Wajah Lain Jatinangor.

-

h~:'6~)
.,>'"

------

Pikiran Rakyat \(

,.

'~''i',
,17

1

~.,

OJan

.


,~.

2
18

.

3
19

4

20

5

21

6


7
22

8
23

9

24

10

25

'11

26

.5enin

0 Selasa
0 Rabu eJun
I)-- Kamis
Jumat
UP;b
- OM-;,
-(j-Ap-;-OM;;
OJ!}I 0 UAgs

12

27

13

28

0 SabtuUOkt
0
USep


14

29

(!!)30

W

'

..~ - ~ - - - -

AKTU menunjukan pukul

23.00 WIB pada Kamis (12/6).
Namun ruas JIn. Raya Jatinangor di depan Kepolisian Sektor (Polsek)
Jatinangor, Kab. Sumedang masih terlihat
ramai. Puluhan pemuda dan pemud, terlihati berlalu-Ialang di depan Jatinangor
Town Square (Jatos), satu-sa:tunya mal

yang ada di kawasan tersebut.
Sebagian dari mereka yang baru selesai
menonton pertunjukan di bioskop, bergegas menuju tempat tinggal masing-masing. Rupanya mereka adalah para mahasiswa yang ternyata punya jadwal ujian
akhir semester (UAS) besok harinya.
Sementara beberapa kelompok lain
tampak asyik berbincang-bincang di depan pelataran parkir. Mereka adalah pemuda asli Jatinangor yang tergabung
dalam kumpulan penggemar skuter.
Pemandangan seperti itu di Kota Bandung mungkin tidak asing. Namun di
Jatinangor, hal itu masih terbilang baru.
Tiga atau empat tahun lalu, jalanan di
kawasan pendidikan itu sudah sepi ketika
waktu menunjukan pukul 22.00 WIB.
Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata
bukan itu saja hal barn di Jatinangor. Perubahan "wajah" dengan kemunculan mal
dan berbagai sarana hiburan lain, gaya
hidup mahasiswa dan pemuda Jatinangor
ikut ber'ubah.
Sebut saja, Anty (21), mahasiswi semester enam Universitas Padjadajaran (Unpad). Meski tidak mengunjungi setiap
hari, keberadaan mal di Jatinangor cukup
memberikan nuansa baru baginya.

"Sekarang kalau ingin refreshing bisa
nonton film ke Jatos," ujarnya.
Sementara itu Fajar (27), alumni salah.
satu perguruan tinggi Jatinangor. Meski .
tidak merasakan secara langsung, Fajar
mengakui perubahan yang terjadi di Jatinangor. "Dulu saya pulang kuliah paling
main bola sampai bolanya ngga kelihatan
lagi karena gelap (malam). Setelah itu,
paling nongkrong di tempat kos," katanya.
Sekarang, Fajar menilai keberadaan
mal memberikan kemudahan akses hiburan yang lebih variatifbagi mahasiswa
maupun pemuda setempat. "Kalau ingin
hang out, bisa nonton bareng di bioskop.
Zaman saya dulu, cari hiburan seperti itu
harus ke Kota Bandung," ungkapnya.
Hal senada diungkapkan Ipan (19) dan
Uping (24), pemuda asal kawasan Cikuda,
Jatinangor. Sebelum ada mal di Jatinangor, mereka harus menempuhjarakjauh
untuk mencari keramaian. "Kebetulan kami punya grup penggemar skuter, tiap
akhir pekan dulu biasanya jalan-jalan ke

Kota Bandung untuk cari hiburan.
Sekarang mah tidak harus jauh-jauh,"

_ul3£.
~in~.

_

---'--Klipin9

_

--

Humos
------

Sementara Ipan mengatakan, ruas JIn
Raya Jatinangor dari kampus Institut Pemerintaban Dalam Negeri (IPDN) sampai
kampus Universitas Padjadjaran (Unpad)

di akhir pekan, kini tak ubahnya seperti
JIn. Ir H. Djuanda di Kota Bandung.
"Pokoknya ini 'Dago"nya Jatinangor lab,"
kata Ipan sambil tertawa.
Selain itu, keberadaan sarana pendukung lain seperti supermarket dan mini
market juga memberi gaya sendiri dalam
berbelanja. Beberapa tahun lalu, mahasiswa dan penduduk setempat tidak segan
untuk berdes~-~esakan di warungwarung keeil untuk membeli kebutuhan
pribadi sehari-hari. Kini mini market atau
supermarket dirasakan lebih memberi
kenyamanan berbelanja.
Keberadaan mal dan butikjuga memberi kemudahan bagi mahasiswa dan penduduk setempat untuk mengikuti tren busana. "Sekarang cari baju yang lagi tren
tidak usahjauh-jauh ke Bandung kang,
cukup cari di Jatos juga banyak," ujar
Ipan.
. Pernyataan itu dipertegas oleh Uping.
"Dulu cari pakaian paling dekat harus ke
daerah Rancaekek atau Tanjungsari.
Kalau ingin dapat yang lebih bagus harus
ke Sumedang atau ke Bandung," ujarnya.

Di kalangan mahasiswa, hal itu juga
tidak berbeda jauh. "Saya rasa mahasiswa
Jatinangor sekarang lebih mudah
mengikuti tren yang dalam berbusana.
Hanya saja, saya tidak tahu pasti mereka
belanjanya di Jatinangor atau bukan," kata Anti menuturkan.
Sementara itu Fajar mengatakan,
keterbatasan akses ke pusat perbelanjaan
pakaian memang membuat mahasiswa
Jatinangor 'tempo dulu' kurang bisa
mengikuti perkembangan tren dalam urusan pakaian:
"Karena jauhnya kalau ingin beli pakaian baru, ya belinyajugajadijarang. Yah
hasilnya, susah mengikuti tren barn.
Kalau anak-anak sekarang bisa mengikuti
gaya yang ada. Bahkan, hedonisme di beberapa kalangan tumbuh subur," kata Fa~~
.
Di satu sisi, pertumbuhan yang dialami
Jatinangor memang memberi kemudahan
bagi penduduk asli maupun pendatang.
Namun, pertumbuhan yang ada sepertinya tidak sejalan dengan konsep sebagai

kawasan pendidikan.
Setidaknya itu yang terlihat oleh Echa
(28), seorang karyawati swasta yang sempat menimba ilmu di Jatinangor. "Kalau
masalah bank, supermarket atau caffee
saya rasa tidak terlalu menganggu. Namun kalau sudah bicara mal dan bioskop,
rasanya sudah tidak relevan dengan konsep Jatinangor- sebagai kawasan
---- pen-

Unpod

2009

31

Minggu
UNov
U,)es~

'WIIi,II
LainJ,-lin,n,lIf

.. -

16

.

M. GELORA SAPTA/.PR.

PERTUMBUHAN yang dialami Jatinangor, Kab. Sumedang, Jawa Barat ini, memang.
memberi kemudahan bagi penduduk asli maupun pendatang. Namun, pertumbuhan yang
ada..sepertinya tid~ sejalan dengan konsep dwal penataan sebagai kawasan pendidikan. *

didikmi,Ufarnya.

1

Sepengetahuan Echa tentang kawasan
pendidikan, di Harvard atau Oxford, tidak
ada mal atau bioskop. "Di sana, kalau ingin pergi ke mal atau bioskop, mahasiswa
memang mau tidak mau harns pergi ke
pusat kota atau pusat kegiatan ekonomi.
Kawasan pendidikan memang tidak dirancang dengan sarana hiburan yang
lengkap," kata Echa menjelaskan.
Echa mengatakan, pertlimbuhan
ekonomi memang harus dialami setiap
kawasan. Akan tetapi, sektor yang dijalankan untuk setiap kawasan pasti
berbeda. "Di kawasan pendidikan, orang
memangdiharuskan hanya berpikir untuk
belajar. Pertumbuhan ekonomi harus
dipicu juga oleh segala sesuatu yang
terkait kegiatan belajar. Pertumbuhan
ekonomi dari sektor hiburan biarlah dilaksanakan di kawasan lain yang memang
sejak awal diraneang untuk itu. Intinya semua harus beIjalan sesuai konsep," kata
Echa menegaskan.
Tidak hanya itu, konon pergaulan bebas
pun sejak lama merebak di kalangan mahasiswa perantau, akibat pergeseran gaya
hidup yang teIjadi. "Saya pernah beberapa kali memergoki mahasiswa yang
berbuat tidak senonoh di kamar kos
mereka," ujar Dedep Hambali, manta
Kepala Desa Sayang, Kec. Jatinangor.
Hal itu , kata Dedep, sebenarnya sudah
teIjadi sebelum Jatinangor berubah wajah. Namun dulu, lewat teguran dan pengarahan, beberapa mereka masih bisa disadarkan. Seiring perkembangan yang ada,
jumlah mahasiswa rantau yang tertangkap basah di mesum di kamar kosan
semakin banyak. "Semakin ke sini mereka
semakin bandel dan sulit dinasihati,
bahkan ada yang melawan," kata Dedep.
Mahasiswa yang tidak bisa disadarkan
dengan eara teguran, biasanya dilaporkan
kepada pihak orangtua dan kampus. "Kita
sudah mencoba menyadarkan. Namun bila tidak digubris, sanksi sosial harus
diberikan dan itu harns sepengetahuan
orangtua dan kampus. (Handri Handriansyah/"PR")**~~

-