MAKALAH BAKTERIOLOGI KLINIS UPDATE MANAJ

MAKALAH BAKTERIOLOGI KLINIS
UPDATE MANAJEMEN TATALAKSANA INFEKSI SALURAN KEMIH
(ISK)
(FOKUS PADA RESISTENSI ANTIBIOTIK DALAM TERAPI INFEKSI
SALURAN KEMIH DAN STRATEGI TERAPI TERKINI)

RONALD PRATAMA A., dr. (011514253002)
Pembimbing
PROF. Dr. NI MADE MERTANIASIH, dr, MKes, SpMK(K).

S2 ILMU KEDOKTERAN TROPIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2015

1

DAFTAR ISI

2


BAB I
DEFINISI, PATOGENESIS, DAN EPIDEMIOLOGI ISK
I.1 DEFINISI ISK
Infeksi Saluran Kemih (ISK) didefinisikan sebagai infiltrasi mikrobial
pada traktus urinarius yang lazimnya steril. ISK merupakan salah satu
manifestasi infeksi bacterial yang sering didapati di seluruh dunia.
ISK meliputi infeksi pada uretra (uretritis), kandung kemih (sistitis),
ureter (ureteritis) maupun ginjal (pyelonefritis). Urinalisis dan pengecatan gram
maupun kultur dapat membantu menegakkan diagnosis, namun cenderung
meningkatkan biaya dan tidak rutin diperlukan. Serupa seperti infeksi pada
umumnya, terapi antibiotik awal untuk ISK adalah secara empiris. Mayoritas
kasus ISK yang ditemui di klinis adalah ISK non-komplikasi, namun pada
beberapa populasi pasien seperti pada pasien imunokompromais, wanita hamil,
pasien dengan instrumentasi traktus urinarius (misalnya pemasangan kateter
foley), pasien dengan malformasi anatomis traktus urinarius baik kongenital
maupun didapat, diperlukan tatalaksana tersendiri karena tergolong ISK yang
kompleks dan memerlukan pengambilan keputusan untuk tatalaksana yang lebih
rumit. Selain itu beberapa kasus resistensi antibiotik untuk tatalaksana ISK
menjadi isu tersendiri yang perlu diperhatikan.
I.2 PATOGENESIS ISK

Patogenesis ISK sudah jelas: 2 langkah utama adalah kolonisasi, diikuti
adherensi uropatogen pada traktus urinarius. Normalnya bakteri-bakteri dapat
hidup di sekitar uretra dan berkolonisasi di urin, namun dibilas selama
mikturisi. Gangguan pada proses ini, misalnya manipulasi urogenital atau
intervensi medis,, memfasilitasi pergerakan bakteri-bakteri ke uretra dan oleh
karenanya menjadi faktor risiko yang diketahui dalam terjadinya ISK.
Mayoritas patogenesis ISK adalah retrograde ascending infection (infeksi
retrograde) yakni terjadinya infeksi dari kolonisasi bakteri di traktus urinarius
bawah (lower) yang “naik” ke traktus urinarius yang lebih atas (Mandell, 2015).
Karena mekanisme pertahanan inang yang efisien, bakteri-bakteri patogen yang
dapat menyebabkan ISK (uropatogen) terseleksi oleh factor virulensi yang telah
ditentukan secara genetis. Terdapat beberapa faktor virulensi yang memfasilitasi
persistensi mikroorganisme pada traktus urinarius yaitu: adhesion, kapsul
bakkteri, aerobactin, cytotoxic necrotizing factors, hemolysin, dan reseptor
siderophore. Namun pada traktus urinarius yang terganggu baik secara

3

struktural maupun fungsional, terdapat penurunan persyaratan factor virulensi
dalam terjadinya infeksi (Mandell, 2015).

Berikut ini dipaparkan beberapa aspek patogenesis ISK secara singkat
(Mandell, 2015):
1) Rute Ascending
Uretra umumnya terkolonisasi oleh bakteri. Terdapat beberapa
studi menggunakan teknik punksi suprapubik yang memaparkan
bahwa kadang-kadang ditemukan mikroorganisme dalam jumlah
sedikit di urin individu yang tidak terinfeksi.
Masase uretra dan hubungan seksual dapat
mengintroduksi bakteri ke kandung kemih wanita.
Penggunaan kondom dapat meningkatkan efek
traumatis pada traktus urinarius. Terlebih lagi
dibutuhkan hanya sekali kateterisasi kandung kemih
yang dapat menimbulkan ISK pada 1% pasien rawat
jalan, dan infeksi muncul dalam kurun waktu 3-4 hari
pada hampir seluruh pasien dengan indwelling
kateter dengan system drainase terbuka.
Alat kontrasepsi diafragma dengan spermisida pada
wanita dan penggunaan kateter kondom juga
diasosiasikan dengan peningkatan kejadian ISK.
Spermisida meningkatkan kolonisasi vagina dengan

bakteri uropatogen. Selain itu spermisida juga
meningkatkan adherensi E. coli di sel epitel vagina.
Defisiensi estrogen sekarang ditengarai menjadi
factor predisposisi untuk ISK rekuren pada wanita
post menopause karena defisiensi estrogen ini
menimbulkan konsekuensi perubahan fora normal
vagina
dengan
hilangnya
perlindungan
oleh
lactobacilli protektif, digantikan oleh coliform dan
bakteri-bakteri uropatogen lainnya.
Sementara pada wanita yang lebih muda, hubungan
seksual baru-baru ini berasosiasi secara kuat dengan
insiden ISK, terutama pada wanita postmenopausal.
UPEC(UroPatogenic Eschericia Coli) tidak jarang ditularkan antar
pasangan heteroseksual.

4


2) Rute Hematogen
Infeksi parenkim ginjal oleh mikroorganisme darah jelas terjadi
pada manusia. Ginjal sering menjadi tempat predileksi abses pada
pasien bakteremia Staphylococcus aureus atau endokarditis,
ataupun keduanya.
Secara teori pyelonefritis dapat ditimbulkan melalui introduksi
intravena beberapa spesies bakteri dan Candida. Namun hal ini
lebih sulit terjadi pada basil enterik gram negative, patogen umum
ISK. Manipulasi-manipulasi tambahan seperti terbentuknya
obstruksi ureteral sering ditemukan. Sehingga hal ini memperkuat
teori bahwa infeksi ginjal oleh basil gram negatif sangat jarang
terjadi secara hematogen.
3) Rute Limfatik
Sampai saat ini belum ditemukan bukti yang memuaskan akan
peran signifikan sistem limfatik renal dalam patogenesis
pyelonefritis. Tidak ditemukan adanya hubungan signifikan antara
peningkatan tekanan kandung kemih yang menyebabkan aliran
limfatik dialihkan pada ginjal dengan peningkatan kejadian
pyelonefritis. Sehingga nampaknya rute ascending tetap menjadi

patogenesis yang terpenting dalam peranannya terhadap kejadian
pyelonefritis.
4) Urovirulensi Bakterial
Meskipun ISK dapat disebabkan oleh berbagai spesies
mikroorganisme, namun sebagian besar disebabkan oleh E. coli.
Meskipun demikian hanya beberapa serogrup E. coli yaitu 01, 02,
04, 06, 07, 08, 075, 0150, 018ab menjadi penyebab infeksi dengan
proporsi yang tinggi. Hal ini yang membawa kita pada konsep klon
UPEC, atau silsilah UPEC untuk mendifferensiasikan populasi
patogenik dari komensal, dan analisis klonal memfasilitasi studistudi epidemiologis tentang penyebaran klon E. coli yang resisten
antibiotic dan mengidentifikasi sumber-sumber E. coli dari
lingkungan, termasuk lingkungan rumah tangga.
Serotipe-serotipe O, K, dan H tertentu juga berkorelasi dengan
keparahan klinis, terutama pyelonefritis. Sehingga sesuai dengan
fakta ini, beberapa strain E. coli dipilih dari flora fekal dengan
adanya keberadaan factor virulensi yang meningkatkan baik
5

kolonisasi dan invasi traktus urinarius. Faktor-faktor virulensi ini
memungkinkan penghindaran dari mekanisme pertahanan inang

dan memiliki kemampuan untuk menimbulkan penyakit. Isolatisolat E. coli yang menimbulkan sistitis dan pyelonefritis berbeda
secara genetis, menampakkan perbedaan pada antigen-antigen O,
K, dan H. Perbedaan genetis di antara berbagai mikroorganisme
uropatogen mungkin bertanggung jawab pada perbedaan hasil
akhir klinis. Johnsosn dkk. (1994) telah mengonfirmasi bahwa
beberapa serotipe O, K, dan H berhubungan dengan urovirulensi
dan dengan keberadaan serta ekspresi faktor determinan virulensi
kromosomal multiple. Virulensi adalah determinan penting untuk
presentasi klinis. Beberapa factor virulensi yang telah dipelajari
antara lain: peningkatan adherensi pada sel-sel vaginal dan
uroepitelial, resistensi terhadap aktivitas bakterisidal serum,
kuantitas antigen K yang lebih tinggi (K1, K5, K12) pada kapsul
bakteri, keberadaan aerobaktin, cytotoxic necrotizing factor type 1
(cnf), produksi hemolysin (hly), dan reseptor siderophore.
Berbagai macam toksin bacterial telah dilaporkan, termasuk αhemolysin, yang menghambat produksi sitokin protektif oleh sel
epitel kandung kemih, dan pentingnya peranan polisakarida
ekstraseluler sebagai factor virulensi telah didokumentasikan.
Polisakarida kapsular berkontribusi secara signifikan pada survival
bakteri dengan menangkal efek lytik komplemen dan fagosit.
Induksi indoleamine 2,3-dioxygenase oleh UPEC menurunkan

respons imun bawaan terhadap invasi sel uroepitelial, memfasilitasi
kolonisasi dan mempertegas infeksi. Gen-gen untuk berbagai
faktor urovirulensi sering ditemukan terduplikasi di uropatogenuropatogen dan sering dihubungkan sebagai segmen-segmen
kromosomal yang besar dan multigenik, disebut pulau-pulau
patogenitas. Pulau-pulau patogenitas ini tidak didapatkan pada
koliform-koliform yang ditemukan sebagai flora normal fekal.
Seluruh uropatogen dapat menggunakan urin sebagai medium
pertumbuhan. Namun bagaimanapun juga urin merupakan medium
pertumbuhan yang tidak lengkap; oleh karenanya sintesis satu atau
lebih faktor nutrisi oleh UPEC adalah essensial. Sintesis bacterial
guanine, arginin, dan glutamine dibutuhkan untuk pertumbuhan
optimal pada medium urin.

6

Gambar 1. Patogenesis berjangkitnya dan rekurensi ISK
(direproduksi dari: Amelia E. Barber, J. Paul Norton, Adam M. Spivak, and
Matthew A. Mulvey. Urinary Tract Infections: Current and Emerging
Management Strategies, diterbitkan di Clinical Infectious Diseases Advance
Access published May 23, 2013)


(1) Selama kejadian ISK, Uropathogenic Eschericia Coli (UPEC; hijau) dapat
berreplikasi dalam lumen kandung kemih atau
(2) menempel pada dan menginvasi sel epitel kandung kemih.
(3) Setelah invasi, dilanjutkan salah satu dari dua even berikut, UPEC kembali ke
lumen kandung kemih atau menuju kompartemen seperti endosome.
(4) gangguan pada kompartemen ini dan masuknya UPEC ke sitosol inang
memungkinkan pertumbuhan bakteri intraseluleer yang cepat dan perkembangan
komunitas bakteri intraseluler. Selama kejadian ini, UPEC dapat mengalami
perubahan morfologi, yaitu pembentukan sel-sel yang panjang dan filamentous yang
resisten terhadap mekanisme pertahanan inang seperti neutrofil.
(5) Infeksi dapat memicu eksfoliasi sel-sel kandung kemih, suatu proses yang
membantu eliminasi bakteri-bakteri yang menempel dan terinternalisasi. Effluks
UPEC dari sel-sel kandung kemih inang, termasuk UPEC yang mengalami eksfoliasi,
memfasilitasi penyebaran pathogen di dalam dan antar inang.
7

(6) UPEC yang masih terikat dalam kompartemen seperti endosome dalam urotelium
dapat menjadi reservoir yang daim dan bertahan lamadan sering terperangkap dalam
jarring-jaring filament aktin (warna merah) dan sangat sulit untuk dieradikasi dengan

terapi antibiotik. Kemunculan kembali UPEC dari reservoir ini dapat mengawali
rekurensi infeksi.
Singkatan:IBC; Intracellular Bacterial Community.

I.3 EPIDEMIOLOGI ISK
ISK adalah infeksi bakterial yang sering ditemui pada setting rawat jalan:
1 dari 3 wanita usia 24 tahun akan menderita ISK yang membutuhkan terapi
antibiotic, dan 50%nya akan menderita setidaknya 1 kali ISK bergejala dalam
hidupnya (Amelia et al, 2013). Insidensi sistitis pada wanita lebih tinggi secara
signifikan daripada pada pria, yang disebabkan oleh adanya perbedaan
anatomis. Uretra wanita yang lebih pendek memfasilitasi transit bacterial dari
meatus uretra ke kandung kemih.
Kolonisasi introitus vagina oleh patogen gastrointestinal dapat pula
meningkatkan kecenderungan infiltrasi traktus urinarius. Faktor-faktor lain yang
berperan adalah obstruksi traktus urinarius, incomplete voiding, dan struktur
anatomi aberan juga menjadi faktor predisposisi ISK. Faktor-faktor risiko
tambahan termasuk riwayat ISK sebelumnya, hubungan seksual dalam 2
minggu terakhir, penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim, kadar estrogen
vaginal yang rendah serta individu tertentu dengan kerentanan genetik.
Sementara beberapa komorbiditas meningkatkan kerentanan terhadap ISK,

mayoritas ISK ditemukan pada wanita yang pada umumnya sehat. (Amelia et al,
2013)
Bakteri yang umum sebagai agen ISK komunitas non komplikasi adalah
UPEC (UroPatogenic Eschericia Coli), mewakili lebih dari 80% infeksi
(Dielubanza, 2011). Bakteri ini menghuni traktus instestinal bawah dari vertebra
berdarah panas, di mana keberadaan mereka umumnya tidak berbahaya hingga
mereka memperoleh akses ke tempat lain seperti traktus urinarius di mana
mereka dapat menyebabakan penyakit. Bakteri patogen lain yang umumnya
berassosiasi dengan ISK non-komplikasi antara lain Staphylococcus
saprophyticus, spesies Klebsiella, Proteus mirabilis, dan Enterococcus
faecalis(Amelia et al, 2013).
Isu tak menyenangkan mengenai infeksi bakterial, tanpa terkecuali ISK,
adalah peningkatan mikroorganisme resisten antibiotik. Satu contoh yang
menjadi fokus perhatian adalah peningkatan insidensi dari tipe sekuensi 131
(sequence type 131/ st 131) strain UPEC di seluruh dunia (Amelia et al, 2013).
8

Strain ini sering memperlihatkan level resistensi terhadap antibiotik yang
multipel dan telah menyebar di berbagai belahan dunia dengan cepat pada
beberapa dekade terakhir (Peirano, 2010). Faktor-faktor yang memacu
penyebaran global strain ST131 masih belum sepenuhnya dipahami, tetapi
nampaknya termasuk di dalamnya adalah terintroduksinya gen-gen resisten
antibiotik
seperti
gen
yang
mengkode
Extended-Spectrum
βlactamases(ESBLs), serta kapasitas untuk secara efektif
menggunakan berbagai metabolit (Peirano, 2010).
BAB II
DIAGNOSIS, RESISTENSI ANTIBIOTIK DAN UPDATE TERAPI
ISK
II.1 DIAGNOSIS ISK
Diagnosis ISK pada pasien-pasien muda sehat biasanya dapat ditegakkan
secara klinis. Pasien-pasien dengan sistitis memiliki presentasi tipikal denga
satu atau beberapa temuan berikut (Gibson dan Toscano, 2012):
1. Urine keruh (cloudy)
2. Bau urin abnormal
3. Dysuria
4. Frekuensi berkemih
5. Hesitancy (kesulitan memulai berkemih) atau Urgency (perasaan ingn
berkemih)
6. Rasa tak enak di suprapubik
7. Gross Hematuria.
Gejala-gejala yang lebih berat dapat membantu mengarahkan diagnosis
ISK daripada diagnosis yang lain, begitu pula kombinasi gejala daripada gejala
tunggal. Keluhan-keluhan seperti sekret vagina dan iritasi vagina serta tidak
adanya dysuria atau nyeri pinggang menurunkan kecenderungan diagnosis ISK.
(Bent dkk., 2002)
Pyelonefritis umumnya menimbulkan gejala demam, menggigil, malaise,
perasaan tak enak di bagian flank, mual/muntah, dan/atau nyeri abdomen
dengan atau tanpa tanda-tanda ISK traktus urinarius bawah (Gibson dan
Toscano, 2012).
Pemeriksaan fisik pada sistitis umumnya tidak dapat menimbulkan
abnormalitas, atau dapat pula menimbulkan nyeri suprapubik ringan pada
palpasi, sementara pyelonefritis secara umum menyebabkan pasien nampak
benar-benar sakit, dengan ditemukannya nyeri sudut kostovertebral(dengan
perkusi) pada sebagian besar kasus. Pada pasien-pasien ini juga mengeluhkan
9

nyeri pada kuadran atas anterior abdomen yang melingkupi ginjal (Gibson dan
Toscano, 2012).

10