00000000 Kertas Posisi Pengesahan statuta roma ICC

(1)

Ko m is i N a s io n a l H a k As a s i Ma n u s ia S if.e d .: U MU M

S id a n g P a rip u rn a Ke p u tu s a n S id a n g

Ta n gga l S id a n g 10 -11 Ma re t 2 0 0 9 P a rip u rn a Ko m n a s H AM Age n d a S id a n g N o . II.2 N o m o r: 0 5 / S P / III/ 2 0 0 9

KERTAS POSISI

tentang

PENGESAHAN

THE ROME STATUTE OF THE INTERNATIONAL CRIMINAL COURT

(STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL)


(2)

B AB I P EN D AH U LU AN

1. Tujuan pen dirian Negara In don esia tertuang dalam Pem bukaan UUD 1945 yan g m en yatakan bahwa pem ben tukan Negara In don esia adalah un tuk ‘m elin dun gi segen ap ban gsa In don esia dan seluruh tum pah darah In donesia dan untuk m em ajukan kesejahteraan um um , m en cerdaskan kehidupan ban gsa, dan ikut m elaksan akan ketertiban dun ia yan g berdasarkan kem erdekaan , perdam aian abadi dan keadilan sosial....’. 1 Dapat ditegaskan bahwa tujuan pen dirian Negara In don esia m em uat dua dim en si. Pertam a, dim en si in tern al dim an a Negara In don esia didirikan den gan tujuan un tuk m elin dun gi segen ap Ban gsa In don esia dan seluruh tum pah darah Indon esia dan un tuk m em ajukan kesejahteraan um um dan m en cerdaskan kehidupan ban gsa. Kedua, dim en si ekstern al yaitu un tuk ‘ikut m elaksan akan ketertiban dun ia yan g berdasarkan kem erdekaan , perdam aian abadi dan keadilan sosial’.

2. Dalam m elaksan akan tujuan tersebut, berkaitan den gan dim en si ekstern al dari tujuan pen dirian n egara, In donesia an tara lain m en jadi an ggota Perserikatan Ban gsa-Ban gsa (PBB). Sebagai an ggota PBB, In don esia juga m em pun yai kom itm en un tuk pula m elaksan akan tujuan PBB, an tara lain :

Untuk m engem ban gkan hubun gan persahabatan antara n egara-n egara berdasarakn perhorm atan pada prinsip kesetaraan hak dan pen en tuan n asib sen diri, dan un tuk m en gam bil lan gkah-lan hkah yan g ‘layak’ un tuk m em perkuat perdam aian dunia/To dev elop frien dly relation s am on g nations based on respect for the prin ciple of equal rights an d self-determ in ation of peoples, an d to take other appropriate m easures to stren gthen un iv ersal peace)

Un tuk m en capai kerjasam a in tern asional dalam m enyelesaikan m asalah-m aasalah in ternasion al yan g bersifat ekon oasalah-m i, sosial dan budaya atau kem an usiaan dan dalam m em ajukan dan m en doron g pen ghorm atan pada hak asasi m an usia dan kebebasan dasar untuk sem ua tanpa pem bedaan berdasarkan ras, jen is kelam in , bahasa, atas agam a/ To achiev e in ternational co-operation in solvin g in tern ational problem s of an econom ic, social, cultural, or hum an itarian character, and in prom oting and encouraging respect for hum an rights and for fun dam en tal freedom s for all w ithout distinction as to race, sex, lan guage, or religion ;2

3. Berbagai jen is kon flik terjadi di belahan dun ia baik konflik berupa peran g an tar n egara m aupun kon flik jen i lain seperti kon flik ras, etn is atau pun agam a. Berbagai upaya dilakukan berkaitan den gan kon flik tersebut yan g m eliputi upaya pen yelesaian kon flik dan upaya pen cegahan terjadin ya kon flik serupa pada m asa

1

Pembukaan UUD 1945, paragraph 4 2

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pasal 1, ayat 2,3. http://www.un.org/aboutun/charter/, diakses pada 4 November 2008


(3)

depan . H aruslah diakui bahwa kon flik yan g terjadi pada era 1990 -an bersifat sangat brutal. Nam un , data m en unjukkan terjadin ya pen urunan jum lah konflik sejak era 1990 -an . Den gan tetap m en gin gat kon flik Rwan da dan Sreben ica yan g m en gerikan , jum lah gen osida dan pen ghan curan atau pem usn ahan kelom pok karen a alasan politik (politicides) m en galam i pen urun an 8 0 % pada periode 198 8 -20 0 1.3 Din yatakan bahwa upaya intern asion al yan g dilakukan oleh, terutam a PBB m erupakan faktor pen tin g yan g m em pen garuhi pen urun an tersebut.4 Di an tara beberapa upaya pen tin g, salah satu yan g dicatat adalah upaya seran gan terhadap budaya im pun itas (an assault on the culture of

im punity). Disebutkan bahwa PBB m em ben tuk pen gadilan -pengadilan ad hoc

serta adan ya pem ben tukan pen gadilan pidan a in tern asion al yan g bersifat perm an en un tuk m en gkhiri budaya im pun itas. Selain itu tercatat adan ya pen in gkatan dari 1 ke 11 pem erin tahan di dunia pada periode 1990 – 20 0 4 m elakukan pen ghukum an kepada aparat dari rejim sebelum n ya yan g didakwa m elakukan tin dak pidan a pelan ggaran hak asasi m an usia yan g berat. Berbagai upaya itu telah m em berika an cam an kepada para pelaku tin dak pidan a tersebut bahwa m ereka akan diproses secara hukum .5 Den gan dem ikian , proses pen ghukum an telah m em berikan sum ban gan n ya un tuk m en capai tujuan dari pem ben tukan PBB seperti disebutkan dalam paragraf sebelum n ya.

4. In don esia telah m en etapkan Ren can a Aksi Nasion al H ak Asasi Man usia (Ran -H AM) periode 20 0 4-20 0 9. Pen etapan Ran --H AM harus dipan dan g sebagai upaya Pem erin tah un tuk m elaksan akan kon stitusi In don esia yan g telah m em uat perlin dun gan hak asasi m an usia. Dan dengan dem ikian , upaya in i harus pula dilihat dalam ran gka pen capaian tujuan pen dirian Negara Republik In don esia sebagai m an a telah disebutkan dalam paragraf sebelum n ya. Dalam Ran -H AM tersebut In don esia telah m en etapkan salah satun ya, pen gesahan beberapa in strum en pen tin g berkaitan den gan perlin dun gan dan pem ajuan hak asasi m an usia an tara lain Statuta Rom a.6

5. Patut dicatat bahwa Statuta Roma bukan instrumen internasional HAM (hum an rights

international instrum ent) per se, melainkan instrumen hukum pidana internasional

(international crim inal law) yang, esensinya, mengatur penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan pengadilan atas kejahatan internasional (international crim es) yang merupakan kejahatan menurut hukum internasional (crim es under international

law)

6. Meskipun Statuta Roma bukan instrumen Internasional HAM per se, pengaturan di dalamnya sarat dengan tema atau isu HAM, yang oleh Statuta Roma, pada hakikatnya, harus dihormati dan pelanggaran terhadapnya dianggap sebagai bentuk tindak pidana

(crim inal act (s)) yang termasuk kategori kejahatan menurut hukum internasional dan

yang dapat disidik, dituntut, dan diperiksa oleh Mahkamah Pidana Internasional (selanjutnya disebut MPI).

