T1 802009143 Full text

1

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara berkembang yang terdiri dari berbagai suku,
agama dan ras. Kemajemukan inilah yang melatarbelakangi perkembangan
budaya yang berefek pada pola tingkah laku dalam suatu kelompok masyarakat.
Ada banyak hal menyangkut budaya yang sangat memengaruhi tingkah laku
masyarakat, salah satunya adalah praktek penggunaan pemali dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam kehidupan bermasyarakat, pemali bukanlah hal yang asing di
telinga masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh
Imelda (2010) terhadap 83 orang dengan sampel acak melalui kusioner yang diisi
secara online melalui website Polldaddy. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
semua responden pernah mendengar tentang pemali. Kebanyakan dari mereka
sering atau pernah mendengar pemali dari orang tua yaitu 58 responden (41%),
dari nenek atau kakek 39 responden (28%), dan dari teman 33 responden (23%),
dan lainnya 11 responden (8%). Responden yang menyatakan pemali
berhubungan dengan agama adalah 12 responden (15% ), responden yang
menyatakan pemali tidak berhubungan dengan agama adalah 68 responden (83%),
dan responden yang tidak menjawab adalah 2 responden (2%).
Di Indonesia, budaya untuk menjaga dan melestarikan pemali masih terasa
sangat kental, khususnya untuk beberapa lapisan masyarakat atau suku tertentu.

Salah satu contoh nyata daerah dan masyarakat yang mayoritas penduduknya
masih meyakini dan melestarikan pemali adalah masyarakat Toraja.

2

Praktek penggunaan dan pengaruh pemali cukup kental terasa pada masyarakat di
Kabupaten Toraja Utara Provinsi Sulawesi Selatan.
Keyakinan masyarakat Toraja terhadap pemali diwujudkan dalam perilaku
taat dan tidak melanggar pemali yang diyakini dapat menghindarkan mereka dari
konsekuensi berupa penyakit, gagal panen, maupun kejadian-kejadian buruk
lainnya. Pandangan masyarakat mengenai pemali ialah sebuah ajaran yang
diturunkan atau diwariskan oleh leluhur, berisikan aturan-aturan etis dan ritus
serta simbol-simbol menghubungkan manusia secara khas dengan tatanan faktual,
baik dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam. Kepercayaan
inilah yang membentuk pandangan hidup masyarakat Toraja dan menjadi budaya
yang melekat dengan begitu kuatnya.
Meskipun banyak dari masyarakat Toraja yang mengatakan bahwa pemali
tidak berlaku lagi seperti zaman dulu, karena sekarang orang telah memiliki
kepercayaan kepada Tuhan atau beragama, namun hingga kini dalam kehidupan
sehari–hari tanpa mereka sadari mereka tetap melakukannya. Salah satu bukti

nyata yaitu

penerapan pemali dalam kehidupan sehari-hari ditunjukkan oleh

partisipan sebagai wujud ketaatan mereka terhadap pemali, yaitu dengan tidak
melakukan perbuatan ataupun mengkonsumsi beberapa jenis makanan yang
dianggap pemali. Tindakan tersebut didasari sebuah keyakinan yang menjadi
acuan mereka sampai saat ini, bahwa taat terhadap pemali khususnya jika mereka
tidak mengkonsumsi beberapa jenis daging yang dianggap pemali jika dicampur
secara bersamaan, dapat menghindarkan mereka dari jenis penyakit tertentu dan
kemalangan lainnya.

3

Pola hidup tersebut terus berlangsung sampai saat ini, dan menjadi proses yang
berkesinambungan dari generasi ke generasi, karena partisipan mewariskannya
kepada anak dan cucu mereka.
Kajian Teoritik
Berikut akan dipaparkan teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini,
meliputi teori tentang pemali, perilaku kesehatan, regulasi diri, aluk todolo serta

penjelasan tentang suku Toraja.
Pemali
Pemali sering disebut dengan istilah taboo, berasal dari kata Polinesia.
Istilah tersebut pertama kali digunakan oleh kapten James Cook. Farberow (dalam
Evans,

Averi,

& Pederson, 1999) mengatakan bahwa dalam kata taboo

terkandung makna yakni diperbolehkan dan dilarang, yang harus dan tidak boleh
dilakukan, dimana pengembangannya dilakukan oleh masyarakat untuk para
anggotanya dengan tujuan untuk melindungi diri dan sebagai motivasi untuk
meningkatkan tradisi, sehingga dalam pemali terkandung konsep menjaga. Pemali
mempunyai dua makna yang berlawanan arah, pada satu sisi ia berarti kudus dan
suci, tetapi di sisi lain berarti aneh, berbahaya, terlarang, dan kotor.
Menurut Freud (2002) yang sedang kita hadapi adalah suatu bangsa primitif
yang menerapkan seperangkat batasan atas diri mereka sendiri, ini dan itu dilarang
tanpa alasan yang jelas.
Mereka (bangsa primitif) juga tidak pernah mempertanyakan hal ini, sebab

kepatuhan mereka pada batasan-batasan ini adalah sesuatu hal yang wajar bagi

4

mereka dan meyakini bahwa suatu pelanggaran secara otomatis akan
mendapatkan hukuman yang lebih berat. Sedangkan menurut Kamal (2009)
pemali adalah larangan sosial yang kuat, yang berkaitan dengan setiap area
kegiatan manusia atau kebiasaan sosial yang dinyatakan sebagai suci dan
terlarang. Orang Mesir kuno percaya bahwa pemali ditanamkan oleh dewa
khususnya pada benda, tindakan, bangunan, dan bahkan individu. Mereka
meyakini bahwa hanya pencipta yaitu dewa sendiri atau raja yang dapat
mengubah pemali, sehingga bagi masyarakat Mesir kuno pemali merupakan
gabungan dari agama, ritual larangan, dan penghindaran yang memengaruhi
semua aspek kehidupan mereka.
Bagi Margaret Mead (dalam Steiner, 1956) pemali dapat didefiniskan sebagai
sanksi negatif, siapa yang melakukan pelanggaran maka hasilnya akan otomatis
tanpa mediasi dengan manusia. Wardhaugh (dalam Chu, 2009) mengatakan
bahwa pemali ditetapkan karena orang percaya bahwa ketidaksesuaian akan
mendatangkan konsekuensi yang berbahaya bagi mereka, baik karena perilaku
non-verbal ataupun perilaku verbal, diakibatkan karena melanggar kode moral

masyarakat berdasarkan keyakinan supranatural. Kewenangan dibalik laranganlarangan sering dikaitkan dengan kekuatan supranatural dan bahaya yang melekat
pada perilaku itu sendiri, sehingga melanggar pemali dapat membawa sial baik itu
untuk diri sendiri maupun bagi keluarga.

