PERANAN FAKTOR BUDAYA DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DI KALANGAN PENDUDUK ASLI PULAU BURU.

(1)

ix

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

UCAPAN TERIMA KASIH v

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR FOTO xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi dan Fokus Masalah 4

C. Tujuan Penelitian 5

D. Manfaat Penelitian 6

E. Pengembangan Konsep 7

Bab II. Masyarakat Kebudayaan dan Pendidikan A. Masyarakat 1. Pengertian Masyarakat dan Unsur-Unsur Masyarakat 9

2. Pengertian Masyarakat Terasing 15 3. Ciri-ciri Masyarakat Terasing 17

4. Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan 23 B. Kebudayaan 1. Pengertian Kebudayaan 31 2. Wujud Kebudayaan dan Sistem Nilai Budaya 33 3. Unsur-Unsur Kebudayaan 37 4. Konsep Suku Bangsa 52 C. Pendidikan

1. Pengertian, Dasar dan Tujuan Pendidikan 53 2. Fungsi dan Peran Lembaga Pendidikan 64


(2)

x Bab III.. Prosedur Penelitian

A. Metode Penelitian 70

B. Subjek Penelitian 73

C. Instrumen Penelitian 74 D. Teknik Pengumpulan Data 75 E. Teknik Analisis Data 81 Bab IV. Deskripsi dan Pembahasan Hasil Penelitian A. Deskripsi Gambaran Umum Lokasi Penelitian 85

1. Gambaran Umum Pulau Buru 85

2. Gambaran Umum Desa Waelikut 102

B. Hasil Penelitian 107

C. Pembahasan 147

1. Profil Kehidupan Penduduk Asli Pulau Buru Ditinjau dari Tujuh Universal Culture a. Sistem Teknologi 149

b. Sistem Ekonomi 153

c. Sistem Organisasi Kemasyarakatan 154

d. Sistem Ilmu Pengetahuan 156

e. Sistem Kepercayaan 158

f. Sistem Kesenian 161

g. Sistem Bahasa 162

2. Faktor-faktor budaya yang menjadi kendala dalam Pengembangan pendidikan di Kalangan Penduduk Asli Pulau Buru a. Kawin Piara 164

b. Hidup Berkelompok-Kelompok dan Berpindah-Pindah 169 c. Larangan Orang Tua 171

d. Komunikasi 172

e. Rendah Diri 173

f. Faktor Ekonomi 174

g. Keturunan Raja 175


(3)

xi

i. Keturunan raja 176

j. Jarak Terisolir 176

k. Kurangnya Perhatian Pemerintah 177

BAB V. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan 178

B. Rekomendasi 182

DAFTAR PUSTAKA 185

FOTO-FOTO 190

LAMPIRAN-LAMPIRAN 214


(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur formal, informal dan non formal. Jalur formal ditempuh melalui pendidikan di sekolah, jalur informal yakni pendidikan di dalam keluarga, sedangkan jalur pendidikan non formal yakni pendidikan di lingkungan masyarakat.

Pendidikan merupakan salah satu isu sentral yang paling sering dibicarakan hampir semua elemen masyarakat, di berbagai kegiatan, baik di persekolahan, maupun di luar kegiatan persekolahan seperti seminar-seminar, dialog-dialog baik di media massa maupun media elektronik. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah semua orang dapat/sudah menikmati pendidikan secara layak? pertanyaan inilah yang hingga saat ini terasa sangat dilematis untuk dijawab.

Indonesia sebagai negara jamrud khatulistiwa dengan sumber kekayaan alam dan mineral yang melimpah, dengan iklim yang sangat mendukung, dengan wilayah yang luas dan subur, dengan jumlah penduduk yang banyak sebagai salah satu modal dasar pembangunan, namun semuanya itu belum menjamin terpenuhinya pendidikan bagi semua warga negara secara layak, adil dan merata dan seperti yang di “angan-angankan” dalam program pembangunan nasional, mulai dari orde lama, orde baru, hingga orde reformasi sekarang ini. Arah pembangunan yang tidak merata dan terkesan ‘terlambat’ menyebabkan masih


(5)

ada daerah-daerah di Indonesia yang meskipun secara historis geografisnya subur dan ‘ kaya’ , namun sektor pendidikan sangat memprihatinkan. Salah satu daerah yang hingga saat ini masyarakatnya masih jauh dari ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ adalah penduduk asli pulau Buru di Maluku, daerah yang kaya dengan mineral, rempah-rempah, dan pohon minyak kayu putih.

Pulau Buru merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Maluku. Luas pulau Buru adalah 9.000 Km² dengan jumlah penduduk 125.079 jiwa (perempuan 61.130 dan laki-laki 63.967 Jiwa). Kepadatan 14 orang/Km². Pulau buru yang sebelumnya dikenal sebagai tempat pembuangan ‘tahanan politik’ (tapol) di era 1969-1979, hingga saat ini tidak berkembang dengan semestinya terutama di bidang pendidikan. Dari data RJS menunjukan angka melek huruf 86,4% dengan lama pendidikan 6,2 tahun.

Berdasarkan informasi awal, diketahui bahwa salah satu penyebab rendahnya pendidikan persekolahan di pulau Buru ini karena para raja yang pernah memerintah di pulau ini melarang warganya bersekolah, karena dikhawatirkan masyarakat akan lupa pada adat dan budaya sendiri. Selain karena larangan raja, juga karena budaya kawin piara yang menjadi faktor penghambat dalam pendidikan persekolahan.

Budaya Kawin Piara adalah salah satu tradisi turun temurun penduduk asli pulau Buru yang sangat menghambat proses pendidikan persekolahan. Dalam budaya kawin piara ini anak perempuan sejak usia dini (bahkan masih dalam kandungan) dipaksa untuk untuk melangsungkan perkawinan. Umumnya mereka dibesarkan, tepatnya ‘dipiara’ di rumah suami, hingga tiba waktunya menjalankan


(6)

3

tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, di saat mereka dewasa. Biasanya gadis yang sudah ‘dipilih’ tidak lagi diijinkan sekolah. Di usia mereka yang kadang baru enam tahun para bocah itu sudah harus belajar di ladang dan di dapur.

Dalam kebiasaan masyarakat Buru, perempuan bisa dipertukarkan bahkan diteruskan pada lelaki lain dalam satu keluarga jika suaminya telah meninggal. Bagi anak perempuan Buru yang telah dipinang sejak belia, tugas mereka sebagai seorang isteri hanyalah melahirkan, merawat anak, memasak, ke kebun dan ladang. Bekerja dari matahari terbit hingga larut malam.

