Article Review: Perubahan Sosial dan Kaitannya Dengan Pembagian Harta Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam | Rizki | OJS Center 1373 2658 1 SM

Article Review
Judul Artikel

: Perubahan Sosial dan Kaitannya Dengan Pembagian Harta
Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam
Penulis Artikel
: Zulham Wahyudani
Reviewer
: Anna Rizki
Penerbit
: Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry
Website
: http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/islamfutura/article/download/328/323
Jumlah Halaman
: 24
A. Isi Artikel
Perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi terhadap
masyarakat dari satu tingkat kehidupan ke satu tingkat kehidupan yang lain. Secara
umumnya perubahan sosial bisa didefinisikan sebagai pergerakan masyarakat dari
satu peringkat kehidupan ke satu peringkat yang lain baik peringkat yang baru itu
membawa


kebaikan

atau

sebaliknya,

hasilnya

perubahan

tersebut

akan

melambangkan pergerakan yang dihadapi dan dilalui oleh masyarakat tertentu.
Akhirnya masyarakat tersebut terpaksa menyesuaikan dirinya dengan kehidupan yang
baru atau sebaliknya berusaha untuk mengembalikan keadaannya semula, semuanya
bergantung pada pilihan masyarakat itu sendiri.1
Hubungan antara perubahan hukum dan perubahan sosial merupakan salah

satu dari permasalahan mendasar yang seringkali mengalami perbedaan antara hukum
dan realitas yang terjadi. Dalam literatur hukum Islam kontemporer, kata
“perubahan” digantikan dengan perkataan reformasi, modernisasi, reaktualisasi,
dekontruksi, rekontruksi, islah dan tajdid. Istilah yang paling banyak digunakan
adalah islah, reformasi, dan tajdid. Islah dapat diartikan dengan perbaikan atau
memperbaiki, reformasi berarti membentuk atau menyusun kembali dan tajdid berarti
1

Zulha Wahyuda i, PERUBAHAN “O“IAL DAN KAITANNYA DENGAN PEMBAGIAN HARTA
WARI“AN DALAM PER“PEKTIF HUKUM I“LAM, Jurnal Ilmiah Islam Futura 14, no. 2 (2015): 166–89,
http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/islamfutura/article/download/328/323; Anton Widyanto,
PENGEMBANGAN FIQH DI ZAMAN MODERN, Jurnal Ilmiah Islam Futura 10, no. 2 (2011): 82–100,
doi:10.22373/JIIF.V10I2.46.

1

membangun

kembali,


menghidupkan

kembali,

menyusun

kembali

atau

memperbaikinya agar dapat digunakan sebagaimana yang diharapkan.
Perubahan sedemikian rupa seperti yang terjadi dalam teori qawl qadim dan
qawl jadid yang dikemukakan oleh al-Imam Syafi‟i, bahwa hukum juga dapat
berubah, karena perubahannya dalil hukum yang ditetapkan pada peristiwa tertentu
untuk melaksanakan maqasid al-shari’ah. Perubahan hukum perlu dilaksanakan
secara terus menerus karena hasil ijtihad selalu bersifat relatif. Oleh itu, jawaban
terhadap masalah yang muncul sentiasa harus bersifat baru asalkan tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip al-Quran dan al-Sunnah.
Perlu ditegaskan di sini bahwa hukum yang dapat diubah adalah hukumhukum yang dihasilkan berdasarkan al-maslahah al-mursalah. Namun, ia terbatas
dalam masalah muamalah, hukum administratif, hukum-hukum yang menegakkan