5

Selanjutnya akan dijabarkan mengenai klasifikasi serta objek pemali menurut
beberapa tokoh. Kamal (2009) mengklasifikasikan taboo dalam masyarakat Mesir
kuno ke dalam dua bagian yaitu pemali mengkonsumsi makanan tertentu
diantaranya babi, ikan, dan madu. Pemali terhadap tindakan misalnya tindakan
yang dapat menyebabkan pencemaran di sungai nil, menerima suap atau sogokan,
tindakan kriminal seperti pencurian dan pembunuhan, mengkonsumsi hewan
kurban, merusak kesucian tempat yang dianggap suci.
Menurut Freud (2002) objek-objek dari pemali terdiri dari tiga bagian, yang
pertama yaitu pemali langsung yang dimaksudkan untuk melindungi orang
penting meliputi kepala suku, pendeta, dan barang-barang dari mara bahaya,
menjaga kaum yang lemah yaitu perempuan dan anak-anak dari mana (pengaruh
magis) yang kuat, melindungi diri dari bahaya yang muncul akibat memakan
makanan tertentu, mengamankan manusia dari murka atau kuasa dewa-dewa dan
roh–roh, mengamankan bayi yang belum lahir dan anak kecil yang memiliki

hubungan emosi yang khusus dengan orang tuanya dari akibat tindakan-tindakan
tertentu, dan yang lebih penting pengaruh-pengaruh makanan. Objek yang kedua,
yaitu pemali yang diberlakukan untuk melindungi kekayaan, alat–alat, dll, milik
seseorang dari curian. Objek yang ketiga, pemali yang umum diberlakukan di
suatu wilayah yang luas, sama dengan larangan gerejawi dan bisa berlaku lama.
Menurut Freud (2002) terdapat beberapa cakupan dari pemali, yaitu sifat suci
(atau kotor) dari orang atau benda, jenis larangan yang diakibatkan oleh sifat
tersebut, dan kesucian (atau kekotoran) yang diakibatkan oleh pelanggaran
terhadap larangan tersebut.

6

Perilaku Kesehatan
Pada dasarnya setiap individu mempunyai keinginan untuk selalu berada
dalam kondisi yang sehat dan normal, sehingga jika merasa kondisi kesehatan
terancam atau terganggu diakibatkan oleh penyakit, maka mereka terdorong untuk
melakukan sebuah upaya guna untuk mengembalikan dan meningkatkan kondisi
kesehatan mereka. Pemahaman partisipan mengenai timbulnya penyakit tertentu
diakibatkan karena pelanggaran terhadap pemali. Pemahaman serta keyakinan
tersebut terbentuk berdasarkan pengalaman pribadi, serta informasi yang mereka

dapatkan dari lingkungan terdekat, dan kemudian mendorong mereka untuk
melakukan tindakan bertujuan untuk mempertahankan kondisi kesehatan mereka
terlebih untuk pencegahan. Untuk menjelaskan lebih rinci, maka digunakan teori
perilaku kesehatan dengan model regulasi diri dari Leventhal. Prinsip utama dari
model ini adalah setiap orang akan membentuk representasi kognitif terhadap
ancaman kesehatan, yang kemudian mengarahkan mereka untuk memilih sebuah
tindakan yang dapat mengatasi ancaman tersebut.
Gochman (dalam Conner, 2002) mendefinisikan perilaku kesehatan sebagai
pola perilaku, tindakan dan kebiasaan yang berhubungan dengan pemeliharaan
kesehatan, untuk pemulihan kesehatan serta peningkatan kesehatan. Menurut
Notoatmodjo (2005) perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan
seseorang, baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati
(unobservable), yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.

7

Pemeliharaan kesehatan mencakup pencegahan atau perlindungan diri dari
penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari
peyembuhan apabila sakit atau terkena masalah terkait dengan kesehatan.
Menurut Saunders (dalam Foster & Anderson, 1986) munculnya berbagai

masyarakat menciptakan suatu strategi adaptasi baru dalam menghadapi penyakit,
suatu strategi yang memaksa manusia untuk menaruh perhatian utama pada
pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usaha untuk menanggulangi
penyakit, manusia telah mengembangkan suatu kompleks luas dari pengetahuan,
kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai, ideologi, sikap, adatistiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang saling berkaitan dan
membentuk suatu sistem yang saling menguatkan dan saling membantu.
Menurut Aguirre (dalam Foster & Anderson, 1986) pada umumnya tindakan
preventif merupakan tingkahlaku individu yang secara logis mengikuti konsep
tentang penyebab penyakit, sambil menjelaskan mengapa orang jatuh sakit,
sekaligus mengajarkan tentang apa yang harus dilakukan untuk menghindari
penyakit tersebut. Jika masyarakat percaya bahwa penyakit terjadi karena dikirim
oleh dewa-dewa atau leluhur yang marah untuk menghukum suatu dosa, prosedur
yang nyata untuk mencegahnya adalah pengakuan dosa, observasi yang cermat
tehadap pantangan-pantangan sosial dan pelaksanaan yang seksama atas ritus-ritus
serta upacara-upacara yang ditujukan terhadap dewa-dewa dan para leluhur.

8

Menurut Leventhal (dalam Ogden, 2007) terdapat beberapa faktor–faktor yang
dapat memprediksikan perilaku sehat meliputi :

-

Faktor sosial, meliputi norma-norma sosial. Norma sosial bersifat mengikat,
setiap norma yang terdapat dalam suatu masyarakat merupakan nilai-nilai
sosial, yang harus ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat setempat.

-

Faktor genetik.

-

Faktor emosional, meliputi rasa takut, cemas, dan depresi. Faktor emosional
akan mengalami

perubahan jika merasa dirinya dalam bahaya, sehingga

munimbulkan emosi-emosi negatif.
-


Persepsi terhadap gejala, meliputi pandangan setiap individu terhadap
gejala-gejala suatu penyakit, banyak hal yang berperan dalam membentuk
persepsi individu salah satunya yaitu kognisi.

