting di New York sambil menulis artikel “From New York With Love’.

  Sekembalinya ke Jepang, pada tahun 1975 Kuroyanagi membawakan acara “Tetsuko no Heya”, acara talkshow pertama di televisi Jepang yang mendapat penghargaan tertinggi dalam dunia pertelevisian. Kuroyanagi kemudian

  Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengkaji permasalahan tersebut dengan judul Nilai-Nilai Edukatif (Nilai

  

Nilai kepribadian dan Sosial) dalam Novel Madogiwa no Totto-Chan Karya

Tetsuko Kuroyanagi.

1.1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang penulis bahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Struktur apa saja yang membangun novel Madogiwa no Totto-Chan karya Tetsuko Kuroyanagi yang meliputi tokoh dan penokohan; latar; sudut pandang; alur cerita; tema?

  2. Nilai-nilai edukatif apa saja yang tergambar dalam novel Madogiwa no

  Totto-Chan karya Tetsuko Kuroyanagi?

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.2.1 Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur pembangun novel yang terdiri dari, tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan pusat pengisahan.

  Selain itu untuk mengetahui nilai-nilai edukatif (nilai kepribadian dan sosial) yang terdapat dalam novel Madogiwa no Totto-Chan. Juga nilai-nilai edukatif apa saja yang dapat diterapkan dalam mendidik anak.

1.2.2 Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah untuk membangun dan mengembangkan teori sastra. Adapun manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat menambah khasanah keilmuan sastra Jepang yang lebih luas dan selanjutnya dapat memberikan kontribusi sebagai rujukan atau bahan perbandingan untuk penelitian-penelitian selanjutnya mengenai telaah sastra Jepang.

1.3 Landasan Teori Novel dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

  Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun dari dalam, sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun dari luar. Unsur intrinsik dalam novel seperti: penokohan (perwatakan), tema, alur (plot), pusat pengisahan, dan latar.

  Sudjiman menjelaskan (1988:16-17), struktur yang membangun cerita rekaan biasanya terdiri dari alur dan pengaluran, tema dan amanat, latar dan pelataran, tokoh dan penokohan, serta pusat pengisahan. Sumardjo (1983:7) berpendapat bahwa unsur-unsur yang membangun novel adalah plot (alur cerita), perwatakan, tema, setting suasana cerita, sudut pandang dan gaya cerita.

  Berdasarkan teori yang sudah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pembangun novel akan lebih mudah dipahami apabila digunakan analisis struktural, karena dalam analisis unsur-unsur struktural novel dapat diperoleh pemahaman yang membantu menerapkan teori sosiologi dalam novel.

  Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial. Karena objek yang diteliti adalah karya sastra, maka peranan sosiologi disini adalah sebagai alat bantu untuk mengungkapkan aspek sosial dalam karya sastra, yaitu novel. Menurut (Damono, 2002:3) sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra. Hartoko dan Rahmanto (1986:129) menjelaskan, sosiologi sastra adalah penafsiran teks secara sosiologis yaitu menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah teks sastra, sejauh mana gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan .

  Rene Wellek dan dan Austin Warren (1990:111) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang berkaitan dengan apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

1.4 Metode Penelitian

  1.4.1 Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data penulis lakukan dengan menggunakan metode studi pustaka. Studi pustaka merupakan suatu cara mengumpulkan data dengan mempelajari informasi yang tertulis. Dalam studi pustaka, sumber pengumpulan data terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, buku-buku atau bahan bacaan yang memberikan gambaran umum mengenai persoalan yang diteliti. Penulis menggunakan buku-buku teori dan esai para ahli. Kedua, buku-buku yang harus dibaca secara mendalam dan cermat. Penulis menggunakan novel Madogiwa no

  

Totto-Chan karya Tetsukou Kuroyanagi sebagai bahan atau data utama dalam

  penelitian ini. Novel Madogiwa no Totto-Chan yang dibaca penulis diterbitkan Kondansha Ltd pada tahun 1984. Ketiga, bahan bacaan tambahan yang menyediakan informasi untuk melengkapi penelitian ini. Penulis mencari bahan bacaan tambahan melalui internet dan artikel.

