RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI (3)

RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqh Mu’amalah
Dosen Pengampu : Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun oleh:
ARINI MAYANG FAUNI (1502100158)

Kelas: A

PROGRAM STUDI S1-PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JURAI SIWO METRO
STAIN JURAI SIWO METRO
2016

A. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang dapat di artikan bahwa manusia tidak dapat hidup
sendiri dan tentunya
kebutuhan


hidup

saling membutuhkan satu dengan yang lainnya untuk memenuhi

dengan

saling

tolong

menolong,bertukar

keperluan

dalam

segala

hal,berkomunikasi dan lain-lainnya.Jual beli dalam lingkungan masyarakat merupakan kegiatan
yang setiap waktu selalu terjadi antara penjual dan pembeli.Tetapi jual beli yang baik dan benar

berdasarkan hukum islam belum tentu umat islam mengetahuinya sesuai ketentuan-ketentuan
hukum islam tetapi ada juga yang belum mengetahuinya.Sebenarnya antara penjual dan
pembeli penting untuk mengetahui nya agar penjual tidak melakukan riba dan pembeli tidak
merasa di rugikan.
Di dalam makalah ini akan mengkaji tentang “RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI”untuk
di sajikan pada kelas A S1 Perbankan Syariah.Kajian dalam makalah ini berdasarkan kajian
dari buku,jurnal,dan artikel yang berkaitan langsung dengan masalah “RUKUN DAN SYARAT
JUAL BELI”.Di dalam kitab suci Al-Qur’an dan Al-hadist yang merupakan sumber hukum islam
yang mengatur segala kehidupan manusia yaitu salah satunya telah memberikan contoh untuk
mengatur jual beli yang sesuai dengan ketentuan hukum islam.
Pada era zaman modern seperti ini banyak individu yang melakukan riba tanpa mereka
sadari.Mereka hanya mengutamakan mendapat keuntungan duniawi

yang besar tanpa

mengharapkan berkah dari yang Allah SWT.Pada intinya jual beli adalah pertukaran barang
atau benda yang mempunyai manfaat untuk penggunanya dan sudah terjadi kesepakatan
antara penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi.

2


A. PEMBAHASAN

1. Pengertian Rukun dan Syarat
Rukun secara bahasa adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan
(DIKNAS,2002:966). Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus
diindahkan dan dilakukan (DIKNAS, 2002:1114). Dalam buku Muhammad Amin Suma
dijelaskan: rukun (Arab, rukn) jamaknya arkan, secara harfiah antara lain berarti tiang,
penopang dan sandaran,kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen.Sedangkan syarat
(Arab, syarth jamaknya syara’ith) secara literal berarti pertanda, indikasi dan memastikan.
Menurut istilah rukun diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu
yang lain dari keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu
sendiri, bukan karena tegaknya.Kalau tidak demikian, maka subjek (pelaku) berarti menjadi
unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi sifat,dan yang disifati (al-maushuf) menjadi
unsur bagi sifat(yang mensifati). Adapun syarat, menurut terminology para fuqaha seperti
diformulasikan Muhammad Khudlari Bek, ialah sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan
(mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri. Hikmah dari ketiadaan syarat itu berakibat
pula meniadakan hikmah hukum atau sebab hukum (Amin,2004:95). Dalam syari’ah, rukun, dan
syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi.
Secara defenisi, rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari

suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada
atau tidak adanya sesuatu itu (Dahlan, 1996:.1510).Definisi syarat berkaitan dengan sesuatu
yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri,
yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada (Dahlan, 1996: 1691).Perbedaan antara
rukun dan syarat menurut ulama ushul fiqih, yaitu rukun merupakan sifat yang kepadanya
tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat
merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum
itu sendiri (Dahlan, 1996: 1692).1

1

Shobirin, “Jual Beli dalam Pandangan Islam”, Jurnal Bisnis, (Vol. 3, No. 2, Desember 2015), h. 7-8.

3

2. Rukun dan Syarat Jual Beli dalam Islam
Sebagai salah satu bentuk transaksi, dalam jual beli harus ada beberapa hal agar
akadnya di anggap sah dan mengikat. Beberapa hal tersebut di sebut sebagai rukun . ulama
Hanafiyah menegaskan bahwa rukun jual beli hanya satu yaitu ijab. Menurut mereka hal yang
paling pronsip dalam jual beli adalah saling rela yang diwujudkan dengan kerelaan untuk saling

memberikan barang.maka jika telah terjadi ijab,disitu jual beli telah di anggap berlangsung .
Tentunya dengan adanya ijab,pasti di temukan hal-hal yang terkait dengannya,seperti paea
pihak yang berakad,obyek jual beli dan nilai tukarnya.2
1.

penjual dan pembeli

Syaratnya adalah:
a. Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b. Dengan kehendak sendiri (bukan di paksa).
c. Tidak mubazir (pemboros),sebab harta orang yang mubazir itu di tangan walinya.
Firman Allah Swt:
٥:

5. Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik
d. Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa ). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun
anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut

pendapat sebagian ulama, mereka di perbolehkan berjual beli barang yang kecilkecil; karena apabila tidak di perbolehkan,sudah tentu menjadi kesulitan dan
kesukaran,sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan
yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.3

2
3

Imam Mustofa, Fiqih muamalah Kontemporer, (Metro:STAIN Jurai Siwo Metro Lampung,2014), h.22-26
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), cet. 62 ,h. 279.

4

e. Pihak yang melakukan transaksi harus lebih dari satu pihak,karena tidak mungkin
akad hanya di lakukan oleh satu pihak dimana dia menjadi orang yang menyerahkan
dan yang menerima.4
f.

Bisa melihat yaitu tidaklah sah jual beli orang buta,karena dalam jual beli tersebut
terdapat ketidaktahuan salah satu pihak.oleh karena itu biasa di wakilkan kepada
orang lain untung berjualan atau membeli suatu barang.5


2.

Ada nilai tukar pengganti barang
Nilai tukar suatu barang merupakan salah satu unsur terpenting.Yang pada zaman

sekarang disebut dengan uang.Ulama fiqih memberikan penjelasan bahwa syarat nilai tukar
adalah sebagai berikut:
a. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya
pembayarannya harus jelas waktunya.
b. Jika jual beli itu dilakukan dengan cara barter, maka barang yang dijadikan nilai
tukar, bukan barang yang diharamkan syara’ seperti babi dan khamar.6
c. Barang yang diperjual belikan haus diperoleh dengan cara yang halal. Tidak sah jual
beli barang hasil rampokan, pencurian, korupsi dan lain-lain.Ketentuan ini
didasarkan kepada hadis Nabi yang menyatakan bahwa sesuatu yang tumbuh atau
dibesarkan dengan cara yang haram, maka nerakalah tempatnya

yang paling

cocok.7

d. Barang itu telah di ketahui oleh kedua belah pihak baik zat,ukuran dan sifatnya.8
3.

Ada shighat (lafal ijab dan kabul)9

4

Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta:Rajawali Pers ,2016), h.26
Muhammad Rizki Romadhon, Jual Beli Online Menurut Madzhab Asy-Syafi’I, (Jawa Barat: Pustaka
Cipasung,2015), h.14.
6
M. Ali Hasan sebagaimana dikutip oleh Syaifullah M.S, Etika Jual Beli Dalam Islam, Jurnal Studia
Islamik, (IAIN Palu Jl. Diponegoro No. 23 Palu, Vol. 11, No. 2, Desember 2014), h.8-9.
7
Siti Mujiatun,“Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istisna”, Jurnal Riset Akuntansi Dan Bisnis,
(Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Vol. 13 No . 2 , September 2013), h. 5.
8
Abdurrahman Ibnu Iwadh al-juzburi sebagaimana di kutip oleh Yasinta Devi, “Analisa Hukum Islam
Tentang Jual Beli Gold Pada game Online Jenis World Of Warcraft (WOW)”, Skripsi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah (2010). H.33.

9
Santoso, “Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata Pasal 1467
Tentang Larangan Jual Beli Antara Suami dan Istri”, Jurnal Penelitian (Universitas Islam Sultan Agung,
Semarang, Indonesia, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014), h.8
5

5

Pengertian akad menurut bahasa adalah ikatan yang ada diantara ujung suatu
barang.Sedangkan menurut istilah ahli fiqh ijab qabul menurut cara yang disyariatkan sehingga
tampak akibatnya (al-Zuhaily,t.th:115).Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddiqy aqad secara bahasa:
‫ص ا‬

‫ح‬

‫خ‬

‫شد حد ب‬

‫ن‬


‫ب‬

‫ع‬

‫ط ف‬

‫حدة‬

‫قط‬

‫بط‬
‫ص بح‬

Al Rabt (mengikat) yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya
dengan yang lain, sehingga bersambung, lalu keduanya menjadi sebagai sepotong benda
(1979 : 21).
Sedangkan aqad menurut istilah:
‫ق ض‬


‫ث‬

‫ش ع‬

‫ع‬

‫بب ق ب‬

‫بط‬

Perkataan antara ijab qabul dengan cara yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan
kedua belah pihak) (Hasby,1979 : 21). Mengucapkan dalam akad merupakan salah satu cara
lain yang dapat ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga dengan cara lain yang
dapat menggambarkan kehendak untuk berakad para ulama menerangkan beberapa cara yang
ditempuh dalam akad diantaranya:
a. Dengan cara tulisan, misalnya, ketika dua orang yang terjadi transaksi jual beli yang
berjauhan maka ijab qabul dengan cara tulisan (kitbah).
b. Dengan cara isyarat, bagi orang yang tidak dapat melakukan akad jual beli dengan
cara ucapan atau tulisan, maka boleh menggunakan isyarat. Sehingga muncullah
kaidah:
‫ن‬

‫ب نب‬

‫دة خ ش‬

‫ش ة‬

isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah (Suhendi, 2007:49).
c. Dengan cara ta’ahi (saling memberi), misalnya, seseorang melakukan pemberian
kepada orang lain, dan orang yang diberi tersebut memberikan imbalan kepada
orang yang memberinya tanpa ditentukan besar imbalan
d. Dengan cara lisan al-hal, menurut sebagian ulama mengatakan, apabila seseorang
meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain kemudian orang itu pergi dan
orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja hal itu dipandang telah ada

6

akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang titipan dengan yang di
tinggali.
Dengan demikian akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum
dikatakan sah sebelum ijab dan qobul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan
(keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan atau tulis. Ijab qabul dalam bentuk
perkataan atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling memberi (penyerahan barang dan
penerimaan uang). Pada dasarnya akad bapat dilakukan dengan lisan langsung tetapi bila
orang bisu maka ijab qobul tersabut dapat dilakukan dengan surat menyurat yang pada intinya
mengandung ijab qobul.10 Jadi akad (transaksi), yaitu: segala tindakan yang dilakukan keduabelah pihak yang menunjukkan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakan tersebut
berbentuk kata-kata atau perbuatan. 11
Ijab adalah perkataan penjual,umpamanya, “saya jual barang ini sekian”.qabul adalah
ucapan si pembeli, “saya terima (saya beli) dengan harga sekian”.menurut beberapa ulama
berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun,hanya menurut adat kebiasaan saja. Tetapi
menurut ulama yang mewajibkan lafaz harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
a. Keadaan ijab dan qabul saling berhubungan.artinya salah satu dari keduanya pantas
menjadi jawaban dari yang lain dan waktunya belum berselang lama.
b. Makna dari keduanya hasil musyawarah bersama walaupun lafaz keduanya
berlainan.
c. Keduanya tidak di sangkutkan dengan urusan yang lain,misalnya katanya “jika saya
jadi pergi,saya jual barang ini sekian”.
d. Tidak berwaktu,karena jual beli berwaktu seperti seminggu,sebulan,setahun atau
lainnya maka tidak sah.12
Syarat keabsahan akad jual beli ada dua macam yaitu syarat umum dan syarat khusus.
Adapun syarat umum adalah syarat-syarat yang telah di sebutkan di atas dan di tambah empat
syarat, yaitu;
1. Barang dan harganya di ketahui (nyata);

Shobirin, “Jual Beli dalam Pandangan Islam”, Jurnal Bisnis, (Vol. 3, No. 2, Desember 2015), h. 8-9
Yusuf Al Subaily alih bahasa oleh Erwandi Tarmizi, “Pengantar fiqh muamalat dan
aplikasinya dalam ekonomi modern”, ( Mahasiswa S3 Fakultas Syariah Universitas Islam Imam
Muhammad Saud), h.7.
12
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), cet. 62 ,h. 282.

10
11

7

2. Jual beli tidak boleh bersifat sementara (muaqat), karena jual beli merupakan
akad tukar menukar untuk perpindahan hak selamanya;
3. Transaksi jual beli harus membawa manfaat,dengan demikian maka tidak sah
jual beli dirham dengan dirham yang sama;
4. Tidak

adanya

syarat

yang

merusak

transaksi,seperti

syarat

yang

menguntungkan salah satu pihak.syarat yang tidak di kenal dalam syara’ dan
tidak di perkenankan secara adat atau kebiasaan suatu masyarakat.13
Sementara syarat khusus ada lima yaitu:
1. Penyerahan barang menjadi objek transaksi sekiranya barang tersebut dapat di
serahkan atau barang tidak bergerak dan di takutkan akan rusak bila tidak
segera di serahkan;
2. Diketahuinya harga awal pada jual beli murabahah,tauliyah,dan wadi’ah;
3. Barang dan harga penggantinya sama nilainya;
4. Terpenuhinya syarat salam, seperti penyerahan uang sebagaimodal dalam jual
beli saham;
5. Salah satu barang yang di tukar bukan hutang piutang.14
Selain syarat di atas ada syarat tambahan yang menentukan keabsahan sebuah akad
setelah syarat terbentuknya akad terpenuhi.syarat tambahan ini ada empat macam,yaitu:
1. Pernyataan kehendaak harus di lakukan secara bebas,tanpa paksaan dari pihak
manapun;
2. Penyerahan objek transaksi jual beli tidak menimbulkan bahaya;
3. Bebas dari gharar
4. Bebas dari riba
Syarat keabsahan di atas menentukan sah tidaknya sebuah akad jual beli. Apabila
sebuah akad tidak memenuhi syarat-syarat tersebut meskipun rukun dan syaratnya
terbentuknya akad sudah terpenuhi akad tidak sah. Akad semacam ini dinamakan akad fasid.
Menurut ulama kalangan Hanafiyah akad fasid adalah akad yang menurut syara’sah
pokoknya,tetapi tidak sah sifatnya.artinya akad yang telah memenuhi rukun dan syarat
terbentuknya tetapi belum memenuhi syarat keabsahannya.15

Wahbah al-Zuhaili sebagaimana di kutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… ,h.25
Ibid., h. 26.
15
Ibnu Mujaim sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 26

13

14

8

Syarat mengikat dalam akad jual beli.16 Sebuah akad yang sudah memenuhi rukun dan
berbagai syarat sebagaimana di jelaskan di atas,belum tentu membuat akad tersebut dapat
mengikat para pihak yang telah melakukan akad.ada syarat yang menjadikannya mengikat para
pihak yang melakukan akad jual beli:
1. Terbebas dari sifat atau syarat yang pada dasarnya tidak mengikat para pihak
2. Terbebas dari khiyar, akad yang masih tergantung dengan hak khiyar baru
mengikat

ketika

hak

khiyar

telah

berakhir,selama

hak

khiyar

belum

berakhir,maka akad tersebut belum mengikat.
Apapun bentuk jual beli,apapun cara dan media transaksinya,maka harus memnuhi
syarat dan rukun sebagaimana di jelaskan di atas.transaksi di dunia maya sebagai salah satu
bentuk jual beli juga harus memenuhi syarat-syarat di atas.17
4.

Ada barang yang dibeli

Syarat yang diperjualbelikan, adalah sebagai berikut :
1. Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan sanggup untuk
mengadakan barang itu
2. Barang tersebut dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu
keluar dari syarat ini adalah menjual khamar, bangkai haram untuk diperjualbelikan,
karena tidak bermanfaat bagi manusia dalam pandangan syara’
3. Milik seseorang. Maksudnya adalah barang yang belum milik seseorang tidak boleh
menjadi objek jual beli, seperti menjual ikan yang masih di laut, emas yang masih dalam
tanah, karena keduanya belum menjadi milik penjual.
4. Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, atau pada waktu yang telah disepakati.18

Wahbah al-zuhaili sebagaimana di kutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… ,h. 26
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah…, h.27
18
Syaifullah, “Etika Jual Beli Dalam Islam”, Jurnal Studia Islamika, (IAIN Palu Jl. Diponegoro No. 23 Palu,
Vol. 11, No. 2, Desember 2014), h.8

16

17

9

B. PENUTUP
Rukun secara bahasa adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan
(DIKNAS,2002:966). Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus
diindahkan dan dilakukan (DIKNAS, 2002:1114). Menurut istilah rukun diartikan dengan sesuatu
yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari keberadaannya, mengingat eksisnya
sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu sendiri, bukan karena tegaknya.Kalau tidak demikian,
maka subjek (pelaku) berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi
sifat,dan yang disifati (al-maushuf) menjadi unsur bagi sifat(yang mensifati). Adapun syarat,
menurut terminology para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad Khudlari

Bek, ialah

sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan (mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri.
Secara defenisi, rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada
atau tidak adanya sesuatu itu (Dahlan, 1996:.1510). Perbedaan antara rukun dan syarat
menurut ulama ushul fiqih, yaitu rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan
hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang
kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum itu sendiri (Dahlan,
1996: 1692). Rukun dan syarat jual beli dalam islam

penjual dan pembeli, ada nilai tukar

pengganti barang, ada shighat (lafal ijab dan kabul), dan ada barang yang dibeli. Apapun
bentuk jual beli,apapun cara dan media transaksinya,maka harus memnuhi syarat dan rukun
sebagaimana di jelaskan di atas.transaksi di dunia maya sebagai salah satu bentuk jual beli
juga harus memenuhi syarat-syarat di atas.

10

C. DAFTAR PUSTAKA
Shobirin, “Jual Beli dalam Pandangan Islam”, Jurnal Bisnis, Vol. 3, No. 2, Desember 2015
Imam Mustofa, Fiqih muamalah Kontemporer, Metro:STAIN Jurai Siwo Metro Lampung,2014
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013.
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, Jakarta:Rajawali Pers ,2016.
Muhammad Rizki Romadhon, Jual Beli Online Menurut Madzhab Asy-Syafi’I, Jawa Barat:
Pustaka Cipasung,2015.
M. Ali Hasan sebagaimana dikutip oleh Syaifullah M.S, Etika Jual Beli Dalam Islam, Jurnal
Studia Islamik,(IAIN Palu Jl. Diponegoro No. 23 Palu, Vol. 11, No. 2, Desember 2014.
Siti Mujiatun,“Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istisna”, Jurnal Riset Akuntansi Dan
Bisnis, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Vol. 13 No . 2 ,
September 2013.
Abdurrahman Ibnu Iwadh al-juzburi sebagaimana di kutip oleh Yasinta Devi, “Analisa Hukum
Islam Tentang Jual Beli Gold Pada game Online Jenis World Of Warcraft (WOW)”, Skripsi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010.
Santoso, “Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata
Pasal 1467 Tentang Larangan Jual Beli Antara Suami dan Istri”, Jurnal Penelitian Universitas
Islam Sultan Agung, Semarang, Indonesia, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014.
Yusuf Al Subaily alih bahasa oleh Erwandi Tarmizi, “Pengantar fiqh muamalat dan aplikasinya
dalam ekonomi modern”, Mahasiswa S3 Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad
Saud

11