-

Keyakinan atau kepercayaan, keyakinan setiap individu terhadap suatu
penyakit dapat memberi sumbangsih terhadap perkembangan penyakit serta
perilaku mereka.

Model Regulasi Diri
Menurut Carver, Scheier, Vohs dan Baumeister (dalam Wit & Ridder, 2006)
istilah regulasi diri sering digunakan untuk mengacu pada upaya manusia
mengubah pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan dalam mencapai tujuan
mereka. Leventhal (dalam Ogden, 2007) menjabarkan model regulasi diri ke
dalam tiga tahap yaitu interpretasi, koping, dan penilaian.

9

Tahap pertama yaitu interpretasi, individu menginterpretasikan gejala suatu

penyakit yang timbul melalui dua jalur, yaitu persepsi gejala (symptom
perception) dan pesan sosial (social messages). Persepsi gejala (symptom
perception) dimana individu memahami dan menilai sebuah gejala berdasarkan

pengalaman mereka, selain itu informasi tentang sebuah penyakit diperoleh oleh
individu dari lingkungan sosial (keluarga, teman, tetangga, media). Persepsi
terhadap gejala penyakit memengaruhi bagaimana seorang individu menafsirkan
sebuah penyakit. Persepsi dipengaruhi oleh mood dan kognisi. Interpretasi
individu terhadap gejala penyakit atau masalah membentuk sebuah representasi
terhadap ancaman bagi kesehatan meliputi, identitas mencakup pemberian label
pada penyakit, penyebab dari penyakit, konsekuensi atau akibat yang
ditumbulkan, rentang waktu, dan pengobatan, selain hal tersebut, interpretasi
individu terhadap sebuah penyakit memunculkan atau menimbulkan

respon

emosional terhadap ancaman kesehatan berupa rasa takut, cemas, dan depresi.
Sekali individu menerima informasi tentang kemungkinan dari suatu penyakit
melalui jalur yang telah disebutkan pada paragraf di atas, menurut teori
pemecahan masalah (problem solving) maka orang tersebut akan termotivasi
untuk kembali pada keadaan normal. Pada tahap selanjutnya individu mulai
mempertimbangkan dan mengembangkan strategi koping. Koping terdiri dari dua
kategori besar yaitu, pendekatan koping (mis. pergi ke dokter, beristirahat,
berbicara dengan kerabat terkait dengan emosi atau perasaan), penghindaran
koping (mis. Penolakan atau menyangkal, harapan kosong).

10

Saat menghadapi penyakit, seseorang akan mengembangkan strategi koping untuk
kembali pada keadaan yang sehat dan normal.
Taylor dan rekannya (dalam Ogden, 2007) menguraikan tiga proses yang
dilakukan seseorang untuk menyesuaikan diri dalam kondisi yang mengancam
atau berbahaya (termasuk penyakit) meliputi mencari arti atau makna, mencari
keahlian, dan proses peningkatan atau perbaikan diri–saya lebih baik dari banyak
orang. Ketiga proses tersebut adalah inti untuk mengembangkan dan
mempertahankan khayalan, bahwa khayalan merupakan proses adaptasi kognitif.
Pada tahap yang terakhir orang akan mengevaluasi strategi koping yang mereka
gunakan apakah efektif atau sebaliknya. Jika dinilai efektif, maka strategi tersebut
tetap digunakan dan diteruskan, begitupun

dengan sebaliknya jika strategi

tersebut dinilai tidak efektif maka orang akan termotivasi untuk mencari alternatif
lainnya.

11

Gambaran ancaman
kesehatan
• Identitas
• Penyebab
• Konsekuensi
• Rentang waktu
•Pengobatan

Tahap 1: Interpretasi

Tahap 2: Koping

• Persepsi gejala

• Pendekatan

• Pesan sosial

koping

→Penyimpangan

•Penghindaran

dari norma

koping

Respon emosional
terhadap ancaman
kesehatan
• Takut
• Kecemasan
• Depresi

Bagan 1. Model regulasi diri dari Leventhal (dalam Ogden, 2007)

Tahap 3:
Penilaian
•Strategi
koping yang
efektif?

12

Suku Toraja
Sebelum berganti nama, Toraja dikenal dengan tondok lepongan bulan
matarik allo. Pada umumnya suku Toraja menetap di pegunungan bagian utara

Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa,
dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja. Mayoritas
suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan
kepercayaan yang dikenal dengan aluk to dolo. Kata Toraja berasal dari bahasa
Bugis, to riaja yang berarti orang yang berdiam di negeri atas. Pemerintah
kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan
ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang
penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa
hari. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka
masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun
1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Masyarakat
Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat
berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas
beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai
sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20.
Kata Toraja pertama kali digunakan oleh penduduk dataran rendah untuk
memanggil penduduk dataran tinggi. Pada awalnya suku Toraja lebih banyak
memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis,

13

suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah
di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah
Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di
Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama,
yaitu suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku
Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku
Toraja yang merupakan petani di dataran tinggi (Wikipedia, 2012).

Aluk Todolo

Di kala masyarakat Toraja belum mengenal agama samawi, mereka
mempercayai suatu keyakinan yang dikenal dengan aluk todolo. Aluk todolo
sering pula disebut dengan nama alukta , singkatan dari aluk todolo. Aluk dalam
bahasa Toraja artinya sama dengan agama, todolo dalam bahasa Toraja artinya
sama dengan nenek semula. Menurut kepercayaan aluk todolo, Tuhan yang tinggi
ialah Puang Matua , pencipta manusia pertama dan segala isinya. Totu Mampata
artinya yang menciptakan manusia dan yang dimaksudkan ialah Puang Matua .
Dalam bahasa sehari-hari seringkali orang berkata dalam merencanakan sesuatu:
“kenaeloranni Totu Mampata ” artinya jika dikehendaki pencipta kita, ialah Tuhan
Allah.
Manusia diciptakan oleh Totu Mampata atau Puang Matua untuk hidup
bersama. Agar kehidupan manusia teratur, Puang Matua menurunkan aluk todolo
dengan segala persyaratan hukumnya.