  Proses pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan atas teks novel

  

Madogiwa no Totto-Chan. Dari proses pembacaan tersebut, penulis memperoleh

  bahan-bahan yang kemudian dibuat dalam bentuk kutipan-kutipan. Tujuan pembacaan ini ialah untuk menemukan unsur intrinsik dan nilai-nilai edukatif dalam novel.

  1.4.2 Analisis Data

  Dalam tahap analisis data, penulis akan menggunakan analisis struktural menganalisis data, yaitu menganalisis novel Madogiwa no Totto-Chan dengan menggunakan analisis struktural. Analisis struktural dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Selanjutnya, mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel Madogiwa no Totto-Chan yang mengandung unsur penokohan, tema, alur cerita, latar, dan amanat. Hasil analisis dapat berupa kesimpulan penokohan, tema, alur cerita, latar, tema, dan amanat.

  Tahap berikutnya, menganalisis data. Analisis novel Madogiwa no Totto-

  

Chan dengan tinjauan sosiologi sastra. Analisis dilakukan dengan membaca dan

  memahami kembali data yang diperoleh, kemudian mengelompokkan teks-teks yang mengandung fakta sosial, yaitu pendidikan dalam novel Madogiwa no Totto-

  Chan.

1.4.3 Penyajian Hasil Analisis Data

  Dalam tahap penyajian hasil analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu penyajian hasil analisis data dengan memaparkan atau memberikan penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terinci atas hasil unsur-unsur data penelitian

1.5 Sistematika Penulisan

  Penulisan laporan hasil penelitian penulis paparkan dengan sistematika sebagai berikut.

  Bab 1 berisi pendahuluan meliputi, latar belakang dan rumusan masalah, penulisan.

  Bab 2 berisi tinjauan pustaka yaitu penelitian sebelumnya, struktur novel yaitu pengertian struktur novel dan unsur pembangun novel antara lain tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, alur dan tema, kemudian pengertian sosiologi sastra. Selanjutnya bab ini juga memaparkan pengertian nilai edukatif.

  Bab 3 berisi analisis unsur intrinsik dalam novel Madogiwa no Totto- Chan dan pemaparan nilai-nilai edukatif dalam novel Madogiwa no Totto-Chan yang meliputi nilai-nilai kepribadian dan nilai-nilai sosial juga aplikasi nilai-nilai edukatif novel Madogiwa no Totto-Chan dalam dunia pendidikan.

  Bab 4 berisi penutup yang mencakup simpulan. Pada bagian akhir disertakan daftar pustaka dan lampiran.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, STRUKTUR DAN NILAI EDUKATIF NOVEL

2.1 Penelitian Sebelumnya

  Ada beberapa mahasiswa yang telah meneliti novel ini untuk penulisan skripsi baik dari unsur tata bahasanya, psikoanalisis, dan sebagainya. Salah seorang mahasiswa yang telah menulis skripsi tentang novel ini adalah mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta jurusan ilmu komunikasi bernama Fidayanni Karimawati. Judul skripsinya adalah Pendidikan Berbasis Kepribadian. Skripsi ini ditulis pada tahun 2010

  Dalam skripsinya tersebut Fidayanni Karimawati membahasa tentang sistem pendidikan humanis yang diterapkan di Tomoe Gakuen. Dalam pembahasannya mengenai Fidayanni Karimawati menuliskan pesan setelah menganalisis novel “Totto Chan: gadis Cilik di Jendela” melalui metode semiotika yaitu sebagai berikut: (a) Memberi kebebasan pada anak untuk berekspresi, (b) Menjaga dan memupuk bibit-bibit keberanian anak dalam mengambil tindakan, (c) Menanamkan rasa percaya diri pada setiap anak, terutama mereka yang memiliki hambatan fisik, (d) Menjaga mental murid, (e) Memberikan pendidikan moral dan etika, (f) Memberikan pendidikan kekeluargaan, (g) Memberikan pengalaman-pengalaman baru sebagai bekal untuk masa depan, (h) Belajar sambil bermain, (i) Menanamkan rasa tanggung jawab, (j) Pemberian reward yang berkesan.

