MAKALAH KEWARGA NEGARAAN BAGAIMANA PERBE

MAKALAH
KEWARGA NEGARAAN
BAGAIMANA PERBEDAAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) PADA MASA
ERA SEBELUM KEMERDEKAAN, PADA MASA ORDE LAMA, PADA
MASA ORDE BARU DAN MASA ORDE REFORMASI

DOSEN: BAMBANG SUKARNA. Spd.MM

KELOMPOK 10 :

Di susun oleh: Uffi Anggi R.A

AKADEMI KEBIDANAN SISMADI JAKARTA
ANGKATAN XII SEMESTER 1
TAHUN AJARAN 2014/2015

A. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908 – 1945)
1. Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah
memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi –
petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam
surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak

kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
2. Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
3. Serikat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang
layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
4. Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih
condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan
dengan alat produksi.
5. Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan
kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
6. Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
7. Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk
mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan
berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan
Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara
Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada
pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan
masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak
untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.


B. Orde Baru
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu
tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan
praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya
dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai
presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988,1993, dan 1998. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya
adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur

administratif yang didominasi militer. DPR dan MPRtidak berfungsi secara efektif. Anggotanya
bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana.
Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang besar namun tidak merata di Indonesia. Warga Tionghoa Warga keturunan Tionghoa juga
dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di
Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga

menghapus hak-hak asasi mereka. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia
dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru pemerintah sangat
mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa
seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu
cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat
penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama
keKalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak
diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan
kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah.
Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa
di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Kondisi masyarakat pada waktu Orde Baru banyak yang tidak puas dengan kesenjangan
pembangunan terutama masyarakat Aceh dan Papua, adanya kecemburuan antara penduduk
setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar
pada tahun pertama selain itu juga bertambahnya kesenjangan social yaitu perbedaan yang tidak
merata bagi si kaya dan si miskin. Dan adanya pelanggaran HAM kepada masyarakat non
pribumi terutama masyarakat Tionghoa


C. Orde Lama
1950-1959 adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung mulai dari
17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar,
pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka
melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia
Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada
tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan UndangUndang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.
Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat
UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru.

Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada
DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.
Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante. Pada
masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat
ada 7 kabinet pada masa ini.
a) 1950-1951 - Kabinet Natsir
b) 1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo
c) 1952-1953 - Kabinet Wilopo

d) 1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I
e) 1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap
f) 1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II
g) 1957-1959 - Kabinet Djuanda
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan
digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin
Isinya ialah:
1) Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
2) Pembubaran Konstituante.
3) Pembentukan MPRS dan DPAS

D. Reformasi
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh
penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat
beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era
Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde
Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni
Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi

baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan
politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak
di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan
adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore
(secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat,
tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga
sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah memicu
munculnya kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan etnik yang berbeda. Menjelang akhir
kampanye pemilihan umum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak
memakan korban jiwa.
Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak. Golkar
yang meraih kemenangan mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto
sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan
masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk
menolak kembali pencalonan Soeharto sebagai Presiden.

Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden

Soeharto yang dating dari para mahasiswa dan kalangan intelektual.
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah
mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak
aksi para mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa
yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat orang
mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan
Hafidhin Royan.
Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan
masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak
merakyat.
Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto
mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung
DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah
menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut
sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat
demontrasinya agar presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari
Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR
mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh
masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukan Dewan

Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak
bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden.
Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak
dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan
mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan
Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil
sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana
Negara