Muhammad bin Hanafiah

Muhammad bin Hanafiah
Juru Perdamaian dan Persaudaraan
Fahrudin Ahmad Ali
NAMA aslinya adalah Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Namun ia lebih
dikenal dengan panggilan Muhammad bin Hanafiah. Hal itu karena ia putra
Ali bin Abi Thalib ra bukan dari jalur Fatimah binti Muhammad saw,
melainkan dari ibu bernama Khalah bin Ja’far bin Qais yang berasal dari
kabilah Hanafiah.
Khalah binti Ja’far adalah istri Ali ra yang ketiga setelah meninggalnya
Fatimah az-Zahra. Muhammad bin Hanafiah lahir pada akhir masa
kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq ra. Ia diberi julukan oleh ayahnya,
sebagai Abu Qasim dengan maksud hendak mengambil berkah dari
Rasulullah saw. Pemberian nama ini seijin Rasulullah saw semasa beliau
masih hidup.
Diberitakan, ketika Ali bin Abi Thalib tengah duduk berdua bersama
Rasulullah saw, ia berkata, “Ya Nabi Allah, bolehkah jika kelak aku dikaruniai
anak sepeninggalmu, lalu aku beri ia nama dengan namamu, dan aku juluki
ia dengan julukanmu?” Rasulullah saw pun menjawab, “Boleh.”
***
MUHAMMAD bin Hanafiah tumbuh sebagaimana harapan orangtuanya.
Keberanian dan kebijaksanaan ayahnya melekat pada dirinya, hingga tidak

berlebihan jika Ali bin Abi Thalib mendambakan ia menjadi pejuang yang
tangguh di medan jihad. Salah satu harapan sang ayah itu terujud di medan
perang Shiffin.
Ia tampil memegang bendera perang dengan gagah dan tenang, meski
hatinya tersayat menyaksikan darah saudaranya tercecer di sana-sini dan
amat mendambakan perdamaian. Batinnya yang terpasung itu sering
menjerit-jerit, “Jika sebagian ummat Islam memerangi sebagian ummat
Islam yang lain, lantas siapa lagi yang akan memerangi musuh-musuh
Allah?”
Jiwa Muhammad senantiasa merindukan perdamaian dan persaudaraan di
tengah-tengah suasana politik ummat Islam yang senantiasa diwarnai
persengketaan dan peperangan. Ia tidak bisa melepaskan diri dari
kungkungan situasi saat itu. Ia harus menghadapi dan berhadapan dengan
berbagai konflik yang muncul. Dalam hatinya selalu ia tanamkan kuat-kuat
semangat perdamaian agar tak ikut terlindas roda zaman.
Cita-cita dan harapan yang kemudian begitu kuat terpatri dalam
semangatnya adalah bersatunya ummat Islam dan hidup dalam kerukunan.
Menurutnya, seorang Muslim tidak boleh menarik senjata di hadapan Muslim
yang lainnya. Ia ingat Rasulullah Muhammad saw pernah bersabda, “Apabila
dua orang Muslim saling mengacungkan pedangnya, maka si pembunuh dan

yang terbunuh, keduanya, masuk neraka.” Seorang sahabat bertanya,
“Wajar jika si pembunuh itu masuk neraka, tetapi apa salah si terbunuh?”
Jawab Rasulullah saw, “Sebab si terbunuh itu pun berusaha membunuhnya.”
Kuatnya keinginan Muhammad melihat umat Islam bersatu membuat ia
terpaksa berseberangan jalan dengan saudaranya, Hasan ra. Ia tidak
bimbang membaiat Muawiyah yang merupakan rival politik saudaranya itu,
semata-mata ingin mencegah pertumpahan darah ummat Islam. Adu
argumentasi pun terjadi. Dalam kesempatan itu Muhammad menukil nasihal

yang diwariskan Rasulullah saw dalam sabdanya, “Dan sebaik-baik di antara
keduanya adalah yang memulai mengajak damai.”
Kendati ia amat meyakini tindakannya, namun Muhammad merasa dirinya
tidak lebih baik dari lawan bicaranya. Justru ia amat mengakui
kekurangannya dan menyanjung keunggulan saudaranya. Ia ungkapkan
perasaannya itu lewat surat yang ia kirim kepada Hasan, “Sesungguhnya
Allah SwT memberi keutamaan kepadamu lebih daripada yang diberikan
kepadaku. Ibumu adalah Fatimah az-Zahra. Salah seorang wanita yang
diberitakan Rasulullah saw masuk surga. Kakekmu adalah Muhammad saw,
pemuka seluruh ummat manusia. Sedangkan ibuku adalah Khallah binti
Ja’far dan kakekku dari kabilah Hanafiah, yang tidak lebih utama dibanding

ibu dan kakekmu. Oleh karena itu, mari berdamaialah denganku, dan bagimu
segala keutamaan.”
Usai membaca surat saudaranya, Hasan meneteskan air mata. Ia sangat
terkesan makna surat saudaranya itu hingga mempengaruhi perasaannya.
Lalu segera ditemuinya Muhammad. Dipeluknya Muhammad dengan
keikhlasan sebagai seorang saudara, sahabat, teman, dan sesama ummat
Islam. Hilang musnahlah perselisihan di antara keduanya.
Pada kesempatan yang berbeda, Muhammad bin Hanafiah dihadapkan
pada dua pihak yang saling berselisih. Peristiwa ini terjadi pada saat
munculnya pertentangan kepemimpinan antara Abdullah bin Zubair di Hijaz
dan Abdul Malik bin Marwan di Syam. Masing-masing pihak berusaha
merangkul dirinya agar masuk dalam kelompoknya. Namun Muhammad
memilih bersikap netral. Ia memilih untuk tidak memilih di antara dua
kepemimpinan tersebut.
Sikap netral Muhammad bin Hanafiah itu banyak diikuti kaum Muslimin
yang sadar akan arti sebuah perpecahan. Hal ini membuat Abdullah bin
Zubair geram. Ia terus berusaha mendekati Muhammad bin Hanafiah,
bahkan di antaranya dengan paksa.
Upaya-upaya yang dilakukan Abdullah bin Zubair, membuat Abdul Malik
tidak suka. Ia pun menganggap Muhammad bin Hanafiah telah terpengaruh

Abdullah bin Zubair yang berarti menjadi rival politiknya. Muhammad dan
para pengikutnya pun diusir dari wilayah kekuasaan Abdul Malik di Syam.
Suasana kian mengeruh. Perselisihan Abdullah bin Zubair dan Abdul Malik
bin Marwan kian meruncing. Berakhir dengan terbunuhnya Abdullah bin
Zubair dalam sebuah pertempuran.
Di tempat pengusiran yang aman pun Muhammad tidak bisa tinggal diam
melihat situasi politik ummat Islam yang selalu diwarnai pertumpahan darah.
Ia segera mengirim utusan untuk membaiat Abdul Malik bin Marwan agar
situasi menjadi lebih tenang.
Usai menunaikan kewajibannya terhadap sesama kaum Muslimin itu,
Muhammad bin Hanafiah mengisi sisa hidupnya menuju kedamaian yang
sesungguhnya. Ia baca al-Qur’an siang dan malam, hingga ia sanggup
mengubah sengsara dan derita yang dialaminya lewat penyatuan kalbu
dalam shalat dan senandung firman-Nya. Akhirnya Muhammad bin Hanafiah
mendapat akhir kehidupannya dengan baik. Ia didapati meninggal dunia
menghadap Sang Khalik ketika tengah membaca surat al-Ikhlas.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 20 2004