Perkawinan ini melibatkan harta untuk dipertukarkan dengan perempuan. Jumlah uang berkisar 100.000 hingga yang tertinggi 25 juta. Harta benda mencakup barang pecah belah, barang-barang dapur, kain putih yang semuanya bisa berjumlah 100-500 buah. Urusan harta itu ditentukan oleh orang tua perempuan dan diketahui oleh Kepala Soa (Kepala Marga).

Ironisnya lagi ada istilah “anak koin” yang ditujukan bagi penduduk asli Buru, dimana “anak koin” ini dilarang untuk mendapatkan pendidikan di sekolah atau menggunakan barang-barang modern. Anak itu dianggap “suci” dan dipersiapkan untuk menjaga tradisi dan karenanya oleh tradisi diharuskan hidup secara tradisional.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti bermaksud meneliti tentang peranan faktor budaya dalam pengembangan pendidikan di kalangan penduduk asli pulau Buru. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap berbagai fakta tentang kondisi pendidikan pada penduduk asli pulau Buru khususnya pendidikan persekolahan.


(7)

B. Identifikasi dan Fokus Masalah

Ada banyak peristilahan dalam penyebutan penduduk asli. Di beberapa daerah penduduk asli sering disebut dengan masyarakat terasing, masyarakat

primitif, dan masyarakat terbelakang. Pengungkapan penduduk asli dalam

beberapa istilah tersebut untuk menggambarkan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat.

Penduduk asli sangat memegang adat istiadatnya sebagai suatu kebiasaan dari nenek moyangnya yang disalurkan melalui pewarisan secara turun temurun dan telah diakui oleh masyarakat setempat sebagai suatu norma yang harus aplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari.

Dalam sistem nilai budaya yang ada pada penduduk asli Buru, terdapat kebiasaan, tradisi, budaya yang tercermin dalam pola perilaku masyarakatnya. Dalam kebiasaan, tradisi, dan budaya tersebut, ada yang menjadi pendukung pendidikan (pendidikan masyarakat) dan ada yang dapat menghambat pendidikan (khususnya pendidikan formal).

Upaya pemerintah untuk meningkatkan pendidikan persekolahan pada penduduk asli yang masih terbelakang seringkali menghadapi hambatan. Hal ini dikarenakan masyarakat setempat lebih memiliki kedekatan emosional dengan tokoh adat dari pada pemerintah daerah. Sementara pendekatan edukatif kultural sangat dibutuhkan untuk menarik minat penduduk asli menempuh pendidikan formal.


(8)

5

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka Fokus masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana Profil kehidupan penduduk asli pulau Buru ditinjau dari

universal culture, yang meliputi tujuh sistem nilai budaya yakni sistem

teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan, sistem kesenian, dan sistem bahasa? 2. Faktor-faktor budaya apa yang menjadi kendala dalam pengembangan

pendidikan di kalangan penduduk asli pulau Buru?

C. Tujuan penelitian

Tujuan Umum

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor budaya dalam pengembangan pendidikan pada penduduk asli pulau Buru.

Tujuan Khusus

Sedangkan tujuan secara khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Profil penduduk asli pulau Buru ditinjau dari universal culture yang meliputi tujuh sistem nilai budaya yakni sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan, sistem kesenian, dan sistem bahasa.

2. Faktor- faktor budaya yang menjadi kendala dalam pengembangan pendidikan dikalangan penduduk asli pulau Buru.


(9)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat peneliti sumbangkan dalam penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Dari penelitian ini, dapat membuka wawasan berfikir kita sebagai anak bangsa bahwa di belahan lain bumi pertiwi masih ada anak bangsa yang belum menempuh pendidikan secara layak, masih buta huruf dan masih terbelenggu dalam tradisi budaya daerah yang kaku dan tertutup.

2. Manfaat Praktis

1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengalaman dan pengetahuan bagi peneliti sebagai putra daerah Maluku, dalam mengangkat persoalan-persoalan menyangkut pendidikan di Maluku, khususnya pendidikan bagi penduduk/masyarakat asli pulau Buru yang masih terbelakang, dan jauh dari perhatian publik.

2. Bagi Pemda Maluku dan Dinas Pendikan Propinsi Maluku, penelitian ini sebagai referensi dan informasi tambahan dalam mengungkap fakta-fakta terkait dengan pendidikan masyarakat asli pulau Buru. Sehingga diharapkan dengan penelitian dapat membuka wacana bagi pengembangan pendidikan di pulau Buru umumnya dan masyarakat asli pulau Buru khususnya.

3. Bagi civitas akademika UPI, sebagai bahan referensi dan menambah

wawasan tentang pendidikan di kawasan timur Indonesia, dengan berbagai persoalan, dan dampaknya.


(10)

7

4. Bagi lembaga penelitian dan pengembangan UPI, sebagai bahan kajian dan bahan referensi tentang faktor-faktor budaya pada masyarakat asli Buru yang telah menghambat pengembangan pendidikan persekolahan sehingga dapat menarik minat lembaga untuk di masa yang akan datang meneliti tentang masyarakat atau penduduk asli Buru.

5. Bagi Lembaga Penelitian Universitas Pattimura, diharapkan dengan penelitian ini dapat menjadi masukan yang berharga bagi Unpatti dalam membuat program penelitian dan pengembangan di masa yang akan datang. Lebih khusus lagi hasil penelitian ini sebagai sumbangsih peneliti sebagai staf pengajar di Universitas Pattimura.

6. Bagi peneliti awal, penelitian tentang pendidikan masyarakat asli pulau Buru masih sangat jarang diteliti, sehingga diharapkan dengan penelitian ini dapat menjadi masukan yang positif dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti pemula.

E. Pengembangan Konsep

Untuk memperjelas judul dalam penelitian ini perlu diuraikan beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Faktor Budaya

Faktor budaya merupakan salah satu unsur penting dalam pengembangan pendidikan disuatu daerah. Faktor budaya itupun ada yang dapat mendukung proses pendidikan khususnya pendidikan persekolahan, dan ada pula yang tidak mendukung pendidikan persekolahan. Secara umum ada tujuh unsur kebudayaan


(11)

yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, dan kesenian.

2. Pengembangan Pendidikan

Pengembangan pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana serta berkesinambungan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan baik pendidikan formal, non formal, maupun pendidikan informal.