14

Pengawasan dan pertanggungjawab atas tertibnya kehidupan masyarakat, Puang
Matua memberi kuasa Puang Titanan Tallu (Tri Maha Tunggal) yang terdiri dari
puang banggai rante ialah dewata yang menguasai bumi dan isinya, tuang tulak
padang ialah dewata yang menguasai isi bumi dan air, gaung tikembong dewata

yang menguasai angkasa angin dan halilintar. Dewata adalah makhluk halus yang
diberi kuasa besar oleh Puang Matua untuk mengawasi manusia dalam hidupnya
di dunia ini dan menghukum siapa saja yang melanggar perintah Puang Matua .
Manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan dijaga oleh roh halus sehingga jika
dirusak maka dewata akan memberi hukuman malapetaka di dunia (Labuhari,
1997).
Setelah masuknya agama Kristen di Tana Toraja, situasi berangsur-angsur
mulai berubah terutama sikap dan tata cara hidup yang bermasyarakat, meskipun
belum seluruhnya meninggalkan tata cara hidup yang bersifat tradisional.
Kehadiran agama dalam kehidupan masyarakat masih tetap berdampingan dengan
kebiasaan-kebiasaan yang diturunkan oleh leluhur, seperti kepercayaan tentang
hari-hari baik dan hari buruk, kepercayaan terhadap penyebab malapetaka
misalnya melakukan perjalanan, menanam padi, dan melakukan perjalanan.
Menurut Tangdilintin (dalam Duli dan Hasanuddin, 2003) aluk todolo adalah
salah satu kepercayaan atau keyakinan yang diturunkan oleh Puang Matua (sang
pencipta). Adapun aturan agama dalam aluk todolo bahwa manusia dan segala isi
bumi harus menyembah. Penyembahan ditunjukkan pada Puang Matua sebagai
pencipta yang diwujudkan dalam bentuk sajian. Puang Matua sebagai sang
pencipta memberi kekuasaan kepada deata-deata (sang pemelihara).

15

Manusia diwajibkan mempergunakan segala yang ada dalam dunia dan sekaligus
menyembah Puang Matua dan deata-deata .
Dalam ajaran aluk to dolo dikenal tiga golongan deata yaitu deata tangga
langi’ sang pemelihara di langit, deata kapadanganna sang pemelihara di bumi,
deata tangana padang pemelihara menguasai segala isi tanah. Selain ketiga

golongan deata dalam ajaran aluk to dolo sesuai ketentuan sukaran aluk, maka
manusia harus menyembah kepada tiga aturan yaitu Puang Matua, deata –deata ,
tomembali puang. Ajaran aluk to dolo mengonsepsikan adanya struktur dewa-

dewa yang tersusun secara vertikal. Puang Matua dipandang sebagai dewa
tertinggi yang berperan sebagai pencipta seluruh alam, sedangkan di pihak lain
deata-deata berkedudukan sebagai pemelihara, penguasa, pengatur kehidupan

ciptaan Puang Matua , dan tomembali Puang berkedudukan sebagai pengawas
(Duli dan Hasanuddin, 2003).
Apabila salah seorang anggota keluarga dalam rumah selalu sakit, atau hidup
seseorang selalu sial maka dipanggillah pemimpin agama tominaa untuk massurusuru. Orang yang sakit atau orang tuanya yang merendahkan diri dan

merenungkan kiranya keluarga atau anggota yang bersangkutan pernah melanggar
aturan agama atau pernah berkhianat kepada orang tua, menyiksa binatang dan
merusak tanaman. Kemudian yang bersangkutan “mengaku komba ” menyesali
perbuatan-perbuatan dan pemimpin agama tominaa mentarapkan yang dilakukan.
Tentu banyak perbuatan-perbuatan yang dianggap menyalahi norma agama tetapi
tominaa mencari yang paling menyalahi tujuan hidup sesuai aluk todolo.

16

Dalam hal ini diadakan terkaan memakai biang, semacam rumput gajah dibelah di
tengah malam diantara keluarga dengan doa: lamangaku komba’ ki’ langan Puang
Totu Mampata. Ladi parokko mi tebiang, lama’ kada tongan diongbaliaran

ampa’ rantean tujo. Mantannako rara’ talingannako bulan, tang dipenduanni
tangdipetallunni”, artinya kiranya kita mengaku dengan tulus ikhlas dihadap
Allah. Biang ini akan berbicara benar dihamparan tikar di tengah kita. Demi saksi
kebenaran yang murni, tepat dan jitu, tidak diulang. Ajaran seperti ini sedikit demi
sedikit mulai ditinggalkan oleh masyarakat Toraja, walaupun orang-orang tua
masih tetap bertahan dan semakin bermunculan orang yang berpendidikan ingin
mempertahankan agama dan adat orang Toraja dengan adanya pengakuan juridis
yang mengakui kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Dalam aluk todolo terdapat beberapa hukum yang harus dipatuhi oleh
penganutnya yang disebut dengan pemali, meliputi :
-

Pemali urrusak pote dibolong, artinya tidak boleh mengganggu upacara

penguburan orang mati.
-

Pemali ma’ pangan buni, tidak boleh berzinah.

-

Pemali unromok tatanan pasak, tidak boleh mengacau dipasar

-

Pemali unteka’ palanduan, golongan budak dilarang kawin dengan
golongan tomakaka dan tokapua (bangsawan).

-

Pemali massape-ao’, tidak boleh berangkat meninggalkan rumah pada hari

yang sama dengan arah yang berbeda.
-

Pemali boko, tidak boleh mencuri.

17

-

Pemali umboko sunga’ na pedanta tolino, jangan membunuh sesama
manusia.

-

Pemali ma’ kada penduan, tidak boleh berdusta.

-

Pemali unkasirisan deata misanta , jangan mengkhianati orang tua.

-

Pemali ungkattai bubun, jangan berak di sumur.

-

Pemali umbala’ bala’ tomanglaa, jangan menyiksa anak gembala.

-

Pemali meloko, dilarang mengambil barang di kuburan.

-

Pemali umbala - bala’ patuoan, jangan menyiksa binatang ternak.

