4d92391451945c7304cd1aab4a5b6604

Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2013, hal 84-95
ISSN 2302-5719

Volume 1, Nomor 1

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:
Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik
SUNARYO
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97, Mampang, Jakarta 12790
Telpon: 021-79181188
Surel: aryomail2678@yahoo.com
Diterima: 19 Oktober 2012
Disetujui: 26 Oktober 2012

ABSTRACT
This article wants to explore Moufe’s criticism on liberal tradition, especially as represented by Rawls’ political liberalism. Moufe is known as a post-marxist thinker who, with Ernesto Laclau, wrote a book titled
“Hegemony and Socialist Strategy: toward a Radical Democratic Politics”. Through her idea of agonistic
pluralism she criticizes the liberal tradition. At least there are two important critiques she wants to underline. First, she states that the liberal politics has negated and evacuated the political from the social relation
although it cannot erase the political at all. In political liberalism, the plurality of society is limited to make
an overlapping consensus among comprehensive doctrines. So that the particular view of society can’t

express its diferentiation freely since it has to be in accordance with the overlapping consensus. Secondly,
the liberal tradition oten perceives consensus in democracy as a inal stage, whereas Moufe perceives it as
something uncertain and never be taken for granted. She says that the consensus in democracy is always a
fragile conquest that needs to be defended as well as deepened. Arguably, there is no threshold of democracy
that once reached will guarantee its continued existence.

Keywords: Yang Politis (the political), pluralisme agonistik, undecidability, adversary, constitutive outside, liberalisme politis (political liberalism)
“Because it is indeed the political which is at stake here,
and the possibility of its elimination. And it is the
incapacity of liberal thought to grasp its nature and the
irreducible character of antagonism that explains the
impotence of most political theorists in the current
situation...”
(Moufe, The Return of the Political,1993)

08-Kritik Chantal.indd 84

4/18/2013 8:32:44 PM

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:

Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

Pendahuluan
Salah satu sumbangan penting Chantal
Moufe dalam teori politik kontemporer
adalah kritiknya atas liberalisme dan proposalnya mengenai demokrasi pluralis
agonistik.1 Kritik dasarnya atas liberalisme
berpangkal pada kegagalan demokrasi li­
beral dalam merawat arti yang politis itu
sendiri. Baginya, kecenderungan demokrasi liberal sebagaimana dipahami oleh John
Rawls (1921 – 2002), juga Charles Larmore
dan Thomas Nagel, yang selalu meng­
upayakan konsensus, telah mengeksklusi
bagian­bagian yang tidak segaris dengan
konsensus yang sudah dianggap inal. Kecenderungan ini sangat membahayakan
masa depan demokrasi yang seharusnya
merawat pluralisme. Paling tidak bahaya
pertama itu terjadi karena demokrasi li­
beral telah mengebiri makna yang politis
(the political). Dalam pandangan Moufe,

yang politis sebenarnya tidak bisa dihapus,
melainkan hanya disingkirkan. Namun,
meskipun sudah disingkirkan, yang politis
akan tetap muncul dalam banyak bentuk.
Bahaya kedua, kecenderungan demokrasi
liberal pada konsensus telah mengasumsikan satu inalitas model demokrasi yang
bagi Moufe seharusnya dipahami sebagai
“demokrasi yang selalu menjadi” atau democracy to come (Moufe, 1993:6).
Dengan kata lain, demokrasi liberal
memiliki kecenderungan terhadap esensia­
lisme (Moufe, 1993:7). Moufe sangat mewaspadai kecenderungan model demokrasi konsensus karena kerap menempatkan
mereka yang berada di luar konsensus
sebagai lawan yang harus dihancurkan.
Baginya, demokrasi mengasumsikan satu

1

08-Kritik Chantal.indd 85

SUNARYO


85

kerentanan dan ketidaksempurnaan se­
hingga karenanya ia perlu dipahami se­
bagai proses yang harus terus diperbaiki.
Penerimaan terhadap pluralisme dan penolakan terhadap konsensus adalah upaya
untuk memperbaiki kerentanan dan ketidaksempurnaan tersebut.
Moufe menyebut proyeknya sebagai
demokrasi pluralis agonistik. Lewat proyek
ini ia berupaya melampaui kekurangan­
kekurangan yang ada dalam demokrasi
liberal. Untuk mewujudkan proyek ini,
Moufe berhutang budi pada Carl Schmit
(1888 – 1985) dalam memaknai arti yang
politis sebagai ruang konlik dan antagonisme. Namun, seperti pernah dikatakan
Moufe, ia “berpikir dengan Schmit, untuk
melawan Schmit”, karena dengan kontribusi pemikiran Schmit, Moufe justru hendak memperkuat proyek demokrasi liberal
yang pada awalnya bertujuan menjaga pluralisme, tetapi kemudian justru menjadi
ancaman bagi pluralisme (Moufe, 1993:2).

