T1 802008051 Full text

Abstrak

Salah satu mahasiswa asing di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) berasal dari
Korea Selatan. Mahasiswa Korea Selatan tersebut tentu mengalami berbagai kesulitan
karena adanya perbedaan nilai budaya. Kesulitan tersebut mengakibatkan tekanan
sehingga menimbulkan culture shock. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan
culture shock yang dialami mahasiswa Korea Selatan di Salatiga. Partisipan penelitian
yang digunakan sebagai narasumber dalam penelitian ini terdiri dari dua orang mahasiswa
UKSW yang berasal dari Korea Selatan. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan mengalami
culture shock ketika melakukan kontak budaya dengan budaya Indonesia. Culture shock
dialami baik secara afektif (affective), perilaku (behaviour) maupun pikiran (cognitive).
Selain itu, kedua partisipan juga sempat mengalami pengalaman buruk yang membuat
mereka kesulitan menyesuaikan diri dan menganggap orang Indonesia itu jahat. Upaya
penyesuaian diri yang dilakukan kedua partisipan dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Dari hasil penelitian tersebut, disarankan pada instansi pendidikan agar mengadakan
culture adjusment training sebagai bentuk preventif maupun kuratif akan culture shock
yang dialami mahasiswa asing UKSW ketika belajar di Salatiga.
Kata Kunci : Culture Shock, Mahasiswa Asing, Korea Selatan, UKSW, Salatiga

Abstract

From several foreign students studying in Satya Wacana Christian University (SWCU),
there are students from South Korea. The South Korean students experienced difficulties
due to the different cultures. Those difficulties caused pressure that triggered culture
shock. This study is aimed at portraying the culture shock experienced by those South
Korean students living in Salatiga. The participants of this study are two SWCU students
from South Korea. This study refers to descriptive qualitative research method. The result
of this study shows that both participants experienced culture shock during the cultural
contact with Indonesia cultural. Culture shock is experienced on affective, behavior, and
cognitive. Besides that, both participants also experienced ill-favored experiences that
made them find it hard to adjust with their environment, and considered Indonesians as
bad. Their environment influences the efforts they made to adjust. From the findings, it is
recommended that the educational institution conduct a culture adjustment training as a
preventive although curative endeavor to the culture shock experienced by the foreign
learners in SWCU, Salatiga.

Keywords: Culture Shock, Foreign student, South Korea, SWCU, Salatiga

1

PENDAHULUAN

Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga merupakan salah satu
institusi pendidikan yang selalu menerima mahasiswa asing tiap tahunnya. Ketika
penulis mengonfirmasi ke Bagian Administrasi dan Registrasi Akademik (BARA)
UKSW pada 20 November 2013, jumlah mahasiswa asing yang ada 144 orang.
Mahasiswa asing tersebut berasal dari Timor Leste, Jepang dan Korea Selatan.
Tabel 1. Data Mahasiswa Asing UKSW (Sampai angkatan 2013)
No

Negara

Jumlah (orang)

1.

Timor Leste

112

2.


Jepang

21

3.

Korea Selatan

11

Total Mahasiswa Asing

144

Mahasiswa asing tersebut memiliki motif ketika memutuskan melanjutkan
pendidikan ke luar negeri. Furnham dan Bochner (dalam Ward, 2001) merumuskan ada
beberapa motif mahasiswa belajar ke luar negeri, yakni mendapatkan gelar,
mendapatkan kemampuan akademik ataupun profesional, mempelajari budaya lain dan
menambah pengalaman personal. Ward (2010) menambahkan bahwa alasan mahasiswa
belajar ke luar negeri adalah untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Guna mendapatkan pendidikan yang lebih baik, para mahasiswa asing itu wajib
mempelajari Bahasa Inggris. Richard dan Rodgers (1986) berpendapat bahwa Bahasa
Inggris merupakan salah satu bahasa internasional yang diajarkan secara luas di berbagai
negara di dunia ini. Selain itu, banyak penduduk di berbagai negara memakai bahasa
Inggris sebagai alat komunikasi dalam berbagai pertemuan penting dalam tingkat
internasional. Selain itu, mahasiswa asing juga dianjurkan mempelajari bahasa nasional
dari negara tujuannya berkuliah. Untuk mahasiswa asing yang akan belajar di Indonesia,

2

mereka akan mempelajari Bahasa Indonesia lewat program BIPA (Mayanto, 2011).
Program BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) adalah program pembelajaran
bahasa Indonesia untuk orang-orang yang bahasa ibunya bukan bahasa Indonesia dan
yang berasal dari luar Indonesia.
Sekalipun para mahasiswa asing tersebut telah mempelajari bahasa Inggris
maupun bahasa Indonesia, mahasiswa asing masih merasa kesulitan beradaptasi dengan
lingkungan di Indonesia, seperti mahasiswa Korea Selatan yang berada di Yogyakarta.
Dalam sebuah studi, Zuraida (2011) menemukan bahwa para mahasiswa Korea Selatan
yang berada di Yogyakarta itu ternyata mengalami kendala dalam berkomunikasi dengan
mahasiswa pribumi, khususnya yang berasal dari suku Jawa. Kendala komunikasi ini

diakibatkan pelafalan atau intonasi yang disampaikan oleh mahasiswa Korea Selatan
kurang jelas atau terlalu cepat. Hal ini karena dalam beberapa huruf bahasa Indonesia
yang biasa digunakan tidak lazim dipakai orang Korea saat berbicara. Lebih lanjut, studi
ini menyimpulkan bahwa kendala dalam berkomunikasi ini membuat mereka mengalami
culture shock dan mempengaruhi proses adaptasi mahasiswa Korea Selatan. Persoalan
bahasa yang dialami oleh mahasiswa asing pernah dikupas oleh Furnham dan Bochner
(dalam Manz, 2003). Mereka menyatakan bahwa culture shock akan lebih cepat terjadi
jika budaya tersebut semakin berbeda, hal ini meliputi sosial, perilaku, adat istiadat,
agama, pendidikan, norma dalam masyarakat, dan bahasa. Hal ini berarti kualitas,
kuantitas dan lamanya culture shock yang dialami individu dipengaruhi oleh tingkat
perbedaan budaya antara lingkungan asal dan lingkungan baru individu.
Selain kendala komunikasi, para mahasiswa asing tersebut juga akan menemukan
beberapa kesulitan di negara tujuan pendidikannya. Kesulitan tersebut berupa
diskriminasi ras, masalah bahasa, kesulitan akomodasi, pantangan makanan, kesulitan

3

finansial, serta timbulnya salah pengertian, dan kesepian (Lin & Yi, 1997). Kesulitankesulitan tersebut terjadi karena adanya perbedaan nilai budaya sehingga menimbulkan
tekanan yang mengakibatkan suatu gegar budaya atau biasa disebut culture shock
(Munthe, 1996). Culture shock sendiri merupakan suatu proses aktif dalam menghadapi

perubahan saat berada di lingkungan yang tidak dikenal. Proses aktif tersebut melibatkan
affective, behavior, dan cognitive individu yaitu bagaimana individu tersebut merasa,
berperilaku dan berpikir ketika menghadapi pengaruh dari budaya kedua (Ward, 2010).
Culture shock memberikan dampak negatif bagi mahasiswa asing. Xia (2009)
menjelaskan bahwa individu yang mengalami culture shock akan mengalami kesulitan
dalam memperhatikan pembelajaran budaya baru, kurangnya kemampuan dalam
memecahkan masalah serta membuat keputusan, dan ketika individu gagal untuk
menangani culture shock, mereka cenderung menjadi bermusuhan dengan warga
pribumi, sehingga menyebabkan terhambatnya hubungan interpersonal. Hal ini
diperkuat oleh riset yang dilakukan oleh Thompson (2006) mengenai dampak dari
culture shock yang dialami oleh mahasiswa internasional untuk program S1 dan S2 di
sebuah universitas di Australia. Para mahasiswa tersebut mengakui mengalami stres
karena tekanan budaya baru, terutama yang berhubungan dengan komunikasi dengan
keluarga dan cara hidup. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi hasil akademik
para mahasiswa tersebut.
Hal tersebut ternyata berlaku juga pada seorang narasumber, seorang mahasiswa
UKSW yang berasal Korea Selatan. Pada wawancara 8 Juli 2013 lalu, narasumber
tersebut mengaku canggung ketika pertama kali berada di Salatiga, karena adanya
perbedaan budaya antara Salatiga dengan lingkungan asalnya. Perbedaan budaya
tersebut tidak hanya terjadi pada bahasa yang digunakan, tetapi juga kamar kecil, aturan


4

lalu lintas, sampai tempat makan. Apa yang dialami oleh narasumber tersebut sesuai
dengan gambaran dari dimensi affective culture shock milik Ward (2001), yang
menggambarkan individu kebingungan dan merasa kewalahan karena datang ke
lingkungan yang tidak dikenal. Individu tersebut akan merasa bingung, cemas,
disorientasi, curiga, bahkan sedih karena datang ke lingkungan yang tidak dikenal.
Perbedaan budaya yang dialami oleh narasumber tersebut membuat stresnya dan
ingin pulang ke Seoul, tetapi karena tidak diijinkan kembali ke Seoul oleh pamannya,
narasumber memilih melarikan diri dari rumah pamannya dan tidak berkuliah.
Narasumber juga menceritakan pengalaman lainnya, yaitu ketika dia dimarahi oleh
pemilik rumah indekosnya karena mengkonsumsi minuman beralkohol. Hal ini
membuat narasumber kaget, karena budaya mengkonsumsi minuman beralkohol itu
sudah jadi hal yang lumrah di Korea Selatan. Pengalaman dari narasumber tersebut
merupakan reaksi dari culture shock itu sendiri. Samovar (2010), menjelaskan pelbagai
reaksi dari culture shock, yakni benci terhadap lingkungan baru; mengalami disorientasi
diri; rasa penolakan; gangguan lambung dan sakit kepala; homesick atau rindu pada
rumah; rindu pada teman dan keluarga; merasa kehilangan status dan pengaruh; menarik
diri; dan menganggap orang-orang dalam budaya baru tidak peka pada dirinya. Samovar

menambahkan, reaksi-reaksi culture shock tersebut bervariasi antara satu individu
dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda.
Dari fenomena di atas, penulis merasa perlu mengangkatnya menjadi penelitian
dengan memakai metode kualitatif agar mendapatkan gambaran dinamika culture shock
pada mahasiswa asal Korea Selatan dan upaya yang dilakukan agar dapat menyesuaikan
diri dengan culture shock tersebut.

5

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.
Hal ini disesuaikan dengan sifat masalah yang akan diteliti karena tidak dapat diungkap
dengan menggunakan kuantitatif atau angka. Dalam penelitian tersebut data yang dapat
diperoleh berasal dari naskah wawancara dan observasi dengan tujuan agar dapat
mendeskripsikan realitas empiris di balik fenomena yang ada secara mendalam, rinci dan
tuntas. Selanjutnya data hasil wawancara akan dianalisis dengan teknik analisis tematik
yaitu teknik mencari tema-tema penting untuk mendeskripsikan fenomena (Daly,
Kellehear, & Gliksman, 1997, dalam Fereday & Muir-Cochrane, 2006). Selain itu juga
menggunakan teknik tringulasi yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai

pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2007).

Partisipan
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mendeskripsikan mengenai gambaran
culture shock pada mahasiswa UKSW dari Korea Selatan di Salatiga, sehingga sumber
data dalam penelitian ini adalah individu dengan karakteristik antara lain :
1. Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana.
2. Berasal dari Korea Selatan.
Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan melakukan pengetikan transkrip wawancara
dalam bentuk verbatim dengan cara mendengarkan hasil rekaman wawancara.
Selanjutnya peneliti melakukan proses pengodean pada transkrip wawancara guna
memudahkan dalam proses menganalisis data. Setelah itu hasil wawancara akan

6

dianalisis dengan teknik analisis tematik yaitu dengan mencari tema-tema penting untuk
mendeskripsikan fenomena yang muncul serta memberikan makna dari hasil pernyataan
yang diungkapkan oleh partisipan (Daly, Kellehear, & Gliksman, 1997, dalam Fereday
& Muir-Cochrane, 2006). Setelah tema – tema penting ditemukan, Poerwandari (2007)

juga menganjurkan untuk melakukan pengujian dugaan dan intepretasi.

HASIL
Hasil analisis data memunculkan beberapa tema seperti: berangkat ke Indonesia
dengan kekuatiran, munculnya culture shock akibat kontak budaya, sulitnya beradaptasi
akibat pengalaman buruk, penyesuaian diri dengan culture shock, dan munculnya
asimilasi budaya akibat dari penyesuaian diri.
Berangkat ke Indonesia Dengan Kekuatiran
Sebelum berangkat hingga datang ke Indonesia, kedua partisipan sempat merasa
takut karena adanya informasi bahwa di Indonesia banyak orang jahat. Selain rasa takut
akan orang jahat, kedua partisipan juga mengalami kekuatiran ketika sampai di Salatiga.
Hal ini digambarkan oleh kedua partisipan dalam kutipan berikut :
Tabel 2. Perasaan yang muncul sebelum berangkat sampai sesudah berangkat
Partisipan pertama

Partisipan kedua

Perasaan yang muncul sebelum berangkat ke
Salatiga


Perasaan yang muncul sebelum datang ke
Salatiga

“Pertama kali memang saya tidak mau datang ke
sini karena takut”

“Ya, seperti yang saya bilang tadi, untuk hidup
di sini, bukan kuatir bagaimana saya hidup di sini
dengan baik. Seperti apa, pola hidup saya akan
seperti apa, “

“Jadi saya percaya bahwa di Indonesia banyak
sekali orang yang jahat. Itu yang bikin saya
takut”

7

Perasaan yang muncul pertama kali ketika
datang ke Salatiga:

Perasaan yang muncul pertama kali ketika
datang ke Salatiga:

“Sebenarnya saya sedikit menyesal ke sini. Itu
karena... Kan, saya ke Salatiga untuk masuk ke
UKSW. Tapi rasanya seperti desa, jadi pasti
sedikit bosan juga dan kelihatan tidak ada seperti
mall juga. Ya, sempat juga takut.

“Takut. Soalnya saya sering dengar. Sama orang
asing kadang ada mainan di situ. Kalau naik taksi
pun dibohongi, diputar-putar.”

Hal-hal yang membuat perasaan tersebut
berkurang:
“Kalau saya tidak begitu perduli dengan kualitas
makanan, ya jadi saya coba makanan di warung,
numpang makan di pinggir jalan juga ternyata
walaupun murah dan kelihatan kotor itu ternyata
lebih enak daripada makanan di Restoran.”
“Dan setelah saya bisa berbahasa Indonesia, dan
tambah teman juga bercakap-cakap dengan
orang-orang Indonesia, ternyata orang yang jahat
tidak banyak.”

Hal-hal yang membuat perasaan tersebut
berkurang:
“Lalu saya ketemu kakak saya. Karena kakak
saya tinggal di sini, saya ketemu sama kakak
saya di bandara Jakarta. Terus, tancap ke
Semarang. Di Semarang saya dijemput wali
saya. Terus ke Salatiga. Setelah sampai, saya ke
tempat orang Korea. Ada orang-orang Korea
sendiri di Salatiga,. Di situ, saya merasa tidak ada
beban”

Munculnya Gejala Culture Shock Akibat Perbedaan Budaya
Ketika tinggal di Salatiga, kedua partisipan melakukan kontak budaya dan
menemukan persamaan maupun perbedaan budaya dengan negara asalnya. Ketika kedua
partisipan menemukan perbedaan budaya dengan negara asal, mereka mengalami gejala
culture shock. Gejala-gejala culture shock tersebut muncul kutipan berikut :
Tabel 3. Tabel gejala culture shock yang muncul
Partisipan pertama

Partisipan kedua

Afektif

Afektif

 Kaget karena di Indonesia diperbolehkan
untuk merokok di tempat umum.
“Dan ah, pertama kali saya ada di Salatiga, hal
yang paling.. paling bikin kaget itu... ah,
mungkin bukan hanya di Salatiga, tapi di
Indonesia itu bisa merokok di mana saja. Kalau
sekarang di Korea, di pinggir jalan merokok,
bakal ditangkap. Setelah itu disuruh bayar
denda.”

 Bingung karena gaya berpakaian dianggap
turis
“Tetapi saya cuma bingung sebentar. Oh, ini
salah? Karena enggak tahu. Malah yang ada
sering dibilang turis”

 Kebingungan ketika memakai kamar kecil
“Iya, bingung. Nah ketika pertama kali saya
pup, saya salah duduk arahnya. Jadi saya yang
mestinya lihat ke depan, saya duduknya
menghadap arah ke belakang..”

 Marah karena gaya berpakaiannya yang
informal dianggap turis
“Awalnya saya melawan. Saya kan tidak
salah. Kenapa kalian omong kaya gitu? Dan
saya tetap pakai celana pendek, lengan

8

 Gugup karena diajak pacar bertemu dengan
orang tua
“Nah, kalau di Korea itu, kalau pacar mengajak
saya bertemu dengan orang tua, artinya ia ingin
menikah. Gara-gara itu, waktu pacar saya ajak
saya bertemu dengan orangtuanya, saya sangat
gugup juga”

pendek, pakai sandal jepit. Kalau saya masuk
kuliah saya pun pakai celana pendek.”

Perilaku

Perilaku

 Salah arah ketika memakai kamar kecil
“Nah, kalau pup biasanya kan menghadap ke
depan dan airnya di belakang kan. Nah, kalau
di Korea ada di depan. Nah ketika pertama kali
saya pup, saya salah duduk arahnya. Jadi saya
yang mestinya lihat ke depan, saya duduknya
menghadap arah ke belakang.”

 Keliru jam malam waktu di rumah walinya
“Dan ketika saya pulang jam 11 atau 12
malam, mereka kayanya jadi tidak terlalu suka.
Yang di pos, orang yang jaga, selalu nglihatin
dengan pandangan yang ga enak gitu.”

Kognisi

Kognisi

 Menganggap orang Indonesia jahat
“Dan di media sering ada pemberitaan bahwa
ada banyak orang yang jahat dari Indonesia.
Jadi saya percaya bahwa di Indonesia banyak
sekali orang yang jahat.”

 Menganggap wanita di Indonesia gampang
berselingkuh
“ketemu pacar yang ternyata gampang
selingkuh. Soalnya yang saya tahu perkenalan
di sini itu terlalu bebas. Cewek itu sudah
cowok, dan di sekitarnya masih banyak cowok
yang ingin ambil cewek itu. Jadi masih
diganggu terus padahal ada cowoknya.”

 Menganggap ajakan pacarnya untuk
bertemu dan makan bersama dengan orang
tua sebagai ajakan menikah
“waktu di sini, sudah mulai pacaran, saya
diajak ketemu dengan orang tua pacar saya.
Nah, kalau di Korea itu sangat aneh. Sebab,
kalau pacar mengajak saya bertemu dengan
orang tua, artinya ia ingin menikah”

 Salah berpakaian ketika pergi ke gereja dan
kuliah
“Dan di gereja, kalau pakai pants (celana
pendek) ga apa-apa di Korea. Terus pakai
celana pendek atau baju-baju yang tidak
berkerah dan santai juga enggak apa-apa.
Tetapi begitu di sini, saya kan enggak tahu,
karena enggak tahu budaya semacam itu, saya
pakai baju yang santai sekali”
“kalau saya masuk kuliah, saya pun pakai
celana pendek, baju lengan pendek (tidak
lengan) lalu pakai sandal jepit”

 Menganggap orang Indonesia takut pada
homoseksual
“...pergaulannya sedikit berbeda dengan yang
saya alami ketika ada di Korea. Di sini banyak
sekali ketakutan akan homo.”
 Menganggap orang suku Jawa itu munafik
“Dari sana, saya pikir mereka munafik sekali.
Di belakang mereka ngomong seperti itu, tetapi
ketika di depan saya mereka ngomong seperti
itu. Jadi saya kira mereka Jawa yang tidak
baik.”

9

Sulitnya Beradaptasi Karena Pengalaman Buruk
Setelah kedua partisipan mengalami culture shock, kedua partisipan juga
mengalami pengalaman buruk. Pengalaman buruk tersebut membuat mereka mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan asing. Pengalaman buruk tersebut
digambarkan dalam kutipan sebagai berikut:
Tabel 4. Pengalaman buruk yang dialami


Partisipan pertama

Partisipan kedua

Dimintai uang oleh temannya dengan
paksa

 Digosipkan homoseksual oleh teman sekos

“Hmm... Kemarin ada satu teman, ia dekati aku.
Setelah ia jadi lumayan dekat, tiba-tiba ia minta
uang ke aku. Takut juga. Itu waktu itu dia datang
sampai ke kosku juga.”


Telepon genggamnya dicuri

“kemarin telepon genggam saya baru saja dicuri
di kamar kos saya. Saat itu saya sedang tertidur.

“semua teman-teman bilang saya manusia
homo. Maho”

 Digosipkan sebagai anak nakal oleh
tetangga
“Yang di pos, orang yang jaga, selalu
nglihatin dengan pandangan yang ga enak
gitu. Ternyata lama-lama itu jadi gosip. Lalu
saya dianggap anak yang tidak baik di daerah
situ.

Upaya yang Dilakukan Untuk Menyesuaikan Diri
Sekalipun kedua partisipan mengalami pengalaman buruk, mereka tetap berusaha
menyesuaikan diri dengan budaya baru. Upaya tersebut dipengaruhi oleh hal-hal yang
membuat mereka dapat menyesuaikan diri. Upaya dan hal-hal yang membuat kedua
partisipan cepat beradaptasi digambarkan lewat kutipan berikut:
Tabel 5. Hal-hal yang cepat membuat beradaptasi dan cara adaptasi
Partisipan pertama
Cara adaptasi
“Hhmm... itu kalau pertama aku, privat sama
orang Indonesia. Setelah itu, saya cari teman
untuk bisa mengajar aku juga. Lalu kadang saya

Partisipan kedua
Cara adaptasi
“Karena saya tinggal di sini, bukan sebagai orang
Korea, tetapi sebagai orang asing yang tinggal di
lingkungannya”

10

belajar dengan pacar saya karena kalau sama
pacar, nanti akan dikoreksi dengan baik,”

Hal-hal yang membuat cepat beradaptasi
“Ya, karena yang tadi aku jawab. Ya, mulai dari
sosial, adat istiadat, pendidikan, banyak yang
sama, ya jadi bisa cepat beradaptasi. Selain itu,
banyak juga teman yang suka Korea, jadi mereka
lumayan tahu budaya Korea. Jadi mereka
mengerti, kalau saya salah mereka perbaiki.”

Hal-hal yang membuat cepat beradaptasi
“Pemikiran. Terutama pemikiran yang “aku di
sini orang asing. Jadi apa yang sama alami dan
hadapi, pasti tidak akan sesuai dengan keadaan di
sana.”
“makanan yang enak.”
“Dan ah, teman-teman yang agak heboh dengan
budaya Korea, dan suka artis-artis Korea, itu
membuat saya yang biasa di Korea sana,
membuat saya di sini sedikit spesial”

Munculnya Asimilasi Budaya Akibat Penyesuaian Diri
Setelah kedua partisipan menyesuaikan diri dengan budaya di lingkungan baru,
mereka menemukan nilai budaya baru. Hal itu dapat terungkap dari beberapa pernyataan
kedua partisipan sebagai berikut:
Tabel 6. Nilai budaya yang didapatkan dan diaplikasikan
Partisipan pertama
Nilai sopan santun
Kalau di Indonesia, kalau ketemu tetangga,
walaupun tidak begitu kenal, tetap bilang “oh
iya, selamat pagi”; “selamat sore”. Tapi kalau di
Korea tidak.begitu baik, hanya saling cuek, ya
seperti itu. itu menurut aku bagus

Partisipan kedua
Nilai sopan santun
“Yah, menyapa orang. Tetapi bukan secara
langsung. Cuma bisa kasih senyuman. Lalu say
hello, pada orang lain. Soalnya dulu di Korea
kan, kasiuh senyuman tidak mungkin. Langsung
lewat saja. Itu yang bisa saya terapkan ketika
saya ada di Korea.”

11

PEMBAHASAN
Kedua partisipan melanjutkan studi dengan alasan yang berbeda. Pada partisipan
kedua lebih dikarenakan adanya kerabat di Salatiga, sehingga dapat membantunya
beradaptasi, sedangkan partisipan pertama dikarenakan ingin mendapatkan gelar. Alasan
yang dikemukakan partisipan pertama sejalan dengan Furnham dan Bochner (dalam
Ward, 2001), yang mengatakan bahwa ada empat motif mahasiswa asing belajar ke luar
negeri, yaitu mendapatkan gelar, mendapatkan kemampuan akademik ataupun
profesional, mempelajari budaya lain, dan menambah pengalaman personal. Selain itu,
Ward (2010) menambahkan bahwa alasan utama para mahasiswa asing itu belajar ke luar
negeri adalah agar mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik.
Sebelum keberangkatan bahkan sampai ke Indonesia, kedua partisipan mengalami
kekuatiran hidupnya di Salatiga kelak karena menganggap Salatiga itu seperti hutan atau
kampung sebab gedungnya tidak tinggi, kuno, banyak pohon, dan tidak ada apartemen
atau pun mall. Selain rasa kuatir, pada partisipan pertama ditemukan juga perasaan
menyesal dan menduga akan bosan ketika sampai di Salatiga. Kekuatiran yang dialami
kedua partisipan tersebut disebabkan kedua partisipan tidak memiliki pengalaman lintas
budaya sebelumnya. Pengalaman individu di masa lampau ketika berada di lingkungan
baru akan memiliki pengaruh kuat pada proses adaptasi yaitu seperti pengalaman
bagaimana individu menerima perlakuan dari penduduk lokal (Furnham dan Bochner,
dalam Manz 2003).
Ketika kedua partisipan tinggal di Salatiga, mereka melakukan kontak budaya
dengan lingkungan baru. Dalam kontak budaya tersebut mereka menemukan persamaan
dan perbedaan budaya dengan negara asal. Persamaan budaya yang ditemukan oleh kedua
partisipan yang dilihat dari sisi sosial, adat istiadat, agama, pendidikan, norma sosial, dan

12

bahasa (Furnham dan Bochner, dalam Manz, 2003). Pada sisi sosial, partisipan pertama
menemukan kesamaan aktivitas yang dilakukan setelah pulang kuliah, sedangkan
partisipan kedua menemukan kesamaan pada topik pembicaraan ketika sedang
berkumpul dengan teman. Untuk sisi adat istiadat, partisipan pertama menemukan
kesamaan pada tata perkenalan dan cara berpacaran, sedangkan partisipan kedua
menemukan kesamaan pada makanan pokok dan alat makan. Pada sisi agama, partisipan
pertama tidak menemukan kesamaan karena karena dirinya ateis, sedangkan partisipan
kedua menemukan kesamaan pada tata liturgi atau susunan acara di gereja. Sisi
pendidikan, partisipan pertama menemukan kesamaan diperbolehkannya memakai sandal
ketika masuk ke kelas dan alat ajar yang dipakai oleh dosen adalah Power Point,
sedangkan partisipan kedua menemukan kesamaan pada tingkatan pendidikan yang
dimulai dari SD, SMP, SMA atau SMK. Di sisi norma sosial, partisipan pertama maupun
partisipan kedua sama-sama menemukan kesamaan bahwa tidak boleh bersuara sambil
makan. Partisipan kedua juga menambahkan kewajiban untuk antri. Dalam bahasa, kedua
partisipan juga sama-sama menemukan level (tingkatan) bahasa yang digunakan untuk
orang yang lebih tua atau lebih muda pada Bahasa Jawa. Untuk Bahasa Indonesia,
partisipan kedua menemukan kesamaan yaitu kedua negara sama-sama menyerap Bahasa
Inggris dan Jepang.
Selain persamaan budaya dengan negara asal, kedua partisipan juga menemukan
berbagai perbedaan budaya ketika berada di Indonesia. Pada partisipan pertama
menemukan bahwa di Indonesia tidak diperbolehkan minum beralkohol, diperbolehkan
merokok secara bebas di tempat umum, dan kekeliruan ajakan makan malam dari pacar,
sedangkan partisipan kedua menemukan bahwa di Indonesia tidak diperbolehkan gaya
berpakaian informal ketika berkuliah dan pacaran di Indonesia rentan akan

13

perselingkuhan. Kesamaan perbedaan budaya yang ditemukan oleh kedua partisipan
adalah penggunaan kamar kecil.
Perbedaan budaya tersebut menimbulkan kebingungan pada kedua partisipan. Pada
partisipan pertama merasa kebingungan ketika memakai kamar mandi, sedangkan pada
partisipan kedua mengalami kebingungan karena gaya berpakaiannya dianggap turis.
Selain itu, pada partisipan pertama juga muncul kekagetan karena di Indonesia
diperbolehkan merokok di tempat umum dan kegugupan ketika diajak pacarnya untuk
makan bersama kedua orang tuanya, sedangkan pada partisipan kedua merasa marah
karena gaya berpakaiannya yang informal dianggap turis. Perasaan kedua partisipan
tersebut sesuai dengan dimensi afektif culture shock yang dipaparkan oleh Ward (2001),
bahwa individu yang datang ke lingkungan baru akan mengalami kebingungan, merasa
kewalahan, cemas, disorientasi, curiga, bahkan sedih karena datang ke lingkungan yang
baru. Selain itu, perbedaan budaya tersebut juga membuat kedua partisipan melakukan
kekeliruan perilaku atau kebiasaan ketika berada di Salatiga. Partisipan pertama sempat
salah arah ketika memakai kamar kecil, sedangkan partisipan kedua mengalami
kekeliruan dalam jam malam ketika menginap di rumah walinya dan keliru berpakaian
ketika pergi ke gereja dan kuliah. Kekeliruan yang dialami kedua partisipan merupakan
dimensi behaviour culture shock dari Ward (2001), yang menyatakan bahwa individu
mengalami kekeliruan aturan, kebiasaan dan asumsi-asumsi yang mengatur interaksi
interpersonal mencakup komunikasi verbal dan nonverbal yang bervariasi di seluruh
budaya. Kekeliruan perilaku tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman dan
menyebabkan pelanggaran.
Perbedaan budaya tersebut juga membuat kedua partisipan berpikiran negatif
mengenai lingkungan sosialnya. Partisipan pertama menganggap bahwa orang Indonesia

14

itu jahat karena di media banyak memberitakanbahwa di Indonesia banyak sekali orang
jahat, sedangkan pada partisipan kedua menganggap wanita Indonesia itu gampang
berselingkuh karena pergaulan yang bebas, menganggap orang Indonesia, khususnya
suku Jawa, itu munafik karena plin-plan dan menganggap orang Indonesia itu takut
dengan homoseksual. Selain itu, pada partisipan pertama ditemukan juga salah mengira
ajakan pacarnya untuk makan bersama orang tua sebagai ajakan menikah. Pikiran negatif
kedua partisipan mengenai lingkungan sosial merupakan dimensi cognitive culture shock,
yang mana hilangnya hal-hal yang dianggap benar oleh individu akibat terjadinya kontak
budaya (Ward, 2001).
Gejala-gejala yang muncul pada kedua partisipan, baik itu ketika merasa (affective),
berperilaku (behaviour) dan berpikir (cognitive) saat mengalami perbedaan budaya
merupakan proses aktif dalam menghadapi pengaruh budaya kedua saat berada di
lingkungan yang tidak dikenal atau yang disebut culture shock (Ward, 2001).
Setelah kedua partisipan mengalami culture shock, mereka juga mengalami
pengalaman buruk. Partisipan pertama mengalami pengalaman buruk ketika dimintai
uang oleh temannya dengan paksa dan telepon genggamnya dicuri, sedangkan partisipan
kedua mengalami pengalaman buruk ketika difitnah sebagai homoseksual oleh temanteman serumah indekosnya dan digosipkan sebagai anak nakal oleh tetangga rumah
walinya. Adanya pengalaman buruk tersebut membuat kedua partisipan mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan asing. Hal ini sesuai dengan
Scheniders (1964) yang menyatakan bahwa individu yang tinggal di lingkungan yang
tidak nyaman, tidak damai, dan tidak aman akan mengalami gangguan dalam melakukan
proses penyesuaian diri. Selain itu, pengalaman buruk tersebut membuat kedua partisipan
sama-sama memandang orang Indonesia itu jahat. Hal ini tentunya akan menimbulkan

15

reaksi culture shock yang dipaparkan oleh Samovar (2010) seperti benci terhadap
lingkungan baru, mengalami disorientasi diri, rasa penolakan, gangguan lambung, sakit
kepala, homesick atau rindu pada rumah, rindu pada teman dan keluarga, merasa
kehilangan status dan pengaruh, menarik diri dan menganggap orang-orang dalam budaya
baru tidak peka pada dirinya.
Sekalipun sempat mengalami pengalaman buruk, kedua partisipan tetap berusaha
menyesuaikan diri dengan budaya baru. Pada partisipan pertama memilih les privat
dengan orang Indonesia, lalu bergaul dan berkomunikasi dengan orang Indonesia,
sedangkan cara penyesuaian diri partisipan kedua adalah berusaha berkompromi dengan
budaya dan aturan sosial yang ada di sekitarnya, agar dapat diterima dengan baik dan apa
adanya. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh kedua partisipan tersebut menunjukkan
bahwa kedua partisipan tidak mengalami dampak negatif dari culture shock seperti yang
dijelaskan oleh Xia (2009), bahwa individu yang mengalami culture shock akan
mengalami kesulitan dalam memperhatikan pembelajaran budaya baru, kurangnya
kemampuan dalam memecahkan masalah serta membuat keputusan, dan ketika individu
gagal untuk menangani culture shock, mereka cenderung menjadi bermusuhan dengan
warga pribumi, sehingga menyebabkan terhambatnya hubungan interpersonal.
Upaya-upaya penyesuaian diri kedua partisipan dipengaruhi bervariasinya faktorfaktor yang mendukung mereka dapat cepat beradaptasi. Kesamaan faktor yang dapat
membuat cepat beradaptasi dari kedua partisipan adalah adanya teman-teman yang suka
dengan budaya Korea. Hal ini membuat kedua partisipan mendapat perhatian lebih
daripada di Korea Selatan dan teman-temannya dapat menjadi pengingat bila mereka
melakukan kesalahan. Selain itu, dari partisipan pertama merasa banyaknya kesamaan
dalam berbagai bidang antara Indonesia dengan Korea, baik itu di bidang sosial, adat

16

istiadat, norma sosial, pendidikan dan bahasa, sedangkan pada partisipan kedua berpikir
bahwa perlunya menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada dan adanya faktor
makanan enak. Adanya teman-teman yang suka dengan budaya Korea menunjukkan
bahwa keadaan lingkungan menjadi salah satu faktor yang membuat kedua partisipan bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak dikenalnya. Hal ini sesuai dengan
Scheniders (1964) yang menyebutkan bahwa keadaan lingkungan yang baik, damai,
aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada
anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian
diri.
Setelah menemukan cara menyesuaikan dengan lingkungan baru, kedua partisipan
juga melewati proses asimilasi budaya. Kesamaan nilai budaya yang diasimilasikan oleh
kedua partisipan adalah nilai budaya menyapa orang lain. Nilai tersebut dalam
masyarakat Jawa merupakan nilai kerukunan. Nilai kerukunan bertujuan untuk
mempertahankan keadaan masyarakat yang harmonis. Atas prinsip kerukunan, orang
Jawa berusaha untuk menghilangkan tanda-tanda ketegangan masyarakat atau antar
pribadi, sehingga hubungan sosial tetap tampak harmoni dan baik (Suseno, 1984).

17

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dalam penelitian ini diperoleh
kesimpulan bahwa dinamika culture shock yang dialami mahasiswa Korea Selatan di
Salatiga terjadi ketika kedua partisipan mengalami kontak budaya, khususnya ketika
menemukan perbedaan budaya. Culture shock kedua partisipan sendiri muncul, baik itu
ketika merasa (affective), berperilaku (behaviour) dan berpikir (cognitive) ketika
menemukan perbedaan budaya. Secara afektif, kedua partisipan mengalami kebingungan
ketika mengalami perbedaan budaya. Pada partisipan pertama merasa kebingungan ketika
memakai kamar mandi, sedangkan pada partisipan kedua mengalami kebingungan karena
gaya berpakaiannya dianggap turis. Selain itu, pada partisipan pertama juga muncul
kekagetan karena di Indonesia diperbolehkan merokok di tempat umum dan gugup ketika
diajak pacarnya untuk makan bersama kedua orang tuanya, sedangkan pada partisipan
kedua merasa marah karena gaya berpakaiannya yang informal dianggap sebagai turis.
Kedua partisipan melakukan kekeliruan perilaku atau kebiasaan ketika berada di Salatiga.
Partisipan pertama sempat salah arah ketika memakai kamar kecil, sedangkan partisipan
kedua mengalami kekeliruan dalam jam malam ketika menginap di rumah walinya dan
keliru berpakaian ketika pergi ke gereja dan kuliah. Perbedaan budaya tersebut juga
membuat kedua partisipan berpikiran negatif mengenai lingkungan sosialnya. Partisipan
pertama menganggap bahwa orang Indonesia itu jahat karena di media banyak
memberitakanbahwa di Indonesia banyak sekali orang jahat, sedangkan pada partisipan
kedua menganggap wanita Indonesia itu gampang berselingkuh karena pergaulan yang
bebas, menganggap orang Indonesia, khususnya suku Jawa, itu munafik karena plin-plan
dan menganggap orang Indonesia itu takut dengan homoseksual. Selain itu, pada

18

partisipan pertama ditemukan juga salah mengira ajakan pacarnya untuk makan bersama
orang tua sebagai ajakan menikah.
Kedua partisipan juga berusaha menyesuaikan diri dengan budaya baru dengan
beberapa upaya. Pada partisipan pertama memilih les privat dengan orang Indonesia, lalu
bergaul dan berkomunikasi dengan orang Indonesia, sedangkan cara adaptasi partisipan
kedua adalah berusaha berkompromi dengan budaya dan aturan sosial yang ada di
sekitarnya, agar ia dapat diterima dengan baik dan apa adanya. Upaya penyesuaian diri
tersebut dipengaruhi adanya teman-teman kedua partisipan yang suka dengan budaya
Korea. Hal ini membuat kedua partisipan merasa diperhatikan karena diingatkan
bilamana mereka melakukan kesalahan.
Dari kesimpulan tersebut, penulis menyarankan agar pihak universitas lebih
memperhatikan mahasiswa asing yang berkuliah di UKSW karena perbedaan budaya
yang ada dapat menimbulkan culture shock. Oleh karena itu, guna menanggulanginya
pihak universitas dapat bekerja sama dengan pihak Fakultas Psikologi untuk mengadakan
culture adjusment training sebagai bentuk kuratif sekaligus preventif akan culture shock
yang dialami para mahasiswa asing. Cultural adjusment training merupakan bentuk
pelatihan lintas budaya yang dapat membantu partisipan yang mengalami culture shock
untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Penelitian yang dilakukan oleh Indrianie
(2012) menunjukkan bahwa pemberian culture adjustment training terjadi penurunan
derajat culture shock pada mahasiswa Universitas Kristen Maranatha Bandung yang
berasal dari luar Jawa Barat. Untuk para mahasiswa Korea Selatan yang ada di UKSW
agar memanfaatkan kesamaan nilai budaya antara negara asal dengan Indonesia. Dengan
begitu, individu akan menjadi lebih merasa dekat dengan negara baru yang didatanginya.
Hal ini menimbulkan perasaan memiliki dan mengenal, sehingga mengurangi perasaan

19

terasing yang dialami akibat culture shock (Guanipa, 1998). Selain itu, mahasiswa Korea
Selatan yang ada di UKSW juga mesti lebih terbuka dengan budaya baru di lingkungan
sekitar. Puspa Kirana (2012) menemukan bahwa sikap terbuka yang dilakukan oleh
pekerja Jepang dengan orang Indonesia di Surabaya membuat stres yang dialami karena
culture shock menghilang.
Keterbatasan penulis dalam penelitian ini adalah kurangnya partisipan yang mau
berpartisipasi dalam penelitian ini. Hal ini berpengaruh pada data yang diperoleh kurang
menggambarkan secara luas bagaimana dinamika culture shock yang terjadi pada
mahasiswa Korea Selatan di Salatiga. Selain itu, partisipan yang bersedia mengikuti
penelitian ini sudah cukup lama tinggal di Indonesia, sehingga menyebabkan derajat
culture shock yang dialami sudah berkurang dan sudah mulai menyesuaikan diri dengan
lingkungan di sekitar.

20

DAFTAR PUSTAKA
Cameron, H. (2010). Managing culture shock for First Year International students
entering Australian universities. Journal of school of Psychology, Social Work,
and Social Policy University of South Australia. Diakses dari
http://fyhe.com.au/past_papers.
Chapman, A. (2005). Culture Shock and the International Student “Offshore”. Journal
of Research in International Education, 4, 23-42. Diakses dari Sage Journals
database
Chin Choi, S. (1994). Psychology of the Korean People: Collectivism and Individualism.
Korean Psychological of Association.
Crystal, D. (2000). The Cambridge Encyclopedia of Language 3rd (Third) edition.
Cambridge University Press.
Gunawan, Samuel. (2008). Ancangan Pengembangan Kompetensi Berbahasa dalam
Kelas BIPA untuk Mahasiswa Program Pertukaran. Yogyakarta. Diakses dari
researchgate
Guanipa, C. (1998). Culture Shock and The Problem of Adjustment to New Cultural
Environment. Diakses dari www. worldwide. edu/planning_guide/culture_reentry_shock.html
Fereday, J., & Muir-Cochrane, E. (2006). Demonstrating rigor using thematic analysis:
A hybrid approach of inductive and deductive coding and theme development.
International Journal of Qualitative Methods, 5 (1), 1-11. Diakses dari
http://ejournals.library.ualberta.ca/index.php/IJQM/article/view/4411.
Frandawati. (2009). Gambaran Culture Shock Mahasiswa Asing Asal Malaysia di
Universitas Sumatera Utara. (Skripsi Tidak Dipublikasikan). Universitas
Sumatera Utara.
Herdiansyah, H. (2010). Metode Penelitian Kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta:
Salemba Humanika.
Indrianie, E. (2012). Culture Adjusment Training untuk Mengatasi Culture Shock pada
Mahasiswa baru yang Berasal dari Luar Jawa Barat. INSAN Vol. No. 03, Desember
2012. Diakses dari journal.unair.ac.id
Kirana, P. (2012). Strategi Adaptasi Pekerja Jepang Terhadap Culture Shock: Studi
Kasus Terhadap Pekerja Jepang di Instansi Pemerintah di Surabaya.
JAPANOLOGY, VOL. 1, NO. 1, SEPTEMBER 2012 : 1 – 11. Diakses dari
journal.unair.ac.id

21

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. (2007). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Lin, J.G., & Yi, J.K. (1997). Asian international students’ adjustment: Issues and
program suggestions. College Students Journal, 31(4)5, 473-485 Diakses dari
ebscohost connection.
Manz, S. (2003). Culture Shock-Causes, Consequences and Solutions: The
International Experience. Munich: GRIN Publishing GmbH. Diakses dari
http://www.grin.com/en/e-book/108360/culture-shockcausesconsequences-andsolutions-the-international-experience.
Maryanto. (2011). Tes UKBI dan Pengajaran BIPA. Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional. Diakses dari www.lalf.edu/kipbipa/papers.maryanto.doc.
Muliastuti, L. (2010). Meningkatkan Citra Indonesia melalui Pengajaran Bahasa
Indonesia
bagi
Penutur
Asing.
Diakses
dari
http://unj.ac.id/fbs/sites/default/files/MENINGKATKAN%20CITRA%20INDO
NESIA%20MELALUI%20BIPA.pdf
Munthe, Y. R. (1996). Hubungan Kesulitan Penyesuaian Diri dan Depresi Mahasiswa
Internasional: Penelitian pada Mahasiswa Indonesia di sekitar Washington DC.
(Skripsi Tidak Dipublikasikan) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Milton, T.J. (1998). Understanding Culture Shock. FAO Journal, 2, 11-14. Diakses dari
ebscohost connection.
Oberg, K. (1960). Culture Shock: Adjusment to new cultural environments. Practical
Anthropology,
7,
177-182.
Diakses
dari
http://agemethnomedizin.de/download/cu29_2-3_2006_S_142-146_Repr_Oberg.pdf
Prasetya, B. (2008). Fenomena Culture Shock. Jurnal Psiko Wacana Vol. VII, No 1.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi.
Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi
UI.
Richards, J.C., & Rodgers, T.S. (1986). Approaches and Methods in Language
Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Schneider, R. E. (1964). Methods and Materials of Health Education. Philadelphia :
Saunders Company. Diakses dari Libgen.info.

22

Suseno, F. M. (1984). Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijakan Hidup Di
Jawa. Jakarta : Gramedia.
Sujana, M. (2012). Program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA): Peluang,
Tantangan dan Solusi. Makalah disampaikan pada “Seminar Internasional
“Menimang Bahasa Membangun Bangsa” Diselenggarakan oleh FKIP
Universitas Mataram di Hotel Grand Legi Mataram, Lombok, NTB, 5-6
September 2012.
Samovar, L. A., Richard, R. P., & Edwin, R. M. (2010). Communication Between
Cultures, 7th Edition. USA: Wadsworth Cengage Learning. Diakses dari
Libgen.info.
Sihite, Y. (2012). Hubungan Culture Shock Dengan Prestasi Belajar Pada Mahasiswa
Asing Di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (Skripsi Tidak
Dipublikasikan). Universitas Sumatera Utara.
Thompson, G. (2006). Cultural Stress Among International Students At an Australian
University. Australian International Education Conference. Diakses dari
http://aiec.idp.com/uploads/pdf/Thomson%20(Paper)%20Fri%201050%20MR5.
pdf
Ward, C. (2001). The Psychology of Culture Shock, 2nd Edition. USA: Taylor & Francis,
Inc. Diakses dari Libgen.info.
Xia, J. (2009). Analysis of Impact of Culture Shock on Individual Psychology.
International Journal of Psychological Studies, Volume 1, Nomor 2, Desember
2009,
hal
97

101.
Diakses
dari
http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ijps/article/viewFile/4510/3841
Yang, S. (1995). Seputar Kebudayaan Korea. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Zuraida, H. (2011). Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Korea Selatan di Yogyakarta.
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011, halaman 40 –
48. Diakses dari http://repository.upnyk.ac.id/1987/1/ZURAIDA.pdf