  Dalam skripsi ini memfokuskan penelitian pada analisis struktural dan

  

no Tottochan juga penerapan nilai edukatif dengan menggunakan teori sosiologi

sastra.

2.2 Pengertian Struktur Novel

  Novel adalah salah satu bentuk karya sastra yang tergolong ke dalam prosa fiksi serta terdiri dari unsur-unsur pembangunan yang paling berkaitan antar satu dengan ynag lain sehingga membentuk suatu wacana yang utuh. Jassin (1985: 78) berpendapat sebagai karya imajinatif sastra berfungsi sebagai hiburan yang menyenangkan juga berguna untuk menambah pengalaman batin bagi pembacanya. Membicarakan sastra yang memiliki sifat imajinatif, kita berhadapan dengan tiga jenis sastra yaitu prosa, puisi dan drama. Salah satu jenis prosa adalah novel.

  Sudjiman menjelaskan (1988:55) novel merupakan salah satu ragam prosa di samping cerpen dan roman selain puisi dan drama. Novel merupakan prosa rekaan yang panjang, menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian cerita dan latar belakang secara terstruktur.

  Menurut Ratna (2004: 336) genre karya sastra, yaitu puisi, prosa dan drama, genre prosalah, khususnys novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, antara lain: (a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, (b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum mewujudkan, dan menyatakan pengalaman subyektif seorang pengarang.

  Menurut Endraswara (2008: 51-52) memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Penelitian dilakukan secara objektif, yaitu menekankan aspek instrinsik karya sastra. Karya sastra, dalam hal ini novel, juga memiliki unsur- unsur yang membangun baik dari dalam maupun dari luar. Aspek atau unsur instrinsik merupakan segi yang membangun karya sastra dari dalam yang mencakup tema, latar, dan alur.

  Noor (2009:31) menjelaskan yang dimaksud segi instrinsik karya sastra ialah unsur-unsur yang membangun suatu karya sastra dari dalam. Dalam hal ini novel sebagai salah satu genre karya sastra, narasi imajinatif tersusun atas unsur- unsur instrinsik yang saling berkaitan. Selain itu karya sastra juga mengandung unsur ekstrinsik, yaitu unsur-unsur dari luar yang mempengaruhi isi karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik itu misalnya psikologi, sosiologi, agama, sejarah, filsafat, ideologi, politik, dan lain-lain

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa struktur pembangun novel dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

  Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur yang membentuk karya sastra tersebut yaitu: penokohan, alur, pusat pengisahan, latar, tema, dan sebagainya. Novel yang dibangun dari sejumlah unsur akan saling berhubungan dan saling menentukan sehingga menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna hidup.

  Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya menjadi bagian didalamnya. Contoh unsur-unsur ekstrinsik adalah psikologi, sosiologi, kebudayaan, moral, antropologi, filsafat, agama dan sebagainya Menurut Sumardjo (1983:12) melalui unsur-unsur pembangun tersebut, peristiwa-peristiwa kemasyarakatan dihadirkan oleh pengarang dengan gaya yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut berasal dari nilai budaya suatu masyarakat yang sangat mungkin mempengaruhi terciptanya karya sastra.

  Pembaca untuk menangkap makna sebuah karya sastra harus mempunyai bekal pengetahuan bahwa karya sastra terdiri dari unsur-unsur yang membentuk karya sastra secara utuh. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan membentuk sebuah totalitas karya sastra. Unsur-unsur tersebut kemudian menjadi struktur karya sastra.

  Berikut ini adalah penjelasan unsur-unsur intrinsik novel, tetapi untuk kepentingan penelitian skripsi ini tidak akan dibahas seluruh unsur intrinsik novel

  

Madogiwa no Totto-chan. Unsur intrinsik tokoh dan penokohan; latar; sudut

  pandang; alur cerita; tema dan amanat saja yang akan dibahas sebagai dasar melangkah kepada pembahasan gambaran nilai-nilai edukatif novel Madogiwa no

  Totto-chan.

2.2.1 Tokoh dan Penokohan

  Dalam karya fiksi sering digunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah tokoh karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.

  Sudjiman (1988: 79) menjelaskan bahwa tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di pelbagai peristiwa dalam cerita.

  Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2005: 23), tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tetap seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

  Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan. Jenis atau tipe tokoh dapat dilihat melalui reaksi tokoh terhadap permasalahan (konflik) yang dihadapi dalam cerita. Bagaimana seorang tokoh menghadapi sampai ke tahap penyelesaian konflik yang terjadi akan menggambarkan karakter (watak) tokoh yang bersangkutan.

2.2.2 Latar (setting)

  Menurut Semi (1988:46) latar adalah lingkungan tempat terjadi, yang termasuk dalam latar ini adalah tempat dan waktu atau peristiwa sejarah. Biasanya latar muncul pada semua bagian atau penggalan cerita dan kebanyakan pembaca tidak terlalu menghiraukan latar ini, karena lebih berpusat pada jalan ceritanya.

  Kadang-kadang kita menemukan bahwa latar ini banyak mempengaruhi penokohan dan kadang-kadang membentuk tema.

  Menurut Aminuddin (1987:68) menjelaskan bahwa setting dalam karya dalam lingkungan tertentu melainkan juga berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi problema tertentu. Setting dalam bentuk yang terakhir dapat dimasukkan dalam setting yang bersifat psikologis.

  Jadi latar merupakan pengambilan tempat, dan ruang kejadian yang digambarkan oleh pengarang. Penggambaran latar yang tepat akan membuat cerita lebih kuat dan hidup. Latar membantu pembaca membayangkan peristiwa- peristiwa yang terjadi di dalam cerita.

  Menurut Nurgiyantoro, (2005: 227) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu:

  1. Latar tempat, yang menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

  2. Latar waktu, berhubungan dengan peristiwa itu terjadi.

  3. Latar sosial, menyangkut status sosial seorang tokoh, penggambaran keadaan masyarakat, adat-istiadat dan cara hidup.

2.2.3 Sudut Pandang

  Menurut Nurgiyantoro (2005:248), sudut pandang (point of view) merupakan strategi yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan.

  Namun kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita. Masih menurut Nurgiyantoro (2005:256) membedakan sudut pandang. Pertanyaan tersebut antara lain sebagai berikut.

  1. Siapa yang berbicara kepada pembaca (pengarang dalam persona ketiga atau pertama, salah satu pelaku dengan ”aku”, atau seperti tak seorang pun)?

  2. Dari posisi mana cerita itu dikisahkan (atas, tepi, pusat, depan atau berganti- ganti)?

  3. Saluran informasi apa yang dipergunakan narator untuk menyampaikan ceritanya kepada pembaca (kata-kata, pikiran, atau persepsi pengarang; kata- kata, tindakan, pikiran, perasaan, atau persepsi tokoh)?

  4. Sejauh mana narator menempatkan pembaca dari ceritanya (dekat, jauh, atau berganti-ganti)? Jadi dapat disimpulkan sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.

2.2.4 Alur (Plot)

  Semi (1988:43) menjelaskan alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian keseluruhan bagian fiksi. Sedangkan menurut Aminudin (1987:83) alur itu merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita.

  Jadi, alur adalah peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan satu sama lain dengan adanya hubungan saling melengkapi. Alur atau plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

2.2.5 Tema

  Menurut Aminudin (1987:91) tema dalam cerita fiksi adalah ide yang medasari suatu cerita berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut.

  Semi menjelaskan (1988:42) tema tidak sama dengan topik, topik mempunyai arti tempat, dalam tulisan atau karangan, topik berarti pokok pembicaraan. Sedangkan tema merupakan tulisan atau karya fiksi karena wujud tema dalam sastra, berpangkal kepada alasan tindak (kreatif tokoh).

  Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Menentukan tema suatu cerita hanya dapat dilakukan bila telah memahami karya sastra tersebut secara keseluruhan.

2.3 Pengertian Sosiologi Sastra

  Swingwood (melalui Faruk: 1994:1) berpendapat bahwa sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam msyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan

  Menurut Semi (1988:5) pengertian sosiologi adalah suatu telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial serta proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik dan lain-lain. Kita mendapat gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatannya serta proses pembudayaannya.

  Pitrim Sorokin (melalui Supardan, 2008: 100), menerangkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari: a. Hubungan dan pengaruh timbul balik antara berbagai macam gejala sosial

  (misalnya, antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya); b. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala-gejala nonsosial (misalnya, gejala geografis, biologis, dan sebagainya); c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan manusia di dalam masyarakat. Sosiologi juga menelaah hubungan antara manusia dengan lingkungannya, manusia dengan budayanya, dan manusia dengan lembaga-lembaga sosial. Serta perubahan- perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dan dampak dari perubahan sosial tersebut dalam masyarakat.

  Seperti halnya sosiologi yang berurusan dengan manusia dalam diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.

  Dikemukakan Teeuw (1984:100) bahwa pemahaman karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan mengenai kebudayaan yang melatar belakangi karya sastra dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahannya. Ian Wat (melalui Damono 1984:3) dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat. Oleh karena itu telaah sosiologi karya sastra akan mencakup tiga hal:

  a. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk didalamnya faktor- faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya.

  b. Sastra sebagai cerminan masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

  c. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini telaah dalam beberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial, dan sampai berapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat

  Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra (Damono, 1984:3).

  Ratna (2004: 332-333) mengemukakan bahwa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat sebagai berikut: a. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.

  b. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat

  c. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetansi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan

  d. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan logika.

  Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.

  e. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

  Dalam buku Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1984:7), Damono menjelaskan: ini, dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial ini: hubungan manusia dengan keluargaya, lingkungannya, politik, negara, dan sebagainya. Dalam pengertian dokumenter murni, jelas tampak bahwa novel berurusan dengan tekstur sosial, ekonomi, dan politik, yang juga menjadi urusan sosiologi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi dan sastra sebenarnya berbagi masalah yang sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi urusan sosiologi. Sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra.

  Adapun analisis sosiologi sastra bertujuan untuk memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur yang membangun sebuah karya sastra dari aspek kemasyarakatan pengarang, pembaca, dan gejala sosial yang ada. Pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan mimetis yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan.

  Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial).

2.4 Pengertian Nilai edukatif

  Comb (melalui Setiadi 2007: 123) menyebutkan bahwa nilai adalah serta perilaku yang akan dipilih untuk dicapai. Mardiatmadja (1986: 54) menegaskan bahwa, nilai adalah hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas untuk dikejar oleh manusia demi peningkatan kualitas manusia atau pantas dicintai, dihormati, dikagumi, atau yang berguna untuk satu tujuan.

  Menurut Alwi (2007: 783) nilai adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai di kehidupan manusia yang bersifat mendidik. Nilai dapat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, dan cara bertindak seseorang dalam mencapai tujuan hidup. Senada dengan Alwi Lasyo (melalui Setiadi dkk, 2007: 123) menyebutkan nilai bagi manusia merupakan landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatannya.

  Dari pendapat para ahli di atas ditarik kesimpulan bahwa nilai adalah keyakinan yang mampu mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidup jika dihayati dengan baik. Nilai adalah sifat yang positif dan bermanfaat dalam kehidupan manusia dan harus dimiliki setiap manusia untuk dipandang dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai disini dalam konteks etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah dan jelek).

  Adapun kata edukatif berasal dari bahasa Inggris educate, yang berarti mengasuh atau mendidik, education artinya pendidikan. Montessori (melalui Qomar, 2005: 49) menyatakan pendidikan memperkenalkan cara dan jalan kepada peserta didik untuk membina dirinya sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara (melalui Suhartono, 2008:44), pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan manusia dalam upaya mengembangkan potensi-potensi dalam diri seseorang menuju ke arah kedewasaan sehingga dapat berinteraksi sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

  Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai edukatif adalah batasan segala sesuatu yang mendidik ke arah kedewasaan, bersifat baik maupun buruk sehingga berguna bagi kehidupannya yang diperoleh melalui proses pendidikan. Proses pendidikan bukan berarti hanya dapat dilakukan dalam satu tempat dan suatu waktu. Pendidikan juga dapat dilakukan dengan pemahaman, pemikiran, dan penikmatan karya sastra.

  Karya sastra sebagai pengemban nilai-nilai pendidikan diharapkan keberfungsiannya untuk memberikan pengaruh positif terhadap cara berpikir pembaca mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Hal ini disebabkan karena karya sastra merupakan salah satu sarana mendidik diri serta orang lain sebagai unsur anggota masyarakat. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, nilai edukatif akan digambarkan dari tokoh novel Madogiwa no Tottochan. Yang berarti nilai edukatif yang dapat dipelajari atau diteladani oleh pembaca atau pun penikmat sastra.

2.4.1 Nilai-Nilai Kepribadian

  Menurut Gordon Allport (melalui Alwisol 2007: 19) kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psiko-fisik indvidu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran indvidu secara khas. Terjadinya Interaksi psiko-fisik mengarahkan tingkah laku manusia. Maksud dinamis pada pengertian tersebut adalah perilaku mungkin saja berubah-ubah melalui proses pembelajaran atau melalui pengalaman-pengalaman, hadiah, hukuman, dan pendidikan.

  Koentjaraningrat (melalui Edy Purwito 1995: 63) menjelaskan kepribadian adalah ciri-ciri watak seseorang individu yang konsisten, yang memberikan kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khusus. Seseorang yang dianggap punya kepribadian, biasanya orang tersebut mempunyai beberapa ciri watak yang diperlihatkannya secara lahir, konsisten dan konsekuen dalam tingkah lakunya sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda dengan individu-individu lainnya.

  Hipocrates (melalui Sumadi 2007: 185) membagi kepribadian menjadi 4 kelompok besar yaitu:

a. Sanguin, sanguin adalah orang yang gembira, yang senang hatinya, mudah untuk membuat orang tertawa, dan bisa memberi semangat pada orang lain.

  b. Plegmatik, tipe plegmatik adalah orang yang cenderung tenang, dari luar cenderung tidak beremosi, tidak menampakkan perasaan sedih atau senang.

  Naik turun emosinya itu tidak nampak dengan jelas. Orang ini memang cenderung bisa menguasai dirinya dengan cukup baik, ia intorspektif sekali, memikirkan ke dalam, bisa melihat, menatap dan memikirkan masalah- masalah yang terjadi di sekitarnya.

  c. Melankolik, tipe melankolik adalah orang yang terobsesi dengan karya yang paling bagus, yang paling sempurna dan dia memang adalah seseorang yang mengerti estetika keindahan hidup ini. Perasaannya sangat kuat, sangat sensitif maka kita bisa menyimpulkan bahwa cukup banyak seniman yang memang berdarah melankolik.

  d. Kolerik, seseorang yang kolerik adalah seseorang yang dikatakan berorientasi pada pekerjaan dan tugas, dia adalah seseorang yang mempunyai disiplin kerja yang sangat tinggi. Kelebihannya adalah dia bisa melaksanakan tugas dengan setia dan akan bertanggung jawab dengan tugas yang diembannya.

  Abin Syamsuddin (2003: 43) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup :

   Karakter yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsisten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.

   Temperamen yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.

   Sikap yaitu sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.

   Stabilitas emosi yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah,

   Responsibilitas (tanggung jawab) adalah kesiapan untuk menerima risiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari risiko yang dihadapi.

   Sosiabilitas yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

  Dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai kepribadian adalah nilai baik dan buruk perilaku dan kebiasaan individu. Kebiasaan dan perilaku tersebut digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam. Corak perilaku dan kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang.

2.4.2 Nilai-Nilai Sosial

  Menurut Rosyadi (1995: 80) sosial berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai sosial yang ada dalam karya sastra dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan. Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya. dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat.

  Sejalan dengan tersebut nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku. Uzey (2009: 7) juga berpendapat bahwa nilai sosial mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai ketuhanan. Jadi nilai sosial dapat disimpulkan sebagai kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting.

  Novel merupakan wadah dari ide, gagasan, serta pemikiran seorang pengarang mengenai gejala sosial yang ditangkap dan dialami pengarang yang kemudian dituangkan dalam bentuk karya sastra. Novel terkait erat dengan ilmu sosial yang di dalamnya mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan. Dalam Novel terdapat pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang. Salah satu pesan tersebut adalah nilai-nilai edukatif.

BAB 3 ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN NILAI-NILAI EDUKATIF NOVEL MADOGIWA NO TOTTO-CHAN

3.1. Analisis Unsur Intrinsik Novel Madogiwano Totto-chan

3.1.1 Tokoh dan Penokohan

  Tokoh adalah pelaku dalam karya sastra. Penokohan adalah cara-cara menampilkan tokoh. Dalam novel Madogiwa no Totto-Chan ini yang muncul adalah tokoh utama protagonis, tokoh tambahan protagonis dan tokoh antagonis. Penokohan adalah tekhnik menampilkan tokoh. Penokohan terbagi menjadi dua yaitu, analitik dan dramatik. Analitik adalah cara menampilkan tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Cara dramatik ialah cara menampilkan tokoh tidak secara langsung tetapi melalui gambaran ucapan, perbuatan dan komentar.

3.1.1.1 Tokoh

  Tokoh utama protagonis adalah tokoh yang sering muncul dan disuka pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Dalam novel ini terdiri dari tiga tokoh utama protagonis yaitu: Totto-Chan, Mama, Sosaku Kobayashi. Sedangkan tokoh tambahan protagonis terdiri dari tiga belas tokoh yaitu, Papa, Yasuaki Yamamoto, istri kepala sekolah, Akira Takahashi, Miyo chan, Sakko Matsuyama, Taiji Yamanouchi, Kunio Ôei, Kazuo Amadera, Aiko Zaisho, Keiko Aogi, Yoichi Migita, Ryo chan, dan Maruyama. Tokoh antagonis dalam novel ini

3.1.1.2 Penokohan

A. Totto-chan

  Totto-Chan adalah seorang anak yang cerdas, dia suka mendengarkan

  

rakugo, dan mengerti cerita dari rakugo sehingga ia tertawa sendiri. Rakugo

  adalah seni bercerita tradisional Jepang yang mengisahkan cerita humor yang dibangun dari dialog dengan klimaks cerita yang tidak terduga. Cerita dikisahkan sedemikian rupa sehinga di akhir cerita ada klimaks yang membuat penonton tertawa. Rakugo menggunakan bahasa Jepang klasik yang saat itu sulit dicerna oleh anak-anak.

  それ以外、落語を聞くのは、パパとママが留守のとき、秘密に、と いうことになった。噺家が上手だと、トットちゃんは、大声で笑っ てしまう。もし、誰か大人が、この様子を見ていたら、『よく、こ んな小さい子が、このむずかしい話で笑うな』と思ったかもしれな いけど、実際の話、子供は、どんなに幼く見えても、本当に面白い ものは、絶対に、わかるものだった。(Totto-Chan, 1984: 77 )