3

Lihat Human Security Report, Bagian Overview, War and Peace in the 21st Century

4

Ibid, Bagian V, Why the Dramatic Decline in the Armed Conflict

5

Ibid

6


(4)

7. Statuta Roma yang menetapkan ketentuan tentang dapat disidik, dituntut, dan diperiksanya di MPI sejumlah pelanggaran HAM dan yang menetapkan sejumlah asas yang juga merupakan asas HAM, merupakan, pada hakikatnya, instrumen hukum internasional yang, meskipun bukan instrumen hukum internasional per se, merupakan instrumen hukum internasional yang memastikan perlindungan HAM (international

legal instrum ent ensuring the protection of hum an rights).

8 . Men gin gat fun gsi Kom isi Nasion al H ak Asasi Man usia (Kom n as H AM), yan g oleh un dan g-un dan g diberi m an dat un tuk m elaksan akan fun gsi pen gkajian , pen elitian , pen yuluhan , pem an tauan , dan m ediasi ten tan g H AM (UU No. 39/ 1999) dan ditetapkan sebagai pen yelidik proyustisia kejahatan terhadap kem an usiaan dan kejahatan gen osida (UU No. 26/ 20 0 0 ), sedan gkan Statuta Rom a m em uat keten tuan yan g m en gatur pen yelesaian yudiris sejum lah tin dak pidan a in tern asion al yan g, dilihat dari sudut pan dan g H AM, ban yak di an taran ya yan g pada hakikatn ya m erupakan perlin dun gan H AM dan pen in dakan yuridisn ya apabila terjadi pelan ggaran , m em uat keten tuan -keten tuan yan g pada hakikatn ya, m erupakan asas-asas dasar H AM, dan ban yak diadopsin ya keten tuan -keten tuan Statuta Rom a ke dalam UU N0 . 26/ 20 0 0 , m aka Kom n as H AM m erasa berkewajiban m en yam paikan pan dan gan n ya m en gen ai pen gesahan Statuta Rom a dilihat dari sudut pandang H AM, yang akan disam paikan dalam kertas posisi in i.

9. Pan dan gan Kom n as H AM berkaitan den gan pen gesahan Statuta Rom a yan g disam paikan dalam kertas Posisi in i, dilakukan dalam ran gka m elaksan akan m an dat dan kewen an gan Kom n as H AM. Menurut UU No. 39/ 1999, Kom nas H AM m em iliki wewen an g dan m an dat un tuk m elakukan kajian sebagaim an a diam an atkan Pasal 89 ayat 2 poin b UU No. 39 Tahun 1999 ten tang H ak Asasi Man usia. Keten tuan tersebut di an taranya selan jutn ya m en yatakan bahwa ‘un tuk m elaksan akan fun gsi Kom n as H AM dalam pen gkajian dan pen elitian sebagaim an a dim aksud dalam pasal 76, Kom n as H AM bertugas dan berwen an g m elakukan pen gkajian dan pen elitian berbagai in strum en in tern asion al hak asasi m an usia den gan tujuan m em berikan saran -saran m en gen ai kem un gkin an aksesi dan atau ratifikasi’. 7

10 .Selan jutn ya un tuk m elaksan akan m an dat dan wewen an g tersebut di atas, Kom n as H AM m en etapkan Surat Keputusan Kom n as H AM No. 35/ Kom n as H AM/ XII/ 20 0 7 m en gen ai Pem ben tukan Tim Pen gkajian Statuta Rom a. Surat Keputusan tersebut m en yatakan bahwa Kom n as H AM m em ben tuk Tim Pen gkajian Statuta Rom a yan g terdiri atas Ifdhal Kasim (Ketua), Roichatul Aswidah (An ggota), Yossa A.P Nain ggolan (An ggota) dan En n y Soeprapto, Ph.D (n arasum ber ahli). Ruan g lin gkup tugas Tim Pen gkajian in i adalah: (1) Melakukan pen gkajian terhadap Statuta Rom a den gan pen carian data/ in form asi m elalui diskusi para pakar (2) Men yusun kertas posisi Kom n as H AM terhadap Statuta Rom a

7


(5)

11. Un tuk m elaksan akan tugas tersebut, tim m elakukan pem bahasan un tuk m en etapkan beberapa aspek yan g dipan dan g pen tin g berkaitan den gan pen gesahan Statuta Rom a yaitu,:

(a) Dam pak m en jadi pihakn ya Indon esia pada Statuta Rom a pada UU 26/ 20 0 0 ,

(b) Adm issibility: H al dapat diterim an ya perkara kejahatan

in tern asion al yan g term asuk yurisdiksi MPI m en urut Pasal 17 Statuta Rom a,

(c)Pasal 98 Statuta Rom a dalam hubun gan n ya den gan persetujuan kekebalan bilateral (Bilateral Im m unity Agreem en ts) (BIAs) atau persetujuan n on -pen yerahan (N on-surrender agreem ents) (NSAs)

12. Tim selan jutn ya m elaksan akan diskusi para pakar dalam ran gka pen gum pulan pen dapat berkaitan den gan tiga aspek pen tin g tersebut di atas pada 18 Septem ber 20 0 8 . Tim selan jutn ya m em bahas berbagai pen dapat yan g m un cul dalam diskusi tersebut un tuk kahirn ya m erum uskan n ya dalam kertas posisi in i. 13.H asil kajian yan g tertuan g dalam Kertas Posisi in i selan jutn ya diserahkan

kepada Sidan g Paripurn a Kom n as H AM un tuk m en dapatkan pen gesahan dan pen en tuan kebijakan selan jutn ya


(6)

B AB II

MEKAN IS ME IN TERN AS ION AL

B ERKAITAN D EN GAN KEJ AH ATAN MEN U RU T H U KU M IN TERN AS ION AL

14.Gagasan pertama pembentukan pengadilan pidana internasional sudah dikemukakan pada 1872 oleh Gustave Moynier, seorang Swiss, yang mengusulkan agar, segera setelah pecahnya konflik bersenjata, para kombatan membentuk MPI untuk menangkal dan, jika perlu, mengadili pelanggaran Konvensi Jenewa 18 64.

15.Setelah berakhirnya Perang Dunia I dan dibuatnya Perjanjian Versailles pada 1919, Negara-negara pemenang perang mengusulkan dibentuknya sebuah tribunal kriminal untuk mengadili Kaisar Wilhelm TI Herman karena telah memulai Perang Dunia 1, namun usul ini tidak ditindaklanjuti secara serius.

16.Liga Bangsa-bangsa, yang dibentuk pada 1919, menetapkan dalam kovenan pembentukannya tentang akan dibentuknya sebuah Mahkamah Internasional Internasional Permanen. Menindaklanjuti ketentuan ini "Komisi Para Yuris (Commission of

Jurists), yang mengadakan pertemuan di Den Haag, Belanda, pada 1920, untuk menyusun

Statuta Mahkamah Internasional Permanen tcrsebut, juga merekomendasikan dibentuknya Mahkamah Tinggi Internasional (High Court of International Justice), "yang berwenang mengadili kejahatan yang merupakan pelanggaran parah ketertiban umum internasional atau terhadap hukum bangsa-bangsa". Pada 1922 Asosiasi Hukum Internasional (International Law Association) menyatakan mendukung gagasan pembentukan sebuah mahkamah pidana internasional dan rancangan statuta untuk mahkamah demikian dibahas pada 1924 dan 1926. Liga Bangsa-bangsa tidak menindaklanjuti gagasan dan rokomendasi ini.