3. Penduduk Asli

Penduduk asli merupakan suatu komunitas masyarakat yang pertama-tama mendiami suatu daerah tertentu. Penduduk asli yang dimaksudkan disini adalah orang Buru Asli yang sudah mendiami/ menempati pulau Buru secara turun temurun. Dalam penelitian ini penduduk asli lebih difokuskan pada penduduk asli di dataran tinggi yakni masyarakat alifuru.


(12)

BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif (Qualitative research) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok (Nana Syaodih, 2005:60).

Lancoln and Guba (Nana Syaodih 2005:60) melihat penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bersifat naturalistik. Penelitian ini bertolak dari paradigma naturalistik bahwa “kenyataan itu berdimensi jamak, peneliti dan yang diteliti bersifat interaktif , tidak bisa dipisahkan suatu kesatuan berbentuk secara simultan, dan bertimbal balik, tidak mungkin memisahkan sebab dengan akibat, dan penelitian ini melibatkan nilai-nilai. Para peneliti mencoba memahami bagaimana individu mempersepsi makna dari dunia sekitarnya. Melalui pengalaman kita mengkonstruksi pandangan kita tentang dunia sekitar, dan hal ini menentukan bagaimana kita berbuat.

Dalam penelitian pada penduduk asli Buru ini, pendekatan kualitatif yang peneliti gunakan adalah metode etnografi dan metode studi kasus (case study). James Spradley mendefinisikan budaya sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasi dunia sekeliling mereka dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka.


(13)

Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktifitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Sebagaimana dikemukakan oleh Malinowsky (Spradley, 1997:3) tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan tentang dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari

masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat.

Malinowsky (Spradley, 1997:5) mengatakan bahwa tujuan kita dalam etnografi adalah “untuk memahami sudut pandang penduduk asli”. Etnografer mengamati tingkah laku, tetapi lebih dari itu dia menyelidiki makna tingkah laku itu. Etnografer melihat berbagai artefak dan objek alam, tetapi lebih dari itu dia juga menyelediki makna yang diberikan oleh orang-orang terhadap berbagai objek itu. Etnografer mengamati dan mencatat berbagai kondisi emosional, tetapi lebih dari itu dia juga menyelediki makna rasa takut, cemas, marah, dan berbagai perasaan lain.

Etnografi menurut Spradley (1997:12) adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulangkali bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai kebudayaan manusia dari perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu.


(14)

73

Beberapa sumbangan yang khas dan penting dari etnografi adalah 1) menginformasikan teori-teori ikatan budaya, 2) menemukan teori grounded, 3) memahami masyarakat yang kompleks dan 4) memahami perilaku manusia.

Selain metode etnografi sebagaimana telah dikemukakan di atas, penelitian ini juga menggunakan metode studi kasus (case study) yakni suatu penelitian yang dilakukan terhadap suatu “kesatuan sistem”. Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa atau kelompok individu yang terikat oleh tempat, waktu atau ikatan tertentu. Sehingga dalam penelitian ini peneliti berusaha meneliti tentang faktor-faktor budaya yang menghambat pengembangan pendidikan di pulau Buru. Dalam penelitian ini, peneliti langsung berinteraksi dengan masyarakat setempat sehingga segala permasalahan yang terkait dengan budaya dan pendidikan dapat diketahui, dipahami oleh peneliti secara jelas.

Ciri umum yang ditampilkan dalam penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (Hadisubroto, 1998:12), bahwa “Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dihasilkan data deskriptik berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati”. Data yang dikumpulkan melalui penelitian kualitatif, lebih berupa kata-kata dari pada angka-angka.

Dengan demikian lebih memusatkan perhatiannya pada ucapan dan tindakan subjek penelitian, serta situasi yang dialami dan dihayatinya, dengan berpegang pada kekuatan data hasil wawancara.

Sejalan dengan ciri-ciri tersebut, Nasution (2003:10) secara terperinci menjabarkan karekteristik penelitian kualitatif, diantaranya lebih mengutamakan:


(15)

Perspektif emic, artinya lebih mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi pendiriannya. Peneliti tidak memaksa pandangannya sendiri. Peneliti memasuki lapangan tanpa generalisasi, seakan-akan tidak mengetahui sedikitpun, sehingga mendapat perhatian penuh terhadap konsep-konsep yang dianut partisipan”.

B. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, sampel sumber data dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling. Sampel sumber data pada tahap awal memasuki lapangan dipilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau objek yang diteliti, sehingga mampu “membukakan pintu” kemana saja peneliti akan melakukan pengumpulan data. Dengan demikian setelah peneliti melakukan penelitian hingga mencapai data jenuh, maka sumber data atau subyek penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan informasi tentang unsur-unsur kebudayaan di kalangan penduduk asli Pulau Buru peneliti mewawancarai:

1) Tokoh adat yang meliputi, Kepala Soa, Kepala Adat, Raja Buru 2) Tokoh Agama

3) Kepala Bagian Sejarah dan Budaya pada Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Buru

4) Masyarakat Buru yang meliputi penduduk asli dan penduduk pendatang 2. Untuk mendapatkan informasi tentang pendidikan penduduk asli Pulau Buru


(16)

75

1) Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah, Kepala Seksi Sarana dan Prasarana, Kepala Bagian Sejarah dan Budaya pada Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Buru.

2) Kepala Sekolah MI dan MTS desa Waelikut 3) Kepala Dinas Sosial Kabupaten Buru

4) Tokoh Adat, Tokoh Pendidikan dan Tokoh Masyarakat

5) Masyarakat Buru yang meliputi penduduk asli dan penduduk pendatang Menurut Spradley, etnografer bekerja sama dengan informan untuk menghasilkan sebuah deskripsi kebudayaan. Informan merupakan pembicara asli (native speaker). Informan diminta oleh etnografer untuk berbicara dalam bahasa

atau dialeknya sendiri.

C. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen utama adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif sebagai human interest, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas semuanya.

Nasution (2003) menyatakan:

Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialaha bahwa, segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan bahkan hasil yang diharapkan itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya.


(17)

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar dan yang ditetapkan.

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participation observation), wawancara mendalam (in depth intervieu) dan dokumentasi.

a. Pengumpulan Data dengan Observasi

Nasution (2003) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Sanafiah Faisal (1990) mengklarifikasikan observasi menjadi observasi partisipasi (participant observation), observasi yang secara terang terangan atau tersamar (overt observation and cover observation), dan observasi yang tak berstruktur (unstructured observation).