Sanksi yang dikenakan pada pelanggaran pemali berbeda menurut berat
ringannya pelanggaran, seperti sanksi yang berat ialah sangsi membunuh dimana
semua keluarga dari yang menjadi korban pembunuhan bersumpah turun temurun
tidak boleh berhubungan dalam bentuk apapun dengan keluarga pembunuh
(sisallang). Seorang hamba yang kawin dengan golongan bangsawan diusir
seumur hidup dari lingkungan Toraja. Sanksinya sama dengan orang yang
mencuri benda milik orang meninggal dari kubur. Orang berpisah dari satu rumah
pada hari yang sama dengan arah yang berlawanan, tidak ada sanksi hukumnya
tetapi biasanya salah seorang anggota keluarga mendapat celaka (Labuhari, 1997).

18

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini
melibatkan lima partisipan, yang terdiri dari dua laki-laki dan tiga perempuan.
Kelima partisipan berasal dan tinggal di kabupaten Toraja Utara, provinsi
Sulawesi Selatan. Adapun karakteristik partisipan yaitu salah satu dari partisipan
merupakan ketua adat dalam lingkungan Toraja,

dikarenakan ketua adat

merupakan orang yang lebih tahu mengenai latar belakang dan seluk beluk
tentang pemali di Toraja. Partisipan merupakan masyarakat biasa yang masih
meyakini dan menerapkan pemali dalam kehidupan sehari-hari. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara dan
observasi. Dilakukan wawancara mendalam terhadap semua partisipan, selain itu
peneliti melihat dan mengamati perilaku yang nampak dari partisipan. Data yang
diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan teknik analisa
data kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman (dalam
Herdiansyah, 2010) yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, display
data, kesimpulan.

19

Hasil Penelitian
Semua partisipan dalam penelitian ini adalah masyarakat

keturunan asli

Toraja dari latar belakang keuturunan bangsawan yang bertempat tinggal di
Kabupaten Toraja Utara. P1 merupakan ketua adat, sedangkan P2 hingga P5
merupakan masyarakat Toraja yang percaya dan taat terhadap pemali. Semua
partisipan mendapatkan ajaran tentang pemali dari orang tua sejak mereka kecil.
Mereka tumbuh dalam keluarga yang taat dan percaya terhadap pemali. Kelima
partisipan memperoleh ajaran tentang pemali dari orang tua mereka, tergambarkan
dalam situasi yang sama yaitu dalam situasi santai sehabis makan malam saat
mereka sedang duduk di ruang tamu. Ajaran serta perilaku yang ditunjukkan
lingkungan terdekat yang mencerminkan ketaatan terhadap pemali, menjadi dasar
bagi partisipan untuk mulai memahami tentang pemali dan kemudian
menggunakannya sesuai dengan konteksnya.
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf di atas, bahwa semua partisipan
memperoleh ajaran tentang pemali sejak mereka kecil. Semua partisipan
memahami dan menerapkan pemali sesuai dengan konteksnya, ketika mereka
mulai beranjak remaja dan dewasa. P1 percaya terhadap pemali dan
menerapkannya sejak usia 25 tahun, P2 dan P3 percaya terhadap pemali sejak usia
18 dan 15 tahun, sedangkan P4 dan P5 percaya dan menerapkan pemali sejak usia
13 tahun. Pada usia tersebut semua partisipan mulai memahami baik itu tujuan
maupun manfaat pemali bagi kehidupan mereka hingga saat ini.

20

Bagi mereka pemali mempunyai tujuan yang baik, yaitu untuk menghindarkan
mereka dari penyakit dan kejadian–kejadian buruk lainnya, serta untuk mengatur
kehidupan mereka menjadi lebih baik. Berawal dari pemahaman tersebut,
partisipan kemudian menerapkan pemali dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kelima partisipan, pemali merupakan ketentuan yang berisikan larangan–
larangan pada perbuatan dan jenis makanan tertentu untuk dilakukan. Semua
partisipan meyakini bahwa pemali berasal dari nenek moyang orang Toraja.
Mereka membentuk dan menetapkan pemali sebagai sebuah ketentuan
berdasarkan keyakinan yang mereka peluk saat itu yang dikenal dengan aluk
todolo, kepercayaan yang tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa (Puang Matua ).

Mereka juga percaya bahwa pada zaman nenek moyang orang Toraja, terdapat
pengantara yang menjadi penghubung manusia dengan Tuhan yaitu deata , bagi
mereka deata mempunyai kedudukan yang sama dengan Tuhan Yesus.
Pernyataan tersebut tampak berbeda dengan pernyataan yang diungkapkan oleh
P2. Menurut P2 keyakinan nenek moyang orang Toraja pada zaman dahulu yaitu
keyakinan tertuju kepada setan, sehingga ia percaya bahwa keyakinan tersebut
menjadi landasan nenek moyang orang Toraja untuk membentuk dan menetapkan
pemali.
Pemali tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Toraja,
sehingga telah menjadi bagian dari budaya Toraja. Bagi P1 selaku ketua adat,
seseorang yang mempunyai anggapan bahwa pemali tidak berlaku lagi seperti
zaman dahulu karena sekarang orang telah memiliki kepercayaan kepada Tuhan
atau beragama, baginya orang tersebut tidak memiliki budaya dalam dirinya.

21

Bagi P1 sudah layak dan sepantasnya selaku generasi penerus untuk menjaga dan
melestarikan warisan dari leluhur yang merupakan bagian dari budaya Toraja.
Contoh–contoh pemali yang diutarakan oleh semua partisipan kecuali
partisipan keempat, yaitu pemali membawa pulang bambu ataupun kayu yang
digunakan untuk membawa peti ke makam, pemali membongkar bangunan tempat
menyimpan jenazah di lapangan upacara kematian, pemali memasak daging yang
berasal dari acara kedukaan dengan daging yang berasal dari acara syukuran
secara bersamaan dalam satu wadah, pemali memakan daging kerbau bersama
sayur paku secara bersamaan, pemali berkunjung ke makam saat padi mulai
tumbuh. Kelima partisipan meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemali dapat
menimbulkan konsekuensi berupa dosa dan karma, dalam bentuk penyakit, gagal
panen, serta kejadian buruk lainnya.
Pengalaman pernah menyaksikan konsekuensi yang timbul akibat pelanggaran
pemali berupa gagal panen dan penyakit, pernah disaksikan oleh P2 dan P3,
sedangkan pengalaman pernah merasakan sendiri konsekuensi yang timbul akibat
pelanggaran pemali berupa penyakit yaitu pada bagian perut, kaki, dan pundak
dialami oleh P3 dan P5. Beda halnya dengan P1 dan P4 yang belum pernah
menyaksikan konsekuensi yang timbul akibat pelanggaran pemali, baik itu berupa
penyakit ataupun gagal panen. Motivasi kelima partisipan untuk percaya dan taat
terhadap pemali yaitu karena takut terhadap konsekuensi yang akan timbul baik
itu berupa penyakit dan kejadian-kejadian buruk lainnya. Pesan dari orang tua
menjadi sebuah peringatan kepada kelima partisipan untuk tidak melanggar
pemali.