17. Pada 1925, Uni Antar-Parlemen Eropa, sebuah organisasi non peme- rintah, yang didukung oleh Asosiasi Internasional Hukum Pidana yang baru dibentuk, menyarankan agar Mahkamah Internasional Permanen yang sudah dibentuk meluaskan yurisdiksinya dengan memasukkan penuntutan individu dan negara atas kejahatan agresi yang telah dilakukannya. Kemudian, Asosiasi Hukum Internasional dan Asosiasi Internasional Hukum Pidana mengusulkan agar Liga Bangsa-bangsa membentuk yurisdiksi pidana internasional dan, pada 1937, sesuai dengan usul ini, menerima perjanjian internasional tentang pembentukan sebuah mahkamah pidana internasional. Namun, perjanjian internasional itu tidak dapat berlaku, karena ratifikasinya tidak dapat mencapai jumlah minimum untuk mulai berlakunya. Akibatnya, Mahkamah Pidana Internasional yang pembentukannya diprakarsai oleh Liga Bangsa-bangsa tidak pernah terbentuk.

18 .Pada 1950, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) meminta Komisi Hukum Internasional (KHI) (International Law Com m ission) (ILC) yang dibentuknya pada 1947, melakukan hal-hal berikut:


(7)

(i) Men gkodifikasikan prin sip-prin sip yan g digariskan dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, 1945 yang dianut oleh Tribunal Militer Internasional yang m engadili penjahat-penjahat perang utam a di Nuerenberg pada 1946 (yang kem udian terkenal dengan "Prinsip-prinsip Nuerenberg") ;

(ii) Menjajaki masalah yurisdiksi pidana internasional dalam hubungan dengan Konvensi Genosida, 1948 , artinya di m ana dan bagaim ana kejahatan genosida dapat dituntut (m engingat bahwa genosida sudah dinyatakan oleh MUPBB sebagai "sebuah kejahatan menurut hukum internasional" (a cr im e under

international law) - resolusi MUPBB 96 (1) tertanggal 11 Desem ber 1946) ;

(iii) Mem bahas m asalah pen defin isian kejahatan agresi ;

(iv) Menyusun rancangan instrum en hukum tentang kejahatan terhadap perdam aian dan keam an an um at m an usia ;

19.Pada 1951 KHI menyampaikan rancangan insrumen hukum sebagaimana dimaksud dalam (e) (iv) di atas kepada MUPBB beserta usul pembentukan mahkamah pidana internasional, nam un dikem balikan oleh MUPBB kepada KHI untuk dibahas kem bali.

20 .Pada 1954 KHI menyampaikan kepada MUPBB :

(i) Ran can gan statuta m ahkam ah pidan a in tern asion al; dan

(ii) Rancangan instrum en hukum tentang kejahatan terhadap perdam aian dan keam an an um at m an usia sebagaim an a telah diubah.

21.Nam un, "perang dingin" antara Negara-negara kapitalis dan Negara-negara sosialis dengan ketegangan-ketegangan yang diakibatkannya dan yang berdam pak pada hubungan internasional secara m enyeluruh, telah m engalihkan fokus perhatian MUPBB dan tidak memprioritaskan lagi pembahasan mengenai realisasi gagasan pem bentukan sebuah m ahkam ah pidana internasional dan penyusunan instrum en hukum tentang kejahatan terhadap perdam aian dan keam anan um at m anusia.

22.Pada 1973 istilah "kejahatan terhadap kem an usiaan " (crim es against hum anity), yang digunakan 28 tahun sebelum nya, yakni dalam Piagam Tribunal Militer In tern asion al, 1945, m en gem uka lagi den gan din yatakan n ya apartheid sebagai kejahatan terhadap kem anusiaan dalam Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Penghukuman Kejahatan A p a r t h e i d (Pasal 1 ayat 1), yang diterima oleh MUPBB pada 30 November 1973 resolusi 30 68 (XXVIII)). Namun baru pada 198 1, atau 27 tahun setelah KH I m en yam paikan ran can gan statuta m ahkam ah pidana internasional dan rancangan instrum en hukum tentang kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat m anusia pada 1954 kepada MUPBB tanpa ditin daklan juti karen a "peran g din gin " (lihat (g) dan (h) di atas), MUPBB m em inta KHI untuk m em ulai kem bali kerjanya dalam penyusunan instrum en hukum pidana dan, dalam kon teks in i, pada 10 Desem ber 198 4, MUPBB m en erim a Kon ven si Men en tan g Pen yiksaan dan Perlakuan atau Penghukum an lain yang Kejam , Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat


(8)

(resolusi 39/ 46). Meski pun dem ikian, MUPBB belum m enghidupkan kem bali gagasan pem bentukan sebuah m ahkam ah pidan a in tern asion al yan g terhen ti prosesn ya pada 1954.

23.Cita-cita pem bentukan sebuah m ahkam ah pidana internasional, yang prosesnya terhen ti pada 1954, m em peroleh daya pen doron g (im petus) baru pada 1989 ketika Perdana Menteri Trinidad dan Tobago, Ar t h u r Robinson, m engusulkan kepada MUPBB "pem bentukan sebuah m ahkam ah/ pidana internasional dengan yurisdiksi untuk m enuntut dan m enghukum individu dan entitas yang terlibat, antara lain, dalam perdagangan gelap narkotika yang m elintasi perbatasan". Usul in i m en ggugah MUPBB, yan g sejak 1954 tertidur den gan tidak m enindaklanjuti rancangan statuta m ahkam ah pidana internasional yang diajukan oleh KHI, untuk m em ulai kem bali proses pem bentukan m ahkam ah pidana internasional yang telah digagas oleh MUPBB sejak 1950 . Dipicu oleh usul Perdana Trinidad dan Tobago tersebut, pada 4 Desem ber 198 9, MUPBB m enerim a resolusi yang m em in ta KH I, pada waktu m em bahas Ran can gan In strum en H ukum Pelan ggaran terhadap Perdam aian dan Keam an an Um at Man usia (Draft Code of

Offences against the Peace and Security of M ankind). un tuk "m em bahas

m asalah pem ben tukan sebuah m ahkam ah pidan a in ternasion al atau m ekan ism e pem eriksaan pen gadilan krim inal lain n ya den gan yurisdiksi terhadap oran g-orang yang diduga telah m elakukan kejahatan yang m ungkin diliput oleh instrum en hukum tersebut, term asuk orang-orang yang terlibat dalam perdagangan gelap narkotika yang m elin tasi perbatasan n asion al";

24.Berakhirnya "perang d in gin " pada 198 9 dan pengutukan kom unitas internasional terhadap pelanggaran serius hukum humanit e r internasional yang terjadi di bekas Yugoslavia sejak 1991 dan, d a l a m hubungan ini, pembentukan pengadilan pidana internasional ad hoc oleh Dewan Keam anan (DK) PBB untuk m enuntut dan m enghukum para pelakunya, m enciptakan kondisi yang kondusif bagi realisasi gagasan pem bentukan sebuah m ahkam ah pidana internasional yang bersifat perm anen, yang yurisdiksinya m eliputi kejahatan-kejahntan yang Tribunal Militer Internasional ("Tribunal N uerenberg"), kejahatan genosida, dan m ungkin juga kejahatan agresi, sebagaim ana yang disiratkan dalam perm in-taan MUPBB kepada KH I pada 1950 un tuk m eran can g pen gaturan n ya.

