POLITIK HUKUM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

POLITIK HUKUM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

  

Muhammad Maksum

Dosen Ilmu Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

  

Jl. Ir. Juanda 95 Ciputat Jakarta 15412

Abstract: Islam gives the roles to develop Indonesia since its establisment until now.

  

Its roles include gain and fill independence. The relation between Islam and state

occur good and bad. In the some time, state accomodate Islam and other time it

marginalize Islam. Its relation appear clearly at the politic, economic, law, religion,

and social. The islamic economic sector especially the islamic financial institution

become sign most relevan about the harmonisation between Islam and state. The

two Islam and state support together to develop the economic based religion values.

  Keywords: Islamic economic, China ethnic, political economy.

  

Abstrak: Umat Islam berperan dalam pembangunan bangsa Indonesia sejak negara

ini berdiri hingga sekarang. Peran tersebut termasuk dalam hal memperjuangkan

kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan. Hubungan Islam-negara terjadi secara

pasang surut, ada kalanya Islam diakomodasi dan ada kalanya dipinggirkan. Bidang-

bidang yang menonjol sebagai pertanda hubungan dua entitas tersebut adalah bidang

politik, ekonomi, hukum, agama, dan sosial. Bidang ekonomi, terutama dalam

wujudnya lembaga keuangan syariah menjadi bukti paling relevan hubungan

harmonis antara Islam dan negara. Islam dan negara sama-sama mendukung

pembangunan ekonomi berbasis nilai-nilai agama.

  Kata Kunci: ekonomi Islam, etnik China, politik ekonomi.

  Pendahuluan Pertumbuhan ekonomi syariah menunjukkan kenaikan yang signifikan.

  Hal ini ditandai dengan maraknya pendirian lembaga keuangan syariah dan lembaga bisnis syariah. Keberadaan ekonomi syariah telah direkognisi melalui berbagai peraturan perundang-undangan, baik di tingkat Undang-Undang maupun peraturan teknis, seperti Peraturan Bank Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan, dan Peraturan Otorias Jasa Keuangan. Proses rekognisi ekonomi syariah ini tentu berbeda dengan proses rekognisi hukum Islam lainnya, seperti perkawinan dan pangan halal.

  Pertumbuhan ekonomi syariah ditandai terutama dengan banyak berdirinya Muamalat, bank syariah terus tumbuh dari tahun ke tahun. Data menunjukkan hingga Desember 2014 sudah berdiri 194 bank syariah, yang terdiri dari 11 (sebelas) Bank Umum Syariah dan 23 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 160 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Dilihat dari konteks sejarah, selama tahun

  1

  1991 Kemudian pada – 2000 hanya ada satu bank syariah, yaitu Bank Muamalat.

  Desember 2003, bank syariah berkembang menjadi 10 buah, yang terdiri dari 2 bank umum syariah dan 8 unit usaha syariah (bank konvensional yang membuka unit-unit syariah). Pada bulan yang sama tahun berikutnya telah ada 3 bank umum syariah dan 15 unit usaha syariah. Pada bulan Desember setahun selanjutnya sudah meningkat menjadi 3 bank umum syariah dan 19 unit usaha syariah. Pada Januari 2006 ada 22 bank syariah, yang terdiri dari tiga bank umum syariah dan

  19 Unit Usaha Syariah. Statistik yang dikeluarkan Bank Indonesia menunjukkan bahwa jumlah kantor bank umum syariah mencapai 1.812 kantor, unit usaha

  2 syariah mencapai 529 kantor, dan BPRS sebanyak 399 kantor.

  Pertumbuhan ekonomi syariah tidak bisa dilepaskan dari arah kebijakan pemerintah terhadap pembangunan ekonomi bangsa. Disahkannya beberapa peraturan perundangan, seperti Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Negara Syariah dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah, terjadi di era reformasi di mana aspirasi umat Islam mendapat perhatian dari pemerintah.

  Islam dan Politik Ekonomi Indonesia

  Tidak diragukan lagi adanya peran umat Islam terhadap berdirinya negeri ini. Umat Islam juga memiliki jasa mendukung terbentuknya pemerintahan, sejak orde lama, orde baru, hingga orde reformasi. Umat Islam terlibat dalam penghancuran komunisme dan mendukung pendirian orde baru dengan Soeharto 1 Dari sisi kelembagaan ekonomi Islam dimulai sejak tahun 1991 dengan didirikannya

  

bank Islam pertama, Bank Muamalat. Lihat Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah dari Teori

ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 22. 2 Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia, Malaysia, dan Timur

Tengah, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2003), hlm. 2-3. Otoritas Jasa

Keuangan, Statistik Perbankan Indonesia Desember 2014, (Jakarta: OJK, 2015), hlm. 15.

  3

  sebagai presidennya. Namun, sebagaimana catatan Hefner, umat Islam yang telah berjasa terhadap Soeharto ini dimarjinalkan dari posisi-posisi strategis dan dalam

  4

  proses pembangunan. Dampak dari peminggiran ini membuat sebagian tokoh Islam berkarya di bidang sosial pendidikan, misalnya dengan mendirikan pesantren. Karena kebijakan pemerintahan orde baru yang membatasi gerak pendidikan Islam, maka tidak sedikit para kiai yang terdesak ke pedalaman untuk menghindari desakan pemerintah.

  Umat Islam tidak saja terpojok dalam gerakannya, tetapi juga politik dan ekonominya. Islam dan politik serta ekonomi tidak bisa dipisahkan. Meminjam istilah KH. Abdul Wahab Hasbullah, Islam dan politik seperti gula dan manisnya

  5

  tidak bisa dipisahkan. Kesadaran akan hadirnya Islam dalam politik selalu hadir

  6

  dalam politik Islam Indonesia, bahkan sejak lahirnya bangsa ini. Akan tetapi, kebijakan orde baru dalam bidang politik telah memberangus aspirasi umat Islam dengan melakukan fusi partai Islam. Kebijakan ini melukai umat Islam, terutama

  7 terhadap partai politik berbasis agama.

  Dalam bidang ekonomi umat Islam juga terpojokkan. Etnis China justru mendapatkan peluang dan dukungan bisnis dari pemerintah. Tatkala pemerintahan orde baru membatasi ruang gerak etnis China di ruang private dengan tidak bisa menjadi pegawai di pemerintahan dan menjadi anggota militer, etnis ini memilih profesi bisnis. Kemudian pada tahun 1970-an gelombang pembangunan 3 Robert W. Hefner, "Pasar dan Keadilan bagi Muslim Indonesia", dalam Robert W.

  

Hefner (ed.), Budaya Pasar, Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Terj. Cet.

Ke-1, (Jakarta: LP3ES, 2000), hlm. 332 4 5 Ibid., hlm. 326 Haji Zainal Abidin Ahmad, (Membangun) Negara Islam, Cet. Ke-1, (Yakarta: Pustaka

  

Iqra, 2001), hlm. vi. Dalam Muktamar NU ke XX di Surabaya, K.H. Abdul Wahab, Rois Akbar

NU, menyatakan: "Bahwa kalimat "Islam" telah terkandung di dalamnya soal-soal politik dan

hukum tata negara. Kalau orang dapat memisahkan antara gula dengan manisnya, maka dapatlah ia

memisahkan antara agama Islam dengan politik". 6 Beberapa kelompok umat Islam berupaya untuk menjadikan Islam sebagai landasan

bernegara di Indonesia. Meskipun, seperti dikatakan Munawir Syadzali, Islam tidak memiliki

preferensi sistem politik yang mapan. Hal ini terlihat sesaat setelah wafatnya Rasulullah, sahabat

Nabi terbelah dalam menentukan sistem peralihan kekuasaan dan pengganti Rasulullah. Lihat

Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Pres,

1990), hlm. 4-7. 7 Beberapa kiai akhirnya meninggalkan panggung politik karena mereka menganggap

  digalakkan. Pemerintah memberi perhatian besar pada pengembangan sektor industri dan perdagangan yang mana dihuni oleh etnis China. Dampaknya kebijakan ekonomi itu dinikmati oleh mayoritas etnis China dan sedikit kalangan

  

8

  pribumi yang dekat dengan kekuasaan. Kebijakan industrialisasi itu membawa pada konglomerasi di tingkat etnik tertentu. Dalam catatan Hill, proses konglomerasi itu berlangsung dalam tiga bentuk. Pertama, nonpribumi mendominasi perekonomian. Ada tujuh perusahaan besar di Indonesia dikuasai oleh etnis China, baik pribadi maupun keluarga. Hanya empat perusahaan pribumi dari 25 perusahaan konglomerat, dua di antaranya dimiliki oleh keluarga Soeharto. Kedua, sejak akhir 1992 kelompok Salim (Liem Sioe Liong) mempunyai kelas tersendiri dan sebagi satu-satunya konglomerat yang diakui secara internasional dan regional. Ketiga, semua kelompok sebenarnya merupakan

  

new money. Beberapa pemilik pada era orde baru menjadi pengusaha besar,

  9 terutama anak-anak pejabat tinggi.

  Kebijakan privelege ekonomi terhadap China ini diwujudkan dalam bentuk pemberian modal, keterampilan wirausaha, dan akses kepada jaringan di Asia

10 Timur dan Tenggara. Memang kebijakan ini membuahkan hasil dengan

  tumbuhnya perekonomian Indonesia. Hanya saja, pertumbuhan ekonomi ini menimbulkan kesenjangan ekonomi di antara etnik Indonesia. Pribumi yang beragam etnik dan latar belakang agama yang mayoritas Islam berada dalam ketidakberdayaan ekonomi. Ketidakseimbangan antara kaum muslimin dan etnis China sangat parah. Temuan banyak peneliti, sebagaimana dilansir oleh Hefner, membuktikan pada tahun 1980-an, diperkirakan 70

  • – 75% modal swasta dalam negeri dimiliki oleh orang China Indonesia. Ketimpangan ini makin mencolok dengan melihat jumlah etnis China yang menguasai ekonomi itu hanya

  11

  berpopulaso 4% dari jumlah penduduk Indonesia. Ketimpangan ini tiada lain 8 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris, Cet. Ke-1,

  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 339 9 Hal Hill, Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966: Sebuah Studi Kritis dan Komprehensif, (Yogyakarta: UGM dan Tiara Wacana, 1996), hlm. 159 10

  • – 160 Richard Robison, Indonesia:The Rise of Capital, (Sydney: Allen dan Unwen, 1986),
merupakan upaya marjinalisasi ekonomi umat untuk menyingkirkan organisasi-

  12 organisasi Islam dalam dua dasawarsa pertama orde baru.

  Kondisi ini memicu protes dari kalangan umat Islam. Berbagai respon diungkapkan oleh Islam. Sebagian pemimpin Islam terlibat dalam gerakan anti- China, yang lainnya berusaha menarik para pengusaha China dalam usaha-usaha patungan, adapula yang menyerukan penerapan syariah Islam dalam segala kegiatan perekonomian, dan ada yang berpendapat bahwa Islam tidak memberi pandangan yang memadai tentang ilmu ekonomi, karenanya umat Islam harus

  13

  mempelajari ilmu ekonomi modern. Menurut Hefner, sikap umat Islam dalam menyikapi penguasaan ekonomi oleh China itu terbelah dalam tiga kelompok. Kelompok pertama beraliran nasionalis kenegaraan yang diidentikkan dengan Habibie. Aliran ini berpendapat bahwa faktor negara sangat penting dalam mendukung kemajuan ekonomi umat Islam dan liberalisasi ekonomi ditolak karena dapat memperuncing kesenjangan ekonomi Islam-China. Pendekatan yang dilakukan aliran ini melalui affirmativ action melalui industri-industri berteknologi tinggi yang dirancang Habibie untuk mendukung pembangunan perusahaan milik Islam. Kelompok kedua mewakili pihak yang menghendaki kebijakan ekonomi yang islami. Kelompok ini setuju perlunya membangun kelas bisnis Islam, tetapi mereka tidak setuju dengan cara bergantung pada negara. Mereka menghendaki penerapan syariah lebih luas dalam kegiatan ekonomi, terutama perbankan. Mereka menawarkan apa yang disebut sebagai tata ekonomi islami yang dapat memberikan suatu alternatif kepada beberapa ekses yang ditimbulkan oleh kapitalisme gaya barat. Sistem ekonomi ini sebagai alternatif dari situasi yang tidak memungkinkan bagi umat Islam bangkit dari ketertinggalan dari etnis China. Kelompok kedua ini didukung oleh kalangan menengah ICMI. Kelompok ketiga menghendaki agar umat Islam membangun kerjasama dengan etnis China. Kelompok ini berpendapat tidak ada alternatif Islam mengenai sistem ekonomi, kecuali mengenai kejujuran dan keadilan sosial. Karena itu, lebih baik membangun kerjasama dengan kelompok lain yang jelas-jelas telah berhasil membangun ekonominya. Kerjasama ini akan memudahkan kebangkitan ekonomi umat ketimbang harus membangun sendiri dari awal. Umat Islam perlu kerjasama dengan China dalam hal usaha-usaha patungan, pelatihan manajemen, dan

  14 perbankan. Pandangan ketiga ini diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid.

  Respon ini dapat dimaknai pada aras paling rendah sebagai kekecewaan

  15

  atau ketegangan dan pada aras yang tinggi adalah konflik. Ketegangan ini membuktikan wujud kegagalan dalam kebijakan pembangunan. Orde baru sama

  16 sekali tidak memperhatikan ragam etnik dan etnisitas yang ada di Indonesia.

  Kebijakan ekonomi orde baru tidak bisa menjangkau khalayak yang beragam itu, karena alasan rasionalitas material yang dianggap China memiliki etos kerja lebih tinggi sehingga akan lebih menguntungkan. Yustika mencatat, kebijakan pembangunan yang tidak berprespektif multietnik tersebut merupakan kegagalan dari strategi pembangunan ekonomi yang digalakkan. Pembanguan ekonomi yang tidak berpihak pada fenomena etnis hampir dapat dipastikan akan menjumpai

  17

  persoalan yang akut atau mengalami kegagalan. Bahkan, Storey sebagaimana

  18

  dikutip Yustika, menyimpulkan kegagalan pembangunan ekonomi yang terjadi 14 15 Ibid., hlm. 328 – 333 Konflik adalah sebuah proses di mana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang

  

untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan

(blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mancapai tujuan

yang diinginkan atau merealisasi minatnya. Konflik adalah persepsi mengenai perbedaan

kepentingan (perceived of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang

15

berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Kepentingan di sini meliputi nilai-nilai (values)

dan kebutuhan (needs). Kepentingan adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia

inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang

membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat. Kepentingan bersifat universal dapat berupa

kebutuhan akan rasa aman, identitas, restu sosial (social approval), kebahagiaan, kejelasan tentang

dunianya, dan beberapa harkat kemanusiaan yang bersifat fisik.

  Ada konflik yang hanya dibayangkan ada sebagai sebuah persepsi ternyata tidak riil.

Sebaliknya, dapat terjadi bahwa ada situasi-situasi yang sebenarnya dapat dianggap sebagai

„bernuansa konflikā€Ÿ ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena anggota-anggota kelompok

tidak menganggapnya sebagai konflik. Atau dalam kalimat yang sederhana, konflik adalah sebuah

proses mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan, atau harapan-harapan yang tidak

15

terealisasi. Faktor ekonomi menjadi salah satu sebab timbulnya konflik. Lihat Dean G. Pruit dan

  

Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 17; dan Alo

Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur,

(Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm. 33. 16 17 Ahmad Erani Yustika, Op. Cit., hlm. 320.

  Ibid., hlm. 324 secara massif di negara-negara berkembang dapat dianggap sebagai keteledoran para ekonom yang tidak melihat hubungan antara ekonomi dengan faktor-faktor

  19 non-ekonomi (etnis).

  Kegagalan negara mengelola etnik dalam kebijakan ekonomi dapat dijelaskan sebagai pilihan pemerintah atas berbagai pertimbangan. Pertama, perbedaan etnik menimbulkan perbedaan kemampuan dalam mengelola ekonomi. Etnik yang tinggal di daerah pedesaan tentu memiliki kemampuan pengelolaan ekonomi lebih rendah dibanding mereka yang memiliki pengalaman praktik ekonomi terutama di perkotaan. Untuk konteks Indonesia, etnik di pedesaan kebanyakan adalah pribumi yang menjalankan mayoritas profesi pertanian. Sementara etnis China karena menjalankan bisnis, umumnya berada di daerah perkotaan. Kedua, negara/pemerintah sebagai regulator ekonomi memiliki kemampuan terbatas untuk mengenali kemampuan masing-masing etnis, khususnya nilai-nilai spesifik yang dipunyai oleh masing-masing etnis yang

  20

  berimplikasi positif terhadap pembangunan ekonomi. Sementara pemerintah sendiri membuat kebijakan ekonomi yang diberlakukan secara seragam untuk semua etnik. Kebijakan ini jelas mempengaruhi etnis yang ada, bagi yang memiliki kemampuan adaptasi akan berhasil, namun bagi etnis yang tidak

  21 memiliki kemampuang merespon kebijakan tersebut akan gagal dalam ekonomi.

kebijakan ekonominya. Berbeda dengan negara-negara yang memiliki multietnik cenderung gagal

dalam membangun ekonominya. Negara-negara di bagian Eropa membuktikan keberhasilan

ekonominya, di mana etnisnya terbatas. Begitu juga dengan negara-negara di Asia yang beretnis

tunggal, seperti Korea Selatan, China, Hongkong, Taiwan, dan Singapura, menunjukkan kemajuan

yang luar biasa. Sementara negara-negara dengan multietnis seolah tertatih dalam pembanguan

  • ekonominya, seperti Indonesia, Malaysia, dan India, kecuali Amerika Serikat. Ibid., hlm. 324

    325.
  • 19 Andy Storey, "Economics and Ethnic Conflict: Stuctural Adjustment in Rwanda", Development Policy Review, Vol. 17, hlm. 43 20 Ahmad Erani Yustika, Op. Cit., hlm
  • – 326 Kebijakan pengelolaan yang bertumpu pada negara dan tidak memperhatikan kondisi

    social budaya masyarakat dapat memicu konflik. Sebagai contoh, dalam masalah irigasi pertanian

    di pedesaan, yang zaman dulu dikelola secara khusus oleh petugas pengairan (ulu-ulu), kini

    menjadi tanggung jawab kepal urusan pembangunan desa atau kecamatan. Akibatnya, pengelolaan

    irigasi tidak bersifat maksimal karena pejabat tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

    Kasus semacam ini sedang dialami masyarakat petani Beras Delanggu di Klaten yang akhir-akhir

    ini mengalami krisis air disebabkan karena pengaturan irigasi yang tidak baik, juga karena

    eksploitasi air oleh perusahaan air minum. Petani yang biasanya panen empat kali padi setahun,

  Kebangkitan Ekonomi Islam

  Kebangkitan ekonomi umat Islam pada taraf tertentu terwujud. Dilihat dari tiga kelompok di atas, kelompok pertama yang didukung oleh Habibie telah berhasil di era orde baru, mengangkat kelas ekonomi Islam, yaitu dengan dukungan dari kegiatan industri-industri teknologi tinggi. Industri ini dapat memfasilitasi umat Islam mengembangkan ekonominya. Kelompok kedua membuat kajian, penelitian, dan perumusan tentang sistem ekonomi berbasis agama. Kelompok menengah di jajaran ICMI bersama dengan Majelis Ulama Indonesia, merumuskan gagasan pendirian ekonomi Islam yang ditandai dengan pendirian bank yang bebas dari sistem bunga. Diawali dengan keluarnya fatwa haram bunga bank oleh MUI, kelompok ini mencetuskan dan membidani lahirnya

  22

  perbankan yang bebas dari bunga pertama, yaitu Bank Muamalat. Kelompok ketiga berjalan dengan menjalin kerjasama dengan etnis China dalam bidang ekonomi. NU misalnya mendirikan bank-bank konvensional dengan melakukan patungan dengan etnis China.

  Usaha yang dilakukan kelompok pertama nampak berhasil terutama di era Soeharto. Banyak usahawan muslim yang mendapat keuntungan dari industri- industri teknologi tinggi, seperti PT. Dirgantara Indonesia. Akan tetapi, pamor perusahaan ini semakin lama menurun disebabkan menyedot APBN. Sementara itu, pendirian bank konvensional dengan patungan pada orang China tidak bertahan lama, karena pada akhirnya Bank Suma, banknya orang NU dan China,

  

Douglas J. Merrey di Negara Nepal, Sri Lanka, dan Indonesia yang membuktikan pengelolaan

irigasi oleh kelompok masyarakat yang spesifik dan otonom lebih baik daripada yang dikelola oleh

badan atau lembaga yang bertanggung jawab kepada pemerintah. Lihat Douglas J. Merrey,

“Institusional Design Principles for Accountability in Large Irrigation System”, International

Irrigation Management Institute (IIMI) , Research Report No. 8, Colombo Sri Lanka, 1996, hlm.

21. Pada tanggal 18

  • – 20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia menyelenggarakan

    lokakarya bunga bank dengan menghadirkan pejabat pemerintahan, otoritas moneter, ulama,

    cendekiawan dan lainnya. Lokakarya ini mengeluarkan keputusan tentang status bunga bank

    sebagai yang haram sebagaimana haramnya riba. Lokakarya juga merekomendasikan kepada MUI

    agar menginisiasi pendirian bunga bank yang terbebas dari bunga. Paska lokakarya dibentuk tim

    penyiapan pendirian bank bebas bunga, yang hasilnya adalah berdirinya Bank Muamalat pada

    tanggal 1 November 1991. Pada tanggal 3 November 1993, Presiden Soeharto mengumpulkan

    pejabat pemerintahan dan pengusaha di Istana Bogor untuk mendukung pendirian Bank Islam ini.

bangkrut. Yang tampak sukses adalah gagasan kelompok yang ingin menerapkan sistem ekonomi Islam. Setelah berhasil dengan berdirinya Bank Muamalat, kini ekonomi Islam membuncah dan merambah ke berbagai sektor bisnis. Penerapan syariah meluas di berbagai lembaga keuangan bank dan nonbank, seperti asuransi

  23

  syariah, pasar modal syariah, pegadaian syariah, dan sebagainya. Pertumbuhan bisnis syariah ini menunjukkan optimisme karena dari tahun ke tahun

  24 meningkat.

  Kesuksesan perbankan syariah tidak bisa dilepaskan dari upaya kebangkitan umat Islam (survival of muslim society). Gerakan kebangkitan ini

23 Data perkembangan bisnis syariah cukup menggembirakan. Jumlah perusahaan

  

asuransi syariah hingga Juli 2007 berjumlah 36 perusahaan, terdiri dari; perusahaan asuransi jiwa

syariah berjumlah 2 buah, perusahaan asuransi kerugian syariah berjumlah 1 buah, perusahaan

asuransi jiwa yang memiliki kantor cabang syariah sebanyak 18 buah, perusahaan asuransi

kerugian yang memiliki kantor cabang syariah sebanyak 13 buah, dan perusahaan reasuransi yang

memiliki kantor cabang syariah 3. Sumber Bapepam & LK, Biro Asuransi.

  Jumlah perusahaan reksadana syariah mencapai 18 buah, meliputi; PT Danareksa

Investment Management, PT PNM (Persero), PT Batasa Capital, PT BNI Securities, PT AAA

Sekuritas, PT IndoPremierSecurities, PT Bhakti Asset Management, PT Mandiri Investment

Management, PT Insight Investment Management, PT ReCapital Asset Management, PT Kresna

Graha Securindo, Tbk (IPB Syariah). Perusahaan reksadana syariah lainnya adalah PT CIMB-GK

Securities Indonesia, PT Optima Kharya Capital Management, PT Mega Capital Indonesia, PT

Eurocapital Peregrine Securities, PT Fortis Investment, PT Trimegah Securities Tbk, dan PT

Batavia Prosperindo Aset Manajemen.

  Sementara perusahaan yang menerbitkan obligasi syariah dan medium term notes (MTN),

hingga 21 Agustus 2007, mendapai 29 perusahaan, yaitu: PT Indosat Tbk (Mudharabah), Bank

Bukopin Syariah, PT Berlian Laju Tanker (BLTA), Bank Muamalat Indonesia Tbk, PT Cyliandra,

Bank Syariah Mandiri, PTPN VII, PT Matahari Putra Prima Tbk, PT Citra Sari Makmur, PT Sona

Topas, PT Pembangunan Perumahan, PT Arpeni Pratama Ocean Line (APOL), PT Humpuss

Intermoda Transportasi (HIT) Tbk, PT Indorent, PT Berlina Tbk, PT Eternal Buana Chemical

Industries (EBCI). Juga perusahaan PT Apexindo Pratama Duta Tbk, PT Indosat Tbk (Ijarah), PT

Polytama Propindo, PT Ricky Putra Globalindo (RPG), PT Logindo Samudramakmur, PT Credit

Suisse First Boston (CSFB), PT Indonesia Comnet Plus (I Comnet +), PT PLN (Persero), PT

Pembangunan Perumahan (Persero), PT Indosat, Tbk (Ijarah II), PT Adhi Karya (Persero), Tbk,

PT. Berlian Laju Tanker, Tbk, PT PLN (Persero). akses 20 Nopember 2007.

  Pertumbuhan yang cukup pesat ditunjukkan oleh bank syariah. Sampai Maret 2008 ada

145 bank syariah, yang terdiri dari 3 (tiga) Bank Umum Syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia,

Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah Mega Indonesia; 28 Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu

antara lain Bank IFI, Bank Negara Indonesia, Bank Jabar, Bank Rakyat Indonesia, Bank

Danamon, Bank Bukopin, Bank Internasional Indonesia, HSBC, dan lain-lain; dan 114 Bank

Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Bank syariah masih akan bertambah lagi, seiring dengan

meningkatnya minat masyarakat terhadap bank syariah. Statistik yang dikeluarkan Bank Indonesia

menunjukkan bahwa jumlah kantor bank umum syariah (tidak termasuk Layanan Syariah)

  25 merupakan bentuk protes melawan kemerosotan internal dan serangan internal.

  Penguasaan ekonomi merupakan salah satu faktor eksternal kebangkitan Umat Islam, selain faktor marjinalisasi umat Islam secara umum. Krisis kepemimpinan umat Islam menjadi faktor internal kebangkitan Islam. Kebangkitan ekonomi Islam merupakan bentuk perlawanan terhadap segala sesuatu yang dianggap

  26 peneyebab frustasi dan penindasan, baik internal maupun eksternal.

  Gerakan kebangkitan ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari proses perjuangan umat Islam menegakkan syariat Islam di Indonesia. Perdebatan syariat

  27 Islam dimulai sejak negara ini akan menentukan bentuk negara. Pancasila yang

  ada sekarang merupakan bentuk kompromi, yang mana dalam draf awal di pasal satunya berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Umat Islam tidak bisa melupakan sejarah Piagam

28 Jakartanya. Meski pada zaman orde baru Piagam Jakarta ini telah dianggap

  selesai, ternyata di era reformasi kembali bergulir. Ini adalah bukti perdebatan

  29 tentang syariat akan mewarnai atmosfir perpolitikan di Indonesia.

  Di era orde baru, pada tahun 1990-an, pemerintah bersikap akomodatif

  30

  terhadap Islam. Pada dekade ini, Presiden Soeharto berupaya mendekati dan 25 M. Imdadun Rahmat, "Jalan Alternatif Syariat Islam", Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi

  Nomor 12 Tahun 2002, hlm. 3 26 27 Ibid.

  Ada banyak tulisan dan buku yang mengulas perdebatan penerapan syariat Islam di

Indonesia, di antaranya "Surat-Menyurat Muhammad Roem dan Nurcholis Madjid" dan "Syariat

Islam Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen 1945", keduanya

diterbitkan oleh Paramadina. 28 Sidang BUPKI sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Awalnya mereka

juga sepakat dengan bunyi pasal pertama ini, meskipun pada akhirnya karena ada protes dari

warga di Indonesia bagian timur, bunyi pasal satu dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam sidang ini sebenarnya terjadi perdebatan sengit antara kelompok Islam dan nasionalis

sekuler terkait dengan dasar negara Indonesia. Kelompok Islam diwakili oleh Abikusno

Tjokrosujono (bekas PSII), KH. Ahmad Sanusi (PUI Sukabumi), KH. Abdul Halim (PUI

Majalengka), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), KH. Masykur (NU), Abdoel Kahar

Moezakkir (Muhammadiyah), Raden Rooslan Wongsokoesoemo (Masyumi), H. Agus Salim,

Raden Sjamsuddin (PUI), Sukiman (PII), KH. Abdul Wahid Hasyim (NU), Ny. Sunarjo

Mangunpuspito (Aisiyah), A.R. Baswedan (PAI), dan Abdul Rahim Pratalykrama (Kediri). Lihat

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945 – 1965, (Jakarta: Grafiti Pres, 1987), hlm. 30 –

  32 29 Zuhairi Misrawi, "Dekonstruksi Syariah: Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpretasi, dan Depolitisai", Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi Nomor 12 Tahun 2002, hlm. 6 30 Aziz Thaba membuat periodesasi pola hubungan Islam dan negara pada era orde baru mengakomodasi umat Islam dengan tujuan mendapatkan dukungan dari umat

31 Islam pada pemilu 1993. Artinya, kebangkitan Islam yang ditunjukkan dengan

  pembangunan ekonomi Islam mendapatkan momentumnya saat Soeharto membutuhkan umat Islam. Bisa dicatat di sini, tahun 1989 keluar rekomendasi pendirian bank Islam, kemudian tahun 1991 legalisasi pendirian Bank Muamalat dikantongi, dan tahun 1992, Soeharto mendukung penuh pendirian Bank Muamalat. Peran negara dan motivasi umat Islam yang diwakili cendekiawan muslim (termasuk MUI dan ICMI) bersinergi dalam pembentukan bank Islam ini.

  Kebangkitan perbankan Islam di atas menunjukkan besarnya peran ulama dalam menyiapkan gagasan pendirian bank berbasis agama tersebut. Bagi Nejatullah Shiddiqie, terumuskannya sistem ekonomi Islam secara konseptual,

  32 termasuk sistem perbankan syariah, adalah buah dari kerja keras para ulama.

  Ulama bertugas mengarahkan kebijakan ekonomi kepada arah yang benar dan sesuai syariah. Ulama harus berani berpihak kepada kebenaran dan bersikap tegas menolak kebijakan penguasa yang korup. Ulama harus punya prinsip yang jelas

  33

  terhadap kebenaran, tidak ABS (asal penguasa senang). Nabi mengingatkan agar

  34 ulama tidak terjerumus pada kemunafikan.

  Peran ulama ini diapresiasi negara dalam bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan ulama dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Pengkuan itu diwujudkan dalam penempatan ulama sebagai pihak yang diberi wewenang untuk memastikan kesyariahan kegiatan ekonomi. Kedudukan ulama ini dituangkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Untuk setingkat undang-undang, sedikitnya ada tiga UU yang mengadopsinya, yaitu Undang-

  

yang bersifat akomodatif sejak tahun 1985. Lihat Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam

Politik Orde Baru, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani Pres, 1996), hlm. 153 – 154 31 32 Robert W. Hefner, Op. Cit., hlm. 328.

  Muhammad Nejatullah Shiddiqi, Banking Without Interest, (Lahore: SH. Asraf Publication, 1954), hlm. 17. 33 Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Terj., Cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2000), hlm. 158 34 Hadis Nabi mengatakan: "Dari Auf bin Malik, Rasulullah bersabda: "Aku khawatir tiga

  35 Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas , Undang-Undang No.

  36

  19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) , dan Undang-

  37 Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang merupakan

  ketentuan organik perubahan syariah. Pasal-pasal di atas memberikan mandat yang besar terhadap ulama, karena mereka berperan untuk memastikan produk ekonomi Islam sesuai dengan syariah, memastikan pembiayaan sesuai dengan syariah, dan memastikan operasional lembaga keuangan berjalan pada ril syariah

38 Islam. Pengakuan dalam UU ini dapat dikatakan sebagai wujud "kemenangan

  politik Islam" dan bentuk konsesi atas saham yang diberikan ulama dalam membangun ekonomi Islam di Indonesia.

  Penutup

  Ditilik dari teori hubungan agama dan negara, konsep ekonomi Islam Indonesia menunjukkan adanya integrasi agama dan negara. Kesimpulan ini ditandari dengan diakuinya ulama (agama) dalam instrumen kebijakan ekonomi 35 Pada Pasal 109 dijelaskan secara eksplisit mengenai kemungkinan didirikannya

  

perusahaan berbasis syariah dan kedudukan ulama sebagai pengawas kesyariahan perusahaan

tersebut. Ayat (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain

mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah; (2) Dewan Pengawas

Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang

diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia; (3) Dewan Pengawas Syariah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta

mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Sesuai dengan berkembangnya

kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, undang-undang ini mewajibkan Perseroan yang

menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris juga

mempunyai Dewan Pengawas Syariah. 36 Pasal 25 menyebutkan "Dalam rangka penerbitan SBSN, Menteri meminta fatwa atau

pernyataan kesesuaian SBSN terhadap prinsipprinsip syariah dari lembaga yang memiliki

kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah". Kemudian penjelasannya menjelaskan:

"Yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang

syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah". 37 Pada UU ini ulama dalam hal ini MUI memiliki peran sebagai pembuat fatwa ekonomi

syariah dan berotoritas merekomendasikan dewan pengawas syariah. Pasal 26 menyebutkan (2)

  

Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Kemudian pasal 32 menyebutkan kedudukan DPS (1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di

Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS; (2) Dewan Pengawas Syariah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas

rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Undang-undang ini khusus mengatur perbankan syariah,

yang mengatur masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada

pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah

(DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS.

  Islam. Majelis Ulama Indonesia sebagai organisasi kemasyarakatan adalah satu- satunya entitas sosial yang diakui dan disebut secara eksplisit dalam perundang- undangan. Pengakuan ini menempatkan MUI sebagai lembaga yang memiliki mandat dari undang-undang untuk mengeluarkan fatwa ekonomi syariah.

  Ekonomi Islam menjadi bidang yang paling nyata hubungan harmonis antara agama dan negara. Agama mendukung berdiri dan berkembangnya ekonomi Islam. Begitu juga dengan negara mengeluarkan kebijakan yang mendukung berkembangnya ekonomi Islam di Indonesia.

  Bibliografi

  Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Cet. Ke-1, Jakarta: Gema Insani Pres, 1996. Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris, Cet.

  Ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: LkiS, 2005.

  Andy Storey, "Economics and Ethnic Conflict: Stuctural Adjustment in Rwanda", Development Policy Review, Vol. 17. Dean G. Pruit dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945

  • – 1965, Jakarta: Grafiti Pres, 1987.

  Douglas J. Merrey, “Institusional Design Principles for Accountability in Large

  Irrigation System ”, International Irrigation Management Institute (IIMI), Research Report No. 8, Colombo Sri Lanka, 1996.

  Haji Zainal Abidin Ahmad, (Membangun) Negara Islam, Cet. Ke-1, Yakarta: Pustaka Iqra, 2001. Hal Hill, Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966: Sebuah Studi Kritis dan Yogyakarta: UGM dan Tiara Wacana, 1996.

  Tengah, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2003.

  Muhammad Nejatullah Shiddiqi, Banking Without Interest, Lahore: SH. Asraf Publication, 1954. Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Pres, 1990. M. Imdadun Rahmat, "Jalan Alternatif Syariat Islam", Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi Nomor 12, Tahun 2002. Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Indonesia Desember 2014, Jakarta: OJK, 2015. Richard Robison, Indonesia:The Rise of Capital, Sydney: Allen dan Unwen, 1986. Robert W. Hefner, "Pasar dan Keadilan bagi Muslim Indonesia", dalam Robert W.

  Hefner (ed.), Budaya Pasar, Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Terj. Cet. Ke-1, Jakarta: LP3ES, 2000. “Statistik Perbankan Indonesia Maret 2011”, Statistik Perbankan Indonesia, Vol.

  4, No. 2 Januari 2006. Sudin Haron, Islamic Banking, Rules and Regulation, Malaysia: Pelanduk Publication, 1997.

  Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Terj., Cet. Ke-1, Jakarta: Gema Insani Pres, 2000. Zuhairi Misrawi, "Dekonstruksi Syariah: Jalan Menuju Desakralisasi,

  Reinterpretasi, dan Depolitisai", Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi Nomor 12 Tahun 2002.

  Website