kebenaran, merealisasikan kemaslahatan, dan menghindari kerusakan. Perubahan
hukum adalah didasarkan pada kondisi atau keadaan masyarakat, baik kondisi sosial
atau cara kemasyarakatan. Sesuatu hukum yang telah diputuskan pada masa lalu
belum tentu dapat diterapkan pada masa sekarang.
Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa pembinaan pembagian harta
warisan bukan hanya saja berdasarkan sumber al-Quran dan al-Sunnah. Setelah
Rasulullah S.A.W wafat, kegiatan penafsiran al-Quran dan al-Sunnah berkembang
pesat, khususnya dalam memahami hukum Islam. Proses ini dinamakan ijtihad
sahabat atau tabi‟in. Secara umumnya, perubahan sistem pembagian harta di masa
sahabat berbeda-beda berdasarkan tempat, kemajuan ekonomi, peradaban luar, adatistiadat dan struktur masyarakat. Faktor-faktor ini turut mempengaruhi masyarakat di
sekitar Mekah dan Madinah.
Kedudukan warisan perempuan di kalangan masyarakat Mekah adalah
diiktiraf, yaitu perempuan mendapat separuh dari bagian laki-laki. Keadaan

2

sebaliknya sebagian besar masyarakat Madinah tidak memberi warisan kepada kaum
perempuan, khususnya yang melibatkan kabilah tertentu yang kuat berpegang pada
adat.
Realitas sosial memberi pengaruh langsung terhadap perubahan pembagian

harta warisan. Bahkan penetapan hukum harta warisan yang bersifat terperinci dan
pasti dari al-Quran serta telah dikuatkan oleh Rasulullah saw tidak dapat mengelak
dari sentuhan perkembangan yang sangat penting. Tegasnya, perubahan sosioekonomi, budaya, dan nilai-nilai masyarakat merupakan di antara faktor terutama
berlakunya perubahan hukum pembagian harta warisan. Kesesuaian antara hukum
pembagian harta warisan dan fakta-fakta sosio-kultural diharapkan agar mencapai
kemaslahatan.
Setelah masa Sahabat atau Tabi‟in, pembagian harta warisan ini telah
dilahirkan melalui ijtihad ulama-ulama yang mengikuti “tradisi Nabi dan Ṣahabat.
Namun, perubahan sosial yang terjadi di berbagai tempat dan negara, maka sistem
perundangan di beberapa negara muslim tidak lagi mengikuti aturan tersebut dengan
kuat. Terdapat beberapa perubahan yang dilakukan terutama berkaitan hak cucu yang
kematian ayahnya terhijab atau cucu yatim (yakni dihalang) oleh saudara ayahnya
(ahli waris pengganti, serta kemungkinan menjadikan anak perempuan menghijab
kerabat garis sisi).
Perubahan undang-undang pembagian harta warisan dalam ketentuan yang
khusus merupakan satu contoh yang jelas aspek pembaharuan undang-undang dalam
pengaktualisasian hukum Syariat. Hal ini karena hukum warisan yang bersumber
pada al-Quran dan hadis serta fatwa ulama dari khazanah fiqh telah dikumpulkan
dalam satu undang-undang tertulis yang seragam. Penggubalan hukum Syariat ini
mengambil kira kedinamikan fiqh dan maslahat al-‘ammah. Selain dari mekanisme

fiqh, perubahan hukum juga disebabkan oleh keadaan sesuatu masyarakat. Perubahan
hukum ini boleh terjadi disebabkan perubahan pada adat kebiasaan, berubahnya

3

kemaslahatan manusia, wujudnya faktor darurat, atau disebabkan oleh perkembangan
zaman dan munculnya sistem-sistem baru.

B. Pembahasan/analisis
Pembahasan ini sangat menarik untuk dibaca, dalam artikel ini penulis
membahas dan menjelaskan perubahan social dan kaitannya dengan pembagian harta
warisan dengan bahasa yang sederhana. pembahasan ini dimulai dari sejarah
pembagian warisan dari pada masa Rasul hingga sampai saat sepetinggal rasul, serta
juga menjelaskan pembagian warisan dibeberapa Negara islam seperti Pakistan,
mesir, Iraq, Tunisia dan Syria.