25.Pada 1993 KHI menyiapkan rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional dan m enyam paikannya kepada MUPBB pada 1994 untuk dibahas. Pada 1995 MUPBB mengangkat sebuah komite ad hoc untuk membahas secara rinci rancangan yang disiapkan oleh KHI. Komite ad hoc ini menyam paikan laporannya. Kepada MUPBB pada 1995 yang tidak lagi m em isahkan antara ketentuan konstitutif

("Statute") dan keten tuan hukum substan tif ("Code"), dan ketentuan hukum

acara. Sejak itu ketentuan tentang pem bentukan dan yurisdiksi m ahkam ah pidana internasional dan dan definisi kejahatan yang bersangkutan dicakup dalam satu dokum en tun ggal. Kom ite persiapan kem udian diben tuk oleh MUPBB dengan tugas m enyusun naskah instrum en yang bersangkutan untuk disam paikan kon feren si Negara-n egara.


(9)

26.Akhirnya, di Roma, Italia, PBB menyelenggarakan Konferensi Diplomatik PBB dari Wakil-wakil Berkuasa Penuh tentang Pem bentukan Mahkam ah Pidana Internasional yang berlangsung pada 16 J uni sam pai dengun 17 J uli 1998 . Konferensi yang dihadiri oleh 160 Negara, tujuh belas organisasi internasional, dan lebih dari 250 organisasi non pemerintah (tersebut dua terakhir ini sebagai peninjau), dengan suara 120 setuju, 21 abstain, dan 7 m enentang (Am erika Serikat, Cina, India, Irak, Israel, Libia, dan Qatar), akhirnya m enerim a in strum en hukum in tern asion al berjudul "R om e Statute of the International

Crim inal Court" (Statuta Rom a Mahkam ah Pidana Internasional) pada 17 J uli

1998 . Pada 1 J uli 20 0 2, sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat 1 (setelah jum lah piagam ratifikasi, atau penerim aan, atau persetujuan, atau aksesi yan g disim pankan pada Sekretaris J enderal PBB m encapai enam puluh) Statuta Rom a m ulai berlaku. Saat ini (keadaan 15 Septem ber 20 0 8 ), 10 8 n egara adalah pihak pada in strum en hukum pidan a in tern asion al tersebut.


(10)

BAB III

ASPEK HAK ASASI MANUSIA DALAM STATUTA ROMA DAN

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANSUIA

27.Statuta Roma adalah instrumen internasional tentang kejahatan menurut hukum internasional. Namun, di dalamnya terkandung ketentuan-ketentuan yang pada hakikatnya, menetapkan sejumlah tindak pelanggaran HAM yang pelakunya dapat dituntut dan dipidana serta memuat sejumlah prinsip yang merupakan asas-asas HAM. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa Statuta Roma merupakan instrumen internasional mengenai kejahatan menurut hukum internasional, yang selain bertujuan menindas kejahatan internasional tertentu, juga merupakan instrumen internasional yang melindungi HAM dan menghormati asas-asas HAM tertentu, serta mengukuhkan peraturan perundang-undangan nasional tentang penyelesaian yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang dapat dipidana, sebagaimana dapat dicatat sebagai berikut: (a)Tema HAM yang pelanggarannya dikriminalisasikan dan, dengan demikian,

dilindunginya HAM yang bersangkutan oleh aturan ini, adalah sebagai berikut: .-( (1) Hak hidup (Pasal 6 (a), Pasal 7.1 (a), Pasal 8.2 (a) (ii), P a s a l 8.. 2 (b) ( vi), Pa s a l 8 . (b) ( xi), P a s a l 8 . 2 (c) (i), dan P a s a l 8. 2 (e) (1)) ;

(ii) Hak untuk tidak diperbudak (Pasal 7. l (c) dan Pasal 7.1(g);

(iii) Hak untuk bebas bertempat tinggal wilayah negara (Pasal 7.1(d); dan Pasal 8 .2 (2) (viii);

(iv) Hak atas perlakuan dan perlindungan yang sama di depan hukum dan hak atas perlakuan yang adil dari pengadilan yang objek dan tidak berpihak (Pasal 7.1(c);

(v) Hak untuk tidak disiksa (Pasal 7.1 (f), Pasal 8.2(a) (iii), dan Pasal 8 .2 (c) (1); (vi) Hak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabat Pasal 7.1(g), Pasal 8.2 (b) (xxi), Pasal 8.2 (b) (xxii), Pasal 8.2 (c) (ii), Pasal 8.2 (c) (ii), dan Pasal 8.2 (e) (vi) ;

(vii) Hak beragama dan menjalankan ibadat menurut agama dan Kepercayaannya (Pasal 8.2 (b) (ix) dan Pasal 8.2 (e) (iv) ;

(viii) Hak mempunyai milik dan atas perlindungan hak miliknya (Pasal 8.2 (b) (xiii), Pasal 8.2 (b) (xvi), Pasal 8.2 (e) (v), dan Pasal 8 .2 (e) (xii); (ix) Hak memperolah keadilan (Pasal 8.2 (c) (vi) ; dan

(x) Hak hidup tenteram, aman, dan damai (Pasal 8.2 (e) (i) ; (b) Asas HAM yang juga menjadi asas Statuta Roma:


(11)

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik - KIHSP -, 1966) (Pasal 11 dan Pasal 24) ; (ii) Asas ne bis in idem (Pasal 20);

(iii) Asas legalitas (Pasal 22 dan Pasal 23);

(iv) Asas kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan pengadilan (Pasal 63); (v) Asas praduga tak bersalah (Pasal 66);

(vi) Hak terdakwa atas pem eriksaan pengadilan yang adil. (fair trial) (Pasal 66); dan

(vii) Pem berian perlindungan kepada korban dan saksi (Pasal 68).

28 .H arus digarisbawahi bahwa dalam hal in i Statuta Rom a m em asukkan n orm a substan tif hak asasi m an usia, terutam a den gan m en defin isikan kejahatan terhadap kem an usiaan tan pa perlu adan ya hubun gan den gan kon flik bersen jata. Selain itu Statuta Rom a juga m em uat keten tuan ten tan g un sur-un sur kejahatan yan g kem sur-un gkin an juga akan terdapat lin tas rujuk den gan peran gkat hukum in tern asion al hak asasi m an usia m aupun yurispriden sin ya. Dalam m en afsir defin isi pen yiksaan m isaln ya, MPI dapat m en gacu pada Kon ven si Pen yiksaan dan yurispruden si terkaitn ya. 8

29.Salah satu keten tuan yan g palin g pen tin g berkaitan den gan in i adalah Pasal 21 (3) yan g m en yatakan bahwa: “Penerapan dan interpretasi hukum sesuai dengan pasal ini harus konsisten dengan hak-hak m anusia yang dikenal secara internasional, dan tan pa ada perbedaan -perbedaan yan g pan tin g yang ditem ukan pada dasar-dasar seperti gender sebagaim an a yan g dijelaskan pada pasal 7 ayat 3, usia, ras, wam a kulit, bahasa, agam a atau keyakinan, politik atau pendapat-pendapat lain , keban gsaan , etn is atau asal sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain”. Dalam hal in i J udge Pillay m en yatakan bahwa un tuk m en jam in perlin dun gan yan g palin g pen tin g dan m en dasar, den gan diskresi yan g ada, hakim -hakim oleh karen a itu akan m en gam bil dari hukum hak asasi m an usia. 9

30 .Oleh karen a itu walaupun , MPI pada dasarn ya adalah sebuah lem baga peradilan (juridical institution), n am un dem ikian , keberadaan nya dan hasil kerjan ya pada m asa depan akan m em ban tu m em ajukan hak asasi m an usia den gan m en ciptakan rekam historis ten tang apa yan g salah pada m asa lalu

(the past w rongs), m en awarkan sebuah forum bagi korban un tuk

m en yuarakan pen dapatn ya dan m en erim a kom pen sasi serta pem uasan atas kejahatan m asa lalu, m en ciptakan preseden yuridis dan efek jera bagi para pelaku kejahatan yan g palin g berat den gan m en ghukum para pelaku. 10

8

J udge Navi Pillay, Secon d An n ual Distin guished Lecture on Crim in al J ustice an d H um an Rights The Cen tre for Crim in al J ustice an d H um an Rights, Faculty of Law, Un iversity College Cork, Irelan d,,

The International Crim inal Court as a H um an R ights Institution, 21 Februari 20 0 8 , hal. 5 9Ibid, hal. 6

10


(12)

31.Den gan m en arik perhatian pada kejahatan yan g palin g berat dan kem udian m elakukan pen ghukum an pada pelakun ya, MPI akan m en jadi sebuah con toh bagi pelaku pelan ggaran hak asasi m an usia lain n ya. Den gan dem ikian , seperti sebuah lem baga pengadilan di tin gkat n asion al, MPI akan m en jadi sebuah upaya yan g m elen gkapi (kom plem en ter) bagi upaya hak asasi m an usia baik m asa kin i m aupun m asa depan . 11

32.Sebagai in strum en in tern asion al yan g juga m erupakan in strum en yan g m elindungi sejum lah HAM dan yang juga m enjunjung sejum lah prinsip yang juga m erupakan prinsip-prinsip HAM, Statuta Rom a turut m em perkuat jam inan dihorm ati dan dilin dun gin ya H AM serta dijun jun gn ya prin sip-prin sip H AM yang sudah dilakukan oleh instrumen-instrumen HAM, baik internasional, m aupun regional, ataupun n asion al. Oleh karen a itu, m en jadi pihakn ya RI pada Statuta Rom a akan m akin m eningkatkan citra dan kom itm en bangsa Indonesia untuk tidak saja m engam bil bagian dalam upaya kom unitas internasional untuk m enindas dan m encegah kejahatan paling serius yang m erupakan urusan kom unitas internasional secara keseluruhan m elainkan juga m enegaskan kom itm en nasionial dan internasion aln ya un tuk m en jun jun g tin ggi dan m elin dun gi H AM.

11


(13)

B AB III

S TATU S U U N O. 2 6 / 2 0 0 0 AP AB ILA S TATU TA ROMA TELAH D IS AH KAN OLEH D AN B ERLAKU B AGI REP U B LIK IN D ON ES IA ( RI)

33.MPI, yang keberadaan dan yurisdiksin ya didasarkan pada Statuta Rom a, adalah pelen gkap yurisdiksi n asion al atas kejahatan m en urut hukum internasional sebagaim ana ditetapkan oleh Statuta Rom a (lihat: alinea kesepuluh pem bukaan , Pasal 1, dan Pasal 17 - Pasal 19) ;

34.Peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur penyelesaiaian yudisial kejahatan yang term asuk yurisdiksi MPI adalah UU 26/ 20 0 0 . Selaras dengan sifat MPI sebagai-pelengkap yurisdiksi nasional, maka, secara prinsip, UU 26/ 20 0 0 -lah yan g akan diberlakukan gun a m en yelesaikan kejahatan yang termasuk baik yurisdiksi MPI maupun yurisdiksi. Pengadilan HAM m enurut UU 26/ 20 0 0 , yang terjadi sesudah m ulai berlakunya Statuta Rom a untuk RI, kecuali dalam hal di m ana RI dinilai oleh MPI tidak m au (unw illing) atau tidak m am pu (un able) m elakukan pen yelesaian yuridis tersebut dan , dalam keadaan dem ikian, sesuai dengan Pasal 17 Statuta Rom a, yurisdiksi MPI-lah yang akan diberlakukan .

35.Namun, yurisdiksi nasional tidak dapat sepenuhnya diutamakan bagi penyelesaian kejahatan internasional yang termasuk yu r i s d i k s i MPI, karena yurisdiksi Pen gadilan H AM m en urut UU 26/ 20 0 0 han ya m eliputi sebagian kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi MPI m enurut Statuta Rom a, yakni hanya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kem anusiaan, tanpa kejahatan perang dan kejahatan agresi, dan tidak ada pula peraturan perundang-undangan nasional lain yang m engatur penyelesaian yudisial kejahatan perang dan kejahatan agresi. Akibatn ya, dalam hal terjadin ya kejahatan peran g atau kejahatan agresi setelah RI m en jadi Pihak pada Statuta Rom a, dan apabila sam pai saat itu Indonesia tetap belum juga m em punyai peraturan perundang-undangan nasional yang m engatur penyelesaian yudisial kejahatan perang dan kejahatan agresi, m aka MPI den gan Statuta Rom a-n yalah akan m en yelesaikan n ya.

36.Karena keadaan sebagaimana digambarkan dalam 7 (c) di atas, maka guna memastikan agar yurisdiksi pidana nasional benar-benar menjadi yurisdiksi utama (prim ary

jurisdiction) sedangkan yurisdiksi -MPI, bagi RI, akan benar-benar bersifat yurisdiksi

pelengkap (com plem entary jurisdiction), maka RI harus membuat undang-undang perubahan atas UU 26/ 2000 atau undang penggantinya, sehingga undang-undang yang bersangkutan:

(a) Di samping kejahatan genosida dani kejahatan terhadap kemanusiaan, juga memasukkan kejahatan perang dan kejahatan agresi ke dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, atau pengadilan dengan nama lain apa pun yang mungkin lebih tepat;


(14)

(b) Memperbaiki ketentuan-ketentuan yang keliru atau tidak tepat rumusannya dan/ atau yang tidak sesuai dengan rumusan ketentuan padananya dalam Statuta Roma yang, pada gilirannya, akan dapat dipandang sebagai upaya untuk melindungi seseorang dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya, yang dapat dianggap sebagai ketidakmauan untuk melakukan secara murni penyidikan dan penuntutan terhadap individu yang bersangkutan, yang dapat membuka kesempatan bagi MPI untuk menerapkan yurisdiksinya (lihat, terutama, Pasal 17 ayat 1(a) dan ayat 2(a).

