From Individual To Collegiality

Penanggungjawab

E d i t o r i a l

Pemimpin Program

Pemimpin Redaksi

  D u n i a m a n u s i a mengalami perkembangan yang pesat. Setiap jengkal bumi ini bisa ditapaki dan dirambah. Seolah- olah tidak ada potongan bumi yang tidak bisa dilihat, dihuni, d an d ikelo la o leh m anusia. Kead aan ini terjad i b erkat perkembangan berbagai sarana dan prasarana yang diupayakan o leh manusia d engan segala keahlian serta kemampuan yang ada.

Redaksi

Desain/Layout

Keuangan

Sekretaris

Distributor

Institut DIAN/Interfidei

  Asian Conference on Religion and Peace (ACRP)

  Profile

  O pinion Pr of i l /

  Transformation of Society Opi ni /

  Peran Institusi Agama dalam Transformasi Masyarakat / The Role of Religious Institution in the

  Di satu sisi, keadaan ini m e m b e ri k an k e m u n g k i n an semakin luas dan mendalamnya re l asi an taru m at m an u si a. Semakin banyak o rang telah menyadari bahwa persoalan yang sedang terjadi dan yang dihadapi oleh manusia, tidak mungkin dihadapi dan diselesaikan oleh sekelompok orang saja, atau oleh satu lem b ag a, satu elem en masyarakat, melainkan bersama-

  Edisi Juni 2002 Fokus /

  Focus

  Ryo Emanuel

  Pentingnya Membangun Jaringan Antar-Iman / The Importance of the Building of Inter-faith Networks .

  Th. Sumartana

  Elga Sarapung

  Noegroho Agoeng

  Wiwin St. Aminah,

  I Wayan Suweta Haryandi

  Eko Putro

  On one side, this situation p ro v id es a w id er and mo re profound possibility of inter- individual relations. More people have realized that the problems at the present taking place and faced by human beings are not possible to be faced and overcome by only an individual, or by an institution, one element of the society, rather they need to b e o v erc o m e collectively. All shall feel the resu lt, w hether d irec tly o r indirectly. All collectively as well

  Wiwin Siti Aminah

  Susanto, Sarnuji Newsletter ini diterbitkan oleh:

  Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Jogjakarta, 55581 - Indonesia, Ph./Fax. : 0274-880149,

  E-mail: profide@yogya.wasantara.net.id Edi si Juni 20 0 2

  Newsletter interfidei From Individual To Collegiality

  The world of human is e x p e rie nc ing su c h a rap id development. Every inch of earth could be treaded on and cleared away. It is as if there is no space on earth to be seen, occupied, and managed by human beings. This situation is taking place due to the development of various means and infrastructures as an effort by human beings w ith all their expertise and capability

  .

  

D ari Sendiri-sendiri Beralih

pada Kerjasama

  Edisi Juni 2002 Editorial interfidei new sletter

  sama. Semua merasa kan akibatnya, langsung atau tidak langsung. Semua pun secara bersama-sama memiliki tanggungjawab untuk meng antisipasi, menyelesaikan, me ngelola, dan lain sebagainya.

  Di lain sisi, relasi itu bisa menjadi sempit karena manusia jatuh pada egoisitas diri yang tinggi, merasa puas dengan apa yang digeluti, dimiliki dan diperjuangkannya sendiri.

  Mereka menjadi tak acuh dengan yang lain. Lebih parah lagi bila menganggap kebenaran hanya pada dirinya atau pun kelompoknya sendiri.Bila kecenderungan semacam ini terjadi, bisa d ib ay ang kan b ag aim ana d u nia ini, bagaimana pergaulan serta hubungan- h u b u n g a n a n ta r s e s a m a m a n u s i a berlangsung.

  Dalam bingkai kesadaran seperti ini, pantaslah kalau kita memikirkan dan merumuskan kembali pola relasi kehidupan d i antara kita, lembaga-lembaga atau kelo mp o k-kelo mp o k antar-iman y ang tersebar di berbagai wilayah geografis yang berbeda, dengan jarak yang cukup jauh, dan dengan kompleksitas persoalan yang khas. Kiranya kekhasan kita masing-masing tidak menjebak kita pada egositas atau eksklusuvitas, justru mendorong kita untuk “ melangkah dan maju bersama” , bagi kepentingan bersama. “ Dari sendiri- sendiri beralih pada bersama-sama” , dari “ kerja sendiri-sendiri, menuju pada kerjasama” .

  Newsletter edisi kali ini diawali dengan sebuah refleksi - sebagai FOKUS - yang ditulis oleh Elga Sarapung tentang “ Pentingnya Membangun Jaringan Antar-iman” . Lalu dibahas secara lebih mendalam oleh Th.Sumartana, dalam OPINI. Th. Sumartana menganggap perlu untuk mengkritisi kembali “ peran Institusi Agama dalam Transformasi Masyarakat” .

  PROFIL dalam edisi kali ini mengetengahkan sebuah lembag a internasio nal, y aitu: A sian Conference on Religion and Peace (ACRP), yang baru saja menyelenggarakan Sidang Umumnya yang ke-6 di Jogjakarta, 24-28 Juni 2002.

  Dalam kronik anda akan membaca tentang perayaan Waisak, bulan April yang lalu, pengalaman-pengalaman di Poso dan Palu bersama teman-teman Muslim dan Kristen yang ikut dalam lokakarya “ pemberdayaan untuk rekonsiliasi” , serta pengalaman teman-teman panitia lokal untuk Sidang ACRP.