Terkait dengan hal tersebut di atas, maka dalam penelitian ini, observasi yang peneliti gunakan adalah observasi partisipasif (partisipasif pasif), dimana peneliti datang ke lokasi atau tempat kegitan masyarakat asli Buru untuk mengamati situasi dan aktifitas masyarakat setempat, namun tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.

Untuk yang secara terang-terangan atau tersamar, maka peneliti dapat berterus terang kepada sumber data (informan) bahwa peneliti sedang melakukan penelitian. Namun dalam hal-hal tertentu, penelitian juga dilakukan secara


(18)

77

tersamar guna menghindari kalau suatu data yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan. Kemungkinan kalau dilakukan secara terus terang, maka peneliti tidak akan diijinkan untuk melakukan observasi. Dikhawatirkan pada masyarakat setempat masih tertutup sehingga tidak mau membuka diri untuk memberikan informasi sesuai dengan yang diharapkan peneliti.

Sugiyono mengungkapkan bahwa observasi tidak berstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi . Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang apa yang akan diamati. Dalam melakukan pengamatan peneliti tidak menggunakan instrumen yang telah baku, tetapi hanya berupa rambu-rambu pengamatan.

Menurut Patton (Nasution, 2003), manfaat observasi adalah sebagai berikut: 1) Dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami

konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistik atau menyeluruh.

2) Dengan observasi maka akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan induktif membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery.

3) Dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap “biasa” dan karena itu tidak kan terungkapkan dalam wawancara.

4) Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga.

5) Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang diluar persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih komprehenship.

6) Melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya mengumpulkan daya yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.


(19)

Menurut Spradley objek penelitian dalam penelitian kualitatif dinamakan situasi sosial, yang terdiri dari place (tempat), actor (pelaku), dan activities (aktivitas). Sedangkan tahapan observasi menurut Spradley adalah 1) observasi deskriptik, 2) observasi terfokus, 3) observasi terseleksi.

b. Pengumpulan Data dengan Wawancara

Estenberg (Sugiyono, 2005:27) mendefinisikan interview sebagai berikut.” A

metting of two persons to exchange information and idea through question and responses, resulting in communication and joint construction of meaning about a particular topic”. Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk

bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.

Dalam penelitian kualitatif, sering menggabungkan teknik observasi partisipasif dengan wawancara mendalam. Selama melakukan observasi, peneliti juga melakukan interview kepada orang-orang yang ada di dalamnya. Terkait dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini, peneliti disamping melakukan observasi terhadap masyarakat Buru khususnya penduduk asli, juga diselingi dengan memberikan pertanyaan (wawancara) yang berhubungan dengan masalah-masalah adat/budaya atau tradisi juga berhubungan dengan masalah-masalah pendidikan. Estenberg mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu wawancara

terstruktur, semi terstruktur, dan tidak berstruktur. Namun dalam penelitian ini

wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara tidak berstruktur, dimana peneliti memberikan kesempatan dan kebebasan kepada informan atau sumber data untuk menjawab dan memberikan informasi kepada peneliti sesuai dengan


(20)

79

apa yang ia inginkan dan apa yang ia ketahui tanpa ada interpretasi dari peneliti. Dalam hal ini informan sendiri yang memberikan interpretasi terhadap apa yang ia ketahui dan ia pahami.

Supaya hasil wawancara dapat terekam dengan baik, dan peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber data, maka dalam penelitian ini alat-alat penelitian yang digunakan antara lain sebagai berikut:

a. Catatan lapangan: berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan

sumber data atau informan. Catatan lapangan ini dipergunakan selama peneliti mewawancarai informan di pulau Buru, terutama para pemimpin adat dan masyarakat setempat.

b. Tape recorder: berfungsi untuk merekam semua percakapan atau

pembicaraan selama peneliti mewawancarai informan atau sumber data. c. Handycam : alat ini selain dipergunakan untuk merekam aktifitas

masyarakat Buru, juga dapat dipergunakan sebagai camera yang memotret segala kegiatan masyarakat Buru yang meliputi pendidikan dan kebudayaannya. Pengambilan gambar dilakukan ketika kegiatan wawancara dan observasi berlangsung.

Dengan adanya ketiga alat penelitian ini keabsahan penelitian lebih terjamin, karena peneliti betul-betul melakukan pengumpulan data.

c. Pengumpulan Data dengan Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dalam penelitian di Pulau Buru ini, Dokumen yang peneliti dapatkan antara lain; tulisan-tulisan


(21)

tentang suku Buru dalam bentuk buletin, buku dan artikel, gambar-gambar aktifitas penduduk asli pulau Buru, peraturan kebijakan tentang pendidikan persekolahan, daftar-daftar sekolah yang rusak akibat konflik, daftar bantuan pendidikan dan bantuan ekonomi dari pemerintah daerah maupun bantuan luar negeri.

Dokumen yang berbentuk gambar yang peneliti dapatkan antara lain; foto-foto yang menggambarkan kondisi pendidikan pada masyarakat setempat, sketsa dan peta pulau Buru.

Dokumen yang berbentuk karya yang peneliti dapatkan antara lain; karya seni dari masyarakat setempat yang dapat berupa gambar, patung, atau alat-alat yang berhubungan dengan tradisi atau budaya masyarakat setempat.

Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.

d. Triangulasi

Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data sebagai sumber data.

Triangulasi teknik, berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipasif, wawancara mendalam, dan dokumentasi


(22)

81

untuk sumber data yang sama secara serempak. Triangulasi sumber berarti, untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Hal ini dapat digambarkan seperti gambar berikut ini.

Gambar 3.1. Triangulasi “ teknik “ pengumpulan data (bermacam-macam cara pada sumber yang sama)

Gambar 3.2 . Triangulasi “ sumber” pengumpulan data ( satu teknik pengumpulan data pada bermacam-macam sumber data A. B. C ) (sumber, Sugiyono, 2005:84).

Observasi partisipasif

Wawancara mendalam

Dokumentasi

Sumber Data sama

Wawancara Mendalam

A

B


(23)

Selanjutnya Mathinson (1998) mengemukakan bahwa ” the value of

triangulations lies in providing evidence-wether convergent, inconsistent of contracdictory”. Nilai dari teknik pengumpulan data dengan triangulasi adalah

untuk mengetahui data yang diperoleh convergent (meluas), tidak konstinten atau kontradiksi. Oleh karena itu dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data, maka data yang diperoleh akan lebih konsisten, tuntas dan pasti. Dengan triangulasi akan lebih meningkatkan kekuatan data, bila dibandingkan dengan satu pendekatan.

D. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki data, selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini Nasution (2003) menyatakan “ analisis telah mulai sejak dirumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penelitian hasil penelitian. Dalam peneltian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian pada penduduk asli pulau Buru adalah analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan oleh Miles and Huberman.

Miles and Huberman (1984) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.


(24)

83

Aktifitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion

drawing/verivication. Langkah-langkah analisis ditujunkan pada gambar berikut

ini.

Periode pengumpulan data

Reduksi data

Antisipasi Selama Setelah

Display data

ANALISIS Selama Setelah

Kesimpulan/verifikasi

Selama Setelah

Gambar 3.3. Langkah-langkah analisis

Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa, setelah peneliti melakukan pengumpulan data, maka peneliti melakukan antisipatory sebelum melakukan reduksi data. Anticipatory data reduction is occuring as the research decides

(often withaut full awareness) which data collection appoaches to choose.


(25)

Gambar 3.4. Model interaktif dalam Analisis data

1) Data Reduction (reduksi data)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti komputer mini, dengan menggunakan kode pada aspek-aspek tertentu.

2) Data Display (penyajian data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini Milles and Hoberman (1984) menyatakan “the

most frequent form of display data for qualitative research data in the past

Data

reduction Conclusions

drawing/verifying Data display Data


(26)

85

been narrative tex”. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data

dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

3) Conclusing Drawing/ Verification

Langkah ketiga dalam analisis kualitatif menurut Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang ditemukan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh buki-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data. Maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.


(27)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka pada bagian ini peneliti akan menarik beberapa kesimpulan dan rekomendasi dengan tidak terlepas dari fokus masalah yang telah peneliti rumuskan pada Bab I tesis ini. Adapun kesimpulan dan rekomendasi yang dapat peneliti kemukakan adalah sebagai berikut.

A. Kesimpulan

Penduduk asli Buru terbagi dalam dua komunitas. Komunitas pertama adalah masyarakat alifuru yang masih hidup “terbelakang”, nomaden (berpindah-pindah) dan hidup berkelompok-kelompok (homogen) serta masih menganut kepercayaan animisme. Sedangkan komunitas kedua, adalah kelompok masyarakat Buru yang telah hidup bersama-sama dengan masyarakat pendatang dalam satu lingkungan yang heterogen, telah menganut suatu agama, dan hidup menetap. Penduduk asli Buru yang masih terbelakang, menempati dataran tinggi, yakni daerah pegunungan dan lereng-lereng gunung. Sebaliknya penduduk asli Buru yang telah maju, hidupnya di dataran rendah pesisir pantai.

Sistem teknologi dari orang Asli Buru masih sangat sederhana. Pemenuhan kebutuhan hidup masih mengandalkan “fasilitas “ alam. Tidak ada alat transportasi yang layak. Alat-alat produksi masih sangat sederhana dengan hanya memanfaatkan hasil hutan sebagai bahan kerajinan anyaman dan tenunan. Alat-alat produksi yang digunakan untuk bertani, berburu, dan mencari ikan masih sangat sederhana. Dibandingkan penduduk Asli Buru di daerah pesisir, penduduk


(28)

180

yang masih terbelakang mempunyai rumah “hanya” terbuat dari bahan yang diambil di alam, seperti daun rumbia sebagai atap, bambu sebagai lantai rumah, dan dinding dari kulit kayu meranti.

Mata pencaharian penduduk asli Buru sebagian besar adalah bertani. Hasil pertanian selain dipergunakan untuk keperluan rumah tangga, juga dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan. Sistem berkebun dan berladang masih tradisional. Hasil kebun dan ladang yang paling banyak menghasilkan uang adalah kelapa, coklat, cengkih, pala dan minyak kayu putih.

Organisasi adat di Buru meliputi Kepala Soa, Kepala Adat dan Raja. Masing-masing dari ketiganya mempunyai fungsi, tugas dan wewenang masing-masing. Mengenai jumlah Soa asli yang ada di Buru, peneliti memperoleh informasi yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan penyampaian sejarah tentang Buru hanya secara lisan, secara turun temurun pada orang-orang tertentu saja. Tidak ada literatur-literatur “tua” tentang sejarah Soa-Soa di Buru. Sehingga kini masih terjadi perbedaan pendapat di Buru tentang manakan Soa Asli, jumlah Soa asli, manakan yang termasuk Soa pendatang. Namun dari segi fungsi dan tugas, semua penduduk (informan) mempunyai pendapat yang sama.

Ilmu pengetahuan penduduk asli Buru meliputi cara pengolahan lahan, cara mencari ikan di laut dengan melihat pada kondisi alam, iklim dan cuaca. Pengetahuan yang dimiliki diperoleh secara “warisan” yakni pengetahuan turun temurun dari orang tua.

Kepercayaan penduduk asli Buru adalah yang masih terbelakang adalah animisme. Sebagian lagi telah memeluk Islam melalui proses pernikahan, dan


(29)

penyiaran Islam. Sementara penduduk asli Buru di daerah pesisir telah beragama Islam sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu sejak Buru masih di Bawah kesultanan Ternate. Di beberapa desa di Buru Selatan telah ada penganut non Islam.

Kesenian penduduk asli Buru yang paling menonjol adalah berbalas pantun (inafuka). Sedangkan seni tari yang sering dipakai untuk acara-acara adat dan penyambutan tamu adalah tari cakalele dan tari sawat. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tari-tarian dan inafuka ini adalah tifa, suling, dan totobuang.

Mengenai simbol yang digunakan, tidak semua orang asli Buru mengetahui simbol-simbol adat yang dimiliki. Simbol-simbol yang ada hanyalah untuk “kalangan sendiri” dan tidak dapat diketahui atau disampaikan pada pihak lain.

Faktor-faktor budaya yang menjadi kendala dalam pengembangan pendidikan pada penduduk asli Buru yang paling utama adalah masalah kurangnya kesadaran penduduk asli Buru khususnya masyarakat terbelakang tentang pentingnya pendidikan. Masyarakat lebih cenderung bertani dan berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya agar kelak dapat dijadikan “harta” pernikahan yang nilainya bisa mencapai puluhan juta. Pendidikan sekolah masih dianggap dapat merubah pola pikir dan perilaku masyarakat serta dapat menghilangkan tatanan budaya yang telah berakar selama beratus-ratus tahun. Jarak sekolah yang jauh dari pemukiman penduduk (perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki selama berjam-jam) dan berlangsung


(30)

182

dalam seminggu, memberikan persepsi bahwa kegiatan sekolah hanya menyita waktu, tenaga dan fikiran. Sementara tenaga mereka masih dibutuhkan untuk membantu orang tua berladang dan berkebun. Ironisnya ada persepsi yang perkembang di masyarakat terbelakang bahwa sekolah tidak sekolah sama saja, yang utama adalah bisa makan, minum, dan kawin. Bisa menikmati hidup apa adanya. Selain itu, perkawinan sejak usia dini dapat menghambat anak perempuan untuk menempuh pendidikan sekolah. Waktu dan tenaga yang lebih banyak terkuras di rumah dan kebun tidak memungkinkan mereka untuk bersekolah. Kendala lainnya adalah kebiasaan hidup berpindah-pindah menyebabkan anak-anak asli Buru tidak dapat menempuh pendidikan sekolah dengan baik. Penguasaan bahasa Indonesia yang masih minim, serta rasa “minder” atau rendah diri pada anak-anak Buru yang masih terbelakang.

Kendala lainnya adalah kurangnya sarana dan prasarana pendidikan. Anggaran pendidikan yang sangat terbatas untuk dapat menjangkau semua lapisan masyarakat dan semua daerah di Buru. Kurangnya tenaga guru yang bersedia di tempatkan di daerah pedalaman. Letak desa-desa terpencil yang jauh dari bangunan sekolah, bahkan ada yang hanya bisa ditempuh dengan perjalanan kaki selama 3 hari. Kurangnya pendekatan secara edukatif kultural dari pemerintah dan pemuka-pemuka adat kepada masyarakat terbelakang tentang pentingnya pendidikan sekolah.


(31)

B. Rekomendasi

1. Tokoh – tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat

Tokoh-tokoh adat mempunyai peran strategis di kalangan penduduk asli Buru khususnya masyarakat alifuru. Untuk itu hendaklah tokoh adat dan tokoh masyarakat harus lebih proaktif dalam menyingkapi permasalahan pendidikan masyarakatnya. Pendekatan kultural edukatif hendaklah lebih diutamakan pada masyarakat terasing/ terbelakang. Hal ini disebabkan masyarakat terasing lebih percaya dan secara psikologis kultural lebih dekat kepada tokoh-tokoh adat daripada pemerintah.

2. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru

Peran pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan formal sangat diutamakan. Sasaran pembangunan hendaknya terfokus pada masyarakat terbelakang yang belum tersentuh pendidikan persekolahan. Perbaikan sarana dan prasarana pendidikan (sekolah) sangat diperlukan. Pembangunan sekolah di desa-desa terpencil/terbelakang dan desa-desa-desa-desa yang belum memiliki bangunan sekolah sangat dibutuhkan. Kebutuhan mendesak seperti buku-buku dan tenaga pengajar yang kompeten dan berkualitas juga sangat perlukan.

Diharapkan dengan perhatian pemerintah daerah terhadap pendidikan masyarakat terbelakang, akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terbelakang terhadap pemerintah yang pada akhirnya akan menghilangkan kesenjangan sosial, maupun kultural secara bertahap baik dengan pemerintah maupun dengan masyarakat Buru pada umumnya.


(32)

184

3. Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga

DIKOR sebagai lembaga pemerintah di bidang pendidikan hendaknya lebih proaktif dalam menyingkapi permasalahan pendidikan di daerah perpencil. Pengangkatan guru-guru yang sesuai dengan disiplin ilmunya sangat dibutuhkan saat ini. Penempatan secara merata guru-guru di desa-desa terpencil yang minus tenaga pengajar sangat butuhkan. Sasaran pendidikan hendaknya lebih diarahkan pada masyarakat terbelakang dan masyarakat miskin. Pemberian bantuan pendidikan dan beasiswa perlu dilakukan.

4. Guru-guru

Guru sebagai tokoh pendidikan sangat mempunyai peran yang strategis dalam meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, hendaknya guru lebih meningkatkan kualitas dan kompetensinya. Penguasaan ilmu dan teknologi sngat dibutuhkan oleh guru-guru baik di pedesaan maupun di perkotaan. Guru-guru yang melaksanakan tugasnya di daerah pedalaman khususnya guru-guru yang berasal dari penduduk pendatang diharapkan lebih tekun dan sabar dalam menghadapi kondisi lingkungan dan sosial kultural masyarakat setempat yang mungkin berbeda dengan budaya daerahnya. Pemahaman terhadap karakteristik yang unik dan berbeda di daerah tempat guru mengajar dapat menyatukan dan mendekatkan guru tersebut dengan anak didik maupun masyarakat setempat.


(33)

5. Yayasan-yayasan Pendidikan

Yayasan-yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan budaya hendaklah lebih memberikan perhatian khusus pada pendidikan masyarakat terbelakang. Perhatian yang ekstra dan bantuan material maupun moril kepada masyarakat asli Buru sangat dibutuhkan. Pendidikan non formal saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Masyarakat terbelakang jangan dijadikan “objek penderita” dalam artian menjadi objek maslah untuk mendapatkan proyek pendidikan. Namun sebaliknya masyarakat terbelakang dapat ditingkatkan harkat dan martabatnya dalam berbagai aspek kehidupannya melalui pendidikan formal, informal maupun non formal.

6. Lembaga Pendidikan Muhammadiyah

Khusus bagi Lembaga Pendidikan Muhammadiyah perlu lebih memberikan perhatian khusus pada Desa Waelikut yang merupakan satu-satunya desa di kecamatan Waesama di bawah yayasan Muhammadiyah. Kondisi bangunan sekolah maupun dan sarana prasarananya sangat memprihatinkan. Pemberian bantuan pendidikan dan penempatan tenaga guru yang kompeten sangat dibutuhkan saat ini.

7. LIPI Ambon dan Balai penelitian Universitas Pattimura

Kedua institusi ini sangat berperan dalam pengembangan penelitian di Maluku. Untuk itu diharapkan masih ada penelitian lanjut terhadap penduduk asli Buru oleh LIPI maupun Balai Penelitian Universitas Pattimura.


(34)

185

DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari Buku

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiati. (2001). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Arba, M. (1975). The Economic Of Non Formal Education Resources, Cost,

Benefit. New York: Peanger Publisher.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Buru. (2004). Kabupaten Buru dalam Angka. Bappeda Kabupaten Buru. (2005). Analisis Situasi Perempuan Dan Anak

Kabupaten Buru Tahun 2005.

_______ (2006). Data Sarana dan Prasarana Kesehatan Dan Pendidikan Di

Kabupaten Buru

Daeng, J., H. (2005). Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Damin, Sudarwan. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Departemen Pendidikan Nasional Universitas Indonesia. (2004). Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah.

Departemen Sosial. (2002). Juklat PKSMT.

_______ (2003). Panduan Umum Studi Kelayakan Persiapan Pemberdayaan KAT _______ (1987). Data dan Sumber Informasi Pembinaan Masyarakat Terasing. Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Direktorat Jenderal

Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial RI. (2003). Pedoman Teknis


(35)

________(2003) Profil Komunitas Adat Terpencil di Provinsi Papua, Maluku,

Maluku Utara, NTT, NTB, Bali. Jakarta

Evers, D., Hans. (1988). Teori Masyarakat Proses Peradaban dalam Sistem

Dunia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hamidi. (2005). Metode Penelitian Kualitatif, Aplikasi Praktis Pembuatan

Proposal dan laporan Penelitian. Malang: Universitas Muhammadiyah

Malang.

Hasbulah. (2005). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Hidayah, Zulyani. (1997). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Koenjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi (edisi baru). Jakarta:

Rineka Cipta.

_______ (1993). Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Mansyur. M., Cholil. (1977). Sosiologi Masyarakat Desa dan Kota. Jakarta: usaha Nasional.

Miles Mathew B; Huberman Michael A. (1984). Qualitative Data Analysis a

Sourcebook of New Methode. London: Sage Publications.

Mulyana, D., dan Rakhmat. (1998). Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Rosdakarya.

Mutakin, Awan. (2001). Profil Kehidupan Masyarakat Kampung Naga Di

Tengah-Tengah Arus Modernisasi. Bandung: Anggita Pustaka Mandiri.

Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (cetakan ulang ketiga). Bandung: Tarsito.


(36)

187

Pemda Kabupaten Buru. (2005). Recovery Ekonomi Sosial Provinsi Maluku

Bidang Pertanian di Kabupaten Buru.

Pidarta, Made. (2005). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan

Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Purwanto, Ngalim. (2004). Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis (edisi kedua). Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rahman, Arif., dkk. (2005). Surga di Tanah Raja, Kabupaten Buru Dalam

Pesona Dan Potensi. Buru: Bappeda.

Riduwan. (2004). Metode & Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta.

Sipayung, Bambang. (2005) Seribu Impian Perempuan Buru, Kisah-Kisah

Pergulatan Dalam Masalah Pendidikan.Yogyakarta: JRS.

Soleman, Munandar. (2001). Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Refika Aditama. Spradley. P., James. (1997) Metode Etnografi. Jokja: Tiara Wacana

Sudjana, Nana dan Ibrahim. (2004). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sukardi. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan. Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata, S., N. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosadakarya.

Sumaatmadja, Nursid. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung Alfabeta.


(37)

Zen, Mohamad. (2002). Orang Laut Studi Etnopedadogi. Bandung: yayasan Bahari Nusantara.

Zubaedi. (2005). Pendidikan Berbasis Masyarakat, Upaya Menawarkan Solusi

terhadap Berbagai Problem Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Pendidikan Nasional Universitas Indonesia. (2004). Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah.

Sumber dari Tesis dan Disertasi

Mukhlis. (2005). Masalah Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di

Daerah Konflik. Tesis: Tidak diterbitkan.

Silawati. (2002). Upaya Pemberdayaan Masyarakat Terasing Melalui

Penyuluhan Di Bidang Pertanian. Studi Kasus Tentang Perubahan Masyarakat dalam Proses Difusi Inovasi pada Suku Hutan di Bengkalis – riau. Tesis. Tidak

diterbitkan.

Zen, Mohamad. (1993). Dinamika Pendidikan “ Orang Laut” sebagai Profil

Operasionalisasi Pendidikan Nasional (Studi Kasus Proses Rasionalisasi Nilai-Nilai Tradisional dalam Pendidikan pada Kelompok Orang Mesuku di Pulau Mengkait Kecamatan Siantan Kabupaten Kepulauan Riau). Disertasi: tidak

diterbitkan.

Sumber dari Internet

Hartiningsih, Maria. (2006, 11 Februari). Anak-Anak Perempuan yang Dicuri oleh Tradisi. Kompas [Online]. Tersedia: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/11/fokus/24426515.htm [02 Maret 2006]

Kuswandari, Emmy. (2005, 12 Desember). Belenggu Perempuan Buru dalam Kawin Piara. Harian Umum Sinar Harapan [Online]. Tersedia: http:/www.sinarharapan.co.id/berita/05/2/12/nas03.html [28 Februari 2006]


(38)

189

Sutikno. (2005). Cerita dari Pulau Buru. Mapala Proklamator UMU Bung Hatta. [Online]. Tersedia: http://www.maprok.org/content.php?article.7 [02 Maret 2006] Rie. (2005, 10 Desember). Tertinggal dan Perlu Ditangani, “ Kawin Piara” Masih Terus Berlangsung. Kompas [Online]. Tersedia: http://www.compas.com/kompas-cetak/0512/10/humaniora/2277166.htm [03 Maret 2006).

Sea-Lands of Bounty. Kabupaten Maluku Buru. Propinsi Maluku. http://malukuprov.go.id/subpage.asp?id=39 [02 Maret 2006] Sea-Lands of Bounty. Pendidikan. Propinsi Maluku.

http://malukuprov.go.id/subpage.asp?id=77 [02 Maret 2006]

KAT. (2002). KAT Sebuah Fenomena. [Online]. Tersedia: http://www.katcenter.info/detail_article.php?id_ar=19 [15 Agustus 2006).


(1)

5. Yayasan-yayasan Pendidikan

Yayasan-yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan budaya hendaklah lebih memberikan perhatian khusus pada pendidikan masyarakat terbelakang. Perhatian yang ekstra dan bantuan material maupun moril kepada masyarakat asli Buru sangat dibutuhkan. Pendidikan non formal saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Masyarakat terbelakang jangan dijadikan “objek penderita” dalam artian menjadi objek maslah untuk mendapatkan proyek pendidikan. Namun sebaliknya masyarakat terbelakang dapat ditingkatkan harkat dan martabatnya dalam berbagai aspek kehidupannya melalui pendidikan formal, informal maupun non formal.

6. Lembaga Pendidikan Muhammadiyah

Khusus bagi Lembaga Pendidikan Muhammadiyah perlu lebih memberikan perhatian khusus pada Desa Waelikut yang merupakan satu-satunya desa di kecamatan Waesama di bawah yayasan Muhammadiyah. Kondisi bangunan sekolah maupun dan sarana prasarananya sangat memprihatinkan. Pemberian bantuan pendidikan dan penempatan tenaga guru yang kompeten sangat dibutuhkan saat ini.

7. LIPI Ambon dan Balai penelitian Universitas Pattimura

Kedua institusi ini sangat berperan dalam pengembangan penelitian di Maluku. Untuk itu diharapkan masih ada penelitian lanjut terhadap penduduk asli Buru oleh LIPI maupun Balai Penelitian Universitas Pattimura.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari Buku

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiati. (2001). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Arba, M. (1975). The Economic Of Non Formal Education Resources, Cost,

Benefit. New York: Peanger Publisher.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Buru. (2004). Kabupaten Buru dalam Angka. Bappeda Kabupaten Buru. (2005). Analisis Situasi Perempuan Dan Anak

Kabupaten Buru Tahun 2005.

_______ (2006). Data Sarana dan Prasarana Kesehatan Dan Pendidikan Di

Kabupaten Buru

Daeng, J., H. (2005). Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Damin, Sudarwan. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Departemen Pendidikan Nasional Universitas Indonesia. (2004). Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah.

Departemen Sosial. (2002). Juklat PKSMT.

_______ (2003). Panduan Umum Studi Kelayakan Persiapan Pemberdayaan KAT _______ (1987). Data dan Sumber Informasi Pembinaan Masyarakat Terasing. Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Direktorat Jenderal

Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial RI. (2003). Pedoman Teknis


(3)

________(2003) Profil Komunitas Adat Terpencil di Provinsi Papua, Maluku,

Maluku Utara, NTT, NTB, Bali. Jakarta

Evers, D., Hans. (1988). Teori Masyarakat Proses Peradaban dalam Sistem

Dunia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hamidi. (2005). Metode Penelitian Kualitatif, Aplikasi Praktis Pembuatan

Proposal dan laporan Penelitian. Malang: Universitas Muhammadiyah

Malang.

Hasbulah. (2005). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Hidayah, Zulyani. (1997). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Koenjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi (edisi baru). Jakarta:

Rineka Cipta.

_______ (1993). Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Mansyur. M., Cholil. (1977). Sosiologi Masyarakat Desa dan Kota. Jakarta: usaha Nasional.

Miles Mathew B; Huberman Michael A. (1984). Qualitative Data Analysis a

Sourcebook of New Methode. London: Sage Publications.

Mulyana, D., dan Rakhmat. (1998). Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Rosdakarya.

Mutakin, Awan. (2001). Profil Kehidupan Masyarakat Kampung Naga Di

Tengah-Tengah Arus Modernisasi. Bandung: Anggita Pustaka Mandiri.

Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (cetakan ulang ketiga). Bandung: Tarsito.


(4)

Pemda Kabupaten Buru. (2005). Recovery Ekonomi Sosial Provinsi Maluku

Bidang Pertanian di Kabupaten Buru.

Pidarta, Made. (2005). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan

Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Purwanto, Ngalim. (2004). Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis (edisi kedua). Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rahman, Arif., dkk. (2005). Surga di Tanah Raja, Kabupaten Buru Dalam

Pesona Dan Potensi. Buru: Bappeda.

Riduwan. (2004). Metode & Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta.

Sipayung, Bambang. (2005) Seribu Impian Perempuan Buru, Kisah-Kisah

Pergulatan Dalam Masalah Pendidikan.Yogyakarta: JRS.

Soleman, Munandar. (2001). Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Refika Aditama. Spradley. P., James. (1997) Metode Etnografi. Jokja: Tiara Wacana

Sudjana, Nana dan Ibrahim. (2004). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sukardi. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan. Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata, S., N. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosadakarya.

Sumaatmadja, Nursid. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung Alfabeta.


(5)

Zen, Mohamad. (2002). Orang Laut Studi Etnopedadogi. Bandung: yayasan Bahari Nusantara.

Zubaedi. (2005). Pendidikan Berbasis Masyarakat, Upaya Menawarkan Solusi

terhadap Berbagai Problem Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Pendidikan Nasional Universitas Indonesia. (2004). Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah.

Sumber dari Tesis dan Disertasi

Mukhlis. (2005). Masalah Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di

Daerah Konflik. Tesis: Tidak diterbitkan.

Silawati. (2002). Upaya Pemberdayaan Masyarakat Terasing Melalui

Penyuluhan Di Bidang Pertanian. Studi Kasus Tentang Perubahan Masyarakat dalam Proses Difusi Inovasi pada Suku Hutan di Bengkalis – riau. Tesis. Tidak

diterbitkan.

Zen, Mohamad. (1993). Dinamika Pendidikan “ Orang Laut” sebagai Profil

Operasionalisasi Pendidikan Nasional (Studi Kasus Proses Rasionalisasi Nilai-Nilai Tradisional dalam Pendidikan pada Kelompok Orang Mesuku di Pulau Mengkait Kecamatan Siantan Kabupaten Kepulauan Riau). Disertasi: tidak

diterbitkan.

Sumber dari Internet

Hartiningsih, Maria. (2006, 11 Februari). Anak-Anak Perempuan yang Dicuri oleh Tradisi. Kompas [Online]. Tersedia: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/11/fokus/24426515.htm [02 Maret 2006]

Kuswandari, Emmy. (2005, 12 Desember). Belenggu Perempuan Buru dalam Kawin Piara. Harian Umum Sinar Harapan [Online]. Tersedia: http:/www.sinarharapan.co.id/berita/05/2/12/nas03.html [28 Februari 2006]


(6)

Sutikno. (2005). Cerita dari Pulau Buru. Mapala Proklamator UMU Bung Hatta. [Online]. Tersedia: http://www.maprok.org/content.php?article.7 [02 Maret 2006] Rie. (2005, 10 Desember). Tertinggal dan Perlu Ditangani, “ Kawin Piara” Masih Terus Berlangsung. Kompas [Online]. Tersedia: http://www.compas.com/kompas-cetak/0512/10/humaniora/2277166.htm [03 Maret 2006).

Sea-Lands of Bounty. Kabupaten Maluku Buru. Propinsi Maluku. http://malukuprov.go.id/subpage.asp?id=39 [02 Maret 2006] Sea-Lands of Bounty. Pendidikan. Propinsi Maluku.

http://malukuprov.go.id/subpage.asp?id=77 [02 Maret 2006]

KAT. (2002). KAT Sebuah Fenomena. [Online]. Tersedia: http://www.katcenter.info/detail_article.php?id_ar=19 [15 Agustus 2006).