DEIKSIS DALAM SERI CERITA RAKYAT KALANTIKA PENULIS CHAIRIL EFFENDY

  

DEIKSIS DALAM SERI CERITA RAKYAT KALANTIKA

PENULIS CHAIRIL EFFENDY

Irma Sari, Sisilya Saman, Agus Syahrani

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP,

  

Universitas Tanjungpura, Pontianak

Ema

  

Abstract

Background of this research was to review and to analyze the deixis in folklore

series which was the result of transcription from spoken to written language. The

aimed of this research to classify of types and functions deixis and to describe

the relation between persona deixis and social deixis was Folklore Kalantika

Series. The form of this research was qualitative with descriptive method. The data

in this research was the deixis every folklore. The Source of this research was four

folklore in every Folklore Kalantika Series. The data collection technique in this

research was using documentation. The instrument was take the data from deixis

sentences, in particular of persona deixis sentences and social deixis sentences.

  Based on data analysis of the four stories in folklore Kalantika series, it can be

concluded that deixis persona which often used is deixis persona third singular

person in the form ‘-nya’, meanwhile on deixis social that often appeared is the form

of ‘bapak’ which fuction as the diversification of somebody’s social level. There are

connection between deixis persona with deixis social because some forms of deixis

social are parts of deixis persona. This thing can be seen from the form of ‘bapak’

which fuction as social degree as seen from genetic relationship adressing and also

it has referential for second person or part of deixis persona second singular.

  Keywords: Deixis, Folklore. Kalantika Series, Chairil Effendy, Malay of Sambas

  Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang makna yang disampaikan penutur baik secara lisan maupun tulisan yang ditafsirkan pembaca atau pendengar. Kajian pragmatik melibatkan interpretasi tentang maksud seseorang ketika ia menuturkan sesuatu dalam konteks tertentu dan bagaimana konteks tersebut memengaruhi tuturan yang diucapkannya. Kajian ini mengharuskan adanya pertimbangan tentang bagaimana penutur mengatur tuturannya berkaitan dengan orang yang ia ajak bicara, tempat dan waktu terjadinya tuturan, serta situasi yang menaungi tuturan tersebut. Jika dibandingkan dengan kajian-kajian linguistik yang lain, pragmatik merupakan satu-satunya kajian yang memperbolehkan penutur bahasa masuk ke dalam analisisnya.

  Pragmatik mengkaji beberapa hal, yaitu deiksis, praanggapan, tindak ujar, implikatur, dan struktur wacana. Deiksis menurut Yule (2014:13) adalah istilah teknis untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis merupakan kajian pragmatik, tetapi deiksis juga dikatakan merupakan gejala semantik yang terdapat pada kata-kata yang dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan yang jelas karena di dalam pembicaraan tersebut terdapat peserta tindak tutur yang mempunyai maksud dan tujuan.

  Penggunaan deiksis dalam sebuah karya sastra seperti cerita rakyat sering muncul. Penelitian deiksis, khususnya deiksis persona dan sosial yang terdapat di dalam cerita rakyat merupakan sesuatu hal yang unik untuk diteliti. Penggunaan deiksis persona dan sosial di dalam cerita rakyat dapat ditemukan melalui kata penunjuk pada tokoh dan latar sosial yang terdapat dalam cerita. Keempat deiksis tersebut dapat ditemukan dalam Seri Cerita Rakyat Kalantika .

  Seri Cerita Rakyat Kalantika ini merupakan hasil transkripsi, terjemahan, dan perbaikan seperlunya oleh Chairil Effendy dari bahasa lisan ke bahasa tulis. Chairil Effendy adalah seorang profesor sastra lisan pertama di Kalimantan Barat sekaligus seorang dosen di FKIP Universitas Tanjungpura. Selain itu, Chairil Effendy juga menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kalimatan Barat.

  Seri Cerita Rakyat Kalantika ini menceritakan kehidupan rakyat pada zaman dahulu yang diselingi dengan kejadian- kejadian fiktif sehingga seri cerita rakyat ini mengandung nilai-nilai budaya dan sosial yang harus dihayati dan diambil nilai serta amanatnya. Selain itu, Seri Cerita Rakyat

  Kalantika merupakan wujud melestarikan

  sastra daerah terutama cerita rakyat yang berkembang di Kalimantan Barat Sebelum penelitian ini dilakukan, penelitian tentang deiksis sudah pernah dilakukan oleh mahasiswa sebagai berikut: (1) Anita Wulandari (2016) yang berjudul “Penggunaan Deiksis dalam Kumpulan Cerpen Kompas 2013

  ”. (2) Mery Ansiska (2009) yang berjudul “Penggunaan Deiksis Persona dan Tempat dalam Novel Supernova 1 : Kesatria, Puteri dan Bintang Jatuh Karya

  Dee

  ”. (3) Ogy William (2014) yang berjudul “Deiksis dalam Bahasa Melayu Pontianak”. Perbedaan ketiga penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada jenis deiksis yang diteliti dan objek penelitiannya.

  Rumusan masalah yang menjadi bahasan dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) Bagaimana klasifikasi jenis dan fungsi penggunaan deiksis dalam seri cerita rakyat

  Kalantika ? (2) Bagaimana hubungan deiksis

  persona dan deiksis sosial dalam seri cerita rakyat Kalantika? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengklasifikasi jenis dan fungsi penggunaan deiksis dalam seri cerita rakyat Kalantika. (2) Menganalisis hubungan deiksis persona dan deiksis sosial dalam seri cerita rakyat

  Kalantika .

