1.1 Latar Belakang - MAKALAH BLOK 17 MUSKULOSKELETAL

MAKALAH BLOK 17 MUSKULOSKELETAL
SKENARIO 2: Congenital Talipes Equinovarus

Kelompok 10 B:
Mawar Suci 1361050067
Intan Permatasari 1361050110
Bella Tripuasanti 1361050151
Benedick Johanes A 1361050223
Azie Zulliadhy 1361050237
Daniar Hapsari 1361050241
Hillery Brilliani 1361050275
Ayu Widya 1361050279
Laura Nolva 1261050080

Jeremy Beta 1261050188
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai

‘club-foot’ adalah suatu gangguan perkembangan pada ekstremitas inferior yang
sering ditemui, tetapi masih jarang dipelajari. CTEV dimasukkan dalam
terminologi “sindromik” bila kasus ini ditemukan bersamaan dengan gambaran
klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom genetik. CTEV dapat timbul sendiri
tanpa didampingi gambaran klinik lain, dan sering disebut sebagai CTEV
“idiopatik”. CTEV sindromik sering menyertai gangguan neurologis dan
neuromuskular, seperti spina bifida maupun spinal muskular atrofi. Tetapi bentuk
yang paling sering ditemui adalah CTEV “idiopatik”, dimana pada bentuk yang
kedua ini ekstremitas superior dalam keadaan normal.
Club-foot ditemukan pada hieroglif Mesir dan dijelaskan oleh Hipokrates
pada 400 SM. Hipokrates menyarankan peawatan dengan cara memanipulasi kaki
dengan lembut untuk kemudian dipasang perban. Sampai saat ini, perawatan
modern juga masih mengandalkan manipulasi dan immobilisasi. Manipulasi dan
immobilisasi secara serial yang dilakukan secara hati-hati diikuti pemasangan gips
adalah metode perawatan modern non

operatif. Kemungkinan mekanisme

mobilisasi yang saat ini paling efektif adalah metode Ponseti, dimana penggunaan
metode ini dapat mengurangi perlunya dilakukan operasi. Walaupun demikian,

masih banyak kasus yang membutuhkan terapi operatif.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana struktur tulang dan otot ?
2. Apa saja jenis- jenis tulang rawan, tulang, otot rangka dan pembagiannya?
3. Bagaimana perkembangan tulang rawan otot dan tulang ?
4. Bagaimana perkembangan terjadinya lengkung kaki sesuai usia
2

5. Apa Definisi & Klasifikasi CTEV ?
6. Apa Etiologi CTEV ?
7. Bagaimana Patofisiologi CTEV ?
8. Bagaimana Pemeriksaan dignosis CTEV ?
9. Bagaimana Penatalaksanaan CTEV
10. Apa saja Komplikasi dan prognosis CTEV ?

1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan menyusun makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui definisi penyakit CTEV
2. Untuk mengetahui epidemiologi CTEV
3. Untuk mengetahui klasifikasi CTEV

4. Untuk mengetahui etiologi dan faktor resiko CTEV
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari CTEV
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari CTEV
7. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis CTEVdengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
8. Untuk mengetahui diagnosis banding dari CTEV
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan CTEV
10. Untuk mengetahui komplikasi CTEV
11. Untuk mengetahui prognosis CTEV

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 STRUKTUR TULANG DAN OTOT RANGKA
Tulang
Secara makroskopik:


spongiosa (kanselosa)




kompak (padat)

Permukaan luar tulang dilapisi


selubung fibrosa (periosteum);



lapis tipis jaringan ikat
(endosteum) melapisi rongga
sumsum & meluas ke dlm
kanalikuli tulang kompak

Secara mikroskopis :



Sistem havers



Lamella



Lacuna



Kanalikuli

4

Otot
Tendon



Hampir semua otot rangka menempel pada tulang. Tendon: jaringan ikat
fibrosa (tdk elastis) yang tebal dan berwarna putih yg menghubungkan otot
rangka dengan tulang.

Fascia


Sel otot à serat otot (endomysium) à fascicle à fasciculus (perimysium)
à fascia (epimysium) à otot rangka (organ)

Setiap 1 serat otot dilapisi oleh jaringan elastik tipis yg disebut sarcolemma.
Protoplasma serat otot yg berisi materi semicair disebut sarkoplasma.
Di dalam matriks serat otot terbenam unit fungsional otot berdiameter 0,001
mm yg disebut miofibril.
Miofibril (diameter 1-2mm)


Di bawah mikroskop, miofibril akan tampak spt pita gelap & terang yang
bersilangan.




Pita gelap (thick filament) dibentuk oleh miosin



Pita terang (thin filament) dibentuk oleh aktin,troponin & tropomiosin)

Sarkomer
1 sarkomer tdd:
- filamen tebal,
- filamen tipis,
5

- protein yg menstabilkan posisi filamen tebal & tipis, &
- protein yg mengatur interaksi antara filamen tebal & tipis.


Pita gelap (pita/ bands A~anisotropic); pita terang (pita/bands I~isotropic)




Filamen tebal tdp di tengah sarkomer Pita A, tdd 3 bgn: garis M; zona H;
dan zona overlap



Filamen tebal tdp pd pita I;garis Z mrp batas antara 2 sarkomer yg
berdekatan & mengandung protein Connectins yg menghubungkan
filamen tipis pd sarkomer yg berdekatan.

Retikulum Sarkoplasma


Jejaring kantung dan tubulus yang terorganisir pada jaringan otot



Tdd tubulus-tubulus yg sejajar dg miofibril, yg pd garis Z dan zona H
bergabung membentuk kantung (lateralsac) yang dekat dengan sistem

tubulus transversal (Tubulus T).



Tempat penyimpanan ion Ca2+.



Tubulus T à saluran untuk berpindahnya cairan yang mengandung ion.



Tubulus T dan retikulum sarkoplasma berperan dalam metabolisme,
eksitasi, dan kontraksi otot.

6

2.2 Jenis-jenis tulang rawan, tulang, otot rangka, dan pembagiannya
Variasi komposisi komponen matriks ekstrasel (ECM) à 3 jenis tulang rawan,
yang beradaptasi dengan kebutuhan biomekanis setempat.



3 jenis TR


Hialin
 Bentuk TR terbanyak
 Embrio: sebagai model kerangka bagi kebanyakan tulang yang
seiring dengan pertumbuhan akan digantikan oleh tulang
melalui proses (osifikasi endokondral)
 Dewasa: kebanyakan telah diganti dengan tulang. Kecuali TR
permukaan sendi, ujung iga, hidung, laring, trakea dan bronki
 Mengandung serat kolagen tipe II



Elastik

 Serupa TR hialin, namun memiliki lebih banyak serat elastic (fibra
elastica)

 Bersifat sangat lentur, terdapat di telinga luar, dinding tuba
auditorius, epiglottis dan laring



Fibrokartilago

7

o Berkas – berkas serat kolagen kasar yang padat dan tidak
teratur dalam jumlah besar
o Terdiri atas lapisan matriks TR diselingi lapisan serat
kolagen tipe I padat
o Memberikan daya regang, menahan beban dan ketahanan
terhadap kompresi
o Terdapat di diskus intervertebralis, simfisis pubis dan sendi
tertentu

8

9

10

11

12

2.3 DEFINISI2,4,9
Congenital Talipes Equino Varus adalah fiksasi dari kaki pada posisi adduksi,
supinasi dan varus. Tulang calcaneus, navicular dan cuboid terrotasi ke arah
medial terhadap talus, dan tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh

13

ligamen dan tendon. Sebagai tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fleksi
terhadap daerah plantar.
2.4 EPIDEMIOLOGI1,2,4,6
Insiden dari CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin.
Insiden CTEV di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup.
Perbandingan kasus laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral
didapatkan pada 30-50% kasus.
2.5 KLASIFIKASI1,4,10
Terdapat banyak klasifikasi dalam pembagian CTEV, tetapi belum
terdapat satu klasifikasi yang digunakan secara universal. Pembagian yang sering
digunakan adalah postural atau posisional, serta fixed rigid. Clubfeet postural
atau posisional bukan merupakan clubfeet yang sebenarnya. Sedangkan clubfeet
jenis fixed atau rigid dapat digolongkan menjadi jenis yang fleksibel (dapat
dikoreksi tanpa operasi) dan resisten (membutuhkan terapi operatif, walaupun hal
ini tidak sepenuhnya benar menurut pengalaman dr. Ponseti).
Beberapa jenis klasifikasi lain yang dapat ditemukan, antara lain :
a.
b.
c.
d.
e.

Pirani
Goldner
Di Miglio
Hospital for Joint Diseases (HJD)
Walker

2.6 ETIOLOGI1,2,4,6
Etiologi yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti. akan
tetapi banyak teori mengenai etiologi CTEV, antara lain :
a. faktor mekanik intra uteri
adalah teori tertua dan diajukan pertama kali oleh Hipokrates. Dikatakan
bahwa kaki bayi ditahan pada posisi equinovarus karena kompresi
eksterna uterus. Parker (1824) dan Browne (1939) mengatakn bahwa
adanya oligohidramnion mempermudah terjadinya penekanan dari luar
karena keterbatasan gerak fetus.
b. defek neuromuskular
beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu dikarenakan adanya defek
neuromuskular, tetapi banyak penelitian menyebutkan bahwa tidak
ditemukan adanya kelainan histologis dan eektromiografik.
c. defek plasma sel primer
Irani & Sherman telah melakukan pembedahan pada 11 kaki dengan
CTEV dan 14 kaki normal. Ditemukan bahwa pada kasus CTEV leher dari
talus selalu pendek, diikuti rotasi bagian anterior ke arah medial dan
14

plantar. Mereka mengemukakan hipotesa bahwa hal tersebut dikarenakan
defek dari plasma sel primer.
d. perkembangan fetus yang terhambat
e. herediter
Wynne dan Davis mengemukakan bahwa adanya faktor poligenik
mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksterna (infeksi Rubella,
penggunaan Talidomide).
f. hipotesis vaskular
Atlas dkk (1980), menemukan adanya abnormalitas pada vaskulatur kasuskasus CTEV. Didapatkan adanya bloking vaskular setinggi sinus tarsalis.
Pada bayi dengan CTEV didapatkan adanya muscle wasting pada bagian
ipsilateral, dimana hal ini kemungkinan dikarenakan berkurangnya perfusi
arteri tibialis anterior selama masa perkembangan.
2.7 PATOFISIOLOGI2
Beberapa teori yang mendukung patogenesis terjadinya CTEV, antara lain:
a. terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular
b. kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c. faktor neurogenik
telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia pada kelompok otot
peroneus pada pasien CTEV. Hal ini diperkirakan karena adanya
perubahan inervasi intrauterine karena penyakit neurologis, seperti stroke.
Teori ini didukung dengan adanya insiden CTEV pada 35% bayi dengan
spina bifida.
d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan
ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen
yang sangat longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan struktur
tendon (kecuali Achilees). Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari
jaringan kolagen yang sangat padat dan tidak dapat teregang. Zimny dkk,
menemukan adanya mioblast pada fasia medialis menggunakan mikroskop
elektron. Mereka menegemukakan hipotesa bahwa hal inilah yang
menyebaban kontraktur medial.
e. Anomali pada insersi tendon
Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan adanya anomali
pada insersi tendon. Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian lain. Hal
ini dikarenakan adanya distorsi pada posisi anatomis CTEV yang
membuat tampak terlihat adanya kelainan pada insersi tendon.
f. Variasi iklim
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan
insiden epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya
variasi yang serupa pada insiden kasus poliomielitis di komunitas. CTEV
dikatakan merupakan keadaan sequele dari prenatal poliolike condition.
Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada spinal cord
anterior bayi-bayi tersebut.
15

2.5 GAMBARAN KLINIK1,3,4
Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit neuromuskuler dalam keluarga.
Lakukan pemeriksaan keseluruhan agar dapat mengidentifikasi ada tidaknya
kelainan lain. Periksa kaki dengan bayi dalam keadaan tengkurap, sehingga
dapat terlihat bagian plantar. Periksa juga dengan posisi bayi supine untuk
mengevaluasi adanya rotasi internal dan varus.
Deformitas yang serupa dapat ditemui pada myelomeningocele dan
arthrogryposis. Pergelangan kaki berada dalam posisi equinus dan kaki berada
dalam posisi supinasi (varus) serta adduksi.
Tulang navicular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi
kontraktur pada jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang kalkaneus
tidak hanya berada dalam posisi equinus, tetapi bagian anteriornya mengalami
rotasi ke arah medial disertai rotasi ke arah lateral pada bagian posteriornya.
Tumit tampak kecil dan kosong. Pada perabaan tumit akan terasa lembut
(seperti pipi). Sejalan dengan terapi yang diberikan, maka tumit akan terisi
kembali dan pada perabaan akan terasa lebih keras (seperti meraba hidung
atau dagu).
Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan
mudah teraba pada sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh
navikular dan badan talus. Maleolus medial menjadi susah diraba dan pada
umumnya menempel pada navikular. Jarak yang normal terdapat antara
navikular dan maleolus menghilang. Tulang tibia sering mengalami rotasi
internal.
2.8 GAMBARAN RADIOLOGIS6,8
 Radiographi
Gambaran radiologis dari CTEV adalah adanya kesejajaran antara tulang talus
dan kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis memiliki arti yang
sangat penting. Posisi anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi terhadap
plantar sebesar 30º dan posisi tabung 30° dari keadaan vertikal. Posisi lateral
diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º.
Gambaran AP dan lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan
plantar fleksi penuh. Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan
kalkaneus.

16

Mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. Garis AP digambar
melalui pusat dari aksis tulang talus (sejajar dengan batas medial) serta melalui
pusat aksis tulang kalkaneus (sejajar dengan batas lateral). Nilai normalnya adalah
antara 25-40°. Bila ditemukan adanya sudut kurang dari 20° maka dikatakan
abnormal.
Garis anteroposterior talokalkaneus hampir sejajar pada kasus CTEV. Seiring
dengan terapi yang diberikan, baik dengan casting maupun operasi, maka tulang
kalkaneus akan berotasi ke arah eksternal, diikuti dengan talus yang juga
mengalami derotasi. Dengan begitu maka akan terbentuk sudut talokalkaneus
yang adekuat.
Garis lateral digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan tulang
talus serta sepanjang dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50°,
sedang pada CTEV nialinya berkisar antara 35° dan negatif 10°.
Sudut dari dua sisi ini (AP and lateral) ditambahkan untuk mengetahui indeks
talokalkaneus, dimana pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai lebih
dari 40°.
Garis AP dan lateral talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular
dan metatarsal pertama.
Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan pada posisi
maksimal dorsofleksi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk
mendiagnosa CTEV yang tidak dikoreksi.
2.9 TERAPI2,3,4,5,9
2.9.1 Terapi Medis
Tujuan dari terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas yang ada
dan mempertahankan koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya
pertumbuhan tulang.
Secara tradisional, CTEV dikategorikan menjadi dua macam, yaitu :



CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, casting dan pemasangan
gips.
CTEV resisten yang memberikan respon minimal terhadap penata
laksanaan dengan pemasangan gips dan dapat relaps ccepat walaupun
sepertinya berhasil dengan terapi manipulatif. Pada kategori ini
dibutuhkan intervensi operatif.
Saat ini terdapat suatu sistem penilaian yang dirancang oleh prof. dr.
Shafiq Pirani, seorang ahli ortopaedist di Inggris. Sistem ini dinamakan
17

The Pirani Scoring System. Dengan menggunakan sistem ini, kita dapat
mengidentifikasi tingkat keparahan dan memonitor perkembangan suatu
kasus CTEV selama koreksi dilakukan.
Sistem ini terdiri dari 6 kategori, masing-masing 3 dari hindfoot dan
midfoot.
Untuk hindfoot, kategori terbagi menjadi tonjolan
posterior/posterior crease (PC), kekosongan tumit/emptiness of the heel
(EH), dan derajat dorsofleksi yang terjadi/degree of dorsiflexion (DF).
Sedangkan untuk kategori midfoot, terbagi menjadi kelengkungan batas
lateral/curvature of the lateral border (CLB), tonjolan di sisi medial/medial
crease (MC) dan tereksposnya kepala lateral talus/uncovering of the lateral
head of the talus (LHT).

Cara untuk menghitung Pirani Score adalah sebagai berikut :
a. Curvature of the Lateral Border of the foot (CLB)
Batasan lateral dari kaki normalnya lurus. Adanya batas kaki yang nampak
melengkung menandakan terdapatnya kontraktur medial.

Lihat pada bagian plantar pedis dan letakkan batangan/penggaris di bagian lateral
kaki. Normalnya, batas lateral kaki nampak lurus, mulai dari tumit sampai ke
kepala metatarsal kelima. Apabila didapatkan batas lateral kaki lurus, maka skor
yang diberikan adalah 0.

18

Pada kaki yang abnormal, batas lateral nampak menjauhi garis lurus tersebut.
Batas lateral yanng nampak melengkung ringan diberi nilai 0,5 (lengkungan
terlihat di bagian distal kaki pada area sekitar metatarsal).

Kelengkungan batas lateral kaki yang nampak jelas diberi nilai 1 (kelengkungan
tersebut nampak setinggi persendian kalkaneokuboid).

B. Medial crease of the foot (MC)
Pada keadaan normal, kulit pada daerah telapak kaki akan memperlihatkan
garis-garis halus. Lipatan kulit yang lebih dalam dapat menandakan adanya

19

kontraktur di daerah medial. Pegang kaki dan tarik dengan lembut saat
memeriksa.

Lihatlah pada lengkung dari batas medial kaki. Normalnya akan terlihat adanya
garis-garis halus pada kulit telapak kaki yang tidak merubah kontur dari lengkung
medial tersebut. Pada keadaan seperti ini, maka nilai dari MC adalah 0.

Pada kaki yang abnormal, maka akan nampak adanya satu atau dua lipatan kulit
yang dalam. Apabila hal ini tidak terlalu banyak mempengaruhi kontur lengkung
medial, maka nilai MC adalah sebesar 0,5.

20

Apabila lipatan ini tampak dalam dan dengan jelas mempengaruhi kontur batas
medial kaki, maka nilai MC adalah sebesar 1.

C. Posterior crease of the ankle (PC)
Pada keadaan normal, kulit pada bagian tumit posterior akan
memperlihatkan lipatan kulit multipel halus. Apabila terdapat adanya
lipatan kulit yang lebih dalam, maka hal tersebut menunjukkan adanya
kemungkinan kontraktur posterior yang lebih berat. Tarik kaki dengan
lembut saat memeriksa.

21

Pemeriksa melihat ke tumit pasien. Normalnya akan terlihat adanya garis-garis
halus yang tidak merubah kontur dari tumit. Lipatan-lipatan ini menyebabkan
kulit dapat menyesuaikan diri, sehingga dapat meregang saat kaki dalam posisi
dorsofleksi. Pada kondisi ini, maka nilai untuk PC adalah 0.

Pada kaki yang abnormal, maka akan didapatkan satu atau dua lipatan kulit yang
dalam. Apabila lipatan ini tidaak terlalu mempengaruhi kontur dari tumit, maka
nilai dari PC adalah sebesar 0,5.

Apabila pada pemeriksaan ditemukan lipatan kulit yang dalam di daerah tumit dan
hal tersebut merubah kontur tumit, maka nilai dari PC adalah sebesar 1.

22

D. Lateral part of the Head of the Talus (LHT)
Pada kasus CTEV yang tidak diterapi, maka pemeriksa dapat meraba kepala Talus
di bagian lateral. Dengan terkoreksinya deformitas, maka tulang navikular akan
turun menutupi kepala talus, kemudian hal tersebut akan membuat menjadi lebih
sulit teraba, dan pada akhirnya tidak dapat teraba sama sekali. Tanda “turunnya
navikular menutupi kepala talus” adalah pengukur besarnya kontraktur di daerah
medial.

Penatalaksanaan non operatif
Dengan penatalaksanaan tradisional non operatif, maka pemasangan splint
dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan dari koreksi yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut :
23

1. Adduksi dari forefoot
2. Supinasi forefoot
3. Equinus
Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi equinus di awal masa koreksi dapat
mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot. Tidak
boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan koreksi. Tempatkan kaki pada posisi
terbaik yang bisa didapatkan, kemudian pertahankan posisi ini dengan cara
menggunakan “strapping” yang diganti tiap beberapa hari sekali, atau
dipertahankan menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Hal ini
dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi
dilakukan koreksi selanjutnya.
Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa
bulan. Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat nampak adanya
kegagalan terapi konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas yang
menetap, deformitas berupa rockerbottom foot atau kembalinya deformitas segera
setelah koreksi dihentikan.
Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui jenis deformitas
CTEV, apakah termasuk yang mudah dikoreksi atau tipe yang resisten. Hal ini
dikonfirmasi dengan menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan
penghitungan orientasi tulang. Dari laporan didapatkan bahwa tingkat kesuksesan
dengan menggunakan metode ini adalah sebesar 11-58%.

Metode Ponseti
Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas Iowa. Metode
ini dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik yang dilakukan
oleh dr. Ponseti. langkah-langkah yang harus diambil adalah sebagai berikut :
1. Deformitas utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi
tulang kalkaneus ke arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki
berada dalam posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada sendi
subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi abduksi dan
dorsofleksi. Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal pada kasus
CTEV, maka tulang kalkaneus harus bisa dengan bebas dirotasikan
kebawah talus. Koreksi dilakukan melalui lengkung normal dari
persendian subtalus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meletakkan jari
telunjuk operator di maleolus medialis untuk menstabilkan kaki dan
kemudian mengangkat ibu jari dan diletakkan di bagian lateral dari kepala
talus, sementara kita melakukan gerakan abduksi pada forefoot dengan
arah supinasi.
24

2. Cavus kaki akan meningkat bila forefoot berada dalam posisi pronasi.
Apabila ditemukan adany cavus, maka langkah pertama dalam koreksi
kaki adalah dengan cara mengangkat metatarsal pertama dengan lembut,
untuk mengoreksi cavusnya. Setelah cavus terkoreksi, maka forefoot
dapat diposisikan abduksi seperti yang tertulis dalam langkah pertama.
3. Saat kaki diletakkan dalam posisi pronasi, hal tersebut dapat menyebabkan
tulang kalkaneus berada di bawah talus. Apabila hal ini terjadi, maka
tulang kalkaneus tidak dapat berotasi dan menetap pada posisi varus.
Seperti tertulis pada langkah kedua, cavus akan meningkat. Hal ini dapat
menyebabkan tejadinya bean-shaped foot. Pada akhir langkah pertama,
maka kaki akan berada pada posisi abduksi maksimal tetapi tidak pernah
pronasi.
4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki
dimanipulasi, maka langkah selanjutnya adalah memasang long leg cast
untuk mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips harus dipasang
dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat. Langkah
selanjutnya adalah menyemprotkan benzoin tingtur ke kaki untuk
melekatkan kaki dengan bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih memilih untuk
memasang bantalan tambahan sepanjang batas medial dan lateral kaki,
agar aman saat melepaskan gips menggunakan gunting gips. Gips yang
dipasang tidak boleh sampai menekan ibu jari kaki atau mengobliterasi
arcus transversalis. Posisi lutut berada pada sudut 90° selama
pemasangan gips panjang. Orang tua bayi dapat merendam gips ini selama
30-45 menit sebelum dilepas. Dr. Ponsetti memilih melepaskan gips
dengan cara menggunakan gergaji yang berosilasi (berputar). Gips ini
dibelah menjadi dua dan dilepas, kemudian disatukan kembali. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui perkembangan abduksi forefoot, selanjutnya
hal ini dapat digunakan untuk mengetahui dorsofleksi serta megetahui
koreksi yang telah dicapai oleh kaki ekuinus.
5. Adanya usaha untuk mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon
Achilles yang kaku dapat mengakibatkan patahnya midfoot dan berakhir
dengan terbentuknya deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengkungan
kaki yang abnormal (cavus) harus diterapi secara terpisah, seperti yang
digambarkan pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya harus
dapat dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya midfoot..
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan
abduksi kaki yang maksimum. Gips tersebut diganti tiap minggu. Koreksi
yang dilakukan (usaha untuk membuat kaki dalam posisi abduksi) dapat
dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60°
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus
membutukan dilakukannya tenotomi perkutaneus pada tendon Achilles.
Hal ini dilakukan dalam keadaan aspetis. Daerah lokal dianestesi dengan
kombinasi antara lignokain topikal dan infiltrasi lokal minimal
menggunakan lidokain. Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan
menggunakan pisau Beaver (ujung bulat). Luka post operasi kemudian
25

ditutup dengan jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat
diabsorbsi. Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki yang berada
pada posisi dorsofleksi maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga
2-3 minggu.
6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu
yang dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah
diposisikan abduksi (rotasi ekstrim) hingga 70°. with the unaffected foot
set at 45° of abduction. Sepatu ini juga memiliki bantalan di tumit untuk
mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu ini digunakan 23 jam sehari
selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam selama 3
tahun.
7. Pada kurang lebih 10-30% kasus, tendon dari titbialis anterior dapat
berpindah ke bagian lateral Kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini
membuat koreksi kaki dapat bertahan lebih lama, mencegah adduksi
metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 22.5 tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum dilakukan operasi
tersebut, pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu.
2.9.2 TERAPI OPERATIF2,8
a. Insisi
Beberapa pilihan untuk insisi, antara lain :




Cincinnati : jenis ini berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial
(persendian navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral
(bagian distal dan medial sinus tarsal), dilanjutkan ke bagian belakang
pergelangan kaki setinggi sendi tibiotalus.
Insisi Turco curvilineal medial atau posteromedial : insisi ini dapat
menyebabkan luka terbuka, khususnya pada sudut vertikal dan medial
kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa operator memilih beberapa
jalan, antara lain :
o

Tiga insisi terpisah - insisi posterior arah vertikal, medial, dan
lateral

o

Dua insisi terpisah - Curvilinear medial dan posterolateral

Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan terapi operatif di
semua kuadran. Beberapa pilihan yang dapat diambil, antara lain :



Plantar : Plantar fascia, abductor hallucis, flexor digitorum brevis, ligamen
plantaris panjang dan pendek
Medial : struktur-struktur medial, selubung
tendon, pelepasan
talonavicular dan subtalar, tibialis posterior, FHL, dan pemanjangan FDL
26



Posterior : kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan
ligamen talofibular posterior dan tibiofibular, serta ligamen
kalkaneofibular



Lateral : struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian
kalkaneokuboid, serta pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar

Pendekatan manapun yang dilakukan harus bisa menghasilkan paparan yang
adekuat. Struktur-struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah sebagai
berikut :



Tendon Achilles
Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar.



Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid.



Ligamen tibiofibular inferior



Ligamen fibulocalcaneal



Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar.



Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik

Aksis longitudinal dari talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20° dari
proyeksi lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan
pemasangan kawat di persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya.
Hal ini juga dapat dilakukan menggunakan gips. Luka paska operasi yang terjadi
tidak boleh ditutup dengan paksa. Luka tersebut dapat dibiarkan terbuka agar
membentuk jaringan granulasi atau bahkan nantinya dapat dilakukan cangkok
kulit.
Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia dari pasien :
Pada anak kurang dari 5 tahun, maka koreksi dapat dilakukan hanya
melalui prosedur jaringan lunak.
2. Untuk anak lebih dari 5 tahun, maka hal tersebut membutuhkan
pembentukan ulang tulang/bony reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari
persendian kalkaneokuboid [prosedur Dillwyn Evans] atau osteotomi
tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).
1.

3.

Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, maka dapat dilakukan tarsektomi
lateralis atau arthrodesis.).

Harus diperhatikan keadaan luka paska operasi. Apabila penutupan kulit paska
operasi sulit dilakukan, maka lebih baik luka tersebut dibiarkan terbuka agar dapat
terjadi reaksi ganulasi, untuk kemudian memungkinkan terjadinya penyembuhan
primer atau sekunder. Dapat juga dilakukan pencangkokan kulit untuk menutupi
27

defek luka paska operasi. Perban hanya boleh dipasang longgar dan harus
diperiksa secara reguler.

Follow-up pasien
Pin untuk fiksator ini biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu tetap
diperlukan pemasangan perban yang dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown
selama 6-12 bulan.
2.9 KOMPLIKASI2,7,8



Infeksi (jarang)
Kekakuan dan keterbatasan gerak : adanya kekakuan yang muncul di awal
berhubungan dengan hasil yang kurang baik.



Nekrosis avaskular talus : sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus
muncul pada tehnik kombinasi pelepasan medial dan lateralis.

Dapat terjadi overkoreksi yang mungkin dikarenakan :



Pelepasan ligamen interoseus dari persendian subtalus
Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral



Adanya perpanjangan tendon

2.10 DIAGNOSA BANDING2,3,4,8




Postural clubfoot – disebabkan karena posisi fetus dalam uterus. Jenis
abnormalitas kaki seperti ini dapat dikoreksi secara manual oleh
pemeriksa. Postural clubfoot memberi respon baik dengan pemasangan
gips serial dan jarang relaps.
Metatarsus adductus (atau varus) – adalah suatu deformitas dari tulang
metatarsal saja. Forefoot mengarah pada garis tengah tubuh, atau berada
pad aposisi addkutus. Abnormalitas ini dapat dikoreksi dengan manipulasi
dan pemasangan gips serial.

2.11 PROGNOSIS2,5,6


Kurang lebih 50% dari kasus CTEV pada bayi baru lahir dapat dikoreksi
tanpa tindakan operatif. dr Ponseti melaporkan tingkat kesuksesan sebesar
28



89% dengan menggunakan tehniknya (termasuk dengan tenotomi tendon
Achilles). Peneliti lain melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 1035%. Sebagian besar kasus melaporkan tingkat kepuasan setinggi 75-90%,
baik dari segi penampilan maupun fungsi kaki.
Hasil yang memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor
utama yang mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan
pergerakan kaki, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh derajat pendataran
kubah dari tulang talus. Tiga puluh delapan persen dari pasien dengan
kasus CTEV membutuhkan tindakan operatif lebih lanjut (hampir 2/3 nya
adalah prosedur pembentukan ulang tulang).



Rerata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan rentang
antara 10-50%.



Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada usia lebih
dari 3 bulan (biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm).

2.10 KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS



Kekakuan dan keterbatasan gerak
Nekrosis avaskular talus (40%)



Overkoreksi



Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral



Adanya perpanjangan tendon



Dekubitus



Pembuluh darah mungkin rusak akibat oprasi

Kurang lebih 50% kasus CTEV bayi baru lahir dapat dikoreksi tanpa tindakan
operatif.
Teknik ponseti (termasuk tenotomi tendon Achilles) dilaporkan memiliki
tingkat kesuksesan sebesar 89%
38% pasien CTEV membutuhkan tindakan opratif lebih lanjut.
Rata-rata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%.
Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioprasi pada usia lebih dari 3
bulan (biasanya dengan ukuran lebih dari 8cm)

29

Tergantung usia saat ditatalaksana. Semakin fleksible dan semakin muda
ditatalaksana maka prognosis akan semakin baik.

Bab III
PENUTUP
1.1Kesimpulan
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal
sebagai ‘club-foot’ adalah suatu gangguan perkembangan pada ekstremitas
inferior yang sering ditemui, tetapi masih jarang dipelajari. CTEV dimasukkan
dalam terminologi “sindromik” bila kasus ini ditemukan bersamaan dengan
gambaran klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom genetik. CTEV dapat
timbul sendiri tanpa didampingi gambaran klinik lain, dan sering disebut sebagai
CTEV “idiopatik”. CTEV sindromik sering menyertai gangguan neurologis dan
neuromuskular, seperti spina bifida maupun spinal muskular atrofi. Tetapi bentuk
yang paling sering ditemui adalah CTEV “idiopatik”, dimana pada bentuk yang
kedua ini ekstremitas superior dalam keadaan normal.
Penanganan dimulai dengan koreksi deformitas, mempertahankan
koreksi sampai keseimbangan otot normal tercapai, observasi dan follow up untuk
mencegah kembalinya terjadi deformitas. Pemasangan gips serial dianjurkan
segera dilakukan setelah kelahiran.
30

3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
meminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga
makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Meidzybrodzka, Z. 2002. Congenital Talipes Eqinovarus (clubfoot): disorder of the foot
but not the hand. www.anatomisociety.com [29 juli 2008].

2.

Patel, M. 2007. Clubfoot. www.emedicine.com [29 juli 2008].

3.

Harris, E. 2008. Key Insight To Treating Talipes Equinovarus. www.podiatry.com [29
juli 2008].

4.

Nordin, S. 2002. Controversies In Congenital Clubfoot: Literature Review.
www.mjm.com [29 juli 2008].

5.

Pirani, S. 1991. A Relible & Valid Method of Assesing the Amount of Deformity in the
Congenital Clubfoot Deformity. www.ubc.com [2 juli 2008].

6.

Anonym. 2006. Brith Defect Risk Factor Series: Talipes Equinovarus (clubfoot).
www.statehealth.com [2 juli 2008].

7.

Anonym. 2005. Clubfoot Deformity. www.dubaibone.com [5 juli 2008].

8.

Hussain, S. et al. 2007 Gomal Journal of Medical Sciences July – Dec 2007, Vol. 5, No.
2. Turco’s Postero – Medial Release for Congenital Talipes Equinovarus. www.gjm.com
[5 juli 2008].

9.

Soule, R. E. 2008. Treatment of Congenital Talipes Equinovarus in Infancy and Early
Chlidhood. www.jbjs.com [5 juli 2008].

10. Kler, J. et al. 2005 Treatment Methods of Congenital Talipes Equinovarus-three case
reports. www.jpn-online.com [7 juli 2008].
11. Yeung EHK. et al. 2005 Radiografic Assesment of Congenital Talipes Equinovarus:
Strapping versus Forced Dorsoflexion. www.jos.com [7 juli 2008].

31