22

Bagi kelima partisipan pesan dari orang tua terkait dengan pemali, menjadi tanda
atau bukti bahwa mereka yang dalam hal ini adalah orang tua para partisipan
pernah menyaksikan dampak tersebut, sehingga pemali menjadi sebuah pesan dari
orang tua kepada anak–anaknya. Keyakinan serta pandangan tersebut semakin
diperkuat oleh pengalaman partisipan yang pernah menyaksikan dan mengalami
dampak secara langsung, sehingga bagi mereka pesan tersebut benar.
Beberapa contoh-contoh pemali yang berbeda yang diutarakan oleh kelima
partisipan. Bagi P, pemali mengambil benda–benda orang yang telah meninggal
baik itu benda yang dikenakan pada badan orang yang telah meninggal maupun
benda yang diletakkan di dalam makam, baginya benda-benda orang yang telah
meninggal tidak boleh dibawa ke dalam kehidupan orang yang hidup, pemali
selingkuh dengan saudara kandung dan selingkuh dengan orang tua. Adapun
contoh pemali lainnya yang diutarakan P2 yaitu pemali memasak telur ataupun
menggoreng telur, serta mengupas kelapa menjelang musim panen padi. Contoh
lainnya yang diutarakan oleh P3, yaitu pemali melakukan kegiatan yang berkaitan
dengan acara kedukaan dan acara syukuran tanpa adanya peristiwa yang nyata
menggambarkan kedua peristiwa tersebut. Contoh yang berbeda diutarakan oleh
P4, yaitu pemali menyapu di dalam rumah pada malam hari, pemali bertopang
dagu, pemali tidur pada jam lima sore ke atas. Contoh lain diutarakan oleh
partisipan kelima, yaitu pemali memakan kepala babi, pemali bagi sepasang suami
istri memotong ayam bersama–sama, pemali memukul anak menggunakan
tangkai pohon bambu, dan pemali memakan daging anjing.

23

Semua partisipan meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemali akan
menimbulkan dampak, oleh karena itu harus berujung pada sebuah pengakuan
sebagai wujud penyesalan dan pertobatan serta memohon pengampunan kepada
Tuhan. Tindakan tersebut merupakan sebuah upaya yang diyakini partisipan dapat
menyembuhkan mereka dari penyakit.
Pembahasan
Fokus penelitian ini adalah untuk

melihat bagaimana pemahaman dan

penggunaan pemali oleh masyarakat Toraja dalam kaitannya dengan perilaku
kesehatan. Untuk memahami proses tersebut, penting untuk mengetahui terlebih
dahulu tentang perilaku kesehatan. Menurut Leventhal (dalam Ogden, 2007)
faktor–faktor yang memprediksikan perilaku sehat yaitu faktor sosial, meliputi
norma-norma sosial, meniru, penguatan, dan belajar. Norma sosial bersifat
mengikat, setiap norma yang terdapat dalam suatu masyarakat merupakan nilainilai sosial yang harus ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat setempat. Perilaku
yang ditunjukkan oleh kedua orang tua dan lingkungan terdekat mereka yang
mencerminkan ketaatan terhadap pemali, perlahan-lahan mereka tiru dan
aplikasikan dalam kehidupan sehari–hari, hingga pada akhirnya menjadi sebuah
nilai yang menjadi acuan mereka dalam berperilaku.
Faktor kedua faktor emosional, meliputi rasa takut, cemas, dan depresi.
Faktor emosional akan mengalami perubahan jika merasa dirinya dalam bahaya,
sehingga menimbulkan emosi-emosi negatif.

24

Rasa takut dan cemas timbul dalam diri partisipan saat membayangkan
kemungkinan-kemungkinan buruk

yang akan terjadi pada diri mereka jika

melanggar pemali. Emosi tersebut timbul saat mereka berada dalam situasi
berbahaya, yaitu sebuah situasi yang dihadapkan pada partisipan jika dilakukan
maka terjadi pelanggaran pemali. “Rasa takut, kalau diperbuat itu nanti betulbetul terjadi bagaimana mi kita nanti”. Emosi negatif berupa rasa takut dan

cemas akan hilang jika partisipan mengambil sebuah tindakan yaitu tidak
melanggar pemali, dengan sebuah keyakinan yang mereka pegang bahwa jika
mereka taat dan tidak melanggar pemali maka dampak buruk tidak akan menimpa
mereka. Menurut Leventhal dkk (1980) jika ketakutan memainkan peranan dalam
tindakan jangka panjang kemungkinan karena memiliki pengaruh pada ingatan.
Faktor ketiga yaitu persepsi simtom–simtom, meliputi pandangan setiap
individu terhadap gejala-gejala suatu penyakit, banyak hal yang berperan dalam
membentuk persepsi individu salah satunya yaitu kognisi. Pengalaman di masa
lalu serta pesan dari orang tua mengenai pemali menjadi hal yang penting, karena
pengalaman serta pesan yang mereka dapatkan dari orang tua menjadi
pertimbangan bagi mereka untuk mempersepsikan gejala suatu penyakit. Faktor
keempat yaitu keyakinan atau kepercayaan, keyakinan setiap individu terhadap
suatu penyakit dapat berdampak terhadap perkembangan penyakit serta perilaku
mereka. Hal tersebut tercermin pada partisipan yang memiliki pengalaman pernah
merasakan sakit pada bagian kaki, perut, dan bahu, dengan meyakini bahwa
penyakit tersebut timbul akibat melanggar pemali, sehingga bagi mereka penyakit
yang timbul akibat pelanggaran pemali tidak dapat disembuhkan dengan bantuan

