PERSPEKTIF LOKAL TERHADAP HAK DAN KONFLIK TENURIAL DI KPHL RINJANI BARAT, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Nusa Tenggara Province)

Cecep Handoko * dan Yumantoko

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No. 7 Desa langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat, Mataram Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Telp. (0370) 6573874 dan Fax. (0370) 6573341

*E-mail: cecep_h@yahoo.com

Diterima 3 April 2014; revisi terakhir 26 Mei 2015; disetujui 10 Agustus 2015

ABSTRAK

Perspektif lokal terhadap hak dan konflik tenurial perlu diketahui dalam penyelesaian konflik tenurial hutan secara menyeluruh. Untuk mengetahui perspektif lokal tersebut, dilakukan penelitian di KPHL Rinjani Barat tahun 2013 di Desa Senaru, Santong dan Rempek. Kegiatan penelitian berupa studi pustaka dan wawancara. Analisis data menggunakan CDA dan regresi linier berganda. Hasil menunjukkan perlu adanya pembenahan terhadap penguasaan dan kepatutan penguasaan hutan, perbaikan terhadap pengelolaan hutan dan akomodasi kepentingan para pihak terhadap lahan hutan dan sumber daya. Dengan tingginya kerusakan hutan, resolusi konflik tenurial perlu dilakukan dalam konteks pengelolaan secara lestari yang diiringi peningkatan komunikasi, kerjasama, keberpihakan dan pembinaan masyarakat. Terkait upaya tersebut, penegakkan hukum diperlukan untuk meningkatkan keberlanjutan pengelolaan dan menghindari penyimpangan dalam implementasi pengelolaan hutan.

Kata kunci: KPHL Rinjani Barat, konflik tenurial, perspektif lokal

ABSTRACT

Local perspectives on tenurial rights and conflict needs to be known in overcoming forest tenurial conflict thoroughly. Aiming at knowing this local perspective, study was conducted in FMU Rinjani Barat in 2013 at the villages of Senaru, Santong and Rempek, North Lombok District. Research activities included literatures review, and interview. Data were analyzed using CDA and multiple linier regression. Results indicated that there is need for rearrangement of forest rule and the propriety of the rule, improving forest management, and accommodation to various interests on forest land as well as resources. In high forest destruction condition, forest tenurial conflict resolution should be done in the context of sustainable management which was accompanied by an increase in communication, cooperation, alignment, and mentoring to community. Related to these efforts, law enforcement is needed for improving sustainability of management, and avoiding irregularities in implementation of forest management.

Keywords: FMU Rinjani Barat, tenure conflict, local perspective

I. PENDAHULUAN

terbagi dalam kategori tinggi, sedang dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung

rendah. Konflik tenurial berkategori tinggi dan (KPHL) Rinjani Barat ditetapkan dengan

sedang terjadi di kawasan hutan produksi, Keputusan

sedangkan konflik berkategori rendah terjadi di 651/Menhut-II/2010 tanggal 22 Desember

kawasan hutan lindung. Konflik tinggi ditandai 2010.

adanya pemukiman/rumah, hotel dan sertifikat diharapkan mampu mengatasi konflik tenurial

Melalui penetapannya,

KPHL

ini

tanah di areal seluas 912,56 ha. Konflik sedang dan

ditandai oleh penolakan masyarakat terhadap meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan di

tingginya kerusakan

hutan

serta

implementasi program kehutanan di areal wilayah kelolanya (Kementerian Kehutanan,

seluas 3.210,06 ha, dan konflik rendah ditandai 2010). Konflik tenurial di KPHL Rinjani Barat

oleh penggarapan lahan tanpa ijin untuk

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 4 No.2, Agustus 2015: 157 - 170

budidaya non kehutanan di areal seluas Lombok Utara dan berbatasan langsung dengan 14.627,37 ha (Mukarom, 2013).

kawasan hutan produksi. Letak wilayah KPHL Istilah tenurial mencakup substansi dan

Rinjani Barat disajikan pada Gambar 1. jaminan atas hak. Sebagai sumber daya publik, hak tenurial terhadap hutan mencakup hak

B. Bahan dan Alat

akses, hak pakai, hak eksklusif dan hak Bahan penelitian berupa: informasi terkait pengalihan (Larson, 2013). Adapun jaminan

KPHL Rinjani Barat, konflik tenurial yang atas hak merupakan kemampuan mendapatkan

terjadi, serta data dan informasi kondisi sosial sumber daya yang bebas dari pemaksaan,

dan perspektif masyarakat setempat (lokal) sengketa, ataupun persetujuan dari pihak luar,

terhadap hutan dan konflik tenurial yang digali serta

Adapun alat yang pengembalian investasi atas sumber daya

digunakan dalam penelitian berupa kuisioner. (Mwangi dan Meinzen-Dick, 2009 dalam Larson, 2013).

C. Kegiatan

Rendahnya akomodasi dan kepastian hak Kegiatan meliputi studi pustaka dan merupakan penyebab umum timbulnya konflik

wawancara. Wawancara dilakukan di desa-desa tenurial (Mayers et al., 2013). Hal tersebut

yang dipilih secara purposif mewakili beberapa dapat diperburuk oleh perbedaan pandangan

tingkat konflik dalam unit desa. Responden para pihak terkait penggunaan hutan dan

dipilih secara acak di tiap desa dengan sumberdayanya (Kusumanto et al., 2006).

intensitas sampling 5-6%. Adapun pertanyaan Selain perlu mempertimbangkan berbagai

meliputi: karakteristik sudut pandang, penyelesaian konflik tenurial

dalam

kuisioner,

responden, arti penting dan manfaat hutan, juga perlu disesuaikan dengan kondisi spesifik

pengetahuan peraturan, pengetahuan batas, di mana konflik tersebut terjadi (Herrera dan

pengetahuan pengelolaan hutan, pengetahuan Passano, 2006). Sementara itu, penggalian

konflik, keterlibatan dalam pengelolaan hutan, perspektif

terkait tenurial. Untuk pemahaman yang holistik terhadap berbagai

mendukung penyelesaian konflik, tambahan penggerak konflik di tiap tingkatnya (Midgley

pertanyaan diajukan, meliputi: keikutsertaan dan Garred, 2013). Mengetahui perspektif lokal

pendampingan dan terhadap hak dan konflik tenurial di KPHL

responden

dalam

penyuluhan serta manfaat kegiatan tersebut, Rinjani Barat merupakan tujuan penelitian.

responden dalam Informasi yang tergali melalui penelitian

keterbukaan

sikap

penyelesaian konflik, serta usulan pemecahan diharapkan mampu melengkapi sudut pandang

konflik tenurial.

para pihak dalam menilai, mengakomodasikan dan meningkatkan kepastian tenurial dalam

D. Analisis Data

Analisis data dilakukan menggunakan CDA keberhasilan pengelolaan hutan di wilayah

penyelesaian konflik

dan

mendukung

(Canonical Discriminant Analysis) dan uji KPHL Rinjani Barat.

regresi linier berganda. Penggunaan CDA ditujukan

untuk

mengidentifikasi

II. METODE PENELITIAN

responden berdasarkan variabel-variabel sosialnya, sedangkan uji

pengelompokkan

A. Waktu dan Lokasi

regresi linier berganda untuk mengetahui Penelitian dilakukan tahun 2013 dan

keterkaitan variabel-variabel berlokasi di KPHL Rinjani Barat di wilayah Desa

signifikansi

peningkatan/penurunan Senaru di Kecamatan Bayan, Desa Santong di

tersebut

dengan

tingkat konflik tenurial. Untuk meningkatkan Kecamatan Kayangan dan Desa Rempek di validitas analisis data dilakukan penghilangan Kecamatan Gangga. Secara geografis, KPHL data pencilan (outliers) dan seleksi variabel Rinjani Barat terletak di antara koordinat

dengan

metode

penghilangan mundur

oo

116 00’-116 30’ Lintang Selatan dan 08 o 10’ -

08 40’ Bujur Timur. Kawasan ini mempunyai Analisis data menggunakan aplikasi SAS luas total ± 40.983 ha, terdiri atas hutan lindung versi 9.0. Pengujian CDA didasarkan suatu ± 28.911 ha, hutan produksi terbatas ± 6.977 ha, persamaan fungsi matematik menurut Klecka dan hutan produksi ± 5.075 ha. Wilayah (1980), sebagai berikut: tersebut dikelilingi empat kabupaten, yaitu:

(backward elimination).

f km  u 0  u 1 X 1 km  u 2 X 2 km  ...  u p X pkm , (1)

Kabupaten Lombok Utara, Lombok Tengah,

Lombok Barat dan Lombok Timur. Sementara itu, ketiga desa kajian terletak di Kabupaten

Perspektif Lokal Terhadap Hak dan Konflik Tenurial di KPHL Rinjani Barat .... Cecep Handoko dan Yumantoko

f Dalam pengujian CDA dan regresi di atas, km adalah nilai pada fungsi diskriminant variabel-variabel bebas (X i ) adalah variabel-

kanonik untuk kasus m dalam kelompok k ;

variabel sosial yang digali melalui wawancara.

X i km adalah nilai pada variabel diskriminant Variabel-variabel tersebut secara keseluruhan disajikan

1. Adapun i

pada

Tabel

pengelompokkan dalam uji CDA menggunakan koefisien yang menghasilkan karakteristik yang

X kasus m dalam kelompok k ; dan u i adalah

unit desa. Sementara itu, variabel tidak bebas diinginkan dari suatu fungsi.

(Y i ) dalam uji regresi adalah tingkat konflik Sementara itu, model regresi linier

tenurial (diberi nilai 1 untuk tingkat konflik berganda

rendah, nilai 2 untuk tingkat sedang, dan nilai 3 matematik menurut Freund et al. (2006),

untuk tingkat konflik tinggi). Tingkat konflik sebagai berikut:

dalam penelitian ini diindikasikan oleh adanya aksi sertifikasi tanah

tenurial

tinggi

y   0   1 x 1   2 x 2  ...   m x m   , ….......(2) hutan dan benturan fisik terkait konflik yang

y adalah variabel tak bebas, x j , j  1 , 2 ,..., m ,

ada. Tingkat konflik sedang ditandai adanya penolakan implementasi program kehutanan,

menyatakan m variabel bebas yang berbeda;

namun benturan fisik dalam kaitannya dengan  0 adalah

intersep;

 j , j  1 , 2 ,..., m ,

konflik yang ada tidak terjadi. Sementara itu, tingkat konflik rendah ditandai adanya solusi

menyatakan

m koefisien regresi yang

berkorespondensi; dan  adalah random error

bersama atas permasalahan pemanfaatan lahan

hutan antara masyarakat dengan instansi yang umumnya diasumsikan terdistribusi

kehutanan.

normal dengan nilai tengah nol dan keragaman

Sumber: http://www.kph.dephut.go.id Gambar 1. Letak wilayah KPHL Rinjani Barat.

Figure 1. Location of Forest Management unit (FMU) of Rinjani Barat.

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 4 No.2, Agustus 2015: 157 - 170

Tabel 1. Variabel-variabel bebas yang digunakan dalam analisis Table 1. Independent variables in analysis

Kategori Nilai (Variables)

(Value Category)

(1). 15,5-28,5; (2). 28,5-41,5;

x 1 Umur (age) (tahun) (year)

(3). 41,5-54,5; (4). 54,5-67,5; (5). 67,5-80,5; (6). 80,5-93,5. (1). TS (no school); (2). SD (elementary

x 2 Pendidikan (education)

school); (3). SMP (middle school); (4). SMA (high school); (5). Perguruan tinggi (college).

x Sesuai jawaban responden

3 Jumlah anggota keluarga (family number) (given the responden answers) (1). 25.000 - 925.000; (2). 925.000 -1.825.000;

x Pendapatan per bulan (monthlyincome)

4 (Rp)(IDR) (3). 1.825.000 - 2.725.000; (4). 2.725.000 - 3.625.000; (5). 3.625.000 - 4.525.000;

(6). 4.525.000 - 5.425.000;

x 5 Pentingnya hutan menurut responden (forest (1). Tidak tahu (no idea); (2).Tidak (no); function importance according to responden) (3).Ya (yes). Hutan dalam kondisi baik (forest was in good

x (1). Tidak tahu (no idea); (2).Tidak (no);

6 condition)

(3).Ya (yes).

x (1). Tidak tahu (no idea); (2).Tidak (no);

Kejadian banjir dan longsor karena kerusakan

7 hutan (flood and landslides occurrence because of forest destruction)

(3).Ya (yes).

(1). Tidak tahu (no idea); (2).Tidak (no); border recognition)

x 8 Pengetahuan terhadap batas hutan (forest

(3).Ya (yes).

x (1). Tidak tahu (no idea); (2).Tidak (no);

Pengetahuan pada peraturan kehutanan

9 (forestry regulation recognition)

(3).Ya (yes).

x (1). Tidak tahu (no idea); (2).Tidak (no);

Keikutsertaan dalam pengelolaan hutan

10 (participation toforest management)

(3).Ya (yes).

x (1). Tidak tahu (no idea); (2).Tidak (no);

Pengetahuan adanya masalah di hutan (forest

11 conflict recognition)

(3).Ya (yes).

x (1). Tidak tahu (no idea); (2).Tidak (no);

Manfaat langsung hutan bagi responden

12 (forest direct benefits for respondens)

(3).Ya (yes).

x (1). Tidak tahu (no idea); (2).Tidak (no);

Kecukupan pendapatan per bulan

13 (Monthly income adequacy)

(3).Ya (yes).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

(Herrera

Passano, 2006). Dengan meningkatnya tingkat pendidikan, kemampuan

dan

A. Hasil

1. Variabel-variabel Sosial Spesifik

intervensi responden tersebut diduga akan

semakin meningkat. Seperti ditampilkan pada Variabel umur berhubungan dengan Tabel 3, hasil wawancara menunjukkan tingkat kemampuan responden untuk memengaruhi pendidikan hingga tingkat SD yang tinggi di tatanan sosial dan

Desa Santong (88,1% responden). Di Desa masyarakat (Herrera dan Passano, 2006). Rempek, tingkat pendidikan responden hingga Variabel umur diduga berkorelasi positif tingkat SD sebesar 58,6% dan di Desa Senaru dengan

konflik spesifik di

sebesar 34,3%. Sementara itu, distribusi memengaruhi tatanan sosial dan konflik di pendidikan hampir merata dari tingkat SD masyarakat. Hasil wawancara menunjukkan hingga perguruan tinggi (PT) terlihat di Desa rentang umur responden 22-61 tahun di Desa

ini responden yang Senaru, 35-61 tahun di Santong, dan 22-48

tahun di Rempek (Tabel 2).

menyelesaikan

pendidikannya hingga

perguruan tinggi mencapai 25,5%. Tingkat pendidikan berhubungan dengan

kemampuan intervensi responden terhadap tatanan hak atas lahan dan pengelolaannya

Perspektif Lokal Terhadap Hak dan Konflik Tenurial di KPHL Rinjani Barat .... Cecep Handoko dan Yumantoko

Tabel 2. Persentase responden menurut kelas umur Table 2. Respondens percentage according to their age Classes

Lokasi (Locations) (age interval)

Selang umur

Nilai tengah

(means)

(tahun) (year)

(tahun) (year)

Senaru

Santong Rempek

0,0% 0,0% Jumlah (sum)

96 orang Jumlah (sum of) responden

(persons) (persons)

Tabel 3. Persentase responden menurut pendidikan Table 3. Respondens percentage according to their educations

Pendidikan Lokasi (Locations) (Education)

TS (no school)

29,7% 13,1% SD (elementary school)

58,4% 45,5% SMP (middle school)

5,9% 21,2% SMA (high school)

5,0% 17,2% PT (college)

1,0% 3,0% Jumlah (sum)

99 orang Jumlah (sum of) responden

(persons) (persons)

Kemiskinan dan rendahnya pendapatan pendapatan responden terbesar diketahui masyarakat sering dikaitkan dengan terjadinya

terdapat di Desa Santong dimana 82,2% konflik tenurial (Herrera dan Passano, 2006).

responden mempunyai pendapatan per bulan Untuk mengetahui hal tersebut, tanggungan

dari Rp925.000,00 hingga Rp2.2750.000,00. (jumlah anggota) keluarga, pendapatan dan

Sementara itu, hanya sebesar 12,3% responden kecukupan pendapatan

di Desa Rempek dan sebesar 13,4% responden melalui

responden dikaji

di Desa Senaru yang mempunyai pendapatan wawancara diketahui jumlah tanggungan

Rp925.000,00 hingga keluarga secara rata-rata sebesar 3 orang

Rp2.2750.000,00 (Tabel 4). (bervariasi dari 1 - 8 orang) di Desa Senaru,

pendapatan responden rata-rata 4 orang (bervariasi dari 2 - 7 orang) di

Peningkatan

seperti telah diuraikan di atas sejalan dengan Desa Santong dan rata-rata 4 orang (bervariasi

meningkatnya tingkat kecukupan pendapatan dari 1 - 12 orang) di Desa Rempek.

yang dirasakannya. Hal tersebut sesuai dengan Sementara itu, pendapatan responden per

hasil wawancara di mana diketahui sebanyak bulan di ketiga desa kajian bervariasi dari

70,3% responden di Desa Santong menyatakan Rp100.000,00

bahwa pendapatan per bulannya berkategori Pendapatan responden umumnya kurang dari

hingga

Rp5.000.000,00.

cukup, sedangkan hanya 41,2% responden di Rp900.000,00. Hal tersebut dapat diketahui

Desa Senaru dan 20,2% responden di Desa dari sebanyak 65,9% responden di Desa Senaru

menyatakan bahwa dan 82,2% responden di Desa Rempek. Dari

Rempek

yang

pendapatannya cukup.

ketiga desa kajian

tersebut,

rata-rata

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 4 No.2, Agustus 2015: 157 - 170

Tabel 4. Persentase responden menurut pendapatan per bulan Table 4. Responden percentage according to their monthly incomes

Selang Pendapatan Lokasi (Locations)

Nilai tengah

(means)

(incomes interval) (Rp) (IDR)

(Rp x 1.000)

Senaru

Santong Rempek

(IDR x 1,000)

0,0% 1,4% Jumlah (sum)

100,0% 100,0% Jumlah (Sum of) responden

(persons) (persons)

tersebut, hasil wawancara menunjukkan fungsi pengetahuan masyarakat terhadap arti penting

Selain variabel-variabel

di

atas,

penting hutan bagi masyarakat. Keberadaan dan

hutan mampu mencegah banjir dan longsor permasalahan dan keterlibatan masyarakat

manfaat hutan,

batas,

peraturan,

serta memberikan manfaat langsung berupa dalam pengelolaan hutan digali melalui

sumber air, jalur wisata dan lahan budidaya wawancara. Variabel-variabel tersebut dapat

(Tabel 5). Lahan-lahan hutan umumnya mengindikasikan bagaimana klaim atas hak,

dimanfaatkan masyarakat untuk budidaya tuntutan masyarakat, serta implementasi

tanaman semusim seperti padi, jagung dan ubi tuntutan tersebut mengarah pada suatu tingkat

kayu, serta tanaman perkebunan seperti kopi, konflik

tertentu. Dari

variabel-variabel

kakao dan mente.

Tabel 5. Jawaban responden terkait hutan dan manfaatnya Table 5. Responden answers related to forest and its benefit

Pertanyaan Desa (Villages) (Questions)

Senaru

Santong Rempek

1. Pentingnya hutan (forests have important function)

2. Hutan dalam Kondisi baik (forest was in good condition)

3. Kejadian banjir dan longsor karena rusaknya hutan (Flood and land slide

0,0% 51,5% because of forest destruction)

4. Manfaat langsung dari hutan (forest direct benefits):

99,0% 66,7% – Sumber air dan jalur wisata (springs and tour tracking)

- - – Lahan hutan (forest land)

99 orang Jumlah (sum of) responden

(persons) (persons)

Perspektif Lokal Terhadap Hak dan Konflik Tenurial di KPHL Rinjani Barat .... Cecep Handoko dan Yumantoko

Sementara itu, pengetahuan responden dan Rempek berupa permasalahan sengketa terhadap batas hutan paling rendah diketahui

batas dan lahan hutan.

di Desa Rempek yaitu sebesar 24,4%, dan

keinginan untuk tertinggi di Desa Santong sebesar 100%.

Seiring

dengan

memperoleh manfaat dari hutan, keberlanjutan Pengetahuan responden di Desa Rempek

hasil dan keberlanjutan pengelolan hutan terhadap peraturan kehutanan juga paling

diharapkan oleh responden di ketiga desa rendah. Di lain pihak, pengetahuan adanya

7). Namun dalam permasalahan di hutan tertinggi terdapat di

kajian

(Tabel

perkembangannya, hak akses, pemanfaatan dan Desa Rempek (86,9%), Senaru (73,5%) dan

pengelolaan hutan yang diterima masyarakat terendah di Desa Santong (1%) (Tabel 6).

atas hak kepemilikan Permasalahan hutan yang ditemui di Desa

diiringi

tuntutan

(sertifikasi) dari sebagian responden di Desa Santong

Rempek (2,0%) dan Senaru (5,1%). permasalahan yang ditemukan di Desa Senaru

berupa perijinan,

sedangkan

Tabel 6. Pengetahuan responden terhadap batas hutan, peraturan dan permasalahan hutan, serta keterlibatan responden dalam pengelolaan hutan

Table 6. Responden recognition on forest border, regulations, and conflicts, and their involvement in forest management

Desa (Villages) Pertanyaan (Questions)

Senaru

Santong Rempek

1. Pengetahuan batas hutan

100,0% 24,2% (forest border recognition)

2. Pengetahuan peraturan kehutanan

99,0% 64,6% (forest regulation recognition)

3. Pemahaman terhadap adanya masalah

1,0% 86,9% di hutan (forest conflict recognition)

4. Keikutsertaan mengelola hutan

93,1% 26,3% (forest management involvement)

99 orang Jumlah (sum of) responden

(persons) (persons)

Tabel 7. Persentase harapan responden terkait akomodasi terhadap hak tenurial Table 7. Responden’s hope percentage related to accomodation on tenure rights

Harapan responden Desa (villages) (Responden hopes)*

Senaru

Santong Rempek

1. Keberlanjutan pengelolaan hutan (forestmanagement continuity)

 Penanganan illegal logging (illegal logging

- handling) 5,1%  Sosialisasi pengelolaan dan peraturan

- - as well as regulations)  Hak pengelolaan lahan (land use permits)

kehutanan (socialization of forest management

10,1%  Sertifikat lahan (land certification)

- 5,1%  Perijinan pemanfaatan hasil hutan Kayu di HKm dipercepat dan dipermudah. (Accelerating and

17,8% facilitating for utilization of timber forest - product in social forestry area)

 Penanganan permasalahan batas hutan (Handling conflict of forest boundary)

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 4 No.2, Agustus 2015: 157 - 170 Tabel 7. Lanjutan

Table 7. Continued Harapan responden

Desa (villages) (Responden hopes)*

Senaru

Santong Rempek

2. Keberlanjutan hasil (forest yield continuity)

 Keberpihakan pada masyarakat, pembinaan dan pelibatan mayarakat pengelolaan hutan

- 20,2% (community supporting, mentoring, and forest

management involvement)  Peningkatan manfaat hutan bagi masyarakat

- 26,3% (forest benefits improvement to community)

 Bantuan bibit dan pelatihan budidaya (seedling

80,2% giving, and cultivation training) -  Reboisasi, penghijauan, pelestarian sumber air,

pariwisata (Afforestation, non-forest land

- - planting, springs protection, and tourism)

99 orang Jumlah (sum of) responden

(persons) (persons)

Keterangan:

Remarks:

*Responden bisa memberikan lebih dari satu jawaban *Responden may give several answers

2. Variabel-variabel sosial dan konflik

kelompok sosial yang berbeda (Gambar 2).

tenurial

2 bahwa Hasil uji CDA menggunakan delapan

responden berdasarkan variabel sosial terseleksi yaitu pendidikan,

pengelompokkan

variabel-variabel sosialnya dapat terlihat jelas jumlah anggota keluarga, pendapatan, kejadian

untuk Desa Santong. Meskipun demikian, banjir yang dialami, pengetahuan batas,

kepastian spesifikasi kelompok sosial tersebut pengetahuan peraturan, pengetahuan masalah

masih belum dapat ditentukan mengingat di hutan dan kecukupan pendapatan responden

masih terlihatnya tumpang tindih hasil uji menunjukkan adanya trend bahwa responden

seperti ditunjukkan pada gambar tersebut.

dari masing-masing desa kajian berasal dari

Gambar 2. Hasil uji CDA mengindikasikan adanya pengelompokkan responden menurut variabel sosialnya yang tergali melalui wawancara. Figure 2. Results of CDA test indicated respondens grouping according to their social variables obtained from interview.

Perspektif Lokal Terhadap Hak dan Konflik Tenurial di KPHL Rinjani Barat .... Cecep Handoko dan Yumantoko

Sementara itu berdasarkan kondisi konflik validitas model. Signifikansi terlihat pula pada yang ada, hasil uji regresi menunjukkan

tujuh dari delapan variabel yang diuji, di keterkaitan yang erat antara masing-masing

antaranya dengan nilai estimasi standar variabel sosial terseleksi dengan peningkatan

tertinggi (-0,51882) pada variabel pengetahuan atau penurunan konflik antar desa yang dikaji

batas, disusul pengetahuan masalah di hutan (Tabel 8).

(0,39706) dan variabel lainnya dengan nilai Hasil uji regresi di atas menunjukkan

estimasi standar yang lebih rendah. Tanda signifikansi pada taraf kepercayaan 99%,

negatif pada nilai estimasi menunjukkan

hubungan arah terbalik, yaitu peningkatan nilai rendahnya

sedangkan tingginya R 2 model (90,37%) dan

variabel berhubungan dengan menurunnya menurunkan interkorelasi bias antar variabel

tingkat konflik, sedangkan tanda positif (Freund et al., 2006), sehingga meningkatkan

menunjukkan hubungan searah.

Tabel 8. Hasil uji regresi terhadap hubungan variabel dengan tingkat konflik Table 8. Results of regression test on relationship between variables with conflict level

Analisis Keragaman (Analysis of Variance) Rata-rata

Derajat

Sumber

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Nilai F

Pr > F (Source)

Bebas

(DF)

(Sum of Squares)

(Mean

(F Value)

Square)

Model

227,44 <0,0001 ** Bias (Error)

Total terkoreksi (Corrected Total)

Akar kuadrat bias (Root MSE)

R 2 0,9037

Rata-rata Penduga (Dependent Mean)

R 2 disesuaikan (Adj R 2 )

Koefisien keragaman (Coeff Var)

Estimasi Parameter (Parameter Estimates)

standar Variable (Variables)

Nilai t

Df parameter

standar

(t

Pr > |t| (Standardi-

zed esti-

estimate)

d error)

mate)

<,0001 ** 0 Pendidikan (education)

Intersep (Intercept)

0,0228 * 0,06053 Jumlah anggota kelu-

0,0743 ns 0,04264 arga (Family number)

<0,0001 ** -0,11633 kejadian banjir (flood

Pendapatan (income)

occurence) ** 1 0,20156 0,04140 4,87 <0,0001 0,14078 pengetahuan batas

<0,0001 ** -0,51882 (border recognition)

pengetahuan peraturan

(regulation recognition)

0,0005 -0,09982 pengetahuan masalah

<0,0001 ** 0,39706 (conflict recognition)

kecukupan pendapatan

<0,0001 ** -0,12591 (income adequacy)

Signifikan pada taraf kepercayaan 95% * Significant at 95% confident level ** Signifikan pada taraf kepercayaan 99%

** Significant at 99% confident level

ns

Tidak signifikan

ns Not significant

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 4 No.2, Agustus 2015: 157 - 170

6. rendahnya beberapa

Dari hasil analisis regresi tersebut,

rendahnya

pendapatan,

sosialisasi peraturan, dan 7. meningkatnya meningkatnya konflik tenurial antar ketiga desa

tingkat pendidikan yang dalam hal ini berkaitan kajian, secara berurutan menurut tingkat

dengan meningkatnya intervensi kelompok pentingnya,

masyarakat yang masalah/sengketa batas, 2. meluasnya skala

menyebabkan konflik semakin meningkat. konflik (menjadi issue yang berkembang atau

Secara kualitatif menggunakan ketujuh masalah menimbulkan dampak luas di masyarakat), 3.

tersebut, gambaran kondisi masing-masing meningkatnya bencana karena kerusakan

lokasi penelitian menurut tingkat konfliknya hutan, 4. rendahnya kecukupan pendapatan, 5.

seperti disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Kategori masalah dan tingkat konflik tenurial Table 9. Problem categories and conflict levels

Tingkat konflik (conflict levels) Kategori Masalah

Sedang Tinggi (high) (Problem Categories)

Rendah

(low) di (at)

(middle) di di (at)

Santong

(at)Senaru Rempek

1. Masalah/sengketa batas (Boundary problem

and dispute) ++++

2. Skala konflik (conflict scale)

3. Kerusakan hutan dan bencana (forest

destruction and disasters) +++

4. Masalah tidak cukupnya pendapatan

++++ (problem of insufficient income)

5. Masalah pendapatan yang rendah (problem

of low income) ++++

6. Masalah rendahnya sosialisasi peraturan

++ (problem of lack regulation socialization)

7. Masalah intervensi internal (problem of

internal intervention) ++

S emakin meningkat jumlah tanda “+” maka nilai dari masalah The more the sum of “+”, the higher the value of the semakin meningkat;

problem;

“+”mewakili 0-25% jawaban responden; “+” Represented 0-25% responden’s answer; “++” mewakili 25-50% jawaban responden;

“++” Represented 25-50% responden’s answer; “+++” mewakili 50-75% jawaban responden;

“+++” Represented 50-75% responden’s answer; “++++” mewakili 75-100% jawaban responden.

“++++” Represented 75-100% responden’s answer.

B. Pembahasan

konflik tenurial yang tinggi di wilayah Rempek. Secara umum, sengketa tanah terutama

Sengketa ini teridentifikasi sejak tahun 1989 dipicu oleh ketimpangan atas penguasaan

(Buckles, 1999). Warga menolak batas hutan tanah. Sengketa ini bersifat laten, sulit

“resmi” dan mengklaim batas kawasan hutan diidentifikasi dan mengakibatkan masalah yang

adalah “gegumuk” yaitu batas hutan zaman kompleks (Sakti, 2012). Sengketa tanah dapat

Belanda. Dipicu terbitnya 84 sertifikat di berawal dari konflik kepentingan, struktural,

kawasan hutan tahun 1984, tuntutan sertifikat nilai, hubungan dan konflik data (Umiyati,

baru diajukan oleh sebanyak 509 penggarap 2012). Secara khusus, sengketa tanah hutan

sejak tahun 1985. Klaim “sepihak” dari Kantor dapat

Pertanahan setempat bahwa areal sertifikasi penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan,

tersebut bukan kawasan hutan, serta dukungan tumpang tindih kawasan hutan, perubahan

dari institusi-institusi pemerintahan setempat orientasi nilai atas hutan dari fungsi religi-

saat itu terhadap sertifikasi kawasan hutan ekologis menjadi komoditas ekonomi serta

telah menjadi dasar legalisasi munculnya kerusakan ekosistem dan tatanan kehidupan

tuntutan sertifikasi baru dari warga tersebut. Di masyarakat lokal (Indriayati, 2012).

lain pihak, tingginya konflik yang ada telah Hasil penelitian menunjukkan adanya

memicu kecurigaan/ketidakpercayaan warga sengketa tanah hutan yang menghasilkan

terhadap upaya pengelolaan kawasan yang

Perspektif Lokal Terhadap Hak dan Konflik Tenurial di KPHL Rinjani Barat .... Cecep Handoko dan Yumantoko

difasilitasi oleh institusi kehutanan. Informasi

adalah “gegumuk” yang tergali, telah terjadinya pengusiran

kawasan

hutan

menyebabkan konflik di wilayah ini belum bisa pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang

diatasi. Di luar kondisi yang ada, meskipun di klaim telah menyebabkan banjir di Desa

konflik di wilayah ini mulai meluas, namun Rempek dan pembakaran kantor kehutanan

belum memunculkan tuntutan resmi sertifikasi kecamatan dengan isu perlindungan pelaku

lahan hutan dan belum menghasilkan benturan illegal logging.

fisik antara masyarakat dengan pihak KPHL Sementara itu, terlepas dari tingginya

Rinjani Barat. Adapun aksi penolakan terhadap konflik dan adanya tuntutan sertifikasi atas

implementasi kegiatan pengelolaan hutan, di lahan hutan yang terjadi hingga sekarang,

antaranya penolakan kegiatan rekonstruksi penataan batas kawasan hutan telah dilakukan

batas tahun 2012 telah terjadi. pada tahun 1957. Selain itu, dengan dasar tata

Sementara itu, sengketa batas tidak terjadi guna hutan kesepakatan (TGHK) tahun 1982,

di wilayah Santong. Di wilayah ini tuntutan telah pula dilakukan tata batas fungsi tahun

kemudahan perijinan penggunaan kawasan 1995, dan rekonstruksi batas tahun 2012.

hutan untuk kepentingan penduduk mendapat Berpegang pada bukti serah terima kawasan

perhatian penting dari responden. Sementara hutan dari pemerintah daerah Lombok pada

itu, untuk mengatasi adanya penggarapan lahan tahun 1954 dan tata batas kawasan hutan yang

hutan oleh masyarakat telah dihasilkan solusi telah dilakukan, pihak kehutanan tetap

bersama berupa penetapan lokasi garapan mengklaim bahwa wilayah sengketa adalah sah

tersebut sebagai areal Hutan Kemasyarakatan kawasan hutan. Terkait klaim tersebut,

(HKm). Hal tersebut tidak terlepas dari peran sinkronisasi peta antara pihak kehutanan dan

para pihak yang telah berupaya mewujudkan pertanahan pun telah dilakukan pada tahun

terbangunnya areal HKm di wilayah ini. 2012 yang menghasilkan kesepakatan dua

Di tengah berlanjutnya konflik tenurial di pihak (kehutanan dan pertanahan) bahwa

wilayah Rempek, upaya penyuluhan dan wilayah sengketa adalah kawasan hutan.

melibatkan instansi Di lain pihak, sengketa batas terjadi pula di

pendampingan

yang

pemerintah maupun non pemerintah telah Desa Senaru. Sengketa batas ini terjadi karena

berpengaruh positif berupa sikap membuka klaim

diri masyarakat untuk menyelesaikan konflik memasukkan wilayah pemukiman penduduk,

terhadap kawasan

hutan

telah

yang ada seperti ditunjukkan oleh lebih dari yang di dalamnya terdapat 18 rumah dan satu

setengah jumlah responden (59,6%), meskipun buah hotel pada areal seluas 8,5 ha. Dukungan

sikap menolak masih terlihat pada 12,1% kuat

dari pemerintah

desa

terhadap

responden (Tabel 10).

keberadaan permukiman serta klaim batas Tabel 10. Jawaban responden terhadap pendampingan, penyuluhan dan sikap membuka diri dalam

mengatasi masalah di hutan di Desa Rempek Table 10. Responden’s answer on mentoring, counseling, and their acceptance in overcoming tenure conflict in Rempek

Jawaban (Answers) Pertanyaan (Questions)

Ya

Tidak Tidak Tahu

(yes)

(not) (No Idea)

 Pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam penanganan konflik hutan ( NGo’s

12,1% 42,4% mentoring for overcoming forest conflict)  Manfaat pendampingan (benefits of mentoring)

6,1% 50,5%  Keikutsertaan dalam kegiatan penyuluhan

57,6% 5,1% (attendance in counseling)

 Manfaat penyuluhan (benefits of counseling)

3,0% 44,4%  Sikap membuka diri bagi penyelesaian konflik

12,1% 28,3% (Acceptance in overcoming conflict )

Jumlah (sum of) responden

99 orang (persons)

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 4 No.2, Agustus 2015: 157 - 170

Resolusi konflik tenurial di Desa Rempek penyelesaian konflik masih diwarnai sikap diakui

sebagian kecil (5,1%) penyelesaian konflik tenurial di desa lainnya,

responden, namun jalan tengah penyelesaian termasuk di Desa Senaru. Beberapa upaya

konflik berupa penerbitan ijin garap mulai penyelesaian konflik tenurial di Desa Rempek

mengemuka. Hal tersebut seperti disampaikan disajikan pada Tabel 11. Meskipun upaya

oleh 2,9% responden di desa ini.

Tabel 11. Alternatif solusi konflik tenurial yang ditawarkan responden di Rempek

Table 11. Tenure conflict resolution alternatives offered by respondens in Rempek

Alternatif solusi yang ditawarkan responden ( resolution’s Persentase alternative offered by respondens) * (Percetage)

 Komunikasi, diskusi dan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah dengan masyarakat (Communication, discussion,

and cooperation between central and local government with 24,2% local community)

 Pelaksanaan program yang berpihak pada masyarakat 21,2%

(Community develompment programs implementation)  Sosialisasi, pembinaan dan pendampingan

16,1% (socialization, coaching and mentoring)

 Keseriusan penanganan pengusaha kayu illegal dan illegal 5,1%

logging (handling illegal entrepreneur and illegal logging)  Sertifikasi Tanah GG (Free Government Groundcertification)

5,1%  Penerbitan ijin garap (forest land usage permits)

2,9% Jumlah (sum of) responden

99 orang (persons)

Keterangan: Remarks:

* Responden bisa memberikan lebih dari satu solusi * Responden may give more than one alternative resolution

Berdasarkan Tabel 11, diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat di lokasi kajian penyelesaian konflik tenurial di wilayah KPHL

perlu diarahkan untuk membangun tanggung Rinjani Barat, khususnya di wilayah Rempek

jawab bersama terhadap kelestarian dan dapat dicapai melalui peningkatan komunikasi,

peningkatan manfaat hutan khususnya bagi kerjasama, keberpihakan, dan pendampingan

masyarakat melalui fasilitasi dan pembinaan kepada masyarakat. Terkait hasil analisis,

yang berkelanjutan.

upaya-upaya tersebut perlu dilakukan dalam Sementara itu, keberadaan sertifikat di kerangka peningkatan pendapatan masyarakat,

dalam kawasan hutan yang mencuatkan adanya kecukupan pendapatannya dan peningkatan

konflik antar sektor dan institusi-institusi pemahaman bersama terhadap peraturan-

pemerintahan terkait hutan, serta penolakan peraturan terkait hutan dan sumberdayanya.

warga dan pemerintah lokal terhadap klaim Dengan adanya konflik tenurial, upaya

kawasan hutan yang menunjukkan legalitas peningkatan

pemerintahan pusat yang lemah di tingkat khususnya di kawasan hutan produksi dapat

pendapatan

masyarakat

tapak hutan, selain dapat menghambat dilakukan

keberlanjutan pembangunan kehutanan juga tanaman dengan menempatkan masyarakat

masa depan institusi sebagai mitra kerja dan mitra usaha, serta

dapat

merugikan

maupun institusi-institusi penyediaan input produksi dan industri hasil

kehutanan

pemerintahan terkait lainnya. hutan (Puspitojati et al., 2012). Khusus di KPHL

Untuk mengantisipasi perubahan kondisi Rinjani Barat, pembangunan hutan tanaman

yang tidak menguntungkan tersebut, institusi- dengan skema HTR (Hutan Tanaman Rakyat)

institusi publik perlu menciptakan sistem lebih tepat untuk dilakukan (Elvida dan Alviya,

kolaborasi (Lathrop dan Ruma, 2010). Selain 2009).

upaya kolaborasi tersebut, hasil penelitian implementasi kebijakan tersebut, peningkatan

Untuk meningkatkan

efektivitas

menunjukkan perlunya komitmen bersama motivasi, kemampuan usaha dan memperluas

dari para pihak termasuk institusi-institusi partisipasi

pemerintahan dalam membenahi penguasaan (Ruhimat, 2013). Sementara itu, meningkatnya

aktif masyarakat

diperlukan

dan kepatutan penguasaan, pengelolaan, serta

Perspektif Lokal Terhadap Hak dan Konflik Tenurial di KPHL Rinjani Barat .... Cecep Handoko dan Yumantoko

akomodasi para pihak terkait hutan. Di KPHL yang semakin meningkat, serta meningkatnya Rinjani Barat, komitmen tersebut terutama

kebutuhan masyarakat akan lahan budidaya. terhadap hal yang bernilai strategis dan

Untuk mengakomodasikan tuntutan tersebut, ekonomis (Ekawati, 2012). Dalam kaitan

peningkatan komunikasi, dengan upaya kolaborasi, prinsip holistik dalam

diperlukan

kerjasama, keberpihakan dan pembinaan sudut pandang, integratif dan keberlanjutan

masyarakat. Seiring dengan meningkatnya dalam pengelolaan hutan (Falah, 2012) perlu

pemahaman masyarakat terhadap nilai manfaat dikembangkan. Dalam hal ini, pemahaman

hutan, tanggung jawab bersama terhadap terhadap perspektif lokal terhadap hak dan

kelestarian dan peningkatan manfaat hutan konflik tenurial seperti yang dikaji dalam

perlu dikembangkan.

penelitian ini perlu diperhatikan. Untuk mengatasi tingginya tuntutan Selain hal di atas, hasil penelitian

sertifikasi atas lahan hutan, diperlukan menunjukkan perlunya penegakkan hukum

terhadap penguasaan dan dalam memberikan jaminan keberlanjutan

pembenahan

kepatutan penguasaan hutan, dan perbaikan pengelolaan

serta akomodasi menangani penyimpangan dalam implementasi

kepentingan para pihak terkait lahan hutan dan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Terkait hal

sumberdayanya. Sementara itu, penegakan tersebut, keseriusan penanganan kasus illegal

untuk meningkatkan logging dan pengusaha kayu illegal perlu

hukum

diperlukan

pengelolaan serta menjadi prioritas penanganan.

keberlanjutan

penyimpangan dalam Dalam

menanggulangi

implementasi pengelolaan hutan tersebut. pengentasan illegal logging dan pengusaha kayu illegal, putusan pengadilan yang mampu

B. SARAN

memberikan efek jera diperlukan. Hal tersebut Berdasarkan penggalian persepektif lokal dilakukan

terhadap hak dan konflik tenurial di KPHL masyarakat

untuk mencegah

kecurigaan

Rinjani Barat, disarankan perlunya perbaikan pengentasan kedua permasalahan tersebut.

sudut pandang dan keterbukaan pengelola Dalam kaitannya dengan pengentasan kedua

terhadap aspek sosial dan pembangunan masalah tersebut, peningkatan konsistensi,

daerah dari pengelolaan hutan, peningkatan independensi,

kelestarian dan nilai ekonomis hutan secara penegakan hukum di tingkat pengadilan

partisipatif dan pembinaan masyarakat yang diperlukan (Soedarsono, 2010). Sementara itu,

Dalam kaitan tersebut formulasi tindak pidana illegal logging di masa

berkelanjutan.

keseriusan penanganan tindak pidana illegal datang perlu perbaikan kejelasan, kelengkapan

logging dan pengusaha kayu illegal sangat dan fleksibilitas mengenai definisi, subjek

diperlukan sebagai langkah penting dalam hukum dan sanksi pidana terhadapnya (Utami,

hutan, memulihkan 2007). Secara praktis, sistem hukum yang kuat

menekan

kerusakan

kepercayaan dan meningkatkan partisipasi dapat mencegah partisipasi pejabat lokal dalam

program kehutanan kegiatan illegal yang pada akhirnya dapat

masyarakat

dalam

khususnya di KPHL Rinjani Barat. melemahkan pengaruh pengusaha-pengusaha

kayu pada pejabat-pejabat lokal (Syafaruddin,

UCAPAN TERIMA KASIH

2009). Dalam kondisi tersebut, praktik-praktik Ucapan terima kasih disampaikan kepada illegal logging maupun adanya pengusaha

dan Pengembangan illegal melemah. Dengan adanya efek jera,

Badan

Penelitian

Kehutanan dan secara khusus Balai Penelitian perbaikan dan penguatan sistem hukum dan

Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu atas peradilan dalam penanganan kasus illegal

terselenggaranya penelitian ini. Ucapan terima logging dan pengusaha kayu illegal tersebut,

disampaikan kepada Dinas maka penuntasan kedua kasus tersebut

kasih

juga

Kehutanan, KPHL Rinjani Barat, LSM Samantha, khususnya di wilayah KPHL Rinjani Barat dapat

teman-teman teknisi dan tenaga pendukung diwujudkan.

lapangan yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam pelaksanaan penelitian ini.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA

A. KESIMPULAN

Buckles, D. (ed.). (1999). Cultivating Peace: Conflict Tuntutan lokal akan manfaat hutan tidak

and Collaboration in Natural Resource terlepas dari kenyataan buruknya kondisi

International Development hutan dan pengelolaannya, kebutuhan hidup

Management.

Research Centre-World Bank Institute. Canada: International Development Research Centre.

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 4 No.2, Agustus 2015: 157 - 170

Ekawati, S. (2012). Evaluasi Implementasi Kebijakan Mayers, J., E. Morrison, L. Rolington, K. Studd danS. Desentralisasi Pengelolaan Hutan Produksi.

Turrall. (2013). Improving governance of forest Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 10(3),

tenure: a practical guide. Governance of Tenure 187-202.

Technical Guide No.2, London dan Roma: International Institute for Environment and

Elvida, Y.S. dan I. Alviya. (2009). Kendala dan Strategi Development, and Food and Agriculture Implementasi Pembangunan KPH Rinjani

Organization of the United Nations. Barat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi

Kehutanan, 6(1), 1-14. Midgley, T. dan M. Garred. (2013). Bridging the Participation Gap: Developing Macro Level

Falah, F. (2012). Kajian Efektivitas Pengelolaan Conflict Analysis through Local Perspective. Kolaboratif Taman Nasional Kutai. Jurnal

Analisis Kebijakan Kehutanan, 10(1), 37-57. Policy and Practice Paper. UK: World Vision.

Mukarom, M. 2013. Progres Masalah Tenurial dan Freund, R.J, W. J. Wilson dan Ping Sa. (2006).

Upaya Penanganannya pada KPH Rinjani Barat. Regression Analysis: Statistical Modeling of a Bahan presentasi pada Rapat Koordinasi Response Variable. Edisi kedua. Elsevier Inc.

Fasilitasi dan Mediasi Permasalahan Tenurial Herrera, A., dan M.G. da Passano. (2006). Land Tenure

Di KPHL Rinjani Barat. Mataram, 4-5 Juli 2013. Alternative Conflict Management. Rome: Food

Puspitojati, T., D. Darusman, R.C. Tarumingkeng dan and Agriculture Organization of the United

B. Purnama. (2012). Preferensi Pemangku Nations (FAO).

dalam Pengelolaan Hutan Indriayati. (2012). Potret Konflik Agraria di

Kepentingan

Kasus di Kesatuan Indonesia, Tantangan bagi “Tanah untuk

Produksi:

Studi

Pemangkuan Hutan Bogor. Jurnal Analisis Sebesar- besarnya Kemakmuran Rakyat”.

Kebijakan Kehutanan, 9(2), 96-113. Jurnal Pertanahan, 2(1), 103-121.

Ruhimat, I.S. (2013). Model Peningkatan Partisipasi Kementerian Kehutanan. (2010). Pembangunan

Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Konsep,

Kesatuan Pengelolaan hutan: Studi Kasus di Peraturan Perundangan dan Implementasi.

KPH Model Kabupaten Banjar, Kalimantan Ministry of Forestry - Deutsche Gesellschaft fur

Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Internationale Zusammenarbeit (GIZ) - Forest

10(3), 255-267.

and Climate Change Programme (FORCLIME). Sakti, T. (2012). Peran Mediasi dalam Penanganan Jakarta: Forest Planning Agency. Konflik Pertanahan. Jurnal Pertanahan, 2(1),

Klecka, W.R. (1980). Discriminant Analysis. A Sage

37-68.

University papers series on Quantitative Applications in the Social Sciences, 07-019. Soedarsono, T. (2010). Penegakan Hukum dan

Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal Logging. California: Sage Publications inc. Jurnal Hukum, 17(1), 61-84.

Kusumanto, T., E. L. Yuliani, P. Macoun, Y. Syafaruddin. (2009). Kekuatan Sistem Hukum dalam Indriatmoko dan H. Adnan. (2006). Belajar

Beradaptasi: Bersama-sama Mengelola Hutan Menanggulangi Kegiatan Illegal Logging. Jurnal Moral dan Adil, 1(1), 1-11.

di Indonesia. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).

Umiyati. (2012). Strategi Kebijakan Penyelesaian Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan

Larson, A. M. (2013). Hak tenurial dan akses ke hutan:

Sistem Hukum Agraria. Jurnal Manual pelatihan untuk penelitian. Bogor: Pertanahan, 2(1), 69-84. Center for International Forestry Research

dalam

(CIFOR). Utami, T.B. (2007). Kebijakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging.

Lathrop, D. DanL. Ruma (eds.). (2010). Open Government: Collaboration, Transparency, and

Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana Ilmu Participation in Practice. USA: Hukum. Universitas Diponegoro. O’Reilly Media,

Inc.

Dokumen yang terkait

KERAGAMAN GENETIK TETUA DAN ANAKAN DARI KEBUN BENIH SEMAI Acacia mangium GRUP D (AM004) DI SUMATERA SELATAN, INDONESIA (Genetic Diversity of the Parental and Offspring of Acacia mangium Seedling of Seed Orchard Group D (AM004) in South Sumatera, Indonesia

0 0 10

DINAMIKA AGROFORESTRY TEGALAN DI PERBUKITAN MENOREH, KULON PROGO, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (The Dynamics of Dry Land Agroforestry in Menoreh Hill, Kulonprogo, Yogyakarta)

0 0 10

I. PENDAHULUAN - KAJIAN ETNOBOTANI MASYARAKAT ADAT SUKU MORONENE DI TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI

0 0 12

KONDISI VEGETASI DI HUTAN LINDUNG SESAOT, KABUPATEN LOMBOK BARAT, NUSA TENGGARA BARAT, SEBAGAI INFORMASI DASAR PENGELOLAAN KAWASAN (Vegetation Conditions in Sesaot Protected Forest, West Lombok, West Nusa Tenggara, as Basic Information in Forest Managemen

0 0 10

PERENCAAAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP SUMBERDAYA AIR DI DAS WAY BESAI - LAMPUNG (Land Use Planning and the Impact to Water Resource at Way Besai Watershed - Lampung)

0 0 12

KERAGAMAN TANAMAN UMBI DAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) DI BAWAH TEGAKAN HUTAN RAKYAT SULAWESI SELATAN

0 0 12

POTENSI SIMPANAN KARBON PADA TIGA TIPE SAVANA DI NUSA TENGGARA TIMUR

1 1 12

KAJIAN RESPONS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAS WAY BETUNG - LAMPUNG

0 1 10

THE DIFFERENCE OF MACHINING PROPERTIES OF TIMO (Timonius sericeus (Desf) K. Schum.) And KABESAK WOOD (Acacia leucophloea (Roxb.) Willd.) FROM EAST NUSA TENGGARA

0 0 8

KESESUAIAN MEDIA TABUR, SAPIH DAN NAUNGAN PADA SEMAI LADA-LADA (Micromelum minutum Wight Arn) SEBAGAI PAKAN LARVA Papilio peranthus UNTUK PEMBINAAN HABITAT KUPU-KUPU

0 1 6