  Purwo (1984:22) menjelaskan bahwa “referen yang ditunjuk oleh kata ganti persona berganti-ganti tergantung pada peranan yang dibawakan oleh peserta tindak ujar”. Putrayasa (2014:43) menjelaskan bahwa “Deiksis perorangan (person deixis); menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan entitas yanng lain.” Deiksis persona ini terdiri dari kata ganti persona pertama, kata ganti persona kedua, dan kata ganti persona ketiga.

  Purwo (dalam Putrayasa, 2014:53) menyatakan bahwa deiksis sosial menunjukkan perbedaan-perbedaan sosial (perbedaan yang disebabkan oleh faktor- faktor sosial seperti jenis kelamin, usia, kedudukan di dalam masyarakat, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya) yang ada pada partisipan dalam sebuah komunikasi verbal yang nyata, terutama yang berhubungan dengan segi hubungan peran antara penutur dan petutur, atau penutur dengan topik atau acuan lainnya. Putrayasa (2014:53) mengatakan bahwa deiksis sosial itu merupakan deiksis yang di samping mengacu keadaan referen tertentu, juga mengandung konotasi sosial tertentu, khususnya pada deiksis persona.

  Hubungan antara deiksis persona dan deiksis sosial dalam penelitian ini didasarkan pada pernyataan Purwo (1984:23) bahwa “Bentuk persona kedua engkau dan kamu hanya dapat dipergunakan di antara peserta ujaran yang sudah akrab hubungannya, atau dipakai oleh orang yang mempunyai status sosial lebih tinggi untuk menyapa lawan bicara yang berstatus sosial lebih rendah”.

METODE PENELITIAN

  

Fungsi Enklitik Deiksis Persona

No. Fungsi Enklitik Jumlah Data Jumlah Keseluruhan Data -ku -mu -nya

  2

  Bapak - -

  Pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan

  

Jenis, Bentuk, dan Fungsi Deiksis Sosial

No. Fungsi Bentuk Jumlah Data Kata Frasa Klausa 1.

  1 Tabel 3

  2 menyatakan objek tindakan 1 - -

  26

  4

  3

  19

  1 menyatakan kepunyaan

  Bentuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk penelitian kualitatif. Prosedur dalam penelitian ini yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa jenis dan fungsi deiksis persona dan sosial pada konteks kalimat tertentu dan ditindaklanjuti dengan menganalisis hubungan deiksis persona dan deiksis sosial dalam Seri Cerita Rakyat Kalantika .

  Metode yang digunakam dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang mengandung arti bahwa penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan dengan jelas tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti.

  9 2 -nya √

  1 Aku √

  Tunggal Jamak Tunggal Jamak Tunggal Jamak

  

Tabel 1

Jenis dan Bentuk Deiksis Persona

No. Bentuk Deiksis Jenis Deiksis Jum. Data Pertama Kedua Ketiga

  Contoh kartu data deiksis persona dan deiksis sosial.

  studi dokumenter, yakni suatu teknik pengumpulan data menggunakan dokumen sebagai sumber data penelitian baik itu dokumen pribadi maupun dokumen resmi. Instrumen penelitian ini dilakukan dengan mencatat data-data yang merupakan kalimat- kalimat yang mengandung jenis, bentuk, dan fungsi deiksis berupa pronomina pada keempat cerita dalam Seri Cerita Rakyat Kalantika ke dalam kartu data.

  Kalantika yang dilakukan berdasarkan teknik

  Pengumpulan data dapat diperoleh melalui sumber tertulis Seri Cerita Rakyat

  Kalantika adalah empat cerita.

  Sumber data yang terdapat dalam penelitian ini adalah semua cerita rakyat yang terdapat dalam Seri Cerita Rakyat Kalantika. Jumlah cerita yang terdapat dalam Seri Cerita Rakyat

  Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalimat-kalimat yang mengandung deiksis berupa kata ganti (pronomina) yang terdapat dalam Seri Cerita Rakyat Kalantika.

  19 Tabel 2 Berdasarkan prosedur pengolahan data, data diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Membaca seri cerita rakyat

  Kalantika yang dijadikan sumber data; 2)

  Menyeleksi kalimat yang menggunakan deiksis persona dan sosial; 3) Mengklasifikasikan jenis-jenis deiksis persona dan sosial; 4) Mengklasifikasikan fungsi-fungsi deiksis persona dan sosial; 5) Menganalisis hubungan antara deiksis persona dengan deiksis sosial yang terdapat dalam seri cerita rakyat Kalantika;

  Berdasarkan teknik analisis data, data dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Mengklasifikasi data berupa deiksis persona dalam seri cerita rakyat

  Kalantika ; 2) Mengklasifikasi data berupa

  deiksis sosial dalam seri cerita rakyat

  Kalantika ; 3) Menganalisis hubungan antara

  deiksis persona dengan deiksis sosial yang terdapat dalam seri cerita rakyat Kalantika; 4) Memberikan simpulan dari hasil analisis data.

  Bentuk ‘kami’ dan ‘kita’ dalam cerita ini mempunyai fungsi masing-masing. Bentuk ‘kami’ mempunyai fungsi yang menyatakan bentuk inklusif, artinya pronomina itu mencakupi pembicara atau penulis dan orang lain dipihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain dipihak pendengar atau pembacanya. Bentuk ‘kita’ dalam cerita ini mempunyai fungsi yang menyatakan bentuk ekslusif, artinya pronomina itu mencakupi tidak saja pembicara atau penulis, tetapi juga pendengar atau pembaca, dan mungkin pula pihak lain.

