2016 Persamaan demi persamaan Mempertan

14

Di era di mana hampir semua makanan bisa
ditemukan dalam versi pabrikannya ini, sang
pastor sangat khawatir dengan budaya
mengonsumsi makanan instan. Apalagi geraigerai minimarket waralaba jaringan nasional
sudah menjangkau desa seterpencil ini.
Hampir semua barang yang ditawarkan di rakrak minimarket adalah produk industri, dan
mayoritas adalah makanan atau instan yang
diproduksi komplit untuk manusia segala usia:
mulai dari bayi yang baru lahir hingga kakeknenek usia lanjut.
Kehadiran minimarket ini menjadi tantangan
bagi warga setempat yang hanya memiliki
kemampuan belanja cukup rendah tapi
kadang harus dikalahkan dengan kebutuhan
gaya hidup modern dengan berbelanja di
gerai minimarket. Hasilnya, kehadiran
minimarket di sini menjadikan warga
mengeluarkan uang lebih untuk mendapatkan
makanan instan yang unsur gizinya justru jauh
jika dibandingkan dengan kebiasaan

memakan ubi-ubian yang tinggal dicabut dari
halaman.
Sang Pastor menganggap, adalah bagian dari
tanggungjawab gereja, dan juga dirinya
sebagai pemimpin umat di desanya, untuk
memastikan bahwa anak-anak mendapat
asupan yang bergizi alami agar tumbuh sehat.
Maka, senantiasa dia sisipkan pesan-pesan
pemberian ASI kepada bayi dan kembali
menumbuhkan budaya menanam untuk
dikonsumsi keluarga di sela-sela kotbahnya.
Saya terngiang ucapan beliau, “Tuhan
menciptakan manusia dengan sempurna,
termasuk dengan menyediakan makanan
terbaik”. ASI adalah yang dimaksud Pastor
Marius sebagai makan terbaik yang diciptakan
bersamaan dengan kelahiran seorang anak.
Selain itu, sang pastor yang juga banyak
mempelajari gizi bayi, menganjurkan keluarga
menjauhkan diri dari makanan pabrikan, dan


untuk memanfaatkan sayuran yang tumbuh di
pekarangan rumah warga sebagai santapan
keluarga, termasuk si kecil, sebagai makanan
pendamping ASI ketika dia sudah menginjak
usia 6 bulan. Dengan memberikan gizi optimal
pada seorang anak, keseimbangan ekosistem
ikut terjaga.
Sang Pastor benar. Mari kita bayangkan,
bagaimana jadinya bila kita yang hidup di
pedesaan dan suburban tidak lagi
menganggap penting mengonsumsi sayuran
atau tumbuhan untuk memenuhi gizi
keluarga? Besar kemungkinan apresiasi kita
terhadap tumbuh-tumbuhan atau sayuran
akan merosot drastis, karena kita tidak
merasa penting untuk menikmati manfaatnya.
Apabila demikian, akan menjadi sangat
mungkin tanah kosong yang tadinya
ditumbuhi tanaman liar kemudian dijual

dengan harga yang dianggap tinggi, lalu
didirikanlah bangunan kokoh di sana.
Penjualan lahan atas nama pembangunan dan
alih fungsi lahan sawah menjadi bangunan
(pribadi maupun komersil) memang
mengalami peningkatan drastis lima tahun
belakangan ini. Hilanglah ruang-ruang untuk
menanam ragam tumbuhan yang bisa
menjadi bahan pangan lingkungan sekitar.

15

PERSAMAAN DEMI PERSAMAAN
MEMPERTANYAKAN DEMOKRASI
DALAM ERA REFORMASI
MELALUI KARYA SENI RUPA
Grace Samboh (Pengelola Program Simposium Khatulistiwa dan kurator seni rupa)

Zaman Sukarno disebut sebagai era demokrasi
terpimpin oleh para ahli politik dan tata

negara. Segala keputusan tergantung si Bung.
Zaman Soeharto disebutnya sendiri sebagai
Orde Baru. Psikologi kata 'baru' ini jelas untuk
menunjuk yang sebelumnya sebagai sesuatu
yang sudah lama—usang dan ketinggalan. Tak
jarang, istilah Orde Baru hadir dengan diawali
kata “rezim”—sebuah terma yang berarti
sistem pengelola pemerintahan yang
dijalankan oleh militer. Dalam tatanan negara
demokrasi, militer jelas (bisa) punya peran.
Namun, tentu saja kita tidak bisa
membayangkan demokrasi dalam paham
militerisme. Hari ini tak perlulah kita
berpanjang-panjang membahas ironi ini,
rezim Orde Baru sudah resmi berakhir.
Penandanya adalah mundurnya Soeharto atas
desakan masyarakat dari hampir seluruh negri
dan sang wakil pun segera dilantik. Nusantara
bersorak-sorai, “Reformasi! Reformasi!
Reformasi!” Konon, katanya, masyarakat

menegakkan demokrasinya sendiri.

sejumlah karakter yang menjadi kunci dalam
praktik demokrasi yaitu kesetaraan dalam
hukum, kebebasan berpolitik, dan dijunjung
tingginya peraturan, hukum, serta
perundangan. Kamus bahasa yang bisa
dianggap sebagai sumber definisi yang paling
netral karena tidak berhubungan secara
langsung dengan konsep-konsep maupun
wacana-wacana dalam bidang ilmu tertentu.
de·mo·kra·si /démokrasi/ n Pol 1
(bentuk atau sistem) pemerintahan
yang seluruh rakyatnya turut serta
memerintah dengan perantaraan
wakilnya; pemerintahan rakyat; 2
gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan
kewajiban serta perlakuan yang
sama bagi semua warga negara.¹


Sekarang, hampir 20 tahun telah berlalu
semenjak kata “reformasi” dikumandangkan
dengan penuh kepuasan dan kebanggaan.
Pertanyaannya hari ini ini adalah: Apa yang direformasi? Seturut logika kata tsb, kepada
formasi yang manakah kita kembali? Apakah
kepada demokrasi? Demokrasi yang mana?

Saya tidak sedang ingin menuduh bahasa
sebagai akar permasalahan kita, walau kadang
saya tergoda.² Penegasan dalam definisi
“demokrasi” di atas ingin mempertanyakan
kata “persamaan” dan asal kataya “sama”.
Apakah benar persamaan yang kita cari dalam
demokrasi kita hari ini? “Sama” berarti “tidak
berbeda”. Apakah benar demokrasi kita hari
ini menolak perbedaan? Menuju ke arah
inikah reformasi kita? Perbedaan mana yang
ditolak? Persamaan mana yang dituju?


Tidak pernah ada sebuah konsensus untuk
definisi demokrasi. Yang ada hanyalah

Semakin ditanyakan, semakin putus asa
mencari jawabannya. Setelah kejadian yang

34

usulan ini berfokus pada kebutuhan mendasar
untuk menundukkan kembali kendali atas
proses akumulasi (pembangunan yang
swapusat dan tidak bergantung pada ekonomi
dunia).
Kebetulan beberapa usulan ini digunakan,
meskipun dengan pelemahan yang cukup
besar di dalam negara-negara tertentu,
seperti sejak 1955 hingga 1960, oleh klas-klas
yang berkuasa secara keseluruhan di kedua
benua. Dan pada saat yang sama, perjuanganperjuangan revolusioner yang dilangsungkan
oleh seluruh partai komunis Asia Tenggara

dikalahkan (kecuali di Vietnam, tentu saja).
Kesimpulannya sepertinya 'borjuasi
kebangsaan' belum habis tenaganya untuk
perjuangan anti-imperialis. Uni Soviet juga
mendapat kesimpulan yang sama ketika
memutuskan untuk mendukung barisan nonblok, sementara Triad yang imperialis
mengumumkan perang terbuka melawannya.
Para komunis di negara-negara tersebut
waktu itu terbagi di antara dua
kecenderungan ini dan menjadi terlibat di
dalam persengketaan yang menyakitkan yang
sering dikelirukan. Beberapa mengambil
pelajaran, bahwa 'mendukung' kekuatankekuatan yang melawan imperialisme
memang perlu, walaupun dukungan ini
semestinya tetap 'kritis'. Moskow membuat
mereka lebih yakin dengan mengemukakan
ungkapan 'cara non-kapitalis'. Yang lain
bertahan pada ungkapan dasar Maois, bahwa
hanya barisan klas-klas popular yang merdeka
dari borjuasi saja yang dapat memimpin suatu

perjuangan agar berhasil melawan
imperialisme. Konflik di antara partai komunis
Cina dan Uni Soviet ini, yang tampak jelas
sejak 1957 namun diumumkan resmi sejak
1960, tentu saja menegaskan kecenderungan
kedua di tengah kaum komunis Asia dan
Afrika.

Namun demikian, potensi gerakan Konferensi
Bandung aus di dalam sekitar lima belas
tahun, menekankan—jika seharusnya
diperlukan—batasan program anti-imperialis
dari 'borjuasi kebangsaan'. Dengan demikian,
keadaan telah matang bagi serangan balik
imperialis, 're-kompradorisasi' ekonomi
Selatan, jika bukan—bagi yang paling
rentan—rekolonisasi mereka.
Biarpun begitu, seolah-olah memberikan
kebohongan kepada pembalikan ini
disebabkan oleh fakta untuk tesis soal

ketidakmampuan definitif dan absolut
borjuasi kebangsaan—Konferensi Bandung,
menurut pandangan ini, telah menjadi
sekadar 'episode perlintasan' di dalam
konteks Perang Dingin—sejumlah negara
Selatan tertentu telah mampu memaksakan
diri mereka sendiri sebagai 'yang baru muncul'
di dalam globalisasi baru yang didominasi
imperialisme. Akan tetapi, 'yang baru muncul'
bagaimana? Pasar-pasar yang baru muncul
menerima perluasan modal dari oligopolioligopoli milik Triad imperialis? Atau negaranegara yang baru muncul yang mampu
memaksakan revisi tulen syarat-syarat
globalisasi dan mengurangi kekuatan yang
dimiliki oligopoli, sementara melaksanakan
kembali pengumpulan pembangunan
kebangsaan mereka sendiri? Pertanyaan soal
muatan sosial kekuatan-kekuatan yang ada di
dalam negara-negara yang baru muncul (dan
di dalam negara-negara lain di pinggiran) dan
kemungkinan-kemungkinan bahwa hal ini

membuka atau menutup sekali lagi menjadi
agenda. Ini merupakan sebuah perdebatan
yang tidak dapat dihindari: apa yang
akan—atau mungkin dapat—menjadi dunia
'pasca-krisis'?
Krisis kapitalisme imperialis belakangan dari
oligopoli yang disamaratakan, difinansialkan,
dan mengglobal ini nyata. Namun demikian,
bahkan sebelum krisis itu berlanjut ke fase

35

baru yang dimulai dengan keruntuhan
finansial pada 2008, rakyat telah mulai
meninggalkan kelesuan mereka, yang berawal
setelah gelombang pertama perjuangan
mereka demi emansipasi para pekerja dan
rakyat sendiri telah aus. Amerika Latin, yang
tidak hadir pada masa Konferensi Bandung
(terlepas dari upaya Kuba dengan Konferensi
Tricontinental), saat ini sepertinya justru
paling maju di dalam pergerakan ini.
Tentu saja ada banyak segi baru yang penting
di dalam keadaan sekarang, namun
pertanyaan-pertanyaan yang sama yang
diajukan pada 1950-an kini muncul lagi.
Akankah Selatan (negara-negara yang baru
muncul dan lainnya) mampu mengambil
prakarsa strategis mandiri? Akankah
kekuatan-kekuatan popular mampu
memaksakan perubahan di dalam sistem
kekuasaan yang akan menjadi satu-satunya
jalan membuat kemajuan serius? Dapatkah
jembatan-jembatan dibangun untuk
mengaitkan imperialis dan perjuanganperjuangan popular di Selatan dengan
kemajuan suatu nurani sosialis di Utara?
Kesimpulan yang dicapai oleh kelompokkelompok cerminan pada 1950-an
merumuskan tantangan di dalam hal yang
pada dasarnya tetap sama saja sejak itu:
rakyat dari pinggiran mesti mengambil alih
bangunan kebangsaan (didukung oleh
rancangan kewilayahan dan seluruh Selatan
sebagai satu kesatuan), yang swapusat dan
mandiri; mereka tidak dapat mengambil jalur
ini kecuali perjuangan-perjuangan mereka
dilakukan di dalam sudut pandang sosialis;
dengan alasan ini mereka harus melepaskan
khayalan mereka soal pilihan lain palsu soal
'mengejar ketertinggalan' di dalam sistem
kapitalis yang mengglobal. Bandung
mewujudkan pilihan mandiri ini, namun
berada di dalam keterbatasan yang akan
tampak nantinya, sebagaimana ditunjukkan
sejarah.

Mungkinkah hasilnya akan menjadi lebih baik
kini, saat 'Kebangkitan Selatan' yang kedua
mulai tampak? Yang lebih penting, akankah
mungkin kali ini membangun pertemuan di
antara perjuangan-perjuangan di Utara dan di
Selatan? Inilah yang kurang secara
menyedihkan pada masa Konferensi Bandung.
Rakyat dari pusat-pusat imperialis lantas
berbaris di belakang para pimpinan imperialis
mereka. Projek sosial-demokrat waktu itu
mungkin akan menjadi sukar dibayangkan
tanpa sewa imperialis yang menguntungkan
masyarakat mewah di Utara. Konferensi
Bandung dan Gerakan Non-Blok lantas dilihat
sebagai sebuah episode di dalam Perang
Dingin, mungkin bahkan direkayasa oleh
Moskow. Di Utara, kurang ada pengertian
mengenai kedalaman nyata gelombang
pembebasan pertama dari negara-negara Asia
dan Afrika ini yang, bagaimanapun, cukup
meyakinkan bagi Moskow untuk memberikan
dukungan.Tantangan untuk membangun suatu
internasionalisme anti-imperialis para pekerja
dan rakyat tetap perlu ditaklukkan.
Mengambil konteks Indonesia Pasca 1955
Konferensi Asia-Afrika pertama,
bagaimanapun, punya akibat sejarah yang
lebih jauh jangkauannya bagi Indonesia.
Kebijakan luar negeri Indonesia yang netral
tidak menyenangkan pemerintahan
Eisenhower di Washington. Menteri Luar
Negeri A.S. John Foster Dulles menganggap
kenetralan di dalam Perang Dingin sebagai
tidak bermoral. Yang lebih menggelisahkan
adalah kebijakan Washington untuk
memperasingkan Cina, namun lantas Perdana
Menteri Zhou Enlai berhasil mengatasi
kecurigaan dan kebermusuhan banyak
negara-negara Asia yang terwakili pada
Konferensi Bandung.
Para sejarawan secara umum sepakat, bahwa
Sukarno bukanlah seorang komunis,
melainkan seorang nasionalis yang tegas
menolak kolonialisme dan imperialisme.