  Selamat membaca ! have the responsibility to anticipate, finish, manage them, etc. On the other hand, this relation could be severely narrow since human beings have fallen to a high selfishness, feeling that they are contended with whatever it is they have seized, possessed, and struggled for by himself.

  They become ignorant to the others. It is worse when they thing that the righteousness belongs only to himself, or his group only. Should this tendency take place, we could only imagine how this world, inter-human intercourse as well as relations would progress.

  In this frame of awareness, it is appropriate that we think and reformulate the patterns of life relations among us, inter-faith institutions or groups spread over various geographical regions, with quite a distance, and with specific complexity of problems. May our specifications not trap us in the selfishness or exclusivity, but insteadencourage us to “ step forward together” , for a c o llec tiv e interest. “ Fro m ind iv id u al to collegiallity” , from ” Individual work to cooperation” .

  This edition of newsletter starts with a reflection as a FOCUS written by Elga Sarapung on “ The Importance of Building Inter-faith Networks” . Then, a more profound view is discussed by Th.Sumartana, in O PIN IO N . Th. Sumartana considers it necessary to re-criticize “ The Role of Religion Institution in The Transformation of Society” . The PROFILE section in this edition forwards an international institution, i.e. Asian Conference on Religion and Peace (ACRP), that has th just held its 6 General Assembly in Jogjakarta, on June 24-28 2002. In the CHRONICLES, you will read about the Waisak celebration, last A pril, the experiences of Poso and Palu together with our Muslim and Christian friends w ho joined the workshop of “ empowerment for reconciliation” , as th well as the 6 Assembly of ACRP.

  Evaluasi panitia Jogjakarta untuk Sidang VI ACRP, 30 Juni 2002 di rumah Interfidei, sambil nonton final Piala Dunia

  Fokus interfidei new sletter

  Salah satu kenyataan empiris yang terjadi di banyak tempat di Indonesia, adalah terjadinya pertumbuhan d an perkembangan minat serta keg iatan d i m asy arakat y ang berbasis d an berorientasi pada isu-isu antar-iman. Minat dan kegiatan ini diorganisir oleh kelompok atau forum antar-iman, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pemerintah serta pusat-pusat studi agama-agama, agama dan masyarakat. Nama dan bentuknya pun bermacam-macam, disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan konteks setempat pada saat itu. Umumnya dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa ada sederetan masalah serius yang sedang terjadi di masyarakat, yang selama ini tidak bisa dihadapi, dikelola atau diselesaikan oleh institusi-institusi yang sudah mapan, negara (pemerintah, aparat dan sebagainya) atau swasta, partai politik, institusi agama, bahkan oleh masyarakat pada umumnya.

  Masalah, bukan saja menyangkut politik, budaya, ekonomi, hukum atau keamanan, tetapi juga m asalah ke m anu siaan. Bag aim ana su p ay a masyarakat bisa hidup dengan jaminan keadilan dan kesejahteraan yang konkrit. Bagaimana masyarakat berperan dalam mengelola potensi-potensi yang dimilikinya?

  Persoalannya bukan semata pada masalah itu sendiri, tetapi yang sampai saat ini belum jelas dan tuntas adalah mengapa masalah itu muncul, bagaimana menghadapi dan mengatasinya? Bukan mustahil bahwa institusi-institusi yang sudah mapan tersebut justru merupakan bagian dari keutuhan persoalan itu sendiri. Karena itu perlu sesuatu yang baru dengan cara dan pendekatan yang lain. Masyarakat perlu d iberd ayakan agar mampu menciptakan ide-ide serta tindakan yang kreatif dan konstruktif bagi kepentingan mereka.

  Kesadaran ini memberi dampak kepada dua hal. Pertama, kepada agama (institusi, pimpinan, to ko h, tradisi, do ktrin, teo lo gi, kegiatan, dan s e b ag ai n y a) ; k e d u a, k e p ad a m as y arak at, negara/ penguasa, pemerintah.

  Kepada agama dampaknya semakin terasa di mana-mana. Semakin banyak umat beragama yang mampu melakukan autokritik (kritik diri) sekaligus pembaruan terhadap institusi agama sendiri, kepada pimpinan, tokoh, ajaran, teologi, tradisi dan praktek- praktek kegiatannya. Sedangkan kepada negara dan/ atau pemerintah, dampaknya adalah, semakin banyak pikiran-pikiran kritis yang membuat koreksi- koreksi terhadap kebijakan serta praktek negara atau p emerintah terhad ap ag ama, terutama y ang

  One of the empirical reality occurring in numerous regions in Indonesia is the taking place of the growth and development of interests as well as activities in the society with the basis and orientation of inter-faith issues. These interests and activities are organized by inter-faith groups or forums, NGOs, the government, as well as religious and religion and the society study centers. Their names and forms are various as well, adjusted to the local contexts of need and situation of the time. The background is generally the reality that there are series of serious problems taking place in the society, that so far have not been able to be faced, managed, or overcome by the established institutions, the state (government, apparatus, etc) or the private, political institutions, religious institutions, even by the society in general.

  The problems do not only concern the ones of politics, culture, economic, law, or security, but also a matter of humanity. How could the society live with the guarantee of concrete justice and prosperity? How does the society play the role in managing the potentials they possess?

  The issue is not merely the problem itself, but rather that has not been clear and thorough it is the root of the problem, how to face and overcome it? It is no t impo ssible that these already established institutions instead also serve as a part of the whole problem itself. Thus, a new matter with other means and approached might be an urgency. The society needs to be empowered in order to be able to create creative and constructive ideas as well as actions for their own interests.

  This awareness result in the effects to two items. First, to the religions (institutions, leaders, figures, traditions, doctrines, theology, activities, etc); second, to the society, the state/ authority, and to the government.

  To the religions, the effects are more felt everywhere. More religious communities are able to conduct auto-critics, as well as reformation to their own religious institutions, leaders, figures, teachings, theology, traditions, and their program practices. Meanwhile, for the state and/ or the government, the effect is the existence of more critical thinkings that conduct corrections toward the policies as well as

  Edisi Juni 2002 Pentingnya Membangun Jaringan Antar-Iman

  Elga Sarapung The Importance of the Building of Inter-faith Networks

  Elga Sarapung

  interfidei new sletter

Fokus

  berdampak langsung kepada kebebasan hidup beragama d an berkembangnya agama-agama. Kepada masyarakat, diajak untuk berpikir lebih terbuka tentang eksistensinya serta fungsi agama bagi masyarakat. Semua ini tampak dengan jelas melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok antar-iman atau lembaga-lembaga stud i serta lembaga swadaya masyarakat lainnya yang memiliki minat pada isu-isu tersebut.

  Persoalannya adalah, masalah yang dihadapi sangat banyak dan begitu kompleks, tidak bisa hanya sekedar melakukan kritik, tidak bisa pula sekedar menyebarluaskan wacana atau sekedar melakukan aksi sosial. Juga tidak bisa hanya dilakukan secara sendiri-sendiri, dan hanya oleh kelompok antar- iman, tetapi memerlukan sebuah kolaborasi serta kerjasama yang sungguh-sungguh dari seluruh

  stakeholders yang ada di masyarakat. Kolaborasi dan

  kerjasama ini merupakan kekuatan bersama yang bergerak maju secara kritis, ko nstruktif bagi kepentingan bersama semua orang. Tentu ada banyak alternatif cara serta bentuk pendekatan yang bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang dirancang oleh masing-masing kelompok. Tetapi sekali lagi, bahwa kerjasama sebagai sebuah “ team kerja” , seb ag ai seb u ah “ g erakan b ersam a” sang at dibutuhkan dan penting untuk dimulai. Salah satu cara adalah dengan membangun jaringan kerjasama yang lebih kuat, berakar dan memiliki perspektif ke depan yang jelas. Jaringan kerjasama itu bisa disebut sebagai “ jaringan kelompok antar-iman” , atau apa saja. Yang penting di sini adalah muatan dan fungsi dari jaringan itu sendiri.

  Kalau membicarakan jaringan, tentu sudah banyak jaringan yang ada. Pertanyaannya, apakah jaringan yang ada sudah berfungsi secara baik? Atau, fungsi semacam apa dari jaringan yang dilakukan selama ini? “ Jaringan” yang diusulkan di sini adalah

  “ jaring an” y ang m em iliki “ kekuatan bersama” , yaitu akar motivasi yang sama, perspektif jelas dan agenda bersama sebagai salah satu wujud kerjasama.

  Di Malino, ketika kelompok-kelompok antar- iman se-Indonesia berkumpul melakukan refleksi bersama (23-27 Januari 2002), menjadi jelas bahwa jaringan semacam itulah yang sangat dibutuhkan sekarang dan ke depan. Ada keyakinan bahwa dengan jaringan semacam itu, kekuatan kelompok antar-iman akan mampu melakukan perubahan- perubahan yang lebih mendasar dan konstruktif, baik ke dalam agama-agama itu sendiri, maupun ke luar: negara, pemerintah dan sebagainya. Jaringan, bukan seked ar sebagai sarana untuk tukar-menukar informasi, menjalin persahabatan, tetapi sebagai practices of the state or government toward religions, especially those of direct impact to the freedom of religious life and the development of religions. To the society, they are asked to think more openly about the existence as well as functions of religions for them. All these are obvious through the programs conducted by inter-faith groups or study institutions as well as other Non-Governmental Institutions that are concerned with these issues.

  The problem is, the problems faced are so many and complex that we cannot just conduct critics, or merely spread the discourses or just conducting so cial actio ns. It also canno t be co nd ucted individually, and only by inter-faith groups, but rather, it requires a real collaboration and cooperation from all the stakeholders within the society. These collaboration and cooperation serve as a collective power that moves forward critically, constructive for the collective interests of all parties.

  Of course there are numerous other alternative means as well as approaches that could be conducted through the programs designed by each group. However, once more, cooperation as a “ team work” , as a “ collective movement” , is greatly required and urgent to start. One of the means is by building stronger, rooted cooperative networks that has a clear perspective to the future. These networks could be called as “ inter-faith networks” , or anything. What is important here is the contain and function of the network itself.

  Are we talking about networks, indeed, there are numerous netw orks existing already. The question then is have these existing netw orks functioned well? Or, what kind of function are conducted this far? ” The network” proposed here is the “ network” that has “ a collective power” , i.e. the roots of the same motivation, clear perspectives, and collective agendas as one figure of cooperation.

  In Malino, when inter-faith groups from all over Indonesia gathered to conduct collective reflection (January 23-27 2002), it was obvious that such network is the one needed at the present and in the future time. There was a sort of faith that with such a network, the power of inter-faith groups will be able to conduct more basic and constructive changes, whether inside the religion itself, or outside: toward the state, government, etc. These networks should not function as merely means to exchange information, and make friendship, but they need also to serve as

  Edisi Juni 2002

  interfidei new sletter

Kronik

  “ laboratorium bersama” sekaligus sebagai “ arena bersama” untuk melakukan perbincangan, kajian, percobaan untuk bersikap dan bertindak secara konkrit dalam menghadapi apa yang sedang terjadi dan mengantisipasi apa yang bakal terjadi. Jaringan y an g b u k an s e k e d ar m e n g g u n ak an atau memanfaatkan keunggulan teknologi informatika dan komunikasi, tetapi yang mampu memberi makna ke depan bagi kehidupan bersama umat manusia. Jaringan, bukan saja “ alat” atau “ sarana” semata, tetapi sebagai “ kekuatan bersama” , yang dimiliki b ersam a, untuk kep enting an b ersam a b ag i kebersamaan.

  “ collective arena” to conduct talks, studies, and experiments to behave as well as act concretely in facing w hatever taking place and anticipating whatever will take place; the networks that are not merely able to use or take advantage of the excellence of information or communication technology, but those that are also able to give the future meaning for the collective life of human being; the networks, not only serving as “ instruments” or “ means” , but also as “ collective power” owned together, for collective interests for the sake of togetherness.

  Edisi Juni 2002

  Setelah lama hendak bertamu ke Keuskupan Agung Semarang, pada tanggal 5 April 2002 Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo, Pr, berkenan datang di kantor Dian/ Interfidei di Jogjakarta.

  Beliau mengambil waktu di sela-sela persiapan tahbisan diakon di Seminari Tinggi St. Paulus, Jogjakarta.

  Selama kurang lebih dua jam, keluarga Interfidei, ditambah seorang tamu dari Belanda, berbincang-bincang ringan dengan Bapak Uskup.

  Saat itu, ibu Josien Folbert dari Komisi Hubungan Islam-Kristen, Uniting Churches di negeri Belanda sedang berada di Interfidei dan ikut bersama dalam p e rte m u an te rs e b u t. K e l u arg a In te rf i d e i menceritakan berbagai pengalaman karyanya. Bapak Uskup juga memberikan beberapa gambaran tentang k a r y a G e r e j a d a l a m k e i k u t s e r t a a n menyelenggarakan transformasi masyarakat. Dalam perbincangan ini disadari bersama bahwa persoalan bangsa begitu rumit. Pemecahan persoalan semacam ini tidak mungkin diselesaikan oleh satu atau dua kelo mp o k/ lembag a saja, tap i membutuhkan kerjasama yang konstruktif di antara semua elemen bangsa yang ada. Selain itu dibutuhkan suatu ketekunan untuk mengurainya. Ketekunan itu bisa dibangun melalui sesuatu yang sangat sederhana dan ringan bagi semua. Salah satu alternatif sederhana yang bisa diambil adalah menyebarkan semacam bulletin atau pun Newsletter yang memberikan wawasan keberagaman dan penghargaan terhadap kepelbagaian yang ada di masyarakat. (nasp).

  After a long time of wish to visit the Semarang Archdiocese, on April 5 2002, the Archbishop of Semarang, Mgr. I. Suharyo, Pr, was willing to come to the office of Interfidei in Jogjakarta. He took the time in the middle of the preparation of deacon ordination on the High Seminary of St. Paulus, Jogjakarta.

  For more and less two hours, the family of Interfidei, with a guest from The Netherlands, had a light conversation with The Archbishop. At that time, Ms. Josien Folbert of the Commission of Muslim- Christian Relations, Uniting Churches in The Netherlands happened to be visiting Interfidei and joined the meeting. The family of Interfidei shared various experiences of their work. The Archbishop depicted the works of the Church as well as its role in conducting the transformation in the society as well. In the discussion, it was realized that the problems of our nation are vary complicated. The solution of such problems could not be conducted by merely one or tw o g ro u p s/ institu tio ns, b u t they req u ire constructive cooperation among all existing elements of the nation. Besides, it takes perseverance to analyze everything. Such perseverance could be built through something simple and light for all. One of the simple alternatives that could be taken is by distributing some sort of bulletin or newsletter that could provide the so ciety w ith the co ncept o f variety and appreciation toward the diversity existing within the society. (nasp).

  Bincang-bincang dengan Uskup Agung Semarang A Talk With the Archbishop of Semarang

  Kronik interfidei new sletter

The Training of Empowerment for continous Peace for Poso

  Yayasan Sejati bekerjasama dengan Crisis Center GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah) telah m eny eleng g arakan p elatihan d eng an tem a “ Pe m b e rd ay aan u n tu k Pe rd am ai an Po s o Berkelanjutan” . Acara ini terbagi dalam dua tahap.

  Tahap pertama (tingkat dasar) dilaksanakan di Hotel Wisata, Palu, pada tanggal 15-19 April 2002. Sebagai fasilitator adalah Dr. Paulus Wijaya, Dr. Ruth Mischinck dan Wiwin Siti Aminah. Acara ini diikuti oleh 36 peserta yang berasal dari komuitas Kristen dan komunitas Islam. Semua peserta berasal dari Poso, Sulawesi Tengah. Materi pelatihan pada tahap ini adalah pemahaman tentang spektrum dan struktur konflik, gaya-gaya pengelolaan konflik, alat- alat analisis konflik, pengampunan dan perujukan serta pengelolaan emosi.

  Tahap kedua yang bertemakan “ Merawat Perdamaian melalui Komunikasi” dilaksanakan pada tanggal 14-17 Mei 2002 di Poso. Tahap ini diikuti oleh peserta yang sama dengan tahap pertama. Fasilitator tahap ini adalah Endah Setyowati, Dr. Ruth Mischinck, Pdt. Joseph Hehanusa dan Wiwin Siti Aminah. Peserta lebih banyak dilibatkan dalam diskusi. Beberapa materi yang dibahas adalah tentang ciri-ciri d an p erkembang an ko nflik ko munitas, teo ri pro vo kasi/ ko nspirasi, pro ses fasilitasi/ m ed iasi, isu-isu kritis, m end esain perencanaan aksi dan materi tentang emosi dan konflik. (wis)

  Sejati Institution in cooperation with the Crisis Center of GKST (Central Sulawesi Christian Church) has conducted a training with the theme “ Empowerment for Continuous Peace for Poso ” . This program was conducted in two stages.

  The first stage (basic level) was held in Wisata Hotel, Palu, on April 15-19 2002. The facilitators were Dr. Paulus Wijaya, Dr. Ruth Mischinck and Wiwin Siti Aminah. As many as 36 participants from the Christian as well as Islam communities attended the program. All of the participants are of Poso, Central Sulawesi. The material of training at this stage was an understanding on the spectrum and structure of conflicts, the styles of conflict management, the analy sis means fo r co nflicts, p ard o ns, and reconciliation as well as emotional management.

  The second stage with the theme of “ The Treatment of Peace through Communication” was held on May 14-17 2002 in Poso. This stage was attended by the same participants as the first one. The Facilitators of this stage were Endah Setyowati, Dr.

  Ruth Mischinck, Rev. Joseph Hehanusa and Wiwin Siti Aminah. Participants were more involved in discussions. Numerous materials discussed were the characteristics and development of community conflicts, theories of provocation/ conspiracy, the process of facilitation/ mediation, critical issues, and the designing of action planning and material on emotion and conflicts. (wis)

  Edisi Juni 2002 Pelatihan Pemberdayaan untuk Perdamaian Poso Berkelanjutan

  Perayaan Tri Suci Waisak dilaksanakan setiap tahun dalam rangka memperingati tiga peristiwa penting dalam agama Buddha: kelahiran (calon) Bu d d ha Gau tam a, p enc ap aian p enc erahan (spiritual) tertinggi dan wafatnya Sang Buddha. Ketiga peristiwa ini jatuh pada saat bulan purnama, di bulan Waisak. Tahun ini perayaan tersebut bertepatan dengan tanggal 26 Mei 2002. Secara nasional perayaan Waisak dirayakan secara simbolik di Jakarta, oleh KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) dan di Candi Borobudur, Jawa Tengah oleh WALUBI.

  Perayaan Waisak yang diselenggarakan oleh KASI berlangsung di Gedung JCC (Jakarta Convention Center). Perayaan ini dihadiri oleh ribuan umat Buddha. Turut hadir pula tokoh-tokoh

  The c eleb ratio n o f Tri Su c i W aisak commemorates the three important occasions in Buddhism: the birth of (the future) Buddha Gautam a, the reach o f hig hest (sp iritual) enlightenment, and the death of Buddha. These three occasions happen in the month of Waisak, during the full moon. This year, the celebration is on May 26. The celebratio n is co mmemo rated nationally in a symbolic manner in Jakarta, by KASI (The High Conference of Sangha Indonesia) and at Borobudur Temple, Central Java, by WALUBI.

  The Waisak celebration held by KASI took place at JCC building(Jakarta Convention Center). This commemoration was attended by thousands of Bud d hists. Relig io us fig ures such as KH . Abdurrahman Wahid, The Chief of MUI, Cardinal

  Perayaan Tri Suci Waisak 2546-2002 Tri Suci Waisak 2546-2002 Celebration

  Kronik interfidei new sletter

  agama, seperti KH. Abdurrahman Wahid, Ketua MUI, Kardinal Julius Riyadi Darmaatmaja, Ketua PHDI, Haksu Thjie Tjai Ing (MATAKIN), Djohan Effendi, Akbar Tanjung, Kwik Kian Gie, Jacob Nuawea, dsb. Waisak tahun ini mengambil tema “ Mengembangkan Pengend alian Diri Menuju Bangsa yang Damai dan Sejahtera” . Dalam pesannya, Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera menekankan pentingnya reformasi yang dimulai dari diri kita sendiri.

  Sedangkan Waisak di Borobudur diawali dengan prosesi dari candi Mendut menuju candi Borobudur. Perayaan ini diakhiri dengan melakukan meditasi pada detik-detik Waisak yang jatuh pada pukul 18:51:16 WIB. (andi).

  Julius Riyadi Darmaatmaja, The Chief of PHDI, Haksu Thjie Tjai Ing (Confucian), Djohan Effendi, Akbar Tanjung, Kwik Kian Gie, Jacob Nuawea, etc.

  This year's W aisak celebratio n w as themed “ Developing Self Control Toward Peaceful and Prosper Nation” . In his message, Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera emphasized the importance of reformation started with ourselves.

  F o r t h e m e a n t i m e , t h e W a i s a k co mmemo ratio n at Bo ro bud ur started by a procession from Mendut Temple to Borobudur Temple. This celebration ended by conducting meditation in the second of Waisak at 18:51:16 WIB. (andi).

  Edisi Juni 2002

  Tanggal 24-28 Juni 2002, bertempat di Hotel Sherato n Jo gjakarta, A CRP menyelenggarakan Sidang Umum-nya yang ke-6, dengan tema “ Asia, the Reconciler” (Asia, Pendamai” . Sidang ini, tadinya akan dilaksanakan pada November 2001, tetapi karena peristiwa WTC tanggal 11 September di New York, yang menyebabkan beberapa negara anggota ACRP mengalami kesulitan (Pakistan dan India), maka diputuskan sidang tersebut ditunda sampai dengan bulan Juni 2002. Diawali dengan dua pra- sidang, yaitu Pertemuan Pemuda (21-22 Juni), dan Perempuan (23 Juni). Sidang tersebut dibuka oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, dan diaw ali dengan tiga orang pembicara kunci, masing-masing: Presiden Kim Dae-jung (Korea Selatan), Swami Agnives (seorang spiritualis dari India), Prof. Syafii Maarif (salah seorang Presiden World Conference on

  On June 24-28 Juni 2002, at Sheraton Hotel, th Jogjakarta, ACRP held its 6 General Assembly under the theme of “ Asia, the Reconciler” . The assembly was supposed to be conducted in November 2001, but due to the WTC tragedy on September 11 in New York, numerous member countries experienced difficulties (Pakistan and India). Therefore, it was then decided that the assembly be postponed until the month of June 2002. Started by two pre-assemblies, i.e. The Youth Assembly (June 21-22), and Women's (June 23).

  The opening ceremony was inaugurated by President Megaw ati Soekarnoputri, and started by three keynote speakers: President Kim Dae-jung (South Korea), Swami Agnives (a spiritualist of India), Prof. Syafii Maarif (one of the Presidents of World

  Sidang Umum ke-6 Asian Conference on Religion and Peace (ACRP) TH

  The 6 Assembly of

  Para pemimpin agama - agama di Asia sedang memimpin doa dalam pembukaan Sidang ke - 6, tgl 24 Juni 2002, ACRP.

  Kolaborasi musik & sendratari Komunitas Tikar Pandan; Gita Savana IAIN Sunan Kalijaga; Duta Voice UKDW; dan Kelompok Jatilan dari Muntilan dalam pembukaan sidang ke VI ACRP

Asian Conference on Religion and Peace (ACRP)

  interfidei new sletter

O pini Religion and Peace, dari Indonesia)

  IV, Rekonsiliasi untuk keluarga yang harmonis- perempuan, anak-anak dan kemitraan; 5) Komisi V, Rekonsiliasi untuk budaya perdamaian-pendidikan dan pelayanan untuk perdamaian.

  Hal lain yang dianggap penting dalam persidangan ini adalah, terpilihnya 5 (lima) orang Presiden dan sejumlah Governing Board serta seorang moderator ACRP untuk masa tugas 5 (lima) tahun ke depan. Kelima orang Presiden itu, masing- masing dari Cina, Jepang, India, Pakistan dan Indonesia. Moderator terpilih adalah Prof. Mir Naw az-Khan Marw at (Pakistan-salah seo rang Presiden sekaligus mantan Moderator periode yang lalu). Untuk Governing Board, ada 6 (enam) orang dari Indonesia: Dr. Din Syamsuddin, Dr. Gde Natih. Dr. Fr. Johannes Hariyanto, Elga Sarapung, Prof. Dr. Machasin, Christina.

  Persidangan ini memberi kesan yang jelas, bagaimana agama-agama “ dipakai” hanya sebagai simbol saja, bukan sesuatu yang substantif sebagai nilai bersama untuk kebersamaan. Bagaimana persidangan semacam ini, yang mengatasnamakan agama-agama, tetapi justru sangat mementingkan “ bisnis” kepentingan kelompok sendiri. Semoga masih ada harapan untuk memperbaharui. (es)

  Conference on Religion and Peace, from Indonesia).

  The theme of the assembly was discussed in discussions in commissions. There are 5 (five) commissions: 1) Commission I, Reconciliation for Common Living Disarmament and Security; 2) Co mmissio n II, Reco nciliatio n fo r Just and Sustainable Development Economy and Ecology; 3) Commission III, How to Identify the Problem of Human Right in Asia and How to Promote it Human Dignity and Human Right; 4) Commission IV, Reconciliation for a Harmonious Family Women, Children, and Partnership; 5) Commission V, Reconciliation for a Culture of Peace Education and Service for Peace.

  Another matter considered important in the assembly was the choosing of 5 (five) Presidents and a number of Governing Board Members as well as a moderator for ACRP for the next five years. The five Presidents are each from China, Japan, India, Pakistan dan Indonesia. The elected Moderator is Prof. Mir Nawaz-Khan Marwat (Pakistan-one of the Presidents as well as the Moderator for the last period). For the Governing Board, there are 6 (six) members from Indonesia: Dr. Din Syamsuddin, Dr. Gde Natih, Dr. Fr. Johannes Hariyanto, Elga Sarapung, Prof. Dr. Machasin, and Christina.

  Tema sidang tersebut dibahas dalam diskusi- diskusi di komisi-komisi. Ada 5 (lima) komisi: 1) Komisi I, Rekonsiliasi untuk kehodupan bersama yang penuh damai-pelucutan senjata dan keamanan; 2) Komisi II, Rekonsiliasi untuk Keadilan dan Pembangunan yang berkelanjutan-Ekonomi dan Ekologi; 3) Komisi III, Rekonsiliasi untuk kehidupan y an g m e n g h arg ai k e b e rs am aan - m artab at kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia; 4) Komisi

  Edisi Juni 2002

  Dari banyak kalangan sering dilontarkan p e rtan y aan te n tan g p e ran ag am a d al am mentransformasi masyarakat. Pertanyaan tersebut sering dilontarkan dalam nada skeptis terutama ketika berbagai masalah mendesak dihadapkan pada masyarakat.

  Contoh mutakhir misalnya dalam bentuk konflik dan kemelut yang terjadi di negeri kita. Sudah barang tentu jawaban terhadap pertanyaan ini juga tidak bisa disederhanakan. Jawaban sederhana baik berupa “ ya” atau “ tidak” tidak akan membantu kita memahami persoalan yang sesungguhnya yang kita hadapi sekarang ini. Jawaban “ ya” mengandung

  From many circles, a question on the role of religions in transforming the society is often forwarded. Such a question is often asked in a skeptical tone, especially when various urgent issues are brought up to the society

  The very latest examples are in the figures of conflicts and crisis taking place in our country. Of course, the answer of such question cannot be simplified as well. A simple answer of “ yes” or “ no” will not be very helpful for us in understanding the real problems we are facing at the moment. The “ yes” answer comprises the truth equal to that of “ no” answer. One clear matter is that an absolute

  Peran Institusi Agama dalam Transformasi Masyarakat Dr. Th. Sumartana

  The Role of Religious Institution in the Transformation of Society Dr. Th. Sumartana

  This assembly gave a clear impression of how religions “ are used” merely as symbols, not as a substantive material as a collective value for togetherness. How could this assembly, that in religio n's name, instead put the prio rity the “ business” of the interest of their own groups? Hopefully, there is still a hope to reform

  interfidei new sletter

O pini

  kebenaran setara dengan jawaban “ tidak” . Yang jelas adalah: jawaban “ ya” absolut akan menyesatkan, begitu pula jawaban “ tidak” mutlak akan membuat kita salah mengerti tentang kebenaran agama.

  Mungkin yang paling “ save” adalah jawaban “ ya” dan “ tidak” sekaligus. Tak bisa disangkal bahwa agama-agama selama ini telah secara po sitif melakukan peran transformatif di masyarakat. Agama-agama memberikan identitas pribadi yang kuat terhadap seluruh kemanusiaan umatnya sebagai bagian dari kumpulan manusia yang mengalami dan memeluk moral yang baik. Mereka pun setiap kali disadarkan oleh komitmen bulat terhadap nilai-nilai moral yang luhur. Kebanggaan dan kepercayaan diri yang dipahami bisa lahir dari kesadaran akan kenyataan, bahwa dalam agama-agama dijamin keutuhannya sebagai manusia dan keselamatannya pun dijamin di dunia akhirat. Dengan kesadaran semacam ini mereka pun berada dalam sebuah suasana psikologis/ mental bahwa segala perbuatan mereka yang salah sudah diputihkan dengan keikutsertaan mereka dalam komunitas yang sudah selamat. Ko nsekuensi d ari keyakinan tentang keselamatan itu berpengaruh jauh pada pemahaman umat tentang misi yang mereka emban. Misi agama dimengerti selaku upaya untuk “ menyelamatkan m a n u s i a ” , “ m e n g u b a h d u n i a ” , d a n “ mentransformasi masyarakat” , agar manusia bisa hidup damai, sejahtera dan tak kurang suatu apa pun.

  Hal tersebut terakhir itu merupakan aspek yang bisa dikategorikan sebagai aspek normatif-ideal dari agama. Namun, kecuali itu, ada aspek lain yang harus kita cermati.

  Aspek tersebut khususnya menyangkut aspek emp irik, atau asp ek y ang lebih berd imensi pengalaman praksis dari umat beragama. Sudah bisa dibayangkan sebelumnya bahwa ada inkonsistensi dan ambivalensi dari tingkah laku umat di dalam d unia ny ata. Bag aimanap un id ealny a, umat beragama tetap berada dalam bingkai sejarah yang tidak pernah sempurna . Kegiatan praksis dari agama- ag am a ju g a sering kali tid ak m enu nju kkan kepedulian mereka pada persoalan-persoalan yang dihadapi di masyarakat. Misalnya, keterbelakangan, r e n d a h n y a p e n d i d i k a n , p e n g a n g g u r a n , k e ti d ak ad i l an , k e s e taraan je n d e r, p ro s e s demokratisasi, perlawanan terhadap pelanggaran hak-hak asasi m anusia, rasism e, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya. Nampak bahwa agama-agama kurang memberi perhatian serius dan malahan terlalu sibuk mengurus dirinya sendiri sehingga menampilkan sosok yang egois. Dalam kead aan semacam ini ag ama memang sulit d iharap kan banyak untuk menjad i kekuatan

  “ yes” answer will be misleading, as an absolute “ no” will make us misunderstand the truth of religions.

  Perhaps, the “ safest” is the answer of “ yes” and “ no” at once. It is undeniable that religions have so far positively played their transformation role in the society. Religions provide strong personal identity for all the humanity of their communities as a part of human beings experiencing and forming high morality. They are also realized each time by a determined commitment of divine moral values. Pride and self-confidence understood are able to be born out of awareness of reality that within religions, their completeness as human beings and their safety in the hereafter are ensured. With such awareness, they then exist in a psychological/ mental situation that all their wrongdoings have been purified by their inclusion in the already redeemed communities. The consequence of their faith in their salvation influences a lot the understanding of the religious communities on the mission they are carrying. Religion missions are understood as an effort to “ save human beings” , “ change the world” , and “ transform the society” , so that human beings could live in peace, prosperity, and welfare. The last matter is an aspect that could be categorized as the normative-ideal one of religions. However, apart from that, there is another aspect we should pay close attention to.

  This aspect in general concerns empirical aspect, or the aspect of more practical experience dimension from religious communities. It could be imagined before that there would be inconsistency and ambivalence from the behavior of religious communities in the real world. No matter how ideal they are, religious people stay in the historical frame that is never perfect. Practical programs of religions often do not show their concerns to the problems faced by the so ciety as w ell. Fo r example, retard atio n, the lo w lev el o f ed u c atio n, unem p lo y m ent, injustice, g end er eq uality , democratization process, struggle against human right violation, racism, environment damaging, etc. It seems that religions give less serious attention and even become too busy in taking care of themselves so as they appear as selfish figures. Within such a condition, religions are indeed difficult to be expected to be the transformation power within the society. On the contrary, they could be the burdens that even could make the society worry. Toward the

  Edisi Juni 2002

  interfidei new sletter

O pini

  transformatif di masyarakat. Sebaliknya malah bisa menjadi beban yang menyusahkan masyarakat. Terhadap kecenderungan gejala seperti itu, akibatnya warga masyarakat kurang mengharapkan banyak dari agama-agama. Mereka skeptis apakah di zaman sekarang ini agama-agama masih bisa diharapkan sebagai salah satu motor perubahan masyarakat. Institusi agama menjadi beban bagi dirinya sendiri guna menumbuhkan dinamika yang mendasari kekuatan transformatif itu.

  Seperti telah digambarkan di muka, agama- agama memang memiliki dua muka sekaligus yang tak bisa dipungkiri sebagai bagian esensial dari keberadaannya, yaitu sisi ideal dan sisi real. Agama tak bisa direduksi menjadi salah satu bagian dari dua hal tersebut. Dan juga agama-agama, terutama para elit p em ikir d an p ara p enentuny a sang at dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, baik untuk hal-hal yang positif maupun yang negatif. Dalam hubungan ini, pengaruh positif harus kontinu disosialisasikan secara sistematis. Proses ini bisa dilakukan dengan jalan membuka dialog terus- menerus, baik dialog antaragama, juga penting dialog antara agama dan lembaga-lembaga non- agama (seperti kalangan cendekiawan dan lembaga sw adaya masyarakat serta pemerintah). Proses dialog ini akan memberi suasana keterbukaan bagi agama-agama untuk terbuka kepada perkembangan m asy arakat y an g te rjad i , se kal i g u s ju g a mempertajam perikehidupannya untuk menjadi kekuatan pembaru di masyarakat. Kedewasaan para pemeluk agama merupakan prasyarat bagi agama untuk mampu menjalankan peran transformasinya.

  Alhasil bisa dikatakan, agama-agama akan tampil selaku kekuatan transformatif masyarakat yang banyak tergantung pada proses perubahan yang terjadi di dalam agama-agama itu sendiri. Apakah agama-agama sendiri sudah mengalami proses transformasi diri selaku kekuatan yang akan menjalankan perubahan dalam lingkungan yang lebih luas di masyarakat. Ini bukan sekedar permainan dari proses yang harus dilalui apabila kita memang berharap agar agama-agama memang mampu menjalankan peran transformatifnya di tengah masyarakat. Dengan singkat, agama yang t r a n s f o r m a t i f a k a n m e n ja l a n k a n p e r a n transformatifnya di masyarakat. Untuk itu perlu ditengarai seberapa jauh agama-agama bisa masuk dalam proses dialog yang memiliki kepekaan, k e m am p u an d an k o m i tm e n u n tu k tu ru t menentukan corak dan susunan masyarakat yang lebih terbuka, dinamis dan lebih manusiawi. Di situlah tugas transformasi bisa dijalankan dengan sewajarnya. tendency of such a symptom, as the result, the members of the society do not expect too much from religions. They are skeptical whether in the present time, religions could still be expected as one of the motors for the transformation of society. Religious institutions become the burden for themselves to grow the dynamics that serve as the basis for this transformation power.

  As depicted above, religions do have two sides at one time that cannot be denied as the essential parts of their existence, i.e. the ideal and real sides.

  Religions could not be reduced as one part of these two matters. As well as the religion elite and determiners, they are very effected by their surroundings, whether for positive as well as negative matters. In this relation, positive influence should be continuously socialized systematically. This process could also be controlled by organizing constant dialogues. A part from inter-religion dialogues, dialogues between religious institutions w ith n o n - re lig io u s in stitu tio n s ( su c h as ac ad e m i c i an s, N G O s, an d g o v e rn m e n tal institutions). This dialogue process shall provide us with an open condition for religions to be open to the progress of the society taking place, as well as with a transformation power for the society as the result of these religions' sharpening of life. The maturity of religious communities is the requirement for religions to be able to undergo their transformation role

  As the result, it could be said that religions would perform as the transformation power of the society that depends much on the process of changes taking place inside these religions themselves. Have these religions experienced the self-transformation process as the power that will conduct changes within a wider environment in the society? This is not merely a game of the process that must be undergone if we do expect that religions are indeed able to play their transformation role in the midst of the society. Shortly, transformative religions shall conduct their transformation role in the society. Therefore, a sign is needed as to how far religions could enter the dialogue process that has the sensitivity, ability, and commitment to take part in determining the patterns and structures of a more open, dynamic, and human society. There, the transf o rm atio n task c o u ld b e u nd erg o ne properly.

  Edisi Juni 2002

  interfidei new sletter Profil