  Terdapat dua bentuk deiksis persona ‘aku’ pada cerita ini yang masing-masing merujuk pada Kalantika. Ditemukan penggunaan bentuk praklitik ‘ku-’ dalam cerita ini yang merupakan variasi bentuk deiksis persona pertama tunggal ‘aku’ yang fungsinya menyatakan objek tindakan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  Cerita “Kalantika” mengacu kepada suatu tempat yang bukan tempat penutur, jadi dapat diartikan sebagai pronomina ketiga. Kemudian, ditemukan pula satu deiksis persona ketiga jamak dalam bentuk ‘mereka‘. Penggunaan bentuk ‘mereka’ untuk merujuk pada tokoh yang lebih dari satu dan tidak ada di tempat pada saat percakapan antartokoh sedang berlangsung. Pada cerita ini, bentuk ‘mereka’ yang digunakan semuanya merujuk pada manusia yang ada di bumi.

  Berdasarkan analisis dan deskripsi data yang dilakukan dalam cerita rakyat yang berjudul “Kalantika” ditemukan 6 jenis dengan 11 bentuk penggunaan deiksis persona dan 2 bentuk deiksis sosial. Pada cerita rakyat yang berjudul “Putri Rusa” ditemukan 5 jenis dengan 19 bentuk penggunaan deiksis persona dan 15 bentuk deiksis sosial. Pada cerita rakyat yang berjudul “Putri Batu Karang, Putri Nyiur Gading, dan Putri Limau Manis” ditemukan 6 jenis dengan 15 bentuk penggunaan deiksis persona dan 6 bentuk deiksis sosial. Kemudian pada cerita rakyat yang berjudul “Putri Jelumpang” ditemukan 6 jenis dengan 15 bentuk penggunaan deiksis persona dan 9 bentuk deiksis sosial.

  Bentuk ‘kau’ merupakan jenis deiksis persona kedua tunggal yang merujuk pada satu tokoh yang terdapat dalam cerita. Dalam cerita ini kata ganti ‘kau’ diucapkan Dewa yang merujuk pada Kalantika.

  Bentuk ‘kalian’ merupakan jenis deiksis persona kedua jamak yang merujuk pada lebih dari satu tokoh yang terdapat dalam cerita. Pada cerita ini, kata ganti ‘kalian’ diucapkan oleh Kalantika untuk merujuk kepada kawan-kawannya di bumi.

  Bentuk deiksis persona ketiga yang sering muncul adalah bentuk ‘-nya’ dengan 26 penggunaan

  . Penggunaan bentuk ‘dia’ dalam cerita ini memiliki fungsi berposisi sebagai subjek. Variasi bentuk dari deiksis persona ‘dia’ menjadi ‘-nya’ pada cerita ini mempunyai fungsi untuk menyatakan kepunyaan. Bentuk ‘-nya’ apabila disambungkan dengan nomina, menunjukkan hubungan kepunyaan atau menyebutkan pemilik.

  Terdapat penggunaan bentuk deiksis persona ketiga tunggal yang bersifat demonstratif ‘itu’ dalam cerpen ini. Hal ini dikarenakan kata ‘itu’ merupakan kata yang

  Terdapat 6 jenis deiksis persona yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu deiksis persona pertama tunggal dalam bentuk ‘aku’ dan ‘ku-‘, deiksis persona pertama jamak dalam bentuk ‘kami’ dan ‘kita’, deiksis persona kedua tunggal dalam bentuk ‘kau’, deiksis persona kedua jamak dalam bentuk ‘kalian’, deiksis persona ketiga tunggal dalam bentuk ‘dia’, ‘-nya’, ‘anak dewa itu’, dan ‘anak dewa ini’, dan deiksis persona ketiga jamak dalam bentuk ‘mereka’.

  Deiksis sosial dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan dalam bentuk ‘bapak’ dan ‘pak’. Bentuk ‘pak’ merupakan variasi bentuk dari sapaan ‘bapak’. Pada cerita ini bentuk ‘bapak’ dan ‘pak’ semuanya merujuk pada orang tua kandung laki-laki.

  Hubungan deiksis persona dan deiksis sosial dilihat dari hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur dalam suatu dialog. Penggunaan deiksis persona dengan deiksis sosial dapat juga dilihat dari percakapan anak dewa dengan bapaknya−dewa itu sendiri.

  “Mengapa kau berikan bibit padi kepada manusia?” tanya Dewa kepada Kalantika.

  “Aku kasihan, Pak,” jawab Kalantika. “Kalantika, kau telah berbuat lancang.

  Mulai saat ini kau kukutuk menjadi batu.” (Kalantika, hal. 6, bar. 21-25) Penggunaan deiksis persona ‘kau’ yang diucapkan Dewa kepada anaknya Kalantika terkesan agak kasar karena saat berbicara dengan anaknya, Dewa sedang marah. Dewa marah dengan Kalantika yang telah lancang memberikan bibit padi kepada manusia tanpa izin darinya. Terlepas dari emosi tokoh Dewa dalam cerita ini, penggunaan deiksis persona ‘kau’, ‘aku’, dan ‘Pak’ berhubungan dengan hubungan kekeluargaan yang terjalin antara Dewa dan anaknya yang bernama Kalantika. Hubungan sosial yang terjalin lebih jelas terlihat saat Kalantika memanggil bapaknya dengan kata sapaan ‘Pak’ yang juga merupakan deiksis persona kedua tunggal.

  Cerita “Putri Rusa”

  Terdapat 5 jenis deiksis persona yang persona pertama tunggal dalam bentuk ‘aku’, ‘-ku’, dan ‘ku-‘, deiksis persona pertama jamak dalam bentuk ‘kami’ dan ‘kita’, deiksis persona kedua tunggal dalam bentuk ‘kau’, ‘engkau’, ‘-mu’, ‘bapak’, ‘datuk’, ‘pak’, ‘mak’, ‘tuk’, ‘nong’, ‘kak’, dan ‘dik’, deiksis persona ketiga tunggal dalam bentuk ‘dia’ dan ‘-nya’, dan deiksis persona ketiga jamak dalam bentuk ‘mereka’.

  Bentuk deiksis ‘aku’ yang digunakan dalam cerita ini terdiri dari 83 penggunaan yang merujuk pada semua tokoh yang ada dalam cerita. Tokoh-tokoh tersebut adalah Raja Magribi, 7 Tuan Putri, Raja Tunggal, Raja Rum, Putri Rusa, Ahmad Muhamad.

  Ditemukan penggunaan bentuk praklitik ‘ku-‘ dan bentuk enklitik ‘-ku’ dalam cerita ini yang merupakan variasi bentuk deiksis persona pertama tunggal ‘aku’. Pada cerita ini terdapat 20 penggunaan bentuk ‘ku-‘ yang merujuk pada Raja Magribi, Raja Rum, Raja Tunggal, dan Putri Rusa. Terdapat 37 penggunaan bentuk ‘- ku‘ dalam cerita ini yang merujuk pada Raja Magribi, Raja Tunggal, Raja Rum, Ahmad Muhamad, dan Putri Rusa.

  Bentuk ‘kami’ digunakan oleh pembicara apabila orang yang dimaksud adalah dirinya dan orang yang mewakilinya. Pada cerita ini terdapat 3 penggunaan bentuk ‘kami’ yang merujuk pada Selamat Siberkat, Raja Tunggal, dan rakyat.

  Bentuk ‘kita’ mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan mungkin pula pihak lain. Pada cerita ini terdapat 22 bentuk ‘kita’ yang merujuk pada Raja Magribi, Tujuh Putri Raja Magribi, Raja Tunggal, Selamat Siberkat, Ahmad Muhamad, Raja Rum, semua rakyat, penulis dan pembaca.

  Bentuk ‘kau’, ‘engkau’, dan ‘-mu’ merujuk pada satu tokoh yang ada dalam cerita. Pada cerita ini terdapat 5 bentuk ‘kau’ yang diucapkan oleh Raja Rum untuk merujuk pada Raja Tunggal. Pada cerita ini terdapat 44 bentuk ‘engkau’ yang merujuk pada Selamat Siberkat, Raja Tunggal, dan Ahmad Muhammad. Bentuk ‘-mu’ merupakan variasi bentuk dari ‘kamu’. Terdapat 37 bentuk ‘-mu’ dalam cerita ini yang masing-masing merujuk pada Selamat Siberkat, Raja Tunggal, dan Ahmad Muhammad.

  Bentuk ‘bapak’ merupakan sebutan ketakziman untuk persona kedua leksem kekerabatan, sedangkan bentuk ‘pak’ merupakan variasi dari bentuk ‘bapak’. Pada cerita ini terdapat 1 bentuk ‘bapak’ yang merujuk pada Raja Rum dan 14 bentuk ‘pak’ yang merujuk pada Raja Rum, Raja Magribi, dan Raja Tunggal. Sama halnya dengan bentuk ‘bapak’, bentuk ‘mak’, ‘nong’, ‘kak’, dan ‘dik’ juga merupakan sebutan ketakziman untuk persona kedua leksem kekerabatan.

  Bentuk ‘mak’ merupakan variasi dari bentuk ‘emak’ yang dalam cerita ini terdapat 18 penggunaan untuk merujuk pada Putri Rusa sebagai ibu dari Ahmad Muhamad.

  Bentuk ‘nong’ merupakan panggilan sayang dari orang tua untuk anaknya. Pada cerita ini terdapat 10 bentuk ‘nong’ yang merujuk pada Ahmad Muhamad sebagai anak dari Putri Rusa dan Raja Tunggal. Bentuk ‘kak’ merupakan variasi bentuk dari ‘kakak’ yang biasa digunakan untuk memanggil saudara perempuan yang lebih tua. Pada cerita ini terdapat 3 bentuk ‘kak’ yang merujuk pada saudara perempuan dari ketujuh putri Raja Magribi.

  Bentuk ‘dik’ merupakan variasi bentuk dari ‘adik’ yang biasa digunakan untuk memanggil saudara perempuan yang lebih muda, Pada cerita ini terdapat 2 bentuk ‘dik’ yang merujuk pada saudara perempuan dari ketujuh putri Raja Magribi.

  Bentuk ‘tuk’ merupakan variasi bentuk dari bentuk ‘datuk’ yang merupakan leksem gelar. Pada cerita ini terdapat 4 bentuk ‘tuk’ yang diucapkan Selamat Siberkat untuk merujuk pada Raja Rum.

  Bentuk deiksis persona ketiga yang sering muncul adalah bentuk ‘-nya’ dengan 135 penggunaan

  . Penggunaan bentuk ‘dia’ dalam cerita ini memiliki fungsi berposisi sebagai subjek.

  Bentuk ‘mereka’ merujuk pada tokoh lebih dari satu dan tidak ada di tempat pada saat percakapan antartokoh sedang berlangsung. Pada cerita ini terdapat 3 penggunaan bentuk ‘mereka’ yang semuanya merujuk pada ketujuh putri Raja Magribi.

  Bentuk-bentuk singkat deiksis persona ‘-ku’, ‘-mu’, dan ‘-nya’ yang ditemukan dalam cerita ini memiliki fungsi yang menyatakan kepemilikan atau kepunyaan, sedangkan bentuk praklitik ‘ku-’ dalam cerita ini berfungsi untuk menyatakan objek tindakan.

  Deiksis sosial dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan dalam bentuk

  ‘bapak’, ‘pak’, ‘emak’, ‘mak’, ‘nong’, ‘kakak’, ‘kak’, ‘adik’, dan ‘dik’, sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa julukan dalam bentuk

  ‘tuan putri’, sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa gelar kebangsawanan dalam bentuk ‘raja’ dan ‘datuk’, menjaga sopan santun berbahasa dalam bentuk

  ‘hamba’ dan ‘patik’, dan menjaga sikap sosial dalam bentuk ‘ampun-ampun seribu ampun, sembah patik harap diampun

  ’. B entuk ‘bapak’ dan ‘pak’ semuanya merujuk pada orang tua kandung laki-laki. Te rdapat tiga tokoh yang dipanggil ‘bapak’ dalam cerita ini, yaitu Raja Magribi, Raja Rum, dan Raja Tunggal. Jumlah data yang menggunakan bentuk ‘bapak’ ada 15. Bentuk ‘emak’ dan ‘mak’ semuanya merujuk pada orang tua kandung perempuan yang dalam hal ini adalah Putri Rusa. Terdapat 9 deiksis sosial ‘emak’ dan 17 bentuk ‘mak’ yang digunakan pada cerita ini.

  Bentuk sapaan ‘nong’ merupakan panggilan sayang untuk anak yang biasa digunakan oleh masyarakat Melayu. Selain itu, t erdapat 10 penggunaan bentuk ‘nong’ dalam cerita ini. Terdapat 6 penggunaan bentuk ‘kakak’, 3 penggunaan bentuk ‘kak’, 3 penggunaan bentuk ‘adik’, dan 2 penggunaan bentuk ‘dik’.

  Julukan ‘tuan putri’ menggambarkan seorang perempuan yang cantik dan biasanya berasal dari kalangan bangsawan yang hidup di kerajaan. Pada cerita ini, julukan ‘tuan putri’ yang didapatkan karena putri tersebut merupakan anak Raja Magribi yang memiliki kecantikan luar dalam. Jadi, tingkatan sosial seorang ‘tuan putri’ ini tidak hanya didapat dari kecantikannya, tetapi juga dari darah bangsawan yang melekat padanya. Terdapat

  15 penggunaan bentuk ‘tuan putri’ yang digunakan dalam cerita ini.

  Deiksis sosial dalam bentuk ‘datuk’ merupakan nama panggilan untuk ‘raja’, yaitu Raja Rum. Rakyatnya memanggil raja dengan panggilan

  ‘datuk’ semata-mata untuk menghormati pemimpin mereka. Panggilan ‘datuk’ ini juga merupakan hasil konvensi dari rakyat yang dalam cerita ini bersuku Melayu.

  Kata ganti ‘hamba’ dan ‘patik’ yang digunakan dalam cerita ini berfungsi untuk menjaga sopan santun berbahasa antara orang yang berstatus sosial lebih rendah dengan yang berstatus sosial lebih tinggi. Pada cerita ini penggunaan kata ganti ‘hamba’ dan ‘patik’ merujuk pada pembantu raja yang bernama

  Selamat Siberkat.

  Terdapat pula satu kebiasaan berbahasa yang dilakukan pembantu raja dan rakyatnya saat bertemu langsung dengan raja, yaitu seperti sembah sujud dengan mengucapkan kalimat seperti berikut. “Datuk, ampun-ampun seribu ampun, sembah patik harap diampun

  .” (PR, hal. 13, bar. 14) Penggunaan kalimat

  ‘ampun-ampun seribu ampun, sembah patik harap diampun ’ saat bertemu raja menegaskan sikap hormat yang telah menjadi konvensi antara raja dan rakyatnya.

  Deiksis persona dan deiksis sosial dalam cerita ini saling berhubungan karena sebagian bentuk deiksis sosial merupakan bagian dari deiksis persona, seperti penggunaan bentuk ‘bapak’, ‘emak’, ‘kakak’, ‘adik’, ‘datuk’, ‘nong’ di deiksis persona dan ‘bapak’, ‘emak’, ‘kakak’, ‘adik’, ‘datuk’, ‘nong’di deiksis sosial. Tingkatan sosial yang dilihat dari sapaan ke kerabatan ‘bapak’, ‘emak’, ‘kakak’, ‘adik’, ‘datuk’, dan ‘nong’ tersebut memiliki rujukan orang kedua atau bagian dari deiksis persona kedua tunggal.

  Selain itu, penggunaan kata ganti ‘hamba’ dan ‘patik’ dalam deiksis sosial juga berkaitan dengan deiksis persona karena kata ganti tersebut memiliki rujukan orang seperti kata ganti dalam deiksis persona. Kata ganti ‘hamba’ dan ‘patik’ memiliki arti ‘saya’ dengan maksud untuk merendahkan diri, jadi kata ganti ‘hamba’ dan ‘patik’ sama dengan deiksis persona pertama tunggal dalam bentuk ‘saya’ atau ‘aku’.

  Cerita “Putri Batu Karang, Putri Nyiur Gading, dan Putri Limau Manis”

  Terdapat 6 jenis deiksis persona yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu deiksis persona pertama tunggal dalam bentuk ‘aku’, ‘-ku’, dan ‘ku-‘, deiksis persona pertama jamak dalam bentuk ‘kami’ dan ‘kita’, deiksis persona kedua tunggal dalam bentuk ‘engkau’, ‘-mu’, ‘bapak’, ‘datuk’, ‘pak’, dan ‘tuk’, deiksis persona kedua jamak dalam bentuk ‘kalian’, deiksis persona ketiga tunggal dalam bentuk ‘dia’ dan ‘-nya’, dan deiksis persona ketiga jamak dalam bentuk ‘mereka’.

  Bentuk ‘aku’ yang digunakan dalam cerita ini terdiri dari 55 penggunaan yang merujuk pada semua tokoh yang ada dalam cerita. Tokoh-tokoh tersebut adalah Putri Batu Karang, Pak Pemancing, Selamat Siberkat, Raden Dewi Nyaya, dan Raja.

  Ditemukan penggunaan bentuk praklitik ‘ku-‘ dan bentuk enklitik ‘-ku’ dalam cerita ini yang merupakan variasi bentuk deiksis persona pertama tunggal ‘aku’. Pada cerita ini terdapat 9 penggunaan bentuk ‘ku-‘ yang merujuk pada Pak Pemancing dan Raja yang berfungsi untuk menyatakan kepunyaan atau kepemilikan. Kemudian terdapat 25 penggunaan bentuk ‘ku-‘ yang merujuk pada Pak Pemancing, Putri Batu Karang, Raden Dewi Nyaya, dan Raja yang berfungsi sebagai objek tindakan.

  T erdapat 11 penggunaan bentuk ‘kami’ yang semuanya merujuk pada ketiga putri Pak Pemancing, yaitu Putri Batu Karang, Putri Nyiur Gading, dan Putri Limau Manis, seperti pada kalimat berikut. selain itu, t erdapat 29 bentuk ‘kita’ yang merujuk pada Selamat Siberkat, Raden Dewi Nyaya, Raja, Pak Pemancing, dan Putri Batu Karang.

  Deiksis persona kedua tunggal dalam bentuk ‘engkau’ dalam cerita ini terdiri dari 20 penggunaan yang merujuk pada Putri Batu Karang, Selamat Siberkat, Pak Pemancing, Harimau, Ikan Paus dan Ikan Selayar, Tuan Putri Bungsu. Ditemukan 11 bentuk ‘-mu’ yang merujuk pada Pak Pemancing dan Tuan Putri Bungsu. Selain itu, terdapat 14 bentuk ‘bapak’ yang merujuk pada Pak Pemancing dan Raja, serta 23 bentuk ‘pak’ yang juga merujuk pada Pak Pemancing dan Raja.

  Bentuk ‘kalian’ merupakan jenis deiksis persona kedua jamak yang merujuk pada lebih dari satu tokoh yang terdapat dalam cerita. Pada cerita ini terdapat 4 penggunaan bentuk ‘kalian’ yang diucapkan Raja untuk merujuk pada rakyat. Pada deiksis persona, bentuk ‘dia’ merujuk pada tokoh dalam cerita. T erdapat 14 bentuk ‘dia’ yang digunakan dan merujuk pada Pak Pemancing, Selamat Siberkat, Putri Batu Karang, dan Raja.

  Kemudian, terdapat bentuk ‘-nya’ yang merupakan variasi bentuk dari kata ganti ‘dia’ yang bersifat enklitik karena tidak bisa berdiri sendiri sehingga selalu bergabung dengan kata yang mendahuluinya dan berfungsi untuk menyatakan kepunyaan. Bentuk ‘mereka’ merujuk pada tokoh lebih dari satu dan tidak ada di tempat pada saat percakapan antartokoh sedang berlangsung. Terdapat 12 pengg unaan bentuk ‘mereka’ yang merujuk pada Raden Dewi Nyaya, Selamat Siberkat, Rakyat, Putri Batu Karang, Putri Nyiur Gading, Putri Limau Manis dan nenek datuk raja.

  Deiksis sosial dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan dalam bentuk bapak’, ‘pak’, sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa julukan dalam bentuk

  ‘tuan putri’, sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa gelar kebangsawanan dalam bentuk

  ‘raja’ dan ‘datuk’, dan sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa profesi dalam bentuk Pak Pemancing.

  B entuk ‘bapak’ dan ‘pak’ pada cerita ini merujuk pada Pak Pemancing yang merupakan orang tua angkat Putri Batu Karang, Putri Nyiur Gading, dan Putri Limau Manis, serta orang tua kandung laki-laki dari Raden Dewi Nyaya, yaitu Raja. Jumlah data yang menggunakan bentuk ‘bapak’ ada 14 terdiri dari 2 penggunaan bentuk ‘bapak’ merujuk pada Raja dan 12 penggunaan bentuk ‘bapak’ yang merujuk pada Pak Pemancing.

  J ulukan ‘tuan putri’ pada cerita ini diberikan hanya karena putri tersebut cantik jelita dan bukan merupakan kalangan bangsawan. Bentuk

  ‘datuk’ merupakan nama panggilan untuk ‘raja’, yaitu Raja Rum. Panggilan ‘datuk’ ini juga merupakan hasil konvensi dari rakyat yang dalam cerita ini bersuku Melayu. Terdapat 19 penggunaan bentuk

  ‘datuk’ dalam percakapan cerita. Terdapat satu bentuk deiksis sosial dalam cerita yang berfungsi sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa profesi, yaitu ‘Pak Pemancing’. Pada cerita ini ‘Pak Pemancing’ adalah tokoh utama yang memang diceritakan dengan menggunakan nama Pak Pemancing. Berdasarkan nama tokoh itu sendiri, jelas Pak Pemancing adalah seorang rakyat biasa yang pekerjaannya memancing ikan di sungai.

  Deiksis persona dan deiksis social dalam cerita ini saling berhubungan karena sebagian bentuk deiksis sosial merupakan bagian dari deiksis persona, seperti penggunaan bentuk ‘bapak/pak’, di deiksis persona dan ‘bapak/pak’ di deiksis sosial.

  Tingkatan sosial yang dilihat dari sapaan kekerabatan ‘bapak/pak’ tersebut memiliki rujukan orang kedua atau bagian dari deiksis persona kedua tunggal. Kemudian, pada kata sapaan gelar untuk raja, yaitu ‘datuk’. Pada cerita ini, kata ‘datuk’ juga termasuk dalam deiksis persona kedua tunggal yang merujuk pada Raja atau sebagai kata ganti dari Raja yang sekaligus sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang.

  Cerita “Putri Jelumpang” (PJ)

  Terdapat 6 jenis deiksis persona yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu deiksis persona pe rtama tunggal dalam bentuk ‘aku’, ‘-ku’, dan ‘ku-‘, deiksis persona pertama jamak dalam bentuk ‘kami’ dan ‘kita’, deiksis persona kedua tunggal dalam bentuk ‘engkau’, ‘-mu’, ‘bapak’, ‘kak’, ‘adik’, dan ‘dik’, deiksis persona kedua jamak dalam bentuk ‘kalian’, deiksis persona ketiga tunggal dalam bentuk ‘dia’ dan ‘-nya’, dan deiksis persona ketiga jamak dalam bentuk ‘mereka’.

  Bentuk deiksis ‘aku’ yang digunakan dalam cerita ini terdiri dari 6 penggunaan yang merujuk pada tiga tokoh yang ada dalam cerita, yaitu burung gagak, Raja, dan Putri Jelumpang.

  Bentuk ‘-ku‘ merupakan deiksis persona enklitik yang berfungsi untuk menyatakan kepunyaan. Pada cerita ini terdapat 9 penggunaan bentuk ‘-ku‘ yang merujuk pada Putri Jelumpang, Mak Inang, Raja dan Istri Raja.

  Bentuk ‘ku-‘ merupakan deiksis persona praklitik yang berfungsi untuk menyatakan objek tindakan. Pada cerita ini terdapat 1 penggunaan bentuk ‘ku-‘ yang merujuk pada Raja. Kemudian, terdapat

  2 penggunaan bentuk ‘kami’ yang semuanya merujuk pada putri-putri kayangan dan 3 bentuk ‘kita’ yang merujuk pada Raja, istri Raja, dan putri-putri kayangan.

  Bentuk ‘engkau’ dan ‘-mu’ merujuk pada satu tokoh yang ada dalam cerita. Terdapat 4 bentuk ‘engkau’ yang diucapkan oleh putri-putri kayangan untuk merujuk pada Putri Jelumpang dan 6 bentuk ‘-mu’ yang merujuk pada Putri Jelumpang yang berfungsi untuk menyatakan kepunyaan.

  Bentuk ‘bapak’, ‘kak’, dan ‘adik’ merupakan sebutan ketakziman untuk persona kedua leksem kekerabatan. Terdapat 1 bentuk ‘bapak’ yang diucapkan Putri Jelumpang untuk merujuk pada Raja. Pada cerita ini bentuk ‘kak’ tidak hanya digunakan untuk merujuk pada saudara perempuan, tetapi pada seorang perempuan muda yang umurnya lebih tua. Namun, bentuk ‘adik’ pada cerita ini tidak merujuk pada leksem kekerabatan atau adanya hubungan kekeluargaan antar tokoh, tetapi merujuk pada kata sapaan untuk orang yang lebih muda, yaitu Putri Jelumpang.

  Bentuk ‘kalian’ merupakan jenis deiksis persona kedua jamak yang merujuk pada lebih dari satu tokoh yang terdapat dalam cerita. Terdapat 1 penggunaan bentuk ‘kalian’ yang diucapkan Raja untuk merujuk istrinya dan pembantu-pembantunya.

  Bentuk ‘-nya’ merupakan variasi bentuk dari kata ganti ‘dia’ yang bersifat enklitik karena tidak bisa berdiri sendiri sehingga selalu bergabung dengan kata yang mendahuluinya. Pada cerita ini terdapat 66 penggunaan bentuk ‘-nya’ yang merujuk pada Putri Jelumpang, Raja, Mak Inang, dan Putri Bungsu. Bentuk

  ‘-nya’ apabila disambungkan dengan nomina, menunjukkan hubungan kepunyaan atau menyebutkan pemilik.

  Bentuk ‘mereka’ merujuk pada tokoh lebih dari satu dan tidak ada di tempat pada saat percakapan antartokoh sedang berlangsung. Pada cerita “Putri Jelumpang” terdapat 5 penggunaan bentuk ‘mereka’ yang semuanya merujuk pada Raja dan istrinya.

  Deiksis sosial dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan dalam bentuk ‘bapak’, ‘kakak’, ‘kak’, ‘dik’, sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa julukan dalam bentuk

  ‘tuan putri’, sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa gelar kebangsawanan dalam bentuk ‘raja’, dan sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa profesi dalam bentuk

  ‘mak inang’, ‘mak bidan’, dan ‘hulubalang’. B entuk ‘bapak’ pada cerita ini merujuk pada Raja yang merupakan orang tua kandung laki-laki dari Putri Jelumpang. Bentuk ‘kak’ dan ‘dik’ yang digunakan dalam cerita ini mengacu pada hubungan kekerabatan yang tingkatan sosialnya setara karena kakak dan adik adalah saudara.

  J ulukan ‘tuan putri’ pada cerita ini didapatkan karena putri tersebut merupakan anak Raja yang memiliki kecantikan luar dalam. Jadi, tingkatan sosial seorang ‘tuan putri’ ini tidak hanya didapat dari kecantikannya, tetapi juga dari darah bangsawan yang melekat padanya. Terdapat 35 penggunaan bentuk ‘tuan putri’ yang digunakan dalam cerita ini.

  Jelas bahwa gelar kebangsawanan membedakan status sosial seseorang karena seorang bangsawan memiliki tingkat sosial lebih tinggi dari seseorang yang berasal dari kalangan masyarakat biasa. Raja adalah panggilan untuk penguasa tertinggi pada suatu kerajaan yang biasanya didapat secara turun-temurun. Terdapat 15 penggunaan bentuk ‘raja’ dalam cerita ini.

  Profesi yang tergambar dalam cerita ini menyesuaikan dengan latar belakang kehidupan dalam cerita yang berlatarbelakangkan kehidupan kerajaan. ‘Mak Bidan’ merupakan sebuah profesi yang pekerjaannya membantu seorang wanita hamil saat melahirkan.

  Saran

  Yogyakarta: Graha Ilmu. Yule, George. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

  Putrayasa, Ida Bagus. 2014. Pragmatik.

  dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

  Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis

  Kalantika. Pontianak: Pustaka Melayu Gemilang.

  Effendy, Chairil. 2013. Seri Cerita Rakyat:

  Berdasarkan simpulan yang telah dipaparkan diperoleh saran kepada guru bahasa Indonesia, yakni guru sebaiknya menyelipkan teori tentang deiksis kepada siswa saat membahas suatu wacana atau cerita khususnya cerita rakyat sehingga memudahkan siswa untuk memahami isi cerita.

  ‘bapak’ memiliki rujukan orang kedua atau bagian dari deiksis persona kedua tunggal.

  ‘Mak Inang’ sama dengan pengasuh yang merupakan seorang perempuan dengan tugas merawat anak tuannya yang dalam cerita ini adalah anak Raja.

  2) Fungsi deiksis persona dikhususkan pada empat bentuk deiksis, yakni bentuk enklitik ‘- ku’, ‘-mu’, dan ‘-nya’ yang berfungsi untuk menyatakan kepemilikan dan bentuk praklitik ‘-ku-‘ yang berfungsi untuk menyatakan objek tindakan. 3) Terdapat hubungan antara deiksis persona dengan deiksis sosial karena sebagian bentuk deiksis sosial merupakan bagian dari deiksis persona. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bentuk ‘bapak’ pada keempat cerita dalam buku Kalantika. Tingkatan sosial yang dilihat dari sapaan kekerabatan

  ‘bapak’, ‘pak’, ‘emak’, ‘mak’, ‘nong’, ‘kakak’, ‘kak’, ‘adik’, ‘dik, ‘tuan putri’, ‘datuk’, ‘raja’, ‘hamba’, ‘patik’, ‘Pak Pemancing’, ‘Mak Inang’, ‘Mak Bidan’, dan ‘hulubalang’. Bentuk yang selalu ada dalam setiap cerita adalah bentuk ‘bapak’ dan ‘pak’ yang berfungsi sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan.

  Berdasarkan semua cerita dalam buku Kalantika, terdapat 19 bentuk deiksis sosial, yaitu

  ‘aku’, ‘-ku’, ‘ku-‘, ‘kita’, ‘kami’, ‘kau’, ‘engkau’, ‘-mu’, ‘bapak’, ‘datuk’, ‘pak’, ‘mak’, ‘tuk’, ‘nong’, ‘kak’, ‘adik’, ‘dik’, ‘kalian’, ‘dia’, ‘-nya’, ‘anak dewa itu’, ‘anak dewa ini’, dan ‘mereka’. Deiksis persona ketiga tunggal dalam bentuk ‘–nya’ sering digunakan dalam setiap cerita. Deiksis sosial yang terdapat dalam empat cerita ini dilihat dari 3 fungsinya, yaitu sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang, menjaga sopan santun berbahasa, dan menjaga sikap sosial.

  Berdasarkan penjabaran hasil analisis tentang penggunaan deiksis dalam Seri Cerita Rakyat Kalantika, diperoleh simpulan sebagai berikut: 1) Terdapat 6 jenis deiksis persona yang digunakan dalam keempat cerita tersebut, yaitu deiksis persona pertama tunggal, deiksis persona pertama jamak, deiksis persona kedua tunggal, deiksis persona kedua jamak, deiksis persona ketiga tunggal, dan deiksis ketiga jamak. Semua jenis tersebut terdiri dari 20 bentuk deiksis, yaitu

  SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

  Deiksis persona dan deiksis sosial pada cerita ini saling berhubungan karena sebagian bentuk deiksis sosial merupakan bagian dari deiksis persona, seperti penggunaan bentuk ‘bapak’, di deiksis persona dan ‘bapak’ di deiksis sosial. Tingkatan sosial yang dilihat dari sapaan kekerabatan ‘bapak’ tersebut memiliki rujukan orang kedua atau bagian dari deiksis persona kedua tunggal.

  ‘Hulubalang’ adalah seorang laki-laki yang menjadi pengawal dalam kerajaan yang bertugas menjaga keamanan istana sekaligus sebagai pekerja yang selalu siap melaksanakan perintah Raja.