Bagi masyarakat yang mayoritas penduduknya

beragama islam pembagian harta warisan mengalami perubahan mengikuti dengan
perubahan sosial. Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat

merupakan budaya turun-temurun.
Pada masa sekarang, masyarakat atau umat islam tidak banyak yang
melaksanakan pembagian harta warisan sesuai dengan ketentuan al-Quran, mereka
lebih memilih pembagian dengan cara lain tanpa memperhatikan perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Hubungan antara perubahan hukum dan perubahan sosial
merupakan salah satu permasalahan yang sering sekali mengalami perbedaan hukum
dengan realita yang terjadi di masyarakat.
Ketika awal islam, hukum islam dimulai dengan hukum yang sudah ada
dalam masyarakat. Perkembangan sejarah menunjukkan pembagian harta warisan
bukan hanya berdasarkan al-Quran dan hadis, dua sumber ini dipakai karena
keduanya adalah sumber utama dalam islam. Pada masa sahabat pembagian harta
warisan dilakukan dengan cara ijtihad dengan tujuan untuk menyelesaikan
kekaucauan yang terjadi dalam masyarakat.

4

Secara umum perbedaan pembagian harta warisan pada masa sahabat berbeda
berdasarkan tempat, kemajuan ekonomi, peradaban luar, adat-istiadat dan struktur
masyarakat. Faktor-faktor ini turut mempengaruhi masyarakat di sekitar Mekah dan
Madinah. Masyarakat makkah pembagian harta warisan untuk perempuan mendapat

separuh dari bagian laki-laki sedangkan di madinah tidak memberikan warisan
kepada perempuan khususnya pada kabilah yang kuat berpengang pada adat. Hal ini
terjadi karena bedanya letak geografis dan pendapatan masyarakat setempat.
Setelah masa sahabat dan tabi‟in, pembagian harta warisan telah banyak
melakukan melalui ijtihad. Perubahan sosial yang terjadi di berbagai Negara, maka
peraturan yang ada juga berubah terutama berkaitan denga hak cucu yang kematian
ayahnya terhijab oleh saudara ayahnya.
Hukum harta warisan di mesir yaitu wasiyyat al-wajibah secara langsung
pewaris telah berwasiat untuk cucu yang kematian ayahnya terhijab, baginya
sepertiga harta. Perubahan pembagian harta warisan yang berlaku di Mesir ialah hak
warisan kepada cucu yang disebabkan kematian ayah, yang terhalang oleh hak anak
pewaris melalui wasiat.
Dalam perundang-undangan Pakistan adanya pewaris pengganti tetapi dalam
kelompok turunan saja baik itu laki-laki ataupun perempuan. Sedangkan perundangundangan Syria wasiyyat al-wajibah hanya untuk laki-laki dan perempuan saja,
namun di diperuntukkan kepada keturunan perempuan yang meninggal.
Para jumhur mengangap bahwa kewajiban wasiat tetap ada khususnya dalam
menyelesaikan segala kewajiban yang belum ditunaikan seperti hutang, zakat, atau
kafarat yang belum dibayar. Kewajiban wasiat ini bersifat ta’abudi dan bukan qad’i,
maksudnya orang tersebut akan berdosa kalau tidak mengerjakannya, namun keluarga
yang masih hidup tidak mempunyai hak untuk memaksa pelaksanaannya sekiranya

tidak diucapkan.

5

Berbeda dengan pendapat Ibn Hazm. Menurutnya, sekiranya seseorang
meninggal sebelum berwasiat, maka ahli waris wajib mengeluarkan sebagian dari
harta warisannya yaitu mengikut kadar yang dianggap sebagai layak. Selanjutnya Ibn
Hazm menyatakan bahwa seseorang wajib berwasiat untuk anggota kerabat yang
tidak mewarisi, baik karena perbedaan agama, perbudakan maupun karena terhalang.
Tentang batas maksimal suatu wasiat ditentukan dalam hadis Nabi dari Sa‟ad
bin Waqqash menurut riwayat al-Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa
wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga, dengan pertimbangan bahwa meninggalkan
anak dalam keadaan berkecukupan lebih baik dari pada meninggalkannya dalam
keadaan sengsara.2 Tetapi wasiat yang melebihi dari sepertiga jumlah harta yang
ditinggalkan, maka bagian yang lebih dari sepertiga itu tidak dapat ditunaikan
sebelum mendapatkan persetujuan dari ahli waris.3
Berubahnya peraturan pembagian harta warisan dalam ketentuan yang khusus
merupakan salah satu contoh yang jelas dalam aspek pembaharuan hukum-hukum
dalam pengaktualisasian hokum islam. Hal ini karena hukum warisan yang
bersumber pada al-Quran dan hadis serta fatwa ulama telah dikumpulkan dalam satu

undang-undang tertulis yang seragam.
Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu hukum kadang kala bisa berubah
megikuti perubahan zaman, suatu hukum yang telah ada pada masa dulu belum tentu
dapat diterapkan dimasa sekarang. perubahan ini bisa terjadi karena perubahan adat
kebiasaan, dan juga perubahan hukum disebabkan oleh faktor-faktor darurat dan
munculnya permasalahan-permasalah baru yang tidak terjadi pada saat al-Quran
diturunkan, oleh sebab itu hukum bisa berubah untuk kemaslahatan.
C. Simpulan

2
3

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Kencana, 2004, hal. 248.
Hamid Sarong, dkk, Fiqh, Banda Aceh, PSW IAIN Ar-Raniry, 2009, hal. 228.

6

Perubahan pembagian harta warisan yang terdapat dalam al-quran dan hadis
dengan mengikuti fakta-fakta sosio-kultural supaya tercapainya kemaslahatan dalam
masyarakat. Perubahan pembagian harta warisan pada zaman dulu kepada pembagian

harta warisan secara syariat seperti sekarang ini karena adanya kebutuhan sosial yang
baru. Dimana pada masa jahiliyah perempuan tidak mendapat harta warisan, dengan
hadirnya islam maka perempuan mempunyai bagian dalam warisan.
Perubahan pembagian harta warisan dalam hal wasiyyat al-wajibah
disebabkan oleh faktor perubahan sosial ekonomi masyarakat, sehingga aturan
tentang penghalang tidak sesuai lagi. Dan juga perubahan ini terjadi karena faktor
kemiskinan, sering anak yang ayahnya meninggal hidup dalam kemiskinan karena
terhapusnya hak warisan sedangkan saudara ayahnya hidup dalam keadaan
berkecukupan.
Perlu ditegaskan bahwa hukum yang berubah adalah hukum-hukum yang
diperoleh berdasarkan maslahah mursalah. Namun hukum-hukum qad‟i dalam
pembahasan faraid tidak akan berubah oleh perubahan zaman, karena bagian-bagian
faraid merupakan ketetapan dari Allah yang telah dijelaskan dalam al-Quran. Bagianbagian ahli waris dalam al-Quran adalah ½, 2/3, 1/3, ¼, 1/6, 1/8.
Daftar Pustaka
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004.
Hamid Sarong, dkk, Fiqh, Banda Aceh: PSW IAIN Ar-Raniry, 2009.
Syaikh „Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmah Dibalik Hukum Islam (Bidang Muamalah),
Jakarta: Mustaqiim, 2003.
Wahyudani, Zulham. “PERUBAHAN SOSIAL DAN KAITANNYA DENGAN
PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 14, no. 2 (2015): 166–89. http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/islamfutura/article/download/328/323.

7

Widyanto, Anton. “PENGEMBANGAN FIQH DI ZAMAN MODERN.” Jurnal
Ilmiah Islam Futura 10, no. 2 (2011): 82–100. doi:10.22373/JIIF.V10I2.46.

8