Lewat demokrasi pluralis agonistik,
Moufe melakukan semacam penyegaran
terhadap gagasan demokrasi liberal yang
telah mengancam nasib pluralisme karena
obsesinya terhadap konsensus rasional.
Moufe ingin mengembalikan sesuatu
yang dinegasi di dalam demokrasi liberal
menjadi sesuatu yang harus diterima dan
tidak boleh dieksklusi. Dalam demokrasi
pluralis agonistik, perbedaan tidak lagi
dibatasi oleh standar bahasa tertentu dan
fragmentasi yang ada memiliki legitimasi
untuk mengekspresikan eksistensinya tanpa khawatir akan dianggap sebagai ilegal
atau irasional.

Chantal Moufe (lahir 1943 di Charleroi, Belgia) adalah profesor teori politik di Pusat Studi Demokrasi (the Centre of
the Study of Democracy), Universitas Westminster, Inggris.

4/18/2013 8:32:44 PM


86

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:
Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

Kritik Terhadap Liberalisme
1. Negasi atas Yang Politis
Dalam pemahaman Rawls, gagasan
liberalisme politis adalah upaya membangun kehidupan bersama yang mampu
merekonsiliasi ragam moralitas dalam
komunitas politik tertentu. Melalui Political Liberalism (1993), Rawls merumuskan
pertanyaannya sebagai berikut: Seberapa
mungkin masyarakat yang stabil dan adil
yang semua warganya adalah bebas dan setara dapat hadir sepanjang masa sementara
masyarakat itu sendiri terdiri dari doktrin
moral, ilsafat dan agama yang berbeda­
beda? (Rawls, 1993:xviii)2 Untuk menjawab
pertanyaan itu, Rawls mengajukan ide li­
beralisme politis yang menurutnya dapat
mejadi konsensus silang (overlapping consensus) di antara doktrin komprehensif

yang ada. Melalui ide itu, komunitas yang
terdiri dari beragam doktrin komprehensif
dapat dinetralisasi sehingga komunikasi
antar­doktrin komprehensif yang rasional
dan waras (reasonable) menjadi mungkin.3
Rawls mendeklarasikan bahwa tujuan
ilsafat politik dalam demokrasi konstitusional adalah mengajukan sebuah konsep
politik keadilan yang tidak hanya memberikan dasar kehidupan publik yang fair untuk
justiikasi sosial politik dan institusi ekono-

2

3

4

Volume 1, 2013

mi, melainkan juga memastikan adanya stabilitas dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal penting yang digarisbawahi
Moufe adalah soal pembentukan kesatu­

an sosial. Dalam masyarakat demokratis
yang diidealkan Rawls, kesatuan sosial itu
dipastikan oleh konsensus silang yang didasarkan pada konsep politik yang waras
mengenai keadilan (Moufe, 1993: 43­44).
Konsep politik yang waras mengenai keadilan tidak memberikan tempat pada
konsep politik partikular mengenai hidup
yang baik dari doktrin tertentu dalam kehidupan publik. Dalam pandangan Rawls,
konsep politik yang waras mengenai ke­
adilan harus lepas dari doktrin keagamaan
dan ilsafat yang kerap menjadi titik seteru
dalam masyarakat yang majemuk (Moufe,
1993:44).
Namun, menurut Moufe, pondasi yang
diupayakan liberalisme politis itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin dan
tidak akan berhasil.4 Ketidakmungkinan
itu karena liberalisme politis menaikan
sesuatu yang sangat mendasar dan menjadi ruh dari yang politik itu sendiri. Liberalisme telah mengevakuasi dimensi yang
politis dan memahami masyarakat yang
tertata baik (well-ordered society) sebagai
masyarakat yang bebas dari yang poli-


Pertanyaan itu muncul dari dua pertanyaan dasar yang ia ajukan untuk mencari sebuah konsep politik mengenai
keadilan dalam masyarakat demokratis. Dua pertanyaan tersebut adalah: “Konsepsi keadilan macam apakah yang
paling tepat untuk mengurai kerjasama sosial yang fair dari warga negara yang bebas dan setara, dan kerjasama
tersebut dapat bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya?” Pertanyaan pertama ini dikontraskan dengan
pertanyaan kedua, yang berbunyi: “Toleransi macam apakah yang dapat ditegakkan di tengah keragaman pandang­
an hidup dan moral yang ada dalam masyarakat?” (Rawls, 1993:3­4).
Menurut Moufe, dengan gagasan ini Rawls berupaya memberikan jembatan untuk mengatasi perbedaan pandang­
an secara netral dan rasional, namun nampaknya Rawls lupa bahwa kesepakatan yang menurutnya rasional dan
netral itu sebenarnya berangkat dari satu doktrin komprehensif dari komunitas tertentu (dalam hal ini doktrin komprehensif liberal). Dengan demikian prinsip netralitas dan upaya menciptakan satu konsensus yang steril dari doktrin komprehensif menjadi gugur dengan sendirinya. (Bdk. Moufe, 1993:55)
Sebenarnya ada banyak model liberalisme yang satu sama lain bisa berbeda. Namun, pandangan yang dominan
dalam aliran liberalisme adalah yang dicirikan oleh karakter rasionalis dan individualis. Menurut Moufe, liberalisme semacam ini tidak mampu menangkap watak plural dari dunia sosial yang di dalamnya terdapat konlik dan
fragmentasi yang tidak bisa dihindari. Pluralisme yang dipahami liberalisme menegaskan bahwa kita hidup dalam
dunia yang sangat majemuk dan kita tidak bisa mengadopsi semua perspektif itu. Karena alasan itulah maka libe­
ralisme cenderung mengupayakan satu konsensus bersama, yang oleh Moufe dianggap telah menegasi yang politis
itu sendiri. (Moufe, 2005:10).

08-Kritik Chantal.indd 86

4/18/2013 8:32:44 PM


Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:
Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

tis (Moufe, 1993:139). Menurutnya, sikap
liberalisme politis yang mengerangkeng
pluralisme dan menempatkannya di ranah
privat dilakukan untuk memuluskan jalan
menuju konsensus di ranah publik (Moufe,
1993:139-140). Seluruh saluran bagi pandangan atau isu yang dianggap kontroversial (dalam perspektif konsensus) ditutup
rapat. Dalam argumen liberalisme politis,
hanya dengan cara itulah konsensus rasional menjadi mungkin. Pada akhirnya,
politik dalam liberalisme sudah dilucuti
dari hasrat dan keyakinan disruptif, dan
ia (individu) hanya dipahami sebagai agen
rasional yang mengejar kepentingannya
belaka. Moufe menyebut hal ini sebagai
“negasi atas yang politis dalam libera­
lisme” (Moufe, 1993:139­140).
Memahami politik hanya sebagai pro­

ses rasional dalam negosiasi antar­individu
sama saja dengan merenggut seluruh dimensi kekuasaan (power) dan antagonisme
– yang oleh Moufe diartikan sebagai yang
politis itu sendiri. Karenanya, pengertian
politik semacam itu telah kehilangan kodrat dari yang politis. Pengertian politik
dalam tradisi liberal juga telah mengabaikan peran besar hasrat (dan keyakinan)
yang dapat menggerakkan perilaku manusia. Menurut Moufe, klaim liberal yang
menyatakan bahwa konsensus rasional
yang universal dapat diproduksi lewat
dialog yang tidak terdistorsi dan (klaim)
bahwa nalar publik yang bebas dapat menjamin imparsialitas negara, hanya akan
mengakibatkan negasi atas antagonisme
yang sebenarnya tidak mungkin dinegasi
dalam relasi sosial.
Menurutnya, yang telah dilakukan li­
beralisme terhadap bangunan demokrasi
tidak lain merupakan perapuhan institusi
demokrasi itu sendiri. Meski yang politis
dinegasi, tidak berarti bahwa keberadaan

5

08-Kritik Chantal.indd 87

SUNARYO

87

yang politis menjadi hilang. Menurut
Moufe, negasi atas yang politis terjadi
karena kebingungan liberalisme dalam
menghadapi manifestasi yang politis dan
ketidakmampuan untuk melakukan deal
dengan manifestasi tersebut (Moufe,
1993:140).
Liberalisme, sejauh diformulasikan
dalam bingkai rasionalistik dan individualistik, telah mengabaikan eksistensi dari
yang politis dan menipu diri sendiri dalam
melihat kodrat yang politis. Ia lupa bahwa
yang politis sebenarnya berurusan dengan
upaya mengkonstruksi identitas kolektif
dan menciptakan “kami” yang beroposisi
dengan “mereka”. Menurut Moufe, politik harus berhubungan dengan konlik
dan antagonisme. Setiap konsensus yang
diproduksi oleh liberalisme selalu didasarkan pada tindakan eksklusi dan kita (sebenarnya) tidak akan pernah sampai pada
level konsensus rasional yang inklusif
(Moufe, 1993:140­141). Untuk menjelaskan
hal ini Moufe meminjam gagasan Derrida
tentang “constitutive outside.”5
Pembentukan identitas selalu didasarkan pada eksklusi akan sesuatu dan menciptakan hirