EKSPRESI KEBERAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM INDONESIA:MOZAIK MULTIKULTURALISME INDONESIA

EKSPRESI KEBERAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM INDONESIA:MOZAIK MULTIKULTURALISME INDONESIA

Fahrurrozi

IAIN Mataram roziqi_iain@yahoo.co.id.

Abstrak

Ekspresi religiusitas umat Islam Indonesia merupakan respons umat Islam terhadap perkembangan modernitas zaman, sehingga payung besar dari kebangkitan Islam tersebut terbagi dalam tiga kelompok, yakni revivalisme Islam, reformisme Islam dan fundamentalisme Islam. Islam revivalis melahirkan beberapa kelompok gerakan, di antaranya: Islam puritan, Islam tradisionalis, Islam ortodoks, Neo-revivalis, dan Islam konservatif. Sedangkan Islam reformis melahirkan beberapa gerakan, seperti: Islam modernis, Islam liberal, Islam substansial, dan Neo-modernis. Sementara Islam fundamentalis melahirkan Islam radikal, Islam militan bahkan terorisme. Secara metodologis pemahaman terhadap Islam, gerakan pemikiran Islam abad modern dan kontemporer, sebagaimana dikatakan oleh Louay Safi terdiri dari dua, yakni kelompok yang menggunakan dan menerapkan sistem Islam klasik dan kelompok yang memakai paradigma metodologi epistemologi modern Barat secara total atau dengan proses integrasi antara keilmuan modern Barat dengan khazanah keilmuan Islam. Berdasarkan hal tersebut, layak disebut bahwa kebhinekaan Umat Islam Indonesia sebagai khazanah bangsa yang harus dirajut sehingga tercipta keharmonisan antarumat beragama sebagai ciri karakter bangsa Indonesia yang sesungguhnya.

Kata kunci: Kebhinekaan, Multikulturalisme, Pamahaman, Pengamalan, Islam, Indonesia

Pendahuluan

masa kebangkitan Islam. Islam Gerakan keislaman atau kebangkitan dihadapkan dengan kondisi zaman yang Islam dimulai sejak Islam bersentuhan begitu progresif, berada di luar bayangan dengan Barat melalui kolonialisasi dan umat Islam sebelumnya, Barat datang imperialisasi wilayah kekuasaan Islam dengan seperangkat temuan-temuan (Amstrong, 2003: 169-192), dan ini cang gih dalam bentuk sains dan merupakan awal dari abad modern di teknologi, sistem sosial yang begitu apik, dunia Islam, atau dalam pandangan semuanya merupakan cermin atau ciri Harun Nasution (1995: 88) merupakan dari modernisme yang berkembang di

Barat. Napoleon Banoparte (1798-1801) dengan khazanah-khazanah keilmuan yang datang ke Mesir misalnya datang 1 Islam. Maka dalam bahasa Islam upaya

dengan segenap perangkat modernisme, tersebut dinamakan ijtihad yang kontinyu seperti disertakannya para ilmuwan, dan intensif dalam segala aspek, baik fiqh, perpustakaan, literatur Eropa modern, kalam, dan sebagainya. laboratorium ilmiah, serta alat-cetak

Azyumardi Azra (1996: iv-vi) juga dengan huruf Latin, Yunani, dan Arab melihat respons umat Islam terhadap (Harun Nasution, 1995: 95).

modernisme dan modernisasi Barat Dari kondisi ini maka dimulailah apa dilakukan dengan tiga bentuk; pertama, yang dinamakan dengan gerakan apologetik, kedua, identifikatif, dan ketiga, kebangkitan Islam, yang dalam afirmatif. Secara garis besar, sebagai pandangan Fazlur Rahman (2001: 316) sebuah dampak dari kehadiran bangsa melihat bahwa respons Islam terhadap Barat di dunia Islam telah melahirkan tiga Barat justru melahirkan Muslim modernis kelompok Islam yang berskala luas di dalam pandangan yang modernis pula. seluruh belahan dunia Islam, yakni, Islam Terkait dengan ini maka tokoh-tokoh revivalisme, Islam reformis, dan Islam yang lahir adalah mereka yang telah fundamentalisme (Lawrence, 2004: 59). berinteraksi dengan budaya luar, terutama

budaya pemikiran dan pendidikan Barat, Kehadiran Agama dan Ekspresi sehingga pandangan keislaman yang Keberagamaan

mereka ajukan lebih kontekstual dan Agama hadir dalam diri manusia demokratis.Dalam pandangan mereka sepanjang sejarah eksistensinya di muka transformasi budaya modern Barat yang bumi, agama juga hadir berdasarkan progresif ke wilayah Islam sudah tidak kebutuhan yang amat manusiawi, paling terbendung, dan agar Islam relevan tidak dari segi emosional manusia itu dengan kondisi zaman yang dihadapi sendiri (Azyumardi Azra, 1985: 10). Atas maka harus ada reinterpretasi ulang yang sifatnya yang sejalan dengan sifat-sifat lebih edukatif, kontekstual, progresif dan manusia inilah kemudian agama diyakini akomodatif, atau rethinking Islam dan dijadikan sebagai landasan hidup (Arkoun, 2001: 6). Rethinking Islam yang worldview , karena agama dalam posisinya ditawarkan Mohammed Arkoun yang sakral dianggap sebagai blue print bertujuan untuk menggunakan nalar kritis Tuhan yang difor mulasikan untuk bebas rasional untuk mengelaborasi selanjutnya dijadikan rujukan untuk sebuah visi baru dan koheren yang mengintegrasikan kondisi baru yang

1 Gerakan pembaharuan ini dimulai sejak Islam

dihadapi umat dengan unsur-unsur tradisi bersentuhan dengan dunia Barat melalui kolonialisasi muslim yang masih ada, atau integrasi dan imperialisasi wilayah kekuasaan Islam, dan ini

merupakan awal dari abad modern di dunia Islam

antara kemajuan budaya modern Barat (Armstrong, 2003: 169-192).

menyelesaikan segala permasalahan mempelajari kebudayaan atau peradaban hidup (M. Quraish Shihab, 1998: 209). tidak akan mencapai hasil maksimal jika Dalam konteks yang demikian, agama penelitian tentang agama diabaikan. sejatinya diturunkan dan dianut oleh Dalam teori budaya yang dikembangkan masyarakat dikarenakan memiliki sebab Clifford Geertz terlihat bahwa agama dan tujuan-tujuan tertentu, dan yang menjadi fondasi bagi terbentuknya suatu paling fundamen dari sebab dan tujuan kultur dan tradisi dalam masyarakat, yakni tersebut adalah harapan tempat manifestasi agama dalam budaya. Jika menyandarkan kedamaian, kebaikan, dan dilihat dari fakta historis berupa data-data keselamatan di dunia dan akhirat. Agama arkeologis, karya-kar ya seni dan juga telah dijadikan sebagai ideologi bangunan-bangunan sejarah, maka teori dalam menciptakan dan menggerakkan tersebut terbukti dengan sendirinya spirit motivasional bagi manusia sebagai sebagai sebuah kebenaran sosial-kultural bentuk mengaktualisasi diri dalam dan historis, seperti bangunan-bangunan kehidupan, 2 dan sebagai gerakan candi yang masih berdiri kokoh di Jawa, revolusioner untuk pembebasan diri dari seperti candi Borobudur, candi tirani, hegemoni, dan ketidakadilan sosial Prambanan, candi Loro Jonggrang, dan politik, budaya serta ekonomi (Fachry Ali, sebagainya. Dalam konteks Indonesia, 1985: 20). Atas dasar sifat dan fungsi semua itu merefleksikan kuatnya agama agama yang demikianlah masyarakat dalam kehidupan masyarakat Jawa, dan memeluk agama, di samping karena candi merupakan simbol dari peradaban beragama atau bertuhan sudah menjadi yang dibangun di atas fondasi agama, fitrah manusia.

yakni Hindu dan Budha. Jika kita Dengan karakteristik dan peran melangkah ke wilayah dunia lain juga akan agama yang demikian, tidak heran jika ditemukan bukti-bukti historis yang sama, terdapat pandangan yang mengatakan seperti Masjid Tajmahal di India, Piramida bahwa jika kita mau mengetahui di Mesir, dan sebagaianya. Semua itu peradaban dunia atau suatu kelompok merefleksikan sebuah peradaban masyarakat dan negara, maka yang harus keyakinan manusia atas agamanya. dibuka adalah pintu jendela agama.

Agama sebagai sistem nilai yang Dalam pandangan yang demikian maka universal, memiliki daya tarik secara an kesimpulannya adalah, bahwa peradaban sich dan begitu menarik untuk ditawarkan terbentuk berdasarkan keyakinan dan kepada manusia, sebagaimana yang nilai religiusitas masyarakat, sehingga dikatakan Joachim Wach (1948: 37)

bahwa agama memiliki tiga bentuk dalam

2 Sebagai sebuah spirit disini bisa diwujudkan dalam pengungkapan nilai universalnya, yakni, bentuk falsafah hidup, ideologi dan lain sebagainya. belief system (pengungkapan teoretik yang

Seperti Pancasila bagi Bangsa Indonesia.

terwujud sebagai sistem kepercayaan), system terwujud sebagai sistem kepercayaan), system

apapun yang dianggap sakral”. hubungan masyarakat). Sedangkan dalam tataran nilai religiusitas, agama memiliki

Sementara Joachim Wach (1892- lima dimensi, yaitu; dimensi belief 1967) menerapkan beberapa persyaratan (ideologi), dimensi practice (praktik mutlak untuk sampai kepada pemahaman agama), dimensi feeling (pengalaman), yang benar dan utuh terhadap agama yang dimensi knowledge (pengetahuan), dan diteliti, di antaranya adalah syarat dimensi effect (konsekuensi) (Robertson, intelektual , kondisi emosional yang cukup, 1992: 295-297).

kemauan yang keras dan pengalaman yang Di samping itu, agama merupakan memadai (Wach, 1996: 15-18; Mukti Ali, wilayah atau bagian dari fenomena hidup 1998: 61-63). Masih banyak lagi tokoh yang susah untuk dipahami, sebab agama yang memberikan gambaran tentang apa yang sama akan ber ubah bentuk itu agama dan bagaimana memahami pemahaman pada wilayah yang berbeda, agama. Dari pendefinisian agama tersebut tergantung dari setting sosial-kultural tampak bahwa agama seakan-akan masyarakat. Sebab itu kita menemukan menjadi sebuah daya sakral bagi manusia beberapa pendefinisian agama oleh para yang dimanifestasikan ke dalam pola pakar, sosiolog, dan antropolog, seperti hidup sehari-hari. Clifford Geertz (dalam Banton, 1965: 42),

Deskripsi di atas memberikan sebuah dengan merumuskan agama sebagai:

acuan dan pemahaman kepada manusia (1) Sebuah sistem simbol yang berfungsi bahwa semua itu merefleksikan bentuk untuk (2) membangun perasaan dan dari manifestasi agama dalam kehidupan motivasi yang penuh kekuatan, pervasif dan sosial-kultural masyarakat. Yang menjadi tanpa akhir dalam diri manusia dengan (3) pertanyaan kemudian adalah bagaimana merumuskan konsep mengenai tatanan masyarakat mempersepsikan agama ke umum eksistensi dan (4) membungkus dalam dirinya, terinternalisasi menjadi konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu sebuah keyakinan mutlak, dan mampu aura faktualitas sehingga (5) perasaan dan diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari- motivasi di atas menjadi realistis.

hari sebagai sebuah worldview dalam memahami, mempersepsi, dan menjalankan

William James (1929: 31) mendefinisikan kompleksitas hidup di dunia yang profan agama sebagai:

dan ambigu ini? Sebagaimana yang diulas “... perasaan, tindakan, dan pengalaman di atas, telah terdapat perhatian para

manusia secara individual saat berada sosiolog dan antropolog terhadap upaya dalam perenungan atau kontemplasi saat penelitian untuk memahami agama. sendiri sejauh tindakan menyendiri tersebut Paling tidak kesimpulan sementara yang membawanya ke dalam kondisi yang bisa kita ambil adalah, bahwa manusia secara individual saat berada sosiolog dan antropolog terhadap upaya dalam perenungan atau kontemplasi saat penelitian untuk memahami agama. sendiri sejauh tindakan menyendiri tersebut Paling tidak kesimpulan sementara yang membawanya ke dalam kondisi yang bisa kita ambil adalah, bahwa

hermetisasi 3 atau interprestsi terhadap pengamalan dari umatnya, sebagaimana agama. Proses hermetisasi inilah yang yang akan kita lihat nanti.

5 akan melahirkan bentuk dan warna agama 6 Dalam sejarah peradaban Islam dalam diri manusia. Namun, upaya ditemukan beberapa contoh perbedaan

her metisasi ini tidak lepas dari pemahaman dan ekspresi keberislaman, keterpengaruhan seseorang atas kultur, ter utama setelah nabi Muhammad pendidikan, ekonomi, politik, dan meninggal dunia, tepatnya pada masa kepentingan-kepentingan hidup yang khalifah Usman dan Ali. Pada masa awal akan dicapai. Sehingga perbedaan kondisi Islam ditemukan kelompok-kelompok kultur, pendidikan, dan tingkat Islam dalam bentuk aliran-aliran, intelektualitas seseorang akan melahirkan terutama antara kubu Umayyah dan perbedaan bentuk pemahaman dan Abbasiyah. Pada masa pertengahan atau ekspresi religiusitasnya. 4

Islam klasik ditemukan beragam Masalah tersebut paling tidak kelompok atau mazhab, seperti kelompok diungkapkan oleh Mukti Ali (1987: 5-6), Islam aliran kalam (Khawarij, Maturidyah, bahwa: (a) persoalan dan pengalaman Mu’tazilah, Asyariyah, Qadiriyah, keagamaan bersifat subjektif dan Jabariyah, Syiah, dan Sunni). Mazhab Fiqh individualistik. Tiap orang mengartikan (Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafi’i). agama sesuai dengan pengalaman Dalam bidang filsafat, Islam pernah keagamaannya sendiri, (b) karena dimensi memiliki tokoh-tokoh yang begitu brilian kesakralannya, tak ada orang yang begitu dalam melahirkan ide-ide filosofisnya, di bersemangat dan emosional selain antaranya, pertama, aliran Peripatetik. 7 membicarakan agama, dan (c) konsepsi 8 Kedua , aliran iluminasionis (Isyraqiyyah). tentang agama akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang (backround), disiplin

5 ilmu, dan tujuan orang yang memberikan Mengenai kemajuan peradaban yang telah dicapai

umat Islam, baca Marsal G. S. Hodgson (2002); Baca

pengertian tentang agama. Islam sebagai juga Ira M. Lapidus (1999).

6 Dalam pandangan Harun Nasution (1975: 25), peradaban Islam terbagi dalam tiga periode, yakni,

3 Hermenetik ditemukan dari Yunani, yakni pada Pertama , periode klasik (650-1250), kedua, periode Hermes atau Nabi Idris dalam Islam, yang mencoba pertengahan (1250-1800), dan ketiga periode modern

menyebarkan ajaran Tuhan dengan upaya (1800-sekarang). penerjemahan ajaran agama atau bahasa Tuhan ke

7 Yakni aliran yang identik dengan filosof-filosof seperti dalam bahasa masyarakat agar mudah dipahami dan al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Aliran ini direpresentasikan

diyakini. pada Aristoteles yang dalam mengajar filsafat selalu dengan 4 Dalam Islam perbedaan tersebut hanya berlaku berjalan-jalan (Muzairi, dkk., 1992: 76).

pada masalah-masalah yang bersifat furu’iyah semata 8 Aliran yang mengedepankan sumber perolehan bukan masalah qath’i (shalat, puasa, zakat, haji, tauhid, ilmu pada konsep penggabungan akal dan intuisi.

kenabian, dan sebagainya). Tokoh utama aliran ini adalah Syihab al-Din Yahya al-

Ketiga , aliran teosofi transenden atau al- dilakukan. Namun, yang jelas tiap Hikmah al-Muta’aliyyah (979-1050/1571- pemahaman dan penafsiran harus tetap

160). 9 Dalam bidang tasawuf juga berada dalam wilayah-wilayah yang ditemukan tokoh-tokoh yang melahirkan dibenarkan oleh Islam.

bentuk dan ekspresi Islam dalam beragam Demikianlah gambaran historis konsep dan ajaran, terutama dalam tentang persepsi dan sikap keberislaman masalah persepsi dan pengalaman pada masa awal dan klasik Islam. Jika pada eksistensialnya setelah melakukan masa awal dan pertengahan saja sudah pengembaraan transkosmik dan menyatu sedemikian kompleks dan plural bentuk dengan Zat Allah.

Islam yang diekspresikan oleh Semua bentuk aliran dalam Islam umatnya.Pertanyaannya adalah tersebut selanjutnya melahirkan bentuk bagaimana dengan konteks sekarang yang persepsi dan sikap keagamaan yang telah begitu jauh tertinggal dengan berbeda-beda.Seorang filosof akan periode sejarah keislaman awal dan melihat dan mengamalkan Islam dalam pertengahan, yang mana pertemuan konteks rasionalitas yang mendalam. budaya yang satu dengan yang lain begitu Seorang sufi akan memahami dan kuat. Pemikiran progresif abad modern mempraktikkan Islam secara esoteris atau yang lahir di barat masuk ke dalam ide substantif. Seorang yang ahli fiqh akan intelektual dan sikap masyarakat Islam, mengamalkan Islam secaraformalistik terutama dalam konteks Indonesia yang dan ritualistik. Seorang teolog akan secara historis, geografis, dan kultural jauh mengamalkan Islam secara teologis. berbeda dengan sumber Islam, yakni Fleksibilitas Islam tersebutlah yang Arab? Bahkan masyarakat Indonesia lebih memungkinkan lahirnya wajah baru banyak bersentuhan dengan ide-ide keberislaman sesuai dengan metode yang progresif modern Barat ketimbang Arab,

baik dalam bentuk ide-ide ideologi sosial politik modern Barat. Akhirnya, sebagai

Syuhrawardi (549-587/1154-1191). Aliran ini lahir

dalam rangka merespons aliran Aristotelianisme di sebuah konsekuensi logis-kultural- kalangan Islam di atas. dari segi ontologis, aliran ini teologis, maka sudah pasti pemahaman menganggap bahwa esensi lebih penting daripada dan ekspresi keberislaman akan menjadi

eksistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran,

gagasan umum, dan konsep sekunder yang tidak plural, 10 terutama jika kita mengacu pada

terdapat dalam realitas. Sedangkan yang benar-benar ada atau realitas yang sesungguhnya adalah esensi- esensi yang tidak lain adalah bentuk cahaya (al-

10 Tentunya masalah ini tidak akan dikaji secara Syuhrawardi, 2003).

historis, dalam arti mengkaji sejarah awal masuk dan 9 Aliran ini merupakan sintesis dari disiplin ilmu berkembangnya Islam di Nusantara. Namun, lebih

yang pernah ada di dunia Islam, tercatat ada empat kepada masa di mana Islam mengalami pluralitas aliran yang mempengaruhi pemikiran Shadra, yakni pemahaman dan ekspresi pada masyarakat Indonesia, kalam , pemikiran peripatetik, pemikiran iluminasionis, dan terutama pada masa orde lama, orde baru, dan pemikiran tasawuf (Muhsin Labib, 2005: 35).

reformasi atau pada masa modern di Indonesia.

teori determinisme lingkungan, 11 yakni,

perubahan sosial, teori pembangunan, teori budaya, dan lain sebagainya.

Keragaman pemahaman dan ekspresi Islam yang ditampilkan oleh umat Islam Indonesia inilah yang akan dikaji dalam tulisan ini, sebuah perkembangan tipologis peta pemikiran keislaman di Indonesia. Semua kelompok dan aliran pemikiran Islam tersebut hadir sebagai respons terhadap proses globalisasi dan modernisasi di Indonesia. Gerakan pemikiran tersebut terlihat baik dalam pemikiran individu, kelompok maupun organisasi keislaman. Dalam sejarah perkembangan teologi di Indonesia terjadi dan dipengaruhi oleh konteks situasi dan kondisi historis tertentu yang dihadapi kaum muslim Indonesia, yang mana untuk kemudian merangsang nalar intelektualitas para cendikiawan muslim untuk memberikan respons- respons tertentu, yang mana respons tersebut mengarah pada gerakan pembaruan.

Corak Kebhinekaan Umat Islam Indonesia: Upaya Menemukenali Karakter Bangsa

Ada beberapa corak kebhinekaan keberagamaan masyarakat Islam Indonesia yang dapat penulis elaborasikan dalam artikel ini.

Pertama: Islam Aktual

Islam Aktual merupakan sebuah gerakan yang mencoba membangun suatu tindakan aktif religius dalam menyikapi permasalahan hidup. Islam aktual mencoba merintis kartu reiligius pada umat untuk mengaktualisasikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai normatif doktrinal Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, bahkan dalam khazanah intelektual Islam yang ada. Islam aktual berusaha untuk melakukan empirisasi atas ajaran Islam dalam kehidupan yang riil dan dalam beragam bentuk kehidupan yang kompleks. Hal ini sesuai dengan makna actual tersebut, yakni keadaan yang sebenarnya atau sesung guhnya (Echols dan Hassan Shadily, 1979: 10).

Dari sini kita dapat mengambil sebuah identitas dari Islam aktual, yakni sebuah gerakan yang mengedepankan pengamalan atau action agama dalam kehidupan empirik, sehingga kebenaran Islam tidak hanya bersifat skripturalis belaka, tapi mampu terinternalisasi dalam pribadi yang menjadi spirit to action dalam kehidupan nyata. Gerakan pembangunan manusia dan masyarakat yang religius, mandiri, dan maju. Hal ini sesuai dengan makna pembangunan manusia jika dikaji secara sosiologis, yakni suatu proses perubahan sosial masyarakat dari suatu keadaan tertentu ke suatu keadaan yang lebih baik dari segala segi (Rosiyadi Sayuti, 1995: 35).

Gagasan-gagasan Islam aktual yang diarahkan pada pembangunan sosial umat

11 Teori yang mengacu pada konsekuensi atau kepastian yang mengarah pada dealektika sinergis

antara diri dengan lingkungan.

Islam dapat ditemukan dalam pemikiran Kedua: Islam Fundamentalis

Jalaluddin Rahmat dengan bukunya Jika dilihat secara geneologis historis, “Islam Aktual”, di mana ia membahas fundamentalsime untuk pertama kali lahir bagaimana gambaran kondisi Indonesia di Amerika sekitar abad ke-19 dan dan umat Islam yang berada dalam proses permulaan abad ke-20 pada berbagai pembangunan dan modernisasi. Tema- gerakan keagamaan sekte kristen tema permasalahan yang diangkat dalam Protestan (Amstrong, 2001: x; Barr, 1996: tulisan Jalaluddin Rahmat cukup aktual, 2). Fundamentalisme Kristen AS hadir seperti apa itu pembangunan, apa itu sebagai reaksi terhadap gerakan organsiasi-organisasi sosial non-agama modernisme Amerika yang sekuler. dan organiasasi keagamaan, apa itu Namun, para tokoh Kristen berjuang masjid, dan lain sebagainya.

untuk menyelaraskan ajaran agama Agama dalam pandangan Kang Jalal dengan kemajuan ilmu pengetahuan, akan ber peran terg antung pada evolusionisme, dan liberalisme. Kaum pemeluknya, bergantung pada peranan fundamentalis tetap berpegang teguh yang kita berikan, dan bergantung pada pada lima ajaran mutlak Kristen, yakni: bagaimana kita memandang agama

1) Injil tidak dapat salah, 2) Ketuhanan (Jalaluddin Rahmat, 1998: 36). Cara Yesus Kristus, 3) Yesus lahir dari Perawan pandang ini sama deng an yang Maria, 4) Penebusan dosa, dan 5) diungkapkan Ali Syari’ati (1995: xiii) Kebangkitan kembali Yesus ke dunia bahwa suatu agama akan menjadi secara fisik (Azyumardi Azra, 1999a: 133- penting dan bermanfaat-- bukan karena 142). agama itu sendiri, melainkan tergantung

Kajian selama ini menunjukkan pada kualitas pikiran dan intelektualitas bahwa pelabelan fundamentalisme pada para pemeluknya.Jika pemeluknya kelompok Islam berdasarkan kesamaan ber pikiran dangkal dan tekstual- ciri, baik dalam prinsip dan praktiknya, skripturalis, maka agama tersebut akan seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim menjadi sempit dan tidak bernilai Abu Bakar, seperti dikutip Hadimulyono universal, melainkan akan menjadi (1993: 5), melihat terdapat beberapa

ag ama yang kering nilai, dan kesamaan antara fundamentalsime pemeluknya akan menjadi dogmatis, Kristen dengan fundamentalisme Islam, di konservatif, ekslusif, fundamentalis- antaranya: 1) penafisran yang literalis radikal, dan militan.Namun, jika terhadap kitab suci, 2) fundamentalisme pemeluknya kritis, berwawasan luas, mirip dengan sikap fanatisme, ekslusivisme, edukatif serta progresif, maka agama radikalisme, intolaran, dan militan, 3) akan menjadi lebih bernilai universal, fundamentalisme menekankan pada modern, dan responsif (Ali Shariati, penolakan terhadap modernism, 1996: 102-103).

liberalisme, dan humanisme, dan 4) kaum liberalisme, dan humanisme, dan 4) kaum

dengan perkembangan zaman, sehingga Di kalangan umat Islam sendiri kaum fundamentalis sebagai kaum legalis cenderung tidak mau menggunakan yang konser vatif. Bassam Tibi istilah fundamentalisme, seperti Yusuf mengartikan fundamentalis sebagai Qardhawi memakai istilah Sahwah kelompok yang menolak segala sesuatu Islamiyah, Mohammed Arkoun (1999: 209) yang baru dalam kehidupan sosial selain dengan istilah Islamawiyah, Hasan Hanafi dari apa yang sudah tersedia dalam (2003: 107) dengan istilah al-Usuliyyah doktrin agama. Islamiyyah. Sedangkan yang melatarbelakangi

Dari paradigma pemahaman yang lahirnya fundamentalisme Islam hampir rigid dan literalis tersebut, kaum sama dengan fundamentalisme Kristen, fundamentalisme Islam menganggap yakni penolakan atas gerakan modernisme- Islam sebagai agama yang total, sehingga sekulerisme di negara Islam, karena tidak perlu lagi memasukkan unsur-unsur dipandang bertentangan dengan doktrin luar Islam atau Barat untuk menyelesaikan Islam. Jadi, fundamentalisme Islam lahir permasalahan umat Islam. Yang perlu untuk membendung permasalahan internal dilakukan adalah menerapkan hukum- yang diakibatkan oleh kelompok Islam hukum Islam menjadi sebuah sistem nilai sendiri yang berusaha mengembangkan yang universal dalam hidup, baik dalam budaya modernisme sekulerisme Barat masyarakat maupun negara. (Amstrong, 2003: 194-206).

Sebagian lagi melihat fundamentalisme Ketiga: Islam Emansipatoris

dari aspek rigid dan literalis dalam Islam emansipatoris atau Islam untuk memahami agama. Seperti, Allan Taylor pembebasan bisa dikatakan sebagai melihat fundamentalisme Islam sebagai sebuah gerakan yang muncul untuk kelompok yang melakukan pendekatan mengatasi kesenjangan antaragama yang konservatif dalam melakukan reformasi hanya dilihat sebagai jalinan teks belaka, keagamaan, bercorak literalis, dan lebih namun tidak mampu menjangkau realitas menekankan gerakan puritanisasi ajaran sosial yang ada. Islam emansipatoris agama. Sementara itu, Banner man terkait dengan nalar kritis Islam yang melihat kaum fundamentalis sebagai pernah ada, terutama yang beraliran kiri, kelompok ortodoks yang bercorak rigid itulah sebabnya dikatakan sebagai dan ta’ashub yang bertujuan untuk jaringan Islam emansipatoris atau jaringan menegakkan konsep-konsep keagamaan tafsir emansipatoris atau Islam kritis. Titik dari abad klasik. Daniel Pipes melihat tolak dari Islam emansipatoris adalah fundamentalis sebagai kelompok yang problem kemanusiaan, dan teks dilihat dari aspek rigid dan literalis dalam Islam emansipatoris atau Islam untuk memahami agama. Seperti, Allan Taylor pembebasan bisa dikatakan sebagai melihat fundamentalisme Islam sebagai sebuah gerakan yang muncul untuk kelompok yang melakukan pendekatan mengatasi kesenjangan antaragama yang konservatif dalam melakukan reformasi hanya dilihat sebagai jalinan teks belaka, keagamaan, bercorak literalis, dan lebih namun tidak mampu menjangkau realitas menekankan gerakan puritanisasi ajaran sosial yang ada. Islam emansipatoris agama. Sementara itu, Banner man terkait dengan nalar kritis Islam yang melihat kaum fundamentalis sebagai pernah ada, terutama yang beraliran kiri, kelompok ortodoks yang bercorak rigid itulah sebabnya dikatakan sebagai dan ta’ashub yang bertujuan untuk jaringan Islam emansipatoris atau jaringan menegakkan konsep-konsep keagamaan tafsir emansipatoris atau Islam kritis. Titik dari abad klasik. Daniel Pipes melihat tolak dari Islam emansipatoris adalah fundamentalis sebagai kelompok yang problem kemanusiaan, dan teks dilihat

teks dan tidak pula berakhir pada teks, Di sini Islam emansipatoris melainkan dari pilihan kebenaran dan membongkar teks untuk aksi, sehingga idenya sendiri yang diideologikan. Teks dalam tataran praktis hal-hal yang menjadi hanya dijadikan sebagai legitimasi dan target pembebasannya adalah: 1) bagaimana justifikasi atas apa yang diinginkan. Ketiga, mendefinisikan secara adil apa yang Islam modernis yang hanya melakukan dipahami sebagai problem kemanusiaan, 2) pendalilan terhadap realitas kemodernan bagaimana memperlakukan teks dalam atas nama agama (Masdar F. Mas’ud, tahap refleksi kritis. Di sini teks diperlakukan 2004: xi-xv). untuk mengasah nurani dalam melihat

Terkait dengan studi agama ini, Islam problem kemanusiaan karena teks bukan emansipatoris melakukan tiga bentuk; satu-satunya rujukan dalam melakukan pertama, agama dilihat sebagai realitas refleksi kritis, 3) bagaimana teks sosial. Di sini agama terkadang dilihat diperlakukan sebagai sumber kritik. Di sebagai produk sejarah, sebagaimana sini membutuhkan metode pemahaman agama juga membentuk sejarah. Hal ini yang mungkin akan berbeda dengan dilihat dengan alasan bahwa pesan-pesan metode konvensional, dan 4) karena teks agama merupakan pesan sosial dan bukan satu-satunya alat, maka cara apa sejarah, sehingga terjadilah akulturasi lagi yang akan dipakai untuk melakukan antara agama dan realitas. Kedua, kritik pembebasan dan pencerahan. Salah satu wacana agama. Ketiga, melakukan caranya adalah dengan memperlakukan reinterpretasi atas doktrin-doktrin teks secara lebih ringan dan keagamaan (Very Verdiansyah, 2004: 80- mendekonstr uksinya, yaitu dengan 81). mengabaikan teks dan tidak terlalu

Inilah langkah pertama yang mengagungkannya dalam pembahasan dilakukan Islam emansipatoris sebagai (Masdar F. Mas’udi, 2004: i-xvi).

jalan menuju agenda selanjutnya. Islam emansipatoris lahir untuk Kemudian setelah itu Islam emansipatoris memberikan warna yang praktis dari merumuskan tiga hal dalam merumuskan Islam untuk penyelesaian problem sosial Islam yang ingin diletakkan dalam tataran dan keagamaan manusia. Paling tidak ada praktis diskursif. Pertama, memberikan tiga kelompok keislaman yang dinilai oleh pandangan baru tentang teks, yakni Islam emansipatoris sebagai yang gagal melihat teks dari per masalahan memainkan peran sebagai agenda kontekstual dan problem kemanusiaan, pembebasan, yakni; pertama, Islam karena teks lahir dari situasi sosio-kultural jalan menuju agenda selanjutnya. Islam emansipatoris lahir untuk Kemudian setelah itu Islam emansipatoris memberikan warna yang praktis dari merumuskan tiga hal dalam merumuskan Islam untuk penyelesaian problem sosial Islam yang ingin diletakkan dalam tataran dan keagamaan manusia. Paling tidak ada praktis diskursif. Pertama, memberikan tiga kelompok keislaman yang dinilai oleh pandangan baru tentang teks, yakni Islam emansipatoris sebagai yang gagal melihat teks dari per masalahan memainkan peran sebagai agenda kontekstual dan problem kemanusiaan, pembebasan, yakni; pertama, Islam karena teks lahir dari situasi sosio-kultural

pemahaman agama berangkat dari teks Kelima:Islam Liberal

yang kemudian diturunkan menjadi hukum 12 Istilah Islam liberal sejatinya dalam rangka memberi status hukum didasarkan atau mengacu pada kesadaran

kepada realitas. Akibatnya teks menjadi akan pentingnya sebuah gerakan kehilangan semangat transformatifnya. memikirkan dan menafsirkan Islam Ketiga , Islam emansipatoris fokus pada secara kontekstual, kritis, dinamis, permasalahan manusia bukan pada progresif, dan modern. Maka dalam hal perdebatan teologis, dalam artian bahwa ini dapat dikatakan bahwa Islam liberal persoalan agama dialihkan ke permasalahan mer upakan kelompok Islam yang praktis bukan permasalahan ritualistik, mencoba melakukan ijtihad secara bebas atau dari permasalahan teosentris menuju dalam arti tidak lagi mau dipenjara dalam antroposentris. Dengan demikian, agama sistem pemahaman keislaman yang selain berperan sebagai ritual peribadatan, sifatnya diwarisi dari Islam klasik saja, atau tapi agama juga berperan sebagai sarana kelompok Islam yang mencoba lepas dari pembebasan (Very Verdiansyah, 2004: 77). penjara tradisi dalam memahami agama

dan melihat realitas kehidupan. Atau

Keempat:Islam Kultural

kelompok Islam yang mengusung Islam kultural merupakan gerakan kebebasan dalam melakukan ijtihad dalam pemikiran keislaman yang berkembang di artian tidak dimonopoli oleh kaum tua Indonesia dengan pendekatan ilmu sosial, atau ulama semata. seperti antropologi, ilmu budaya,

Inti dari Islam liberal adalah meramu sosiologi, dan sejarah. Sebagaimana Islam berdasarkan realitas dan kondisi pengertian kebudayaan tersebut sebagai globalitas zaman yang empirik, dengan sebuah hasil karya budi daya manusia. Ini cara melakukan reinterpretasi Islam agar merupakan pengertian yang sangat sesuai dengan kondisi zaman yang ada, umum, namun jika kita melihat dari mereka berangkat dari realitas baru bentuk kebudayaan yang dihasilkan yakni kepada teks, namun teks agama tidak dalam dua bentuk, intelektual (pemikiran dijadikan sebagai legitimasi atas realitas kefilsafatan, seni sastra), dan benda (benda-benda bersejarah). Istilah kultural

12 berasal dari kata culture yang berarti Istilah yang dipakai oleh Charles Kurzman dalam

bukunya Liberal Islam; a Source Book. Dalam buku ini

kesopanan, kebudayaan, dan pemeliharaan termuat beberapa tokoh Islam kontemporer yang (Echols dan Hassan Shadily, 1979: 159). dilihat sebagai pemikir liberal, progresif, independen,

Islam kultural dapat dimaknai sebagai kritis, dan modern. Sebelumnya terdapat buku yang

ditulis oleh Leonard Binder, Islamic Liberalizm. Dan

sebuah pemikiran yang dibangun buku Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age.

yang ada, melainkan yang ingin dilakukan dengan cara tersebut adalah sebuah pemahaman yang lebih aktual dan progresif sehingga agama menjadi tidak kering dan mandul, atau agama tidak menjadi penghalang bagi pluralisme, agama tidak lagi menjadi alasan untuk memarjinalkan perempuan, agama tidak lagi menjadi penghalang bagi demokrasi, agama tidak lagi menjadi penjara bagi kebebasan dalam mengekspresikan keyakinan dan peribadatan masyarakat.

Di era millennium ini muncul tokoh- tokoh muda Islam yang terhimpun dari berbagai golongan dan profesi, yakni dari kalangan NU, Paramadina, Aktivis Jurnalis, IAIN Jakarta, di samping juga golongan tua di era tahun 1980-an yang berpendidikan luar negeri terutama di Amerika. Mereka terhimpun dalam satu komunitas Islam yang disebut Islam Liberal Indonesia. Kelompok Islam liberal boleh dipandang sebagai sintesis dari demokrasi dan Islam. Mereka menafsirkan sejarah dan doktrin Islam menjadi paralel dengan prinsip-prinsip demokrasi yang berkembang di Indonesia, dan pluralisme kebudayaan modern.

Keenam: Islam Modernis

Mengenai definisi Islam modernis, para peneliti memberikan pandangan yang berbeda namun substansinya sama, yakni ingin melakukan perubahan dalam pola pikir dan cara pandang terhadap Islam dengan melakukan reinterpretasi secara kontekstual. Fazlur Rahman (1982:

215-216) melihat modernisme sebagai upaya untuk menyesuaikan atau mengharmoniskan antara agama dan pengaruh modernitas serta westernisasi yang sedang berlangsung di dunia Islam. Usaha tersebut dilakukan dengan cara menafsirkan dasar-dasar doktrin Islam agar relevan dengan semangat zaman. Sementara itu, Bassam Tibi (1998: 143) yang melihat gerakan modernis Islam sebagai upaya untuk melakukan akulturasi budaya, yakni dengan melakukan integrasi sains dan teknologi modern ke dalam Islam sambil melakukan preventifikasi atas konsekuensi negatif yang akan muncul dari penerapannya. Sedangkan Mukti Ali (1998) melihat modernisme Islam sebagai gerakan yang berupaya melakukan purifikasi agama dan kebebasan berpikir. Maka Islam modernis adalah gerakan ke arah puritanisasi untuk mengajak umat Islam kembali kepada al- Qur’an dan Sunnah serta mengajak untuk diberikannya ruang bagi akar untuk mengeksplorasi Islam sepanjang eksplorasi tersebut tidak bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah.

Dari definisi di atas, maka kita dapat memberikan identitas kepada kelompok Islam modernis sebagai: pertama, kelompok yang menganjurkan ijtihad terutama mengenai persoalan muamalah atau sosial kemasyarakatan. Dalam upaya ini mereka cenderung bersifat inklusif dalam melakukan penafsiran, baik bersumber dari peradaban lain dengan cara akulturasi, maupun dengan cara adaptif. Kedua, dengan penekanan pada Dari definisi di atas, maka kita dapat memberikan identitas kepada kelompok Islam modernis sebagai: pertama, kelompok yang menganjurkan ijtihad terutama mengenai persoalan muamalah atau sosial kemasyarakatan. Dalam upaya ini mereka cenderung bersifat inklusif dalam melakukan penafsiran, baik bersumber dari peradaban lain dengan cara akulturasi, maupun dengan cara adaptif. Kedua, dengan penekanan pada

Atas dasar kondisi dan legitimasi Mukti Ali (Islam dan modernisme), dan undang-undang tersebut, maka gerakan Deliar Noer (Gerakan Modern Islam).

har monisasi antarumat beragama digalakkan oleh pemikir Islam Indonesia,

Ketujuh: Islam Pluralis

seperti Nurcholis Madjid dengan Pluralisme adalah paham kemajemukan karyanya seperti Pintu-pintu Menuju atau paham kebhinekaan yang Tuhan, Alwi Shihab dengan idenya berorientasi pada kemajemukan yang tentang Islam Inklusif, dan masih banyak memiliki berbagai penerapan yang yang lainnya. berbeda dalam filsafat, agama, moral,

Alwi Shihab (1999: 41-42) merumuskan hukum, dan politik yang mana batas pengertian konsep pluralisme kedalam kolektifnya ialah pengakuan atas empat bentuk; pertama, pluralisme tidak kemajemukan di depan ketunggalan serta merta menunjuk pada adanya (Golpeigani, 2005: 13). Artinya, dalam kemajemukan, melainkan yang dimaksud eksistensi segala sesuatu, baik dalam ilmu adalah keterlibatan aktif terhadap pengetahuan, kepercayaan, ekonomi, kenyataan kemajemukan tersebut. Dari politik, budaya, dan agama adalah hal sini pluralisme dimaknai sebagai setiap yang bersifat mutlak sebagai hukum pemeluk agama dituntut untuk bukan saja kehidupan. Jika itu mutlak, maka tidak ada mengakui keberadaan dan hak agama lain, yang berhak untuk diunggulkan atau tetapi terlibat dalam usaha memahami didiskriminasikan satu dari yang lain, perbedaan dan persamaan agar tercapai melainkan harus sejajar.

kerukunan dalam keragaman. Kedua, Di Indonesia isu pluralisme agama pluralisme harus dibedakan dengan mulai marak digulirkan oleh umat Islam. kosmopolitanisme. Sebab kosmopolitanisme gerakan ini marak digulirkan mengingat belum tentu mengarah pada interaksi yang sering terjadinya kekerasan dan perang baik antara perbedaan yang ada, walaupun antarumat beragama, seperti kekerasan semua masyarakat yang tinggal dalam satu antarIslam dan Kristen di Ambon, wilayah atau kota saling bertemu setiap pengikut Ahmadiyah dan sebagainya. Ide saat. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat pluralisme digulirkan dalam rangka disamakan dengan relativisme. menciptakan kehidupan beragama yang Relativisme berpandangan bahwa hal-hal kerukunan dalam keragaman. Kedua, Di Indonesia isu pluralisme agama pluralisme harus dibedakan dengan mulai marak digulirkan oleh umat Islam. kosmopolitanisme. Sebab kosmopolitanisme gerakan ini marak digulirkan mengingat belum tentu mengarah pada interaksi yang sering terjadinya kekerasan dan perang baik antara perbedaan yang ada, walaupun antarumat beragama, seperti kekerasan semua masyarakat yang tinggal dalam satu antarIslam dan Kristen di Ambon, wilayah atau kota saling bertemu setiap pengikut Ahmadiyah dan sebagainya. Ide saat. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat pluralisme digulirkan dalam rangka disamakan dengan relativisme. menciptakan kehidupan beragama yang Relativisme berpandangan bahwa hal-hal

masyarakat, terutama di kalangan anak Jika ditilik dari tujuannya menciptakan muda, Alwi Shihab(1999: 5). harmoni antarumat beragama, maka

Berpijak pada tataran sosiologis di Islam pluralisme boleh dikatakan sebuah atas, radikalisme dapat dicirikan dan gerakan yang harus didukung, sebab ditandai oleh tiga kecenderungan umum. agama mer upakan hal yang rawan

Pertama , radikalisme merupakan konflik.Oleh sebab itu, perlu adanya respon terhadap kondisi yang sedang

sebuah pemahaman yang lebih substantif berlangsung. Biasanya respon tersebut terhadap agama itu sendiri. Islam pluralis muncul dalam bentuk evaluasi penolakan sejatinya harus ditempatkan pada posisi atau bahkan perlawanan. Masalah- tersebut, sehingga dengan kelahirannya masalah yang ditolak dapat berupa tidak mendatangkan konflik baru dalam asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang agama. Hal ini perlu disadari oleh para dapat dipandang bertanggung jawab perintis gerakan Islam pluralis, sebab apa terhadap kondisi yang ditolak. bedanya jika orang yang tidak paham

Kedua , radikalisme tidak berhenti pada agama dan bertengkar antaragama upaya penolakan, melainkan ter us dengan orang yang paham agama namun berupaya mengganti tatanan-tatanan bertengkar pula dengan kepahamannya tersebut dengan suatu bentuk tatanan tersebut. Maka, Islam pluralis harus yang lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di kembali kepada jalur perdamaian dengan dalam radikalisme terkadang suatu tidak terlalu mengotak-atikkan doktrin program atau pandangan dunia (worl view) fundamental agama, dalam hal ini adalah tersendiri. Kaum radikal berupaya kuat Islam, sebab jika demikian maka Islam untuk menjadikan tatanan tersebut pluralis sebetulnya hadir untuk membuat menjadi ganti dari tatanan yang sudah ada. konflik di dalam konflik.

Ketiga , kuatnya keyakinan kaum radikalis terhadap kebenaran yang mereka

Kedelapan: Islam Radikal

bawa. Sikap ini pada saat yang sama Secara sosiologis bisa diterangkan dibarengi dengan penafian kebenaran bahwa radikalisme kerap kali muncul bila dengan sistem lain yang akan diganti. terjadi banyak kontradiksi dalam orde Dalam gerakan sosial, keyakinan tentang bawa. Sikap ini pada saat yang sama Secara sosiologis bisa diterangkan dibarengi dengan penafian kebenaran bahwa radikalisme kerap kali muncul bila dengan sistem lain yang akan diganti. terjadi banyak kontradiksi dalam orde Dalam gerakan sosial, keyakinan tentang

Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdur rahman Wahid lebih dilihat

Kesembilan: Islam Rasional

sebagai tokoh Neo-Modernisme Islam Islam Rasional berarti Islam yang oleh Greg Barton (1999), Fachry Ali diproses melalui akal pikiran manusia (1996: 121) dengan sebutan Islam yang dalam membentuk keyakinannya wajar atau Islam kultural (terutama terhadap Islam. Sebagaimana pengertian Nurcholis Madjid dan Gus Dur). rational (bahasa Inggris) yang berarti

Harun Nasution (1919-1998) dikenal masuk akal atau logis (Echols dan Hassan sebagai tokoh yang rasionalis, sehingga Shadily, 1979: 466), atau jika karya-karya yang dilahirkannya hampir dikembangkan menjadi pemikiran, tidak lepas dari pandangan beliau yang persepsi atau pandangan yang rasional tersebut, seperti, Islam Ditinjau berlandaskan pada akal yang sistematis dari Berbagai Aspek; Pembaharuan dalam dan logis. Namun perlu ditegaskan di sini, Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan; Teologi bahwa penggunaan akal dalam konteks Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Islam tidak dimaksudkan sebagai sebuah Perbandingan; Filsafat Agama; Falsafah dan tolok ukur merumuskan kebenaran atau Mistik dalam Islam; Akal dan Wahyu dalam menjadi panduan hidup sebagaimana di Islam; Perkembangan Modern dalam Islam; Barat yang bersifat antroposentris, yang Muhammad Abduh dan Teologi Rasional menitikberatkan kebebasan berpikir Mu’tazilah; dan Islam Rasional Gerakan dan sebagai tolok ukur kebenaran, apa yang Pemikiran (Zaim Uchrowi, 1989: 3-62). ada dalam pikiran mesti bersesuaian Dengan sikapnya yang rasional itulah, dengan apa yang ada dalam tataran maka Harun merupakan tokoh modernis realitas empirik, dan jika realitas yang yang dimiliki oleh umat Islam Indonesia. empirik tidak bersesuaian dengan akal, Namun, perlu dari awal ditekankan bahwa maka realitas tersebut diabaikan.

akal dalam pandangan Harun Nasution Dalam konteks Indonesia tokoh (1986: 25-31) tidaklah bisa menghapus yang diang g ap rasional adalah wahyu, wahyu tetap dianggap sebagai Nurcholis Madjid, Harun Nasution, yang unggul dan mutlak benar, Akal Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, hanya menginterpretasi teks wahyu sesuai Amin Rais, dan masih banyak yang dengan kebutuhan manusia.

Kesepuluh: Islam Revivalisme

Revivalisme Islam (kebangkitan kembali Islam) memiliki cakupan yang sangat luas, baik yang bersifat elegan (tanpa kekerasan) yang intisifikasinya lebih diarahkan pada penghayatan dan pengamalan Islam secara individual maupun kolektif atau berkelompok. Tujuannya hanya menghidupkan kembali Islam secara damai dalam kehidupan sehari-hari untuk membendung arus modernisasi yang mengarah pada terciptanya budaya vulgar dalam diri umat Islam. Di samping itu, gerakan revivalisme Islam juga bisa berbentuk radikal-militan, yang bernaung di bawah payung fundamentalisme Islam, yang bertujuan untuk menciptakan sistem sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang bercirikan Islam (Azyumardi Azra, 1999b: 47).

Berbeda dengan pandangan di atas, bahwa revivalisme Islam dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang dikatakan oleh Azyumardi Azra (1999b: 47-50) merupakan gerakan keislaman yang bertujuan untuk mengembalikan Islam pada ajaran yang murni. Argumentasi mereka dalam hal ini adalah bahwa umat Islam mengalami kemunduran di era modern yang berhadapan dengan Barat, dikarenakan Islam yang diamalkan telah mengalami distorsi, sudah bercampur dengan bid’ah, khurafat, tahayul, kepercayaan dan tradisi lokal, serta pemikiran dan ideologi sosial modern Barat. Karena itulah Islam harus dimurnikan kembali. Dalam upaya pelaksanaan puritanisasi Islam tersebut,

langkah yang diambil oleh kaum revivalis adalah penerapan dan pengembangan ijtihad, khususnya dalam masalah- masalah yang berkenaan dengan hukum.

Kesebelas: Islam Spiritualis-Sufistik

Pertama, Islam spiritualis-sufistik dalam bentuk gagasan pemikiran. Hal ini terkait dengan gagasan untuk membangun perdamaian antarumat beragama di Indonesia agar tidak terjadi konflik atas nama Tuhan. Islam sebagai agama yang mayoritas pengikutnya di Indonesia harus menjadi kekuatan untuk menebarkan perdamaian, sebab Islam memiliki perangkap yang kuat dan banyak secara doktrinal dan historis. Sebagaimana yang diungkapkan Gamal Albana (2006: 5), jika umat Islam mengakui keesaan Tuhan dan kekekalan-Nya, maka sebetulnya sudah mengakui pluralitas di luar Tuhan, bahwa yang Tunggal hanyalah Allah dan di luar Allah adalah plural. Jika ini tidak diyakini maka secara tidak sadar umat Islam telah menyekutukan Allah.

Kedua, gerakan Islam spiritualis- sufistik dalam tataran praktik dan pengamalan. Ini merupakan paham yang mempraktikkan unsur batiniah atau esoterik dalam Islam yang dapat diperoleh melalui peran aktif pada kelompok- kelompok eksklusif spiritualis, tasawuf atau tarekat. Kelompok ini tidak mau terlibat atau tidak peduli dengan permasalahan sosial, baik ekonomi, politik, dan sebagainya, yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan kesucian batin dan dekat dengan Tuhan.

Kelompok ini muncul di Indonesia lebih selanjutnya menjadikan Islam yang disebabkan oleh proses modernisasi dan berfungsi dalam segala aspek kehidupan. globalisasi yang terkadang menimbulkan Hal ini sesuai dengan makna dari kata disorientasi dan dislokasi psikologis pada transformation (bahasa Inggris) yang berarti masyarakat tertentu, di samping juga perubahan atau menjadi (M. Echols dan disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap Hassan Shadily, 1979: 601). Dari definisi bentuk agama yang dikembangkan oleh ini maka secara umum, bahwa Islam ulama atau organisasi keagamaan yang transformatif mengemban tugas kedepan lebih bersifat normatif-ritualistik semata sebagai tujuan: 1) pemikiran Islam yang atau eksoteris (Azyumardi Azra, 1999b: bertujuan mengaktualisasikan Islam yang 10).

rahmatan lil alamin . 2) Islam transformatif Islam spiritualis-sufistik dalam tataran bertujuan untuk menciptakan kehidupan

pemikiran para intelektual Islam yang integral dan holistik dalam Indonesia bertujuan untuk mendamaikan kehidupan, yakni pemaduan antara dan menciptakan kehidupan yang kesalehan vertikal yang kemudian harmonis antarumat beragama. Sebab terwujud dalam kesalehan sosial- pluralitas merupakan kepastian yang tidak horizontal. Dengan kata lain, aktualisasi bisa dihindarkan selama kita masih nilai ritual ibadah yang dikerjakan ke berstatus hamba dan sebagai mahluk. dalam kehidupan sosial dalam bentuk Dengan ide pluralisme atau kesatuan cinta, kasih sayang, toleran, dan egalitarian teologis diharapkan akan tercapai terhadap sesama manusia, bahkan kehidupan yang toleran, egalitarian, dan mungkin terhadap lingkungan alam. 3) harmonis di Indonesia yang pluralistis ini. bertujuan untuk mengembangkan Islam Di samping itu, Islam spiritualis-sufistik yang aktual pada kondisi zaman yang dalam tataran praktis adalah untuk dihadapi. mengembalikan Tuhan dalam diri

Salah satu tokoh pemikir Islam kehidupan masyarakat yang modern yang Indonesia yang begitu populer dan berada dalam hegemoni kebutuhan memiliki ide-ide transformatif yang luar material, sehingga nilai-nilai transendental biasa, yakni Kuntowijoyo. Ide transformasi menjadi terabaikan, dan ini merupakan masyarakat Kuntowijoyo dilakukan implikasi dari munculnya isme-isme Barat dengan pendekatan historis, sehingga yang bernuansa sekuler. Maka Islam eso- pemikiran Kuntowijoyo lebih bersifat ritualis-sufistik hadir untuk metodologis ketimbang substantif. Terkait mengembalikan Tuhan kedalam diri.

dengan formulasi sistem dan keilmuan Islam yang rasional dan empiris tersebut,

Keduabelas: Islam Transformatif

Kuntowijoyo (1993: 283-285) menawarkan Islam transformatif lahir untuk lima cara reaktualisasi ajaran Islam sebagai mengubah, membentuk, dan untuk bentuk kebangkitan dan respons umat

Islam terhadap kebudayaan yang ide mengembangkan pembar uan dihadapi.

pemikiran dalam Islam sekitar tahun 70- Pertama, perlunya dikembangkan an pada sebuah seminar yang diisi oleh interpretasi atau penafsiran sosial Nurcholis Madjid yang menyampaikan

struktural lebih dari pada penafsiran makalah berjudul Keharusan Pembaharuan individual ketika memahami ketentuan- Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat . ketentuan tertentu di dalam al-Qur’an. Makalah ini kemudian disebarluaskan Kedua, mengubah cara berpikir subjektif oleh media masa, baik cetak maupun tulis menjadi cara berpikir objektif. Ketiga, tanpa sepengetahuan Cak Nur (lihat, mengubah Islam yang normatif menjadi (Barton, 1999: 9-68). Tokoh-tokoh yang teoretis. Keempat, mengubah pemahaman tergolong dalam kelompok neo-modernis yang a-historis menjadi pemahaman yang ini adalah Nurcholis Madjid, Djohan historis. Kelima, merumuskan formulasi Efendi, Abdur Rahman Wahid, Ahmad wahyu yang bersifat umum menjadi Wahid, Jalaluddin Rahmat, Amin Rais, formulasi yang bersifat spesifik dan dan lain-lain. empirik. Dengan diaktualisasikannya

Neo-modernisme Islam Indonesia kelima cara tersebut Kuntowijoyo optimis juga merupakan sebuah kontinuitas atau bahwa umat Islam Indonesia akan mampu merupakan kombinasi dari dua unsur menjawab tantangan zaman yang dihadapi. penting tradisi pemikiran dan gerakan Islam

di Indonesia, yakni modernisme dan Ketigabelas: Neo-Modernisme Islam tradisionalisme. Neo-modernisme mencoba Gerakan Neo-Modernisme Islam mengkombinasikan kedua kelompok untuk pertama kali ditegaskan oleh Fazlur tersebut. Namun, tetap memiliki perbedaan Rahman. Baginya, Neo-Modernisme deng an moder nisme sebelumnya merupakan sintesa dari rasionalitas kaum (Muhammadiyah dan Persatuan Islam), modernis dengan tradisi klasik Islam. yakni Neo-modernisme lebih berani untuk Sebelumnya Rahman memaparkan bahwa menerima dan mengakomodasi ide-ide sejarah gerakan Islam pada dua abad yang paling maju dan progresif, meskipun terakhir terbagi ke dalam empat bentuk: itu datang dari budaya sekulerisme Barat Pertama , gerakan revivalis di akhir abad ke- (inilah sikap inklusif yang ditampilkan), di