37.Sekiranya dipermasalahkan apakah kejahatan agresi harus juga dimasukkan ke dalam yurisdiksi pengadilan pidana yang yurisdiksiriya mencakup keseluruhan kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi MPI, padahal kejahatan agresi diharapkan baru dapat didefinisikan maksudnya pada Juni 2009 (sesuai dengan Pasal 121 dan Pasal 123 Statuta Roma), dapat dikemukakan pokok-pokok berikut:

(a) Pemasukan kejahatan agresi ke dalam yurisdiksi MPI mendapat tantangan keras dari Negara-negara besar, terutama Negara-negara Anggota Tetap PBB, yang berpendirian, terutama, bahwa penentuan ada atau tidaknya tindak agresi adalah kewenangan DK PBB sebagaimana ditetapkan dalam Bab VII Piagam PBB;

(b) Sebaliknya, Negara-negara berkembang, yang menganggap diri mereka sebagai negara yang secara potensial dapat menjadi korban tindak agresi Negara-negara yang lebih besar dan lebih kuat dan, selain itu, hak veto Negara-Negara-negara Anggota Tetap DKPBB dapat menggagalkan penetapan adanya tindak agresi dan penindakannya, berkeinginan keras dimasukkannya kejahatan agresi ke dalam yurisdiksi MPI, yang diharapkan dapat mengambil putusan yang tidak terpengaruhi oleh imbangan kekuatan dan kepentingan politik Negara-negara besar, terutam a Negara-n egara Anggota Tetap DK PBB;

(c) Memperhatikan (a) dan (b) di atas, RI, sebagai salah satu Negara berkembang, sebagai salah satu Negara pencetus Gerakan Negara-negara Non-blok, sebagai Negara yang politik luar negerinya menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional (lihat UU 37/ 1999 tentang Hubungan Luar Negeri beserta penjelasannya), sebagai Negara yang salah satu tujuannya adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia (lihat: Undang-Undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Pembukaan, alinea keempat, anak kalimat pertama), termasuk perlindungan dari agresi yang mungkin dilancarkan oleh kekuatan asing, dan sebagai anggota PBB yang salah satu tujuannya adalah penindasan tindak agresi (lihat: Piagam PBB, Pasal 1 ayat 1), maka selayaknya apabila kejahatan agresi tercakup dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, atau pengadilan dengan nama lain apa pun yang lebih tepat menurut UU 26/ 2000 sebagaimana diubah atau digantikan oleh undang lain. Sekiranya sampai dirancangnya undang-undang perubahan atas atau undang-undang-undang-undang pengganti UU 26/ 2000 Majelis Negara-negara Pihak pada Statuta Roma, sesuai dengan Pasal 123, belum juga berhasil m en capai kesepakatan ten tan g defen isi istilah "kejahatan agresi”, m aka un dan g-un dan g perubahan atas atau un dan g-un dan g pen ggan ti UU 26/ 20 0 0 dapat m en can tum kan ketentuan yang esensinya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “kejahatan agresi" m en urut un dan g-un dan g in i akan ditetapkan lebih lan jut den gan undang-undang (yang pada hakikatnya akan m erupakan undang-undang-undang-undang perubahan atas un dan g-un dan g yan g bersan gkutan ).


(15)

P EN U TU P

38 .Berdasarkan hal-hal yan g dikem ukakan dalam Bab II dan Bab III di atas, khususnya peran Statuta Roma yang selain merupakan instrumen hukum pidana internasional untuk m enindas dan m encegah kejahatan yang paling serius yang m enjadi urusan kom unitas internasional secara keseluruhan juga m erupakan instrum en hukum Internasional yang m elindungi HAM dan m enjunjung asas-asaa HAM, m aka, Kom nas HAM, sesuai dengan tujuan, fungsi, dan wewenangnya dalam pem ajuan, perlindun gan , pen egakkan , dan pelaksan aan H AM, m en doron g disahkannya Statuta Roma dalam waktu yang tidak terlampau lama.

39.Seirin g den gan proses pen gesahan Statuta Rom a sesuai den gan tata cara sebagaim ana diatur dalam ketentuan yang relevan dari UU 24/ 20 0 0 tentang Perjan jian In tern asion al, upaya perubahan UU 26/ 20 0 0 ten tan g Pen gadilan H AM atau m en ggan tin ya den gan un dan g-un dan g baru, yan g sudah dilakukan oleh Kom nas HAM sejak 20 0 5, perlu dipercepat guna m em astikan, terutam a, hal-hal berikut:

(a) Yurisdiksi m ateriil Pen gadilan H AM, atau pen gadilan den gan n am a lain apa pun yan g dian ggap lebih tepat, m en urut UU 26/ 20 0 0 yan g akan diubah aiau diganti, meliputi semua kejahatan yang term asuk yurisdiksi MPT menurut Statuta Rom a;

(b) Diperbaikinya rumusan ketentuan-ketentuan yang keliru atau tidak sesuai den gan keten tuan padan an n ya dalam Statuta Rom a;

(c) Dipastikan n ya keajekan (consistency) rum usan keten tuan dalam batang tubuh dengan ketentuan yang berkaitan yang juga terdapat dalam tubuh dan / atau yan g tercan tum dalam pen jelasan ;

(d) Khusus m engenai pem berlakusurutan undang-undang perubahan UU 26/ 20 0 0 atau undang-undang yang menggantinya, terumuskannya secara jelas dan pasti proses pem bentukan pengadilan ad hoc guna m engadili kejahatan yang term asuk yurisdiksi pengadilan yang bersangkutan yang terjadi sebelum m ulai berlakunya undang-undang perubahan UU 26/ 20 0 0 atau undang-undang yang m enggantikannya

(e) Sesuai dengan sifat kejahatan yang termasuk yurisdiksi pengadilan yang bersangkutan m enurut undang-undang perubahan UU 26/ 20 0 0 atau undang-undang yang m enggantikannya sebagai kejahatan palin g serius yang m enjadi urusan kom unitas internasional secara keseluruhan karena kejahatan yang bersangkutan m erupakan ancam an terhadap perdam aian dunia, secara langsung atau tidak lan gsun g, dan kejahatan yan g m en ggun can g hati n uran i um at m an usia,


(16)

diperlukan hukum acara yang tepat untuk kejahatan yang bersifat khusus tersebut dan yan g m en jam in tidak terun da-tunda atau, bahkan , terkendalanya keseluruhan proses penyelesaian yudisial kejahatan yang bersangkutan;

(f) Pokok-pokok sebagaimana. dimaksud dalam (a) sampai dengan (e)

diharapkan akar tercapainya tujuan ganda perubahan atau penggantian UU 26/ 20 0 0 , yakni:

(i) Tidak terken dalan ya lagi proses pen yelesaian yudisial kejahatan yan g bersan gkutan ; dan

(ii) Terpastikan n ya un dan g-un dan g perubahan UU 26/ 20 0 0 atau un dan g-un dan g yan g m en ggan tikan nya benar-benar dapat dian-dalkan untuk m enjam in pengutam aen yurisdiksi nasional (prim ary of

national jurisdiction) dalam penyelesaian yudisial kejahatan yang

term asuk yurisdiksi MPI dan juga yurisdiksi pengadilan nasional m enurut undanundang perubahan UU 26/ 20 0 0 atau un dan g-un dan g yan g m en ggan tikan n ya, sehingga dapat dicegah ditanganinya kejahatan yang bersangkutan oleh MPI, tarutam a dalam hal kejahatan yang bersangkutan terjadi di wilayah yang berada di bawah yurisdiksi RI, dan/ atau tersangkanya berada di wilayah yang berada di bawah yurisdiksi RI, dan / atau tersan gkan ya adalah warga n egara RI


(17)

D AFTAR P U S TAKA

P e ra tu ra n P e ru n d a n g-u n d a n ga n

UUD Negara Republik In don esia Tahun 1945 UU No. 39/ 1999 ten tan g H ak Asasi Man usia

Kepres Republik In don esia No. 40 Tahun 20 0 4 ten tan g Ren can a Aksi Nasion al Tahun 20 0 4-20 0 9

Ma ka la h

J udge Navi Pillay, Secon d An n ual Distin guished Lecture on Crim in al J ustice an d H um an Rights, The Cen tre for Crim in al J ustice an d H um an Rights, Faculty of Law, Un iversity College Cork, Irelan d, The International Crim inal Court as a

H um an Rights Institution, 21 Februari 20 0 8 ,

D o ku m e n La in

Piagam Perserikatan Ban gsa-Bangsa, http:/ / www.un .org/ aboutun / charter/, diakses pada 4 Novem ber 20 0 8


(1)

12

31.Den gan m en arik perhatian pada kejahatan yan g palin g berat dan kem udian m elakukan pen ghukum an pada pelakun ya, MPI akan m en jadi sebuah con toh bagi pelaku pelan ggaran hak asasi m an usia lain n ya. Den gan dem ikian , seperti sebuah lem baga pengadilan di tin gkat n asion al, MPI akan m en jadi sebuah upaya yan g m elen gkapi (kom plem en ter) bagi upaya hak asasi m an usia baik m asa kin i m aupun m asa depan . 11

32.Sebagai in strum en in tern asion al yan g juga m erupakan in strum en yan g m elindungi sejum lah HAM dan yang juga m enjunjung sejum lah prinsip yang juga m erupakan prinsip-prinsip HAM, Statuta Rom a turut m em perkuat jam inan dihorm ati dan dilin dun gin ya H AM serta dijun jun gn ya prin sip-prin sip H AM yang sudah dilakukan oleh instrumen-instrumen HAM, baik internasional, m aupun regional, ataupun n asion al. Oleh karen a itu, m en jadi pihakn ya RI pada Statuta Rom a akan m akin m eningkatkan citra dan kom itm en bangsa Indonesia untuk tidak saja m engam bil bagian dalam upaya kom unitas internasional untuk m enindas dan m encegah kejahatan paling serius yang m erupakan urusan kom unitas internasional secara keseluruhan m elainkan juga m enegaskan kom itm en nasionial dan internasion aln ya un tuk m en jun jun g tin ggi dan m elin dun gi H AM.

11 Ibid


(2)

B AB III

S TATU S U U N O. 2 6 / 2 0 0 0 AP AB ILA S TATU TA ROMA TELAH D IS AH KAN OLEH D AN B ERLAKU B AGI REP U B LIK IN D ON ES IA ( RI)

33.MPI, yang keberadaan dan yurisdiksin ya didasarkan pada Statuta Rom a, adalah pelen gkap yurisdiksi n asion al atas kejahatan m en urut hukum internasional sebagaim ana ditetapkan oleh Statuta Rom a (lihat: alinea kesepuluh pem bukaan , Pasal 1, dan Pasal 17 - Pasal 19) ;

34.Peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur penyelesaiaian yudisial kejahatan yang term asuk yurisdiksi MPI adalah UU 26/ 20 0 0 . Selaras dengan sifat MPI sebagai-pelengkap yurisdiksi nasional, maka, secara prinsip, UU 26/ 20 0 0 -lah yan g akan diberlakukan gun a m en yelesaikan kejahatan yang termasuk baik yurisdiksi MPI maupun yurisdiksi. Pengadilan HAM m enurut UU 26/ 20 0 0 , yang terjadi sesudah m ulai berlakunya Statuta Rom a untuk RI, kecuali dalam hal di m ana RI dinilai oleh MPI tidak m au (unw illing) atau tidak m am pu (un able) m elakukan pen yelesaian yuridis tersebut dan , dalam keadaan dem ikian, sesuai dengan Pasal 17 Statuta Rom a, yurisdiksi MPI-lah yang akan diberlakukan .

35.Namun, yurisdiksi nasional tidak dapat sepenuhnya diutamakan bagi penyelesaian kejahatan internasional yang termasuk yu r i s d i k s i MPI, karena yurisdiksi Pen gadilan H AM m en urut UU 26/ 20 0 0 han ya m eliputi sebagian kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi MPI m enurut Statuta Rom a, yakni hanya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kem anusiaan, tanpa kejahatan perang dan kejahatan agresi, dan tidak ada pula peraturan perundang-undangan nasional lain yang m engatur penyelesaian yudisial kejahatan perang dan kejahatan agresi. Akibatn ya, dalam hal terjadin ya kejahatan peran g atau kejahatan agresi setelah RI m en jadi Pihak pada Statuta Rom a, dan apabila sam pai saat itu Indonesia tetap belum juga m em punyai peraturan perundang-undangan nasional yang m engatur penyelesaian yudisial kejahatan perang dan kejahatan agresi, m aka MPI den gan Statuta Rom a-n yalah akan m en yelesaikan n ya.

36.Karena keadaan sebagaimana digambarkan dalam 7 (c) di atas, maka guna memastikan agar yurisdiksi pidana nasional benar-benar menjadi yurisdiksi utama (prim ary jurisdiction) sedangkan yurisdiksi -MPI, bagi RI, akan benar-benar bersifat yurisdiksi pelengkap (com plem entary jurisdiction), maka RI harus membuat undang-undang perubahan atas UU 26/ 2000 atau undang penggantinya, sehingga undang-undang yang bersangkutan:

(a) Di samping kejahatan genosida dani kejahatan terhadap kemanusiaan, juga memasukkan kejahatan perang dan kejahatan agresi ke dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, atau pengadilan dengan nama lain apa pun yang mungkin lebih tepat;


(3)

14

(b) Memperbaiki ketentuan-ketentuan yang keliru atau tidak tepat rumusannya dan/ atau yang tidak sesuai dengan rumusan ketentuan padananya dalam Statuta Roma yang, pada gilirannya, akan dapat dipandang sebagai upaya untuk melindungi seseorang dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya, yang dapat dianggap sebagai ketidakmauan untuk melakukan secara murni penyidikan dan penuntutan terhadap individu yang bersangkutan, yang dapat membuka kesempatan bagi MPI untuk menerapkan yurisdiksinya (lihat, terutama, Pasal 17 ayat 1(a) dan ayat 2(a).

37.Sekiranya dipermasalahkan apakah kejahatan agresi harus juga dimasukkan ke dalam yurisdiksi pengadilan pidana yang yurisdiksiriya mencakup keseluruhan kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi MPI, padahal kejahatan agresi diharapkan baru dapat didefinisikan maksudnya pada Juni 2009 (sesuai dengan Pasal 121 dan Pasal 123 Statuta Roma), dapat dikemukakan pokok-pokok berikut:

(a) Pemasukan kejahatan agresi ke dalam yurisdiksi MPI mendapat tantangan keras dari Negara-negara besar, terutama Negara-negara Anggota Tetap PBB, yang berpendirian, terutama, bahwa penentuan ada atau tidaknya tindak agresi adalah kewenangan DK PBB sebagaimana ditetapkan dalam Bab VII Piagam PBB;

(b) Sebaliknya, Negara-negara berkembang, yang menganggap diri mereka sebagai negara yang secara potensial dapat menjadi korban tindak agresi Negara-negara yang lebih besar dan lebih kuat dan, selain itu, hak veto Negara-Negara-negara Anggota Tetap DKPBB dapat menggagalkan penetapan adanya tindak agresi dan penindakannya, berkeinginan keras dimasukkannya kejahatan agresi ke dalam yurisdiksi MPI, yang diharapkan dapat mengambil putusan yang tidak terpengaruhi oleh imbangan kekuatan dan kepentingan politik Negara-negara besar, terutam a Negara-n egara Anggota Tetap DK PBB;

(c) Memperhatikan (a) dan (b) di atas, RI, sebagai salah satu Negara berkembang, sebagai salah satu Negara pencetus Gerakan Negara-negara Non-blok, sebagai Negara yang politik luar negerinya menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional (lihat UU 37/ 1999 tentang Hubungan Luar Negeri beserta penjelasannya), sebagai Negara yang salah satu tujuannya adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia (lihat: Undang-Undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Pembukaan, alinea keempat, anak kalimat pertama), termasuk perlindungan dari agresi yang mungkin dilancarkan oleh kekuatan asing, dan sebagai anggota PBB yang salah satu tujuannya adalah penindasan tindak agresi (lihat: Piagam PBB, Pasal 1 ayat 1), maka selayaknya apabila kejahatan agresi tercakup dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, atau pengadilan dengan nama lain apa pun yang lebih tepat menurut UU 26/ 2000 sebagaimana diubah atau digantikan oleh undang lain. Sekiranya sampai dirancangnya undang-undang perubahan atas atau undang-undang-undang-undang pengganti UU 26/ 2000 Majelis Negara-negara Pihak pada Statuta Roma, sesuai dengan Pasal 123, belum juga berhasil m en capai kesepakatan ten tan g defen isi istilah "kejahatan agresi”, m aka un dan g-un dan g perubahan atas atau un dan g-un dan g pen ggan ti UU 26/ 20 0 0 dapat m en can tum kan ketentuan yang esensinya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “kejahatan agresi" m en urut un dan g-un dan g in i akan ditetapkan lebih lan jut den gan undang-undang (yang pada hakikatnya akan m erupakan undang-undang-undang-undang perubahan atas un dan g-un dan g yan g bersan gkutan ).


(4)

P EN U TU P

38 .Berdasarkan hal-hal yan g dikem ukakan dalam Bab II dan Bab III di atas, khususnya peran Statuta Roma yang selain merupakan instrumen hukum pidana internasional untuk m enindas dan m encegah kejahatan yang paling serius yang m enjadi urusan kom unitas internasional secara keseluruhan juga m erupakan instrum en hukum Internasional yang m elindungi HAM dan m enjunjung asas-asaa HAM, m aka, Kom nas HAM, sesuai dengan tujuan, fungsi, dan wewenangnya dalam pem ajuan, perlindun gan , pen egakkan , dan pelaksan aan H AM, m en doron g disahkannya Statuta Roma dalam waktu yang tidak terlampau lama.

39.Seirin g den gan proses pen gesahan Statuta Rom a sesuai den gan tata cara sebagaim ana diatur dalam ketentuan yang relevan dari UU 24/ 20 0 0 tentang Perjan jian In tern asion al, upaya perubahan UU 26/ 20 0 0 ten tan g Pen gadilan H AM atau m en ggan tin ya den gan un dan g-un dan g baru, yan g sudah dilakukan oleh Kom nas HAM sejak 20 0 5, perlu dipercepat guna m em astikan, terutam a, hal-hal berikut:

(a) Yurisdiksi m ateriil Pen gadilan H AM, atau pen gadilan den gan n am a lain apa pun yan g dian ggap lebih tepat, m en urut UU 26/ 20 0 0 yan g akan diubah aiau diganti, meliputi semua kejahatan yang term asuk yurisdiksi MPT menurut Statuta Rom a;

(b) Diperbaikinya rumusan ketentuan-ketentuan yang keliru atau tidak sesuai den gan keten tuan padan an n ya dalam Statuta Rom a;

(c) Dipastikan n ya keajekan (consistency) rum usan keten tuan dalam batang tubuh dengan ketentuan yang berkaitan yang juga terdapat dalam tubuh dan / atau yan g tercan tum dalam pen jelasan ;

(d) Khusus m engenai pem berlakusurutan undang-undang perubahan UU 26/ 20 0 0 atau undang-undang yang menggantinya, terumuskannya secara jelas dan pasti proses pem bentukan pengadilan ad hoc guna m engadili kejahatan yang term asuk yurisdiksi pengadilan yang bersangkutan yang terjadi sebelum m ulai berlakunya undang-undang perubahan UU 26/ 20 0 0 atau undang-undang yang m enggantikannya

(e) Sesuai dengan sifat kejahatan yang termasuk yurisdiksi pengadilan yang bersangkutan m enurut undang-undang perubahan UU 26/ 20 0 0 atau undang-undang yang m enggantikannya sebagai kejahatan palin g serius yang m enjadi urusan kom unitas internasional secara keseluruhan karena kejahatan yang bersangkutan m erupakan ancam an terhadap perdam aian dunia, secara langsung atau tidak lan gsun g, dan kejahatan yan g m en ggun can g hati n uran i um at m an usia,


(5)

16

diperlukan hukum acara yang tepat untuk kejahatan yang bersifat khusus tersebut dan yan g m en jam in tidak terun da-tunda atau, bahkan , terkendalanya keseluruhan proses penyelesaian yudisial kejahatan yang bersangkutan;

(f) Pokok-pokok sebagaimana. dimaksud dalam (a) sampai dengan (e)

diharapkan akar tercapainya tujuan ganda perubahan atau penggantian UU 26/ 20 0 0 , yakni:

(i) Tidak terken dalan ya lagi proses pen yelesaian yudisial kejahatan yan g bersan gkutan ; dan

(ii) Terpastikan n ya un dan g-un dan g perubahan UU 26/ 20 0 0 atau un dan g-un dan g yan g m en ggan tikan nya benar-benar dapat dian-dalkan untuk m enjam in pengutam aen yurisdiksi nasional (prim ary of national jurisdiction) dalam penyelesaian yudisial kejahatan yang term asuk yurisdiksi MPI dan juga yurisdiksi pengadilan nasional m enurut undanundang perubahan UU 26/ 20 0 0 atau un dan g-un dan g yan g m en ggan tikan n ya, sehingga dapat dicegah ditanganinya kejahatan yang bersangkutan oleh MPI, tarutam a dalam hal kejahatan yang bersangkutan terjadi di wilayah yang berada di bawah yurisdiksi RI, dan/ atau tersangkanya berada di wilayah yang berada di bawah yurisdiksi RI, dan / atau tersan gkan ya adalah warga n egara RI


(6)

D AFTAR P U S TAKA

P e ra tu ra n P e ru n d a n g-u n d a n ga n

UUD Negara Republik In don esia Tahun 1945 UU No. 39/ 1999 ten tan g H ak Asasi Man usia

Kepres Republik In don esia No. 40 Tahun 20 0 4 ten tan g Ren can a Aksi Nasion al Tahun 20 0 4-20 0 9

Ma ka la h

J udge Navi Pillay, Secon d An n ual Distin guished Lecture on Crim in al J ustice an d H um an Rights, The Cen tre for Crim in al J ustice an d H um an Rights, Faculty of Law, Un iversity College Cork, Irelan d, The International Crim inal Court as a H um an Rights Institution, 21 Februari 20 0 8 ,

D o ku m e n La in

Piagam Perserikatan Ban gsa-Bangsa, http:/ / www.un .org/ aboutun / charter/, diakses pada 4 Novem ber 20 0 8