25

medis berupa obat-obatan melainkan dengan pengakuan. Pengalaman tersebut
menjadi sebuah bukti pembenaran terhadap pesan yang diajarkan oleh orang tua
mereka “ Karena saya sudah coba to, na benar-benar mau ada akibatnya ’’.
Menurut Carver, Scheier, Vohs dan Baumeister (dalam Wit & Ridder, 2006 )
istilah regulasi diri sering digunakan untuk mengacu pada upaya manusia untuk
mengubah pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan, dalam mencapai tujuan
mereka. Menurut Hagger dan Orbell (wearden & Peters, 2008) model regulasi diri
memberikan kerangka untuk membantu memahami peran faktor kognitif dan
persepsi dalam menanggapi dan mengelola berbagai penyakit kronis dan ancaman
lain terhadap kesehatan.
Keterkaitan antara pemali dengan perilaku kesehatan dapat dijelaskan dengan
model regulasi diri dari Leventhal, terdiri dari tiga tahap yaitu interpretasi, koping,
dan

penilaian.

Tahap

yang

pertama

yaitu

tahap

dimana

individu

menginterpretasikan gejala suatu penyakit. Semua partisipan meyakini bahwa
penyebab timbulnya penyakit tertentu diakibatkan pelanggaran terhadap pemali.
Salah satu contoh jenis penyakit yang diyakini oleh partisipan dapat timbul jika
mencampur daging yang berasal dari acara kedukaan yaitu daging babi dan kerbau
dengan daging yang berasal dari acara syukuran yaitu daging ayam dan daging
babi, jika daging tersebut dicampur maka akan menyebabkan timbulnya penyakit
ayan. Informasi tersebut mereka dapatkan melalui pesan yang disampaikan oleh
orang tua partisipan. Persepsi terhadap sebuah gejala penyakit memengaruhi
bagaimana seorang individu menafsirkan sebuah penyakit.

26

Konsekuensi berupa penyakit tidak hanya berlaku pada pemali tersebut, namun
bagi partisipan hampir semua pelanggaran pada contoh pemali lainnya dapat
menimbulkan penyakit. “Sebab kita tidak lihat itu kita kenna’ apakah mata kita
buta, apakah kita pincang, apakah perut kita bengkak, banyak macam”.
Hasil dari pengolahan informasi menurut model regulasi diri (Benyamini,
Gozlan, & Kokia, 2004) adalah representasi kognitif terhadap ancaman kesehatan
(identitas, penyebab, konsekuensi, rentang waktu, dan pengobatan) serta respons
emosional berupa takut dan cemas. Rasa takut yang timbul pada diri partisipan,
berlandaskan pada sebuah keyakinan yang mereka pegang bahwa jika melanggar
pemali, maka dampak yang akan timbul menimpa mereka yaitu berupa penyakit.
Selain itu, rasa takut terhadap penyakit yang akan timbul yang dapat berujung
pada kematian, menjadi landasan timbulnya munculnya emosi-emosi negatif. “
Ada rasa takut, takut nanti kita sakit atau kita mati”. Untuk mengatasi ancaman

terhadap kesehatan serta untuk menurunkan respons emosi, maka partisipan
terdorong untuk melakukan sebuah upaya guna mencegah dari penyakit serta
meningkatkan kesehatan mereka yaitu dengan taat terhadap pemali.
Bagi partisipan penyakit yang timbul akibat pelanggaran pemali, tidak
dapat disembuhkan dengan bantuan medis, sehingga upaya yang dilakukan ialah
mengadakan sebuah pengakuan sebagai bentuk penyesalan dan pertobatan serta
memohon ampun kepada Tuhan. “ Iya kalau itu terjadi kita itu mulai koreksi diri,
mungkin ada pelanggaran pemali yang saya perbuat ini. Kita pergi sama orang
yang dituakan itu di dalam masyarakat, tanya-tanya saya pernah melanggar
pemali apa yang harus saya perbuat.

27

Di situ kita dikasih tahu, pergi di tongkonan mengaku di tongkonan bahwa ini
tidak saya sengaja, tapi ini kelalaian saya, saya perbuat saya mengaku mohon
Tuhan dengarkan doa saya ”.

Semua partisipan meyakini bahwa upaya yang mereka lakukan untuk
menghindarkan diri atau pencegahan dari konsekuensi berupa penyakit yaitu
dengan percaya dan taat terhadap pemali. Bagi mereka taat terhadap pemali
merupakan sebuah tindakan yang efektif yang dapat mencegah timbulnya
penyakit yang akan menimpa diri mereka, yang kemudian mereka terapkan dalam
kehidupan sehari-hari “ Memang itu sudah pengalaman, orang yang taat kepada
pemali-pemali itu banyak manfaatnya, tapi orang yang sudah tidak menghiraukan
pemali lagi, itu nampak juga dalam hidupnya itu, pasti ada hukum karmanya

itu”. Bagi partisipan tindakan tersebut efektif untuk mencegah penyakit, sehingga
mereka menerapkannya guna menjaga kondisi mereka untuk tetap sehat dan
mencegah timbulnya penyakit. Keyakinan dan tindakan tersebut kemudian
mereka teruskan dan ajarkan kepada anggota keluarga.
Contoh-contoh pemali yang disebutkan oleh partisipan, kebanyakan
mengacu kepada mayat. Hal tersebut diduga karena di dalam adat Toraja sendiri
menganggap bahwa mereka yang telah meninggal masih hidup dan dihormati.
Pernyataan dari salah satu partisipan yang mengatakan bahwa barang orang yang
telah meninggal tidak boleh di bawah ke dalam dunia orang yang masih hidup,
menandakan bahwa segala sesuatu yang menyangkut mayat khususnya bendabenda milik orang yang telah meninggal, pantang jika disentuh karena dianggap
sebagai sesuatu yang berbahaya.

28

Penghormatan kepada hal-hal yang berbahaya merupakan sebuah upaya yang
dilakukan oleh partisipan agar tidak terkontaminasi dengan penyakit yang dapat
mengancam kesehatan mereka.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka diperoleh
kesimpulan mengenai pemahaman dan penggunaan pemali oleh masyarakat
Toraja dalan kepentingannya dengan perilaku kesehatan sebagai berikut. Pemali
merupakan sebuah ajaran yang diturunkan oleh nenek moyang orang Toraja,
berisikan larangan-larangan pada perbuatan dan objek tertentu, jika dilanggar
dapat menimbulkan dampak berupa penyakit, gagal panen, serta kejadian-kejadian
buruk lainnya. Bagi kelima partisipan, pemali mempunyai tujuan dan manfaat
yang baik yaitu untuk menghindarkan mereka dari kemalangan-kemalangan
khususnya penyakit, serta untuk mengatur kehidupan mereka untuk menjadi lebih
baik. Kelima partisipan memiliki pemahaman bahwa ketidaktaatan terhadap
pemali dapat menimbulkan dampak berupa penyakit, sehingga upaya yang mereka
lakukan untuk mencegah timbulnya dampak tersebut yaitu dengan percaya dan
taat terhadap pemali. Rasa takut dan cemas terhadap penyakit yang akan timbul
kerap kali mewarnai kehidupan partisipan. Hal tersebut kemudian menjadi
motivasi partisipan untuk taat dan patuh terhadap pemali.
Pemahaman partisipan mengenai penyakit yang timbul akibat pelanggaran
pemali, didasari dengan sebuah pandangan pribadi mereka yang tergambarkan

29

lewat pengalaman serta informasi yang mereka dapatkan dari orang-orang
terdekat. Berawal dari pemahaman tersebut kemudian mendorong mereka untuk
menerapkannya.

Tindakan tersebut merupakan sebuah upaya yang membuat

mereka keluar dari kondisi takut dan cemas. Pandangan partisipan terhadap
sebuah penyakit khususnya menjadi penyebab timbulnya penyakit, menjadi dasar
perkembangan penyakit itu sendiri serta menjadi acuan bagi individu untuk
memilih sebuah langkah yang dapat mengobati terlebih untuk mencegah
timbulnya penyakit.
Dari hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diberikan peneliti
dari penelitian ini yaitu :
1. Bagi ketua adat dan tokoh-tokoh masyarakat Toraja, diharapkan untuk
selalu mengupayakan dan mengajak masyarakat Toraja untuk menjaga
nilai-nilai yang terkadung dalam pemali yang dianggap masih relevan
dengan situasi saat ini, pemali-pemali yang dapat diterima secara umum
oleh masyarakat Toraja, contohnya yaitu pemali untuk melakukan
tindakan kriminal, serta pemali-pemali yang bertujuan untuk menjaga
budaya dan adat Toraja.
2. Bagi peneliti selanjutnya yaitu untuk melakukan penelitian dengan
memfokuskan pada alasan logis atau ilmiah terkait dengan hal-hal yang
dijadikan sebagai objek pemali, selain hal tersebut peneliti selanjutnya
dapat mengkaji lebih dalam terkait dengan pemali menjelang pernikahan,
dan pemali khusus untuk upacara kedukaan.

30

3. Bagi pembaca secara umum hasil penelitian ini dapat memberikan
gambaran mengenai pemahaman dan penggunaan pemali oleh masyarakat
Toraja dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan.

31

Daftar Pustaka
Benyamini, Y., Gozlan, M., & Kokia, E. (2004). On the Self-Regulation of a
Health Threat:Cognitions, Coping, and Emotions Among Women
Undergoing Treatment for Infertility. Cognitive Therapy and Research, 28,
5. Diakses Agustus, 06, 2014 dari :
http://link.springer.com/article/10.1023/B%3ACOTR.0000045566.97966.22
Chu, M. P. (2009). Chinese cultural taboos that affect their language and behavior
choices. Asian culture and history, 1, 2. Diakses Agustus 16, 2013, dari
www.ccsenet.org/journal.html.
Conner, M. (2002). Health behaviors. University of Leeds UK.
Duli, A., & Hasanuddin. ( 2003). Toraja Dulu dan Kini. Makassar : Pustaka
Refleksi.
Evans, W. R., Averi, G. P., & Pederson, V. P. (1999). Taboo topics: Cultural
restraint on teaching social issue. The social Studies, 90, 5. Diakses Agustus
07, 2014 dari : http://web.b.ebscohost.com/ehost/detail/detail?sid=9e3b00b01140-4925-86f80e9d2d8e80d0%40sessionmgr111&vid=0&hid=112&bdata=JnNpdGU9ZWh
vc3QtbGl2ZQ%3d%3d#db=pbh&AN=2215244
Foster. G. M., & Anderson, B. A. (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta :
Universitas Indonesia.
Freud, S.(2002). Totem and Tabu. Yogyakarta : Jendela.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba
humanika
Imelda, D. (2010). Pemali dan Logikanya. Diakses Agustus 19, 2013 dari:
http://www.google.com/#hl=en&q=pamali+dan+logikanya+daisy+imelda&spell=
1&s
Kalua, A, R. (2010). Toraja Tallu Lembangna . Jakarta : Keluarga Besar Tallu
Lembangna.
Kamal, S. M. (2009). Taboos in Ancient Egypt. 3rd IRT International scientific
conference integrated relational tourism–territories and development in the
mediterranean
area.
Diakses
Januari
23,
2014
dari
:
http://www.arces.it/public/Pubblicazioni_Ricerche/Turismo_Relazionale/I
rt_conference/Paper%20Book/Vol%201/Paper%20Book_Vol1_12.pdf
Labuhari, T. M. U. (1997). Budaya Toraja . Jakarta : Yayasan Maraya.

32

Leventhal, H., Meyer, D., & Nerenz, D. (1980). The common sense representation
of
illnes danger. Medical Psychology, 11. Diakses Mei 27, 2014 dari :
http://www.academia.edu/259452/The_Common_Sense_Representation_o
f_Illness_Danger.

Notoatmodjo, S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya . Jakarta : PT
Rineka Cipta.
Ogden, J. ( 2007). Health Psychology (Fourth edition). New York : Two Penn
Plaza.
Steiner, F. (1956). Taboo. Australia : Penguin Books.
Wearden, A., & Peters, S. (2008). Therapeutic techniques for interventions based
on Leventhal’s common sense model. Health Psychology, 13, 189-193.
Diakses Agustus 06, 2014 dari : www.bpsjournals.co.uk
Wikipedia.(2013). Suku Toraja. Diakses Agustus 16, 2013, dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja