Pages from jurnal susfut %202 2

Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2

Model Perhutanan Sosial Berbasis
Partisipasi Masyarakat Pada Program
Konservasi Hutan Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS)
Oleh: Alfitri

Abstract
ersepsion of society on the existence of “Hutan Marga” in research
rural areas described that the potencial of “Hutan Marga” in each
rural area is still exist. During this time, the rural government taking
over “Hutan Marga” management. The institution of “Hutan Marga”
institution is consist of “Pasirah” and “Dewan Marga”, and member of
society. Society member is the main pranata holding right to manage
“Hutan Marga. It is the time for the society to be involved as a subject
to build and to pioneer forest conservation program of TNKS through
local institution of “Hutan Marga” as a social foresty model. The model
will involves three elements, namely rural government and county
government involved, such as TNKS and PPL, and society element as a
core working in model system will be developed.


P

Key Word: “Hutan Marga”, social forestry, society, local institution.

Pendahuluan
Hutan dan lingkungan bagai
dua sisi keping mata uang yang
tidak bisa dipisahkan. Ketika
hutan makin rusak, lingkungan
terancam, dan bencana pun

terjadi; banjir, longsor, terjadi di
mana-mana. Hal ini tidak saja
merusak rumah, harta benda
dan infrastruktur lainnya, tetapi
juga mengancam jiwa manusia,
bahkan ketika bencana itu
t e r j a d i t i d a k s e d i k i t ya n g
Hal 29


Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat
menelan korban jiwa. Di sini
tergambar bahwa fungsi hutan
menjadi sangat vital bagi
kehidupan manusia, tidak
hanya sebagai sumber ekonomi,
tetapi juga sebagai sarana
pelestarian lingkungan dan
keanekaragaman hayati. Dalam
arti, hutan sebagai pengendali
kerusakan ekosistem. Jika
h u t a n n ya r u s a k m a k a a k a n
cepat sekali berpengaruh
terhadap perubahan ekosistem.
Indonesia merupakan salah satu
negara yang memiliki hutan
tropis terbesar di dunia setelah
Brazil, disebut sebagai paruparu dunia. Pentingnya hutan
tropis sebagai paru-paru dunia

sudah menjadi perhatian
banyak pihak. Daya tarik hutan
yang memiliki nilai ekonomi
tinggi, telah mengakibatkan
kerusakan hutan yang semakin
parah, karena setiap hari hutan
d i t e b a n g , t a n p a a d a u p a ya
untuk menjaga pelestariannya.
Kondisi hutan Indonesia
sekarang sangat kritis, akibat
ulah kelompok pengusaha dan
m a s ya r a k a t
ya n g
tidak
menyadari arti penting hutan
bagi keseimbangan lingkungan
dan kelangsungan kehidupan
manusia. Kondisi kritis ini,
d i a n t a r a n ya a k i b a t k e g i a t a n
manusia yang suka menebang


Hal 30

hutan atau yang disebut illegal
l o g g i n g , t a n p a m e n a n a m n ya
kembali.
Nilai strategis hutan dapat
didefenisikan dalam artian
ekonomis dan sosial. Fungsi
ekonomis hutan adalah untuk
m e n j a m i n m a s u k n ya p e n d a p a t a n , t i d a k d a p a t d i p e rtahankan untuk jangka panjang,
karena tingkat penurunan
cadangan hutan di Indonesia
ya n g s a n g a t p e s a t a k a n
mengurangi regenerasi hutan.
L a h a n h u t a n I n d o n e s i a b e rdasarkan data tahun 1995 dan
1997, mengalami penurunan,
yaitu berkurang 1,8 juta hektar
setiap tahun (Atje, 2001). Fungsi
hutan dari sudut sosial adalah

sebagai
sarana
adaptasi
(adaptation) masyarakat sekitar
hutan yang kaya akan nilai-nilai
hakiki, pengetahuan lokal (local
genius), kultural, rekreasi, dan
estetika yang dikaitkan dengan
hutan. Jika hutan mengalami
kerusakan maka keberadaan
p o t e n s i m a s ya r a k a t i t u j u g a
akan makin terancam. Hal ini
pada akhirnya akan berdampak
pada gangguan keseimbangan
ekologis yang dilakukan oleh
manusia, serta dapat mengganggu harmonisasi kehidupan
masyarakat di sekitar hutan.

Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2
Di Sumatera Selatan, kerusakan

hutan terjadi secara cepat
yang mengakibatkan semakin
m e n u r u n n ya d a ya d u k u n g
hutan sebagi kawasan penyangga, terutama sebagai daerah
resapan air. kawasan ini membentang di sepanjang Bukit
Barisan, salah satunya Hutan
Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS). Hutan TNKS selain
sebagai kawasan resapan air di
hulu sungai, juga ditetapkan
sebagai paru-paru dunia, oleh
karena itu keberadaan dan
kelestariannya harus dipertah a n k a n . U p a ya p e l e s t a r i a n
hutan TNKS tidak hanya menj a d i t a n g g u n g j a wa b p e m e rintah saja, tetapi juga harus
melibatkan masyarakat, dalam
bentuk partisipasi masyarakat
dalam pelestarian hutan, terutama bagi mereka yang tinggal
di sekitar hutan.
K e s a d a r a n m a s ya r a k a t a k a n
pentingnya memelihara hutan

masih sangat rendah. Untuk itu
diperlukan upaya guna menumbuhkan kesadaran masyarakat
agar peduli terhadap kelestarian
dan kelangsungan hutan sebagai mitra kehidupan masyarakat dalam bentuk aksi penanaman kembali (reboisasi),
pengelolaan hutan dan penyelamatan hutan. Selama ini

penelitian tentang kerusakan
hutan TNKS masih terbatas
pada pemberdayaan kelompok
m a s ya r a k a t ya n g b e r a d a d i
s e k i t a r k a wa s a n k o n s e r va s i .
Penelitian yang memfokuskan
pada pengembangan model
perhutanan sosial berbasis
partisipasi masyarakat melalui
pendakatan kelembagaan tradisional telah banyak dilakukan,
seperti pada kasus “ Khepong
Damar” pada kelompok masyarakat Lampung Krui yang telah
m e m b u k t i k a n b a h wa r a k ya t
dapat mengelola sumber daya

hutan secara lebih lestari
( Awa n g , 2 0 0 3 ) . D i S u m a t e r a
Selatan, konsep pemerintahan
m a r g a t e l a h l a m a t e r k u b u r,
sejak diberlakukannya Surat
Keputusan Gubernur Sumatera
Selatan Nomor: 124/KPTS/III/
1983, tanggal 24 Maret 1983,
sejalan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 5
Ta h u n 1 9 7 9 t e n t a n g p e m e rintahan desa. Salah satu aset
ya n g m a s i h t e r s i s a s e b a g a i
warisan pemerintahan marga
adalah “Hutan Marga”. Keberadaan hutan marga masih diakui oleh sebagian masyarakat,
terutama bagi masyarakat yang
berada di sekitar hutan TNKS.
Pa d a b e b e r a p a d e s a , h u t a n
marga masih tetap dijaga sebagai lembaga tradisional yang

Hal 31


Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat
berfungsi sebagai pelestarian
hutan milik pemerintahan desa.
Konsep hutan marga perlu direvitalisasi dalam suatu program perhutanan sosial yang
melibatkan partisipasi masyarakat desa.
Penelitian ini berangkat dari
suatu pemikiran bahwa pentingn ya p a r t i s i p a s i m a s ya r a k a t
dalam menjaga pelestarian
hutan menjadi salah satu unsur
ya n g s a n g a t p e n t i n g d a l a m
u p a ya p e n ye l a m a t a n h u t a n
T N K S . P r a n a t a s o s i a l ya n g
masih ada dimanfaatkan untuk
menyelaraskan antara kemampuan pengetahuan lokal masyarakat dengan program formal
ya n g d ila ku ka n pem er in ta h ,
yaitu program konservasi hutan
kawasan TNKS, dalam bentuk
model perhutanan sosial
berbasis partisipasi masyarakat

TNKS yang diharapkan menjadi
salah satu paru-paru dunia,
sekarang ini kondisinya sangat
kritis dan mengkhawatirkan.
Penebangan liar yang dilakukan
m a s ya r a k a t d a n k e l o m p o k
pengusaha telah mempercepat
laju kerusakan hutan tropis ini
dari tahun ke tahun. Untuk
mencegah terjadinya kerusakan
yang lebih parah diperlukan

Hal 32

u p a ya a g a r t e t a p m e n j a g a
p e l e s t a r i a n h u t a n s u p a ya
keseimbangan ekologis dapat
dipertahankan. Program pelestarian hutan selalu menemui
berbagai hambatan yang sangat
kompleks, salah satunya adalah

sulitnya meningkatkan peran
m a s ya r a k a t d a l a m m e n a n g gulangi kerusakan hutan. Untuk
itu, lembaga yang menangani
p r o g r a m k o n s e r va s i h u t a n
harus melibatkan masyarakat
setempat melalui pendekatan
kearifan lokal, agar sasaran
program dapat lebih dicapai.
Hutan marga yang merupakan
salah satu pranata yang masih
diakui eksistensinya oleh masyarakat setempat dapat dijadikan
suatu modal perhutanan sosial
pada program konservasi hutan
TNKS. Berbekal pranata yang
masih tumbuh dan dipatuhi
o l e h m a s ya r a k a t d i s e k i t a r
k a wa s a n T N K S , k o n s e r va s i
hutan marga perlu direvitalisasi
dalam pengembangan perhutanan sosial, agar kerusakan
hutan TNKS dapat ditekan,
tentunya melalui mekanisme
kelembagaan tradisional yang
dilegitimasi oleh pemerintah
sebagai salah satu mata rantai
program pelestarian hutan.

Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2

Persepsi Masyarakat
tentang Hutan Marga
Persepsi masyarakat tentang
keberadaan hutan marga di
desa-desa penelitian mengg a m b a r k a n b a h wa p o t e n s i
hutan marga di setiap desa
masih ada. Sekarang ini
pengelolaan hutan marga diatur
oleh pemerintahan desa, setelah
terlebih dahulu meminta izin
tertulis kepada kepala desa.
B a g i m a s ya r a k a t ya n g i n g i n
membuka hutan marga dan
m e n g e l o l a n ya , m e n g a j u k a n
kepada kepala desa, kemudian
akan diputuskan oleh kepala
desa siapa saja keluarga yang
berhak mengelola hutan marga.
Oleh
karena
keputusan
ditetapkan oleh kepala desa,
t a n p a a d a n ya m u s ya wa r a h
ter lebih d a h u lu , m a s ya r a ka t
beranggapan jika keputusan
kepala desa kurang proporsional dan bijak. Dalam
beberapa kasus, hutan marga
banyak digarap oleh keluarga
dekat kepala desa, dan juga
keluarga yang membayar upeti
kepada kepala desa. Dengan
demikian prinsip hutan marga
ya n g s e s u n g g u h n ya , s u d a h
mulai bergeser karena ada
kepentingan kepala desa di
dalamnya. Padahal, pada masa
pemerintahan marga, keluarga

yang menggarap dan mengelola
hutan marga adalah keluarga
yang berhak karena memang
l a ya k d i l i h a t d a r i t i n g k a t
kehidupannya yang berada di
bawah garis kemiskinan.
Masyarakat senantiasa berharap
agar mereka bisa mengoptimalkan penggarapan hutan marga
untuk kepentingan peningkatan
kesejahteraan masyarakat desa.
M i s a l n ya h u t a n d i b u k a d a n
ditanami secara massal dengan
bergotong-royong, tetapi hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat, bukan monopoli kepala
desa, seperti yang terjadi selama
ini. Dengan cara ini menurut
mereka, partisipasi masyarakat
dapat tumbuh dan kepercayaan
kepada pemerintah akan berangsur-angsur dapat dipulihkan. Masyarakat menginginkan
jika hutan marga dapat dik e m b a l i k a n p e n g e l o l a a n n ya
k e p a d a m a s ya r a k a t . Pe n g e lolaan hutan marga juga dapat
diubah dengan melakukan
penanaman pohon jenis keras,
tidak seperti pada zaman
p e m e r i n t a h a n m a r g a ya n g
justru dilarang menanam pohon
keras. Perubahan ini diharapkan
agar hutan marga dapat menjadi
salah satu sumber ekonomi
masyarakat dalam jangka waktu
lama. Pengelolaan hutan marga

Hal 33

Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat
ya n g
diserahkan
kepada
m a s ya r a k a t s e b a i k n ya j u g a
melibatkan struktur pemerintahan desa, dan unsur
pemerintahan kabupaten, serta
instansi terkait, seperti Balai
TNKS dan Petugas Penyuluh
Lapangan (PPL).

Pengelolaan Hutan Marga
oleh Masyarakat
Hutan marga adalah kawasan
h u t a n ya n g d i j a d i k a n h u t a n
larangan melalui keputusan
ma s ya r a ka t a ta s d a s a r kes epakatan bersama. Pengawasan
k a wa s a n i n i d i l a k u k a n o l e h
kepala desa sebagai pemimpin
kekuasaan setelah pemerintahan marga dihapus. Pada
masa lalu, disaat pemerintahan
marga masih diakui eksistensinya hutan marga dijadikan
sebagai asset marga yang bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk melakukan kegiatan
berladang guna memenuhi
kepentingan ekonomi keluarga
berupa kebutuhan hidup seharihari. Oleh sebab itu masyarakat
yang ingin memanfaatkan hutan
marga, terlebih dahulu harus
melapor dan mendapatkan izin
d a r i Pa s i r a h s e b a g a i k e p a l a
pemerintahan marga.

Hal 34

Hutan marga pada prinsipnya
dikelola oleh pemerintahan
marga dengan aturan sebagai
berikut:

• Semua keluarga yang ingin
membuka hutan marga
berhak atas pengeloaan
lahan seluas kemampuan
membabat (cecar) hutan. Jika
suatu keluarga mampu
membuka lahan seluas dua
hektar, tetap diizinkan oleh
kepala marga.

• K e l u a r g a ya n g m e m b u k a
hutan tidak boleh menanam
tanaman keras (tahunan)
d e n g a n a l a s a n b a h wa
tanaman tersebut berumur
pendek, sehingga bisa
dilakukan penggiliran bagi
keluarga yang lain.

• Hasil dari tanaman dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari,
bukan untuk dijual atau
memperoleh keuntungan
ekonomi.

• Hutan marga yang sudah
beberapa tahun (empat
sampai lima tahun berturutturut) ditanam oleh masyarakat harus dihutankan
kembali (dibiarkan menjadi

Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2
hutan) agar tanah hutan
menjadi subur kembali.

• Keluarga

ya n g m e n g gunakan hutan marga
diwajibkan membayar pajak
marga dalam satu tahun,
jika ingin melanjutkan
kembali diharuskan mengajukan pengusulan ulang
kepada Pasirah.

• Keluarga yang melanggar
aturan dapat dikenakan
sanksi adat sesuai dengan
kitab
Undang-Undang
Simboer
Cahaya
ya n g
ditetapkan oleh rapat dewan
marga.
Dari keenam prinsip tersebut
dapat dijelaskan bahwa pengelolaan hutan marga, ternyata
memiliki kearifan lokal yang
berdimensi ekonomi, sosial,
b u d a ya , h u k u m a d a t , d a n
lingkungan. Dari dimensi
ekonomi, secara eksplisit bahwa
lahan hutan bisa dimanfaatkan
oleh semua masyarakat yang
tidak memiliki tanah guna
untuk ditanami tumbuhan yang
menghasilkan komoditi pertanian agar bisa memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Suatu keluarga bisa membuka
s e l u a s - l u a s n ya l a h a n , t e t a p i
s e m a t a - m a t a h a n ya u n t u k

pemenuhan kebutuhan hidup,
jika lahan yang dibuka untuk
kepentingan bisnis maka akan
dikenakan sanksi tegas. Artinya
a t u r a n ya n g d i t e r a p k a n i n i
mengandung nilai-nilai yang
memperjuangkan kepentingan
m a s ya r a k a t m i s k i n . D a r i
dimensi sosial, tampak adanya
p r i n s i p e g a l i t a r i a n , ya i t u
hubungan kesetaraan antar
masyarakat yang memanfaatkan
lahan hutan tanpa pandang
bulu. Hal ini tercermin dari
aturan penggiliran keluarga
yang menggunakan lahan hutan
marga, sehingga di sini sudah
muncul upaya untuk menegakkan
nilai-nilai
keadilan.
Keluarga yang sudah memanfaatkan lahan hutan lebih lima
tahun harus diganti kepada
k e l u a r g a l a i n ya n g l e b i h
membutuhkan.
D a r i d i m e n s i b u d a ya d a p a t
d i u n g k a p k a n b a h wa p r i n s i p
yang mengatur tentang hutan
marga telah membentuk keb i a s a a n m a s ya r a k a t u n t u k
saling menghormati kesempatan setiap keluarga untuk
mengolah lahan. Keteraturan ini
mencerminkan bahwa sistem
budaya yang terbentuk sudah
mengindikasikan bahwa masyarakat sangat patuh kepada
ketertiban umum, sehingga

Hal 35

Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat
pemerintah marga dapat
mengatur masyarakat dalam
mengelola hutan marga untuk
kepentingan publik, bukan
perorangan dan individu.
Dari dimensi hukum adat
ternyata prinsip hutan marga
mengandung norma-norma adat
yang dijunjung tinggi melalui
kesepakatan bersama guna
menjaga kelestarian hutan.
Penegakan hukum adat sangat
d i p a t u h i o l e h m a s ya r a k a t ,
karena dapat mempengaruhi
harga diri setiap keluarga yang
dikenakan sanksi. Selain itu
prinsip pelestarian lingkungan
cukup menonjol jika ditafsirkan
bahwa setiap keluarga harus
dapat memperhatikan siklus
lingkungan dalam waktu lima
tahunan. Hal ini sangat penting
karena lingkungan dijaga
jangan sampai jenuh, oleh sebab
itu siklus penanaman harus
diperhatikan agar tetap lestari.

Kelembagaan Hutan Marga
Kelembagaan hutan marga
terdiri dari Pasirah dan Dewan
Marga, serta anggota masya r a k a t . A n g g o t a m a s ya r a k a t
merupakan pranata inti, yang
memegang hak untuk mengelola hutan marga. Keluarga
yang berhak mengelola hutan

Hal 36

marga, tentunya harus melalui
prosedur yang ditetapkan oleh
Pasirah. Prinsip yang dianut
dalam penentuan pengelola
hutan marga adalah keadilan
bersama. Artinya keluarga yang
akan diprioritaskan untuk
mendapatkan hal pengelolaan
adalah mereka yang berasal dari
golongan tidak mampu, dengan
harapan jika mereka mengel o l a n ya d a p a t m e m p e r b a i k i
k e h i d u p a n n ya . S e l a i n i t u
k e l u a r g a ya n g m e n g e l o l a
d i wa j i b k a n m e m b a ya r i u r a n
kepada pemerintah marga. Hal
ini merupakan salah satu upaya
mencari pemasukan uang kas
marga. Jadi antara keluarga
pengelola
hutan
dengan
pamerintah marga memiliki
h u b u n g a n ya n g s e t a r a d a n
saling memberikan keuntungan.
Di s a tu s is i a ka n memba n tu
masyarakat miskin, tetapi di sisi
lain dapat menunjang pemasukan pemerintah marga.
Salah satu komponen penting
dalam kelembagaan hutan
marga adalah Pasirah sebagai
kepala pemerintahan marga
yang bertindak sebagai eksekusi
dari penentuan hasil rapat
dewan marga terhadap keluarga
ya n g a k a n m e n g e l o l a h u t a n
marga. Pasirah akan memutuskan setelah menerima saran dari

Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2
Dewan Marga dari berbagai sisi.
Biasanya yang direkomendasik a n o l e h Pa s i r a h u n t u k
mengelola hutan marga setelah
melalui berbagai pertimbangan
yang cukup matang. Interaksi
ya n g t e r j a d i a n t a r a Pa s i r a h D e wa n M a r g a d a n a n g g o t a
m a s ya r a k a t m e n j a d i s a n g a t
penting dalam hubungan
kelembagaan. Ketiganya dapat
melakukan kontrol dan pengawasan satu sama lain, agar
pengelolaan hutan dapat
berlangsung baik seperti yang
diharapkan. Keputusan Pasirah
akan dihormati jika memang
memperjuangkan kepentingan
masyarakat, dan masyarakat
akan
memberikan
penghormatan yang layak sebagai
seorang pemimpinnya. Kewib a wa a n
Pa s i r a h
menjadi
petaruhannya di mata masyarakat karena memang memperj u a n g k a n n a s i b r a k ya t n ya .
S e b a l i k n ya j i k a k e p u t u s a n
Pasirah tidak memihak rakyat,
maka secara otomatis wibawa
Pa s i r a h a k a n p u d a r, d a n
kepemimpinanya akan semakin
tidak populer di mata rakyatnya. Dalam konteks ini biasanya
p a r t i s i p a s i m a s ya r a k a t a k a n
t u m b u h d e n g a n s e n d i r i n ya ,
mengingat masyarakat sudah
merasakan keadilan pemimpinn ya d a l a m m e n g a m b i l k e -

p u t u s a n ya n g m e m i h a k d a n
mendukung
kepentingan
bersama.
K o m p o n e n p e n t i n g l a i n n ya
a d a l a h k e b e r a d a a n d e wa n
marga yang berfungsi sebagai
p e n g a wa s d a l a m s t r u k t u r
pemerintahan marga. Saransaran yang diajukan kepada
Pasirah dilakukan melalui suatu
rapat Dewan Marga yang bera n g g o t a k a n p e r wa k i l a n d a r i
berbagai desa yang diambil dari
para tokoh masyarakat. Dewan
ini melakukan rapat setahun
sekali, terutama dalam memasuki tahun awal. Selain itu
kedudukan Dewan Marga yang
sejajar dengan Pasirah dapat
melakukan kontrol, baik kepada
Pa s i r a h ya n g m e n g a m b i l
keputusan penentuan pengelolaan hutan marga, maupun
pengawasan terhadap keluarga
yang mengelola hutan marga.
Jika terjadi pelanggaran aturan,
Dewan Marga akan bersidang
untuk menentukan sanksi apa
yang akan diberikan kepada
p e n g e l o l a h u t a n ya n g m e langgar Undang-Undang Simboer
Cahaya.
Struktur kelembagaan hutan
marga yang dijelaskan di atas
dapat
diterapkan
dalam
pembentukan kelembagaan

Hal 37

Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat
baru untuk mengelola perhutanan sosial. Bentuknya bisa
berupa kelembagaan modern
dengan menggunakan pendekatan kelembagaan tradisional hutan marga, sehingga
nilai-nilai kepatuhan masyarakat dapat dibentuk melalui
proses pembinaan kelompok,
dan kontrol masyarakat akan
menjadi
faktor
penentu
keberhasilan.

Model Perhutanan Hutan
Marga
Model perhutanan sosial
mengacu kepada konsep perhutanan sosial yang diadopsi,
supaya dapat dikembangkan
dengan memadukan pendekatan kearifan lokal dalam
h u ta n ma r ga d en ga n kelem bagaan modern yang sekarang
masih berlaku di pedesaan
sekitar TNKS. Model ini akan
melibatkan tiga unsur, yaitu
pemerintah desa dan pemerintah kabupaten, kelembagaan
terkait, seperti Balai TNKS dan
PPL, serta unsur masyarakat
sebagai inti yang bekerja dalam
s i s t e m m o d e l ya n g a k a n
dikembangkan.
Kelembagaan hutan marga yang
masih eksis di desa, harus
mengacu kepada norma dan tata

Hal 38

nilai yang masih dipatuhi oleh
masyarakat setempat, utamanya
nilai-nilai yang berlaku pada
saat pemerintahan marga masih
berkuasa. Norma dan tata nilai
ini menjadi sangat penting
untuk dibina kepada masyarakat dan kelompok agar
kearifan budaya lokal dapat
dipertahankan. Berdasarkan
pengalaman masa lalu, ternyata
nilai lokal ini cukup efektif
dalam menjaga keseimbangan
hubungan pemerintah dengan
rakyatnya.
Pilar yang pertama, adalah unsur
kepala desa, Badan Perwakilan
Desa, dan pemerintah kabupa t e n M u s i R a wa s . U n s u r i n i
akan bertindak sebagai pengawas program konservasi, mulai
dari tahap perencanaan, pelaks a n a a n , d a n e va l u a s i . Pa d a
tahap awal unsur pemerintah ini
dapat menetapkan lokasi pilot
projek program konservasi yang
berkoordinasi dengan unsur
dari Balai TNKS. Pilar kedua,
terdiri dari unsur masyarakat
yang membentuk kelompokkelompok, dan setiap kelompok
terdiri dari sepuluh keluarga.
K e l o m p o k m a s ya r a k a t i n i
dibentuk melalui perencanaan
yang matang dan memegang
prinsip keadilan sebagaimana
ya n g d i t e t a p k a n p a d a m a s a

Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2
p e m e r i n t a h a n m a r g a . Pe m bentukan kelompok dapat
memakai sistem hubungan
kerabat agar lebih memudahkan
pengelompokan pada setiap
desa. Pilar ketiga, adalah unsur
pendukung, yaitu berasal dari
B a l a i T N K S ya n g b e r t i n d a k
sebagai pengawas dan sekaligus
s e b a g a i n a r a s u m b e r, s e r t a
Petugas Penyuluh Lapangan
(PPL) yang bertugas sebagai
pendamping kelompok dalam
implementasi program konservasi.
D a l a m p r o g r a m k o n s e r va s i
hutan TNKS, sasaran utamanya
adalah bagaimana bisa memanfaatkan hutan marga bagi kesejahteraan masyarakat sekitar,
dengan melakukan penanaman
pohon tertentu oleh kelompokkelompok masyarakat. Selain
ditanami pohon keras untuk
jangka panjang, kelompok
masyarakat juga bisa menanam
tanaman sela untuk kebutuhan
hidup sehari-hari, seperti padi,
d a n s a y u r- s a y u r a n . A d a p u n
p e m b i a ya a n d a l a m p r o g r a m
konservasi ini, sebagai tahap
awal dapat diambil dari komponen dana APBD kabupaten
ya n g b e k e r j a s a m a d e n g a n
instansi terkait seperti dinas
pertanian, dinas kehutanan, dan
Bappeda kabupaten. Untuk

seterusnya pemerintah kabupaten bisa bekerjasama dengan
pihak swasta untuk memberikan
keuntungan perusahaan guna
mendukung program konservasi.
Dalam program pengawasan,
harus melibatkan kelompok
yang tergabung dalam tokoh
masyarakat, yaitu orang-orang
yang memiliki pengalaman dan
kompetensi untuk mengembangkan masyarakat pedesaan.
Dapat juga melibatkan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) di
bidang kehutanan, sehingga
bisa memantau perkembangan
program dan sekaligus juga
bertindak sebagai pengawas
pr o gr a m. M o d el Per h u ta n a n
Sosial pada program konservasi
hutan TNKS digambarkan pada
skema 1.1 berikut ini:

Hal 39

Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat
Skema 1.1
Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat Melalui
Revitalisasi Hutan Marga pada Program Konservasi Hutan Taman
Nasional Kerinci Seblat
NORMA DAN TATA NILAI
PELESTARIAN HUTAN

KEPALA DESA

HUTAN MARGA

KESATUAN
MASYARAKAT ADAT

BADAN
PERWAKILAN DESA

MATAN PASIRAH
MANTAN KERIO KETUA
ADAT MANTAN

KELOMPOK TNKS
SUNGAI PENUH

MODEL PERHUTANAN

KELOMPOK TNKS
SUNGAI PENUH
JAMBI

PEMERINTAH
KABUPATEN
MUSI RAWAS

PROGRAM KONSERVASI DAN
PELESTARIAN HUTAN TNKS

Inti dari model ini adalah
bagaimana menumbuhkan kepercayaan masyarakat pedesaan
untuk berpartisipasi dan terlibat secara langsung dalam
p r o g r a m k o n s e r va s i , k a r e n a
selama ini pendekatan selalu
dilakukan secara top down, dan
bersifat formalistik, sehingga
p r o g r a m k o n s e r va s i k u r a n g
didukung masyarakat. Seyogyan ya , j i k a m a s ya r a k a t s u d a h
mulai tumbuh kepercayaannya
terhadap program konservasi,
maka pembinaan tentang
perhutanan sosial ini akan dapat
Hal 40

berjalan baik, sehingga akan
berdampak kepada peningkatan
p e n g h a s i l a n ya n g b e r u j u n g
pada peningkatan kesejahteraan
m a s ya r a k a t s e c a r a u m u m ,
k h u s u s n ya m a s ya r a k a t ya n g
berada di sekitar kawasan hutan
TNKS.
Penegakan hukum juga harus
menjadi perhatian utama dalam
program konservasi ini agar
semua unsur akan saling
mengawasi dan saling kontrol
untuk keberhasilan program.
Jangan sampai terjadi para

Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2
penegak hukum justru menjadi
contoh yang kurang baik kepada
m a s ya r a k a t , m i s a l n ya p a r a
polisi hutan yang seharusnya
m e n g a wa s i h u t a n , m a l a h
sebaliknya mengambil hutan.
Hal ini sangat riskan dalam
program perhutanan sosial yang
bertujuan untuk merubah
perilaku masyarakat agar bisa
tumbuh partisipasinya terhadap
pembangunan
di
bidang
konservasi hutan di tanah air,
khususnya hutan TNKS.

Kesimpulan

• Persepsi masyarakat tentang
keberadaan hutan marga di
desa-desa penelitian menggambarkan bahwa potensi
hutan marga di setiap desa
masih ada. Selama ini

p e m e r i n t a h d e s a ya n g
mengambil alih pengelolaan
hutan marga.

• Kelembagaan hutan marga
t e r d i r i d a r i Pa s i r a h d a n
Dewan Marga, serta anggota
masyarakat. Anggota masyarakat merupakan pranata
inti, yang memegang hak
untuk mengelola hutan
marga.

• Model perhutanan sosial ini
akan melibatkan tiga unsur,
yaitu pemerintah desa dan
pemerintah kabupaten,
kelembagaan terkait, seperti
Balai TNKS dan PPL, serta
unsur masyarakat sebagai
i n t i ya n g b e k e r j a d a l a m
sistem model perhutanan
sosial.

Daftar Pustaka
Agus Halim Wardana, et al. 2001 Invertarisasi Kearifan Lokal yang
Mendukung Konservasi di Desa-desa dalam Wilayah
Taman Nasional Kerinci Seblat Sumatera Selatan.
Ringkasan Penelitian, Yayasan Keragaman Hayati:
Jakarta.
Awang, San Afri. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana:
Yogyakarta.
Atje, Raymond, et al. 2001. Hutan sebagai Aset Strategis, dalam
Analisis CSIS Tahun XXX/No.2: Jakarta.

Hal 41

Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat
Ellen, Roy. 2002. Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan:
K e t i d a k p a s t i a n Po l i t i k , S e j a r a h , E k o l o g i , d a n
Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah, dalam
Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia.
Yayasan Obor: Jakarta.
Falconer, Yulia dan Arnold, Mike, J.E. 1988. Forest, Tries and
Household Food Security. Wiarter: Nerwork paper 7a.
Hutabarat, Silver. 2001. Perkembangan Kehutanan Indonesia pada Era
Reformasi, dalam Analisis Tahun XXX/No.2. Jakarta:
CSIS.
Marzali, Amri. 1990. Perhutanan Sosial, dalam Jurnal Sosiologi
Masyarakat Volume 2, Jakarta: FISIP Universitas
Indonesia.
Mely, G. Tan. 1990. Masalah Perencanaan Penelitian, dalam Metodemetode Penelitian Masyarakat. Gramedia: Jakarta.
Monica, Sabato Della. 2003. Eu Indonesia Relations-A Personal Experience
and Future Perpective. Paper dalam Seminar on the
European Union, Jakarta: 15/16 Desember 20003.
Syahrasaddin, et al. 2001. Kearifan Lokal Masyarakat di Daerah
Interaksi TNKS Wilayah Kerinci Provinsi Jambi. Dalam
Kumpulan Ringkasan Penelitian. Jakarta: Yayasan
Kehati.
Suparna, Nana. 2001. Penguasaan Hutan di Era Otonomi Daerah,
dalam Analisis Tahun XXX/No.2 Jakarta: CSIS.
Tahyudin, Didi, et al. 2000. Pandangan dan Keinginan Anggota
Masyarakat terhadap Program Peningkatan Konservasi
Taman Nasional Kerinci Seblat. Laporan Penelitian.
I n d e r a l a ya : P u s a t Pe n e l i t i a n S o s i a l B u d a ya
Universitas Sriwijaya.
Majalah Tempo, bulan Oktober 2002.

Hal 42