BAB II TINJAUAN PUSTAKA - PUTRI RIZKI IMANIAH BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Analgetik-Antipiretik Analgetik merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa

  nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri sebenarnya berfungsi sebagai tanda adanya penyakit atau kelainan dalam tubuh dan merupakan bagian dari proses penyembuhan (inflamasi). Nyeri perlu dihilangkan jika telah mengganggu aktifitas tubuh. Sedangkan antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi (Tjay dan Kirana, 2007) B.

   Penggolongan Analgetik Antipiretik

  Penggolongan Analgetik dibagi dalam dua kelompok besar atas dasar farmakologinya, yaitu:

  1. Analgetik perifer (non narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Contoh: paracetamol, asetosal, methampyron dan ibu profen.

  2. Analgetik narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura dan kanker. Contoh: tramadol.

  Obat-obat tersebut mampu meningkatkan atau menghilangkan rasa nyeri, tanpa mempengaruhi sistem syaraf pusat atau menurunkan kesadaran, serta tidak menimbulkan ketagihan. Efek samping yang paling umum adalah kerusakan darah (paracetamol, salisilat, derivate derivate antranilat dan derivate derivate pirazolinon), kerusakan hati dan ginjal (parasetamol dan penghambat prostaglandin/NSAID) dan reaksi alergi pada kulit. Efek samping terjadi terutama pada penggunaan yang lama atau dalam dosis tinggi (Tjay dan Kirana, 2007) Obat golongan analgetik-antipiretik:

  1. Parasetamol (acetaminofen) Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang dan pireksia.

  Peringatan : Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal dan ketergantungan alkohol. Kontraindikasi : Gangguan fungsi hati Efek samping : Reaksi hipersensitivitas, kelainan darah, kerusakan hati, kerusakan ginjal. Dosis : 0,5-1 gram setiap 4-6 jam hingga maksimum 4 gram perhari (Badan POM RI, 2008)

  2. Asetosal Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang dan demam.

  Peringatan : Asma penyakit alergi, gangguan fungsi ginjal, menurunnya fungsi hati, dehidrasi, kehamilan, pasien lansia dan defisiensi G6PD. Efek samping : Biasanya ringan dan tidak sering, tetapi kejadiannya tinggi untuk terjadinya iritasi saluran cerna dengan pendarahan ringan yang asimptomatis, memanjangnya waktu pendarahan, bronkospasme, dan reaksi kulit pada pasien hipersensitif. Dosis : 300-900 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan, maksimum 4 gram perhari (Badan POM RI,

  2008).

  3. Antalgin (Methampyron) Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang dan pireksia.

  Peringatan : Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal dan ketergantungan alcohol.

  Kontraindikasi : Penderita hipersensitif, hamil dan wanita menyusui, penderita dengan tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmhg

  Efek samping : Iritasi lambung, hyperhidrosis Dosis : 3-4 kali 250-500 mg.

  4. Tramadol Indikasi : Nyeri akut atau kronik yang berat dan pada nyeri pasca operasi Peringatan : Pasien dengan trauma kepala, tekanan intrakranial.

  Kontraindikasi : Penderita yang hipersensitif terhadap tramadol atau opiate dan penderita yang mendapatkan pengobatan dengan penghambat MAO, intoksikasi akut dengan alkohol, hiptonika, analgetika atau obat obat yang bekerja pada SSP, seperti transquiliser, hiptonik. Efek samping : Mual, muntah, lesu, letih, ngantuk, pusing, ruam kulit, takikardia, peningkatan tekanan darah, muka merah. Dosis : 50 mg sebagai dosis tunggal, dapat diulangi

  30-60 menit dengan dosis total yang tidak melebihi 400 mg sehari.

C. Evaluasi Penggunaaan Obat Analgetik Antipiretik

  Evaluasi Penggunaan obat Analgetik Antipiretik dapat dilakukan secara kualitas maupun kuantitas. Evaluasi secara kualitas yaitu dinilai dari rasionalitas pemilihan obat analgetik-antipiretik. Sedangkan evaluasi Secara kuantitas dapat dilakukan dengan perhitungan system ATC/DDD untuk mengukur jenis dan jumlah obat analgetik-antipiretik.

  1. Kualitas penggunaan obat analgetik-antipiretik di Puskesmas dapat di lakukan dengan metode retrospektif atau prospektif. Metode retrospektif dilakukan pada pasien yang telah menjalani pengobatan di puskesmas dan mendapatkan peresepan obat analgetik-antipiretik dengan melihat catatan rekam medik pasien tersebut. Sedangkan metode prospektif dilakukan dengan mengamati obat analgetik-antipiretik yang diresepkan kepada pasien setiap hari nya, kemudian memonitoring penggunaan analgetik-antipiretiknya.

  Penilaian kualitas penggunaan obat analgetik-antipiretik dinilai dari rasionalitas. Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah yang memadai dan biaya yang rendah. Obat merupakann produk yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, namun jika penggunaannya salah, tidak tepat, tidak sesuai dengan takaran akan membahayakan (Kemenkes RI, 2011). Kriteria pemakaian obat secara rasional meliputi:

  a. Tepat Diagnosis Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.

  b. Tepat Indikasi Pemberian obat untuk pasien yang memiliki gejala yang sesuai dengan penyakitnya. c. Tepat Obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus memiliki efek terapi yang sesuai.

  d. Tepat Dosis Cara dan lama pemberian obat berpengaruh terhadap efek terapi obat.

  e. Tepat Cara Pemakaian Obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan.

  f. Tepat Interval Waktu Pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien.

  g. Tepat Lama Pemberian Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing- masing.

  h. Waspada Terhadap Efek Samping Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek yang tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. i. Tepat Pasien Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. j. Tepat Informasi

  Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. k. Tepat Tindak Lanjut

  Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. l. Tepat Penyerahan Obat

  Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Dalam penyerahan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.

  Penggunaan obat yang tidak rasional menurut Kemenkes RI dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Peresepan Berlebih (overprescribing)

  Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan.

  b. Peresepan Kurang (underprescribing) Yaitu jika pemberiaan obat kurang dari seharusnya diperlukan, baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian.

  c. Peresepan Majemuk (multiple Prescribing) Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.

  d. Peresepan Salah (incorrect prescribing) Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kerugian resiko efek samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai obat yang diberikan kepada pasien, dan sebagainya.

  2. Kuantitas penggunaan obat analgetik-antipiretik di Puskesmas dapat diukur dengan metode retrospektif atau prospektif. Metode retrospektif dilakukan pada pasien yang telah menjalani pengobatan di puskesmas dan mendapatkan peresepan obat analgetik-antipiretik dengan melihat catatan rekam medik pasien tersebut. Sedangkan metode prospektif dilakukan dengan mengamati obat analgetik-antipiretik apa yang telah diberikan pada pasien setiap hari nya.

  Untuk membandingkan data, WHO (2013) telah menetapkan system klasifikasi Anatomical therapeutic chemical (ATC) dan pengukuran dengan Defined Daily Doses (DDD) sebagai standar untuk pengukuran kuantitas penggunaan obat analgetik-antipiretik.

  Dalam system klasifikasi Anatomical therapeutic chemical (ATC), zat aktif dibagi dalam grup yang berbeda berdasakan organ atau system dimana zat aktif tersebut beraksi secara terapetik, farmakologi dan kimia.

  DDD adalah asumsi dosis rata rata per hari penggunaan obat analgetik antipiretik untuk indikasi obat tertentu pada orang dewasa. Penilaian penggunaan Obat Analgetik Antipiretik di puskesmas dengan satuan DDD/1000 hari lama pemakaian obat atau dikomunitas dengan satuan DDD/1000 penduduk (Depkes RI, 2011).

D. Puskesmas

  Puskesmas adalah unit pelaksana teknis (UPT) dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan disuatu wilayah kerja. UPT tugasnya adalah menyelenggarakan sebagian tugas teknis dinas kesehatan pembangunan kesehatan, maksudnya adalah menyelenggarakan upaya kesehatan pertanggung jawaban secara keseluruhan ada di Dinkes dan sebagian ada di Puskesmas (Prahasto, 2006) Fungsi puskesmas yaitu untuk (Prahasto, 2006):

  1. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan

  2. Pusat pemberdayaan masyarakat

  3. Pelayanaan kesehatan perorangan

  4. Pelayanaan kesehatan masyarakat E.

   Rekam Medik

  Rekam medik adalah sejarah singkat, jelas, dan akurat dari kehidupan dan kesakitan penderita, ditulis dari sudut pandang medik. Menurut surat keputusan direktorat jendral pelayanan medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, anemnesa, pemerikasaan diagnostik pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seseorang penderita selama melakukan perawatan di rumah sakit baik rawat jalan maupun rawat inap (Siregar, 2003). Menurut Siregar (2003) Rekam medik memiliki beberapa fungsi:

  1. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita.

  2. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap professional yang berkonstribusi pada perawatan penderita.

  3. Melengkapi bukti dokumen terjadinya/penyebab kesakitan penderita dan penanganan/pengobatan selama melakukan pemeriksaan di rumah sakit.

  4. Digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada penderita.

  5. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit, dan praktisi yang bertanggung jawab.

  6. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendididkan.

  7. Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data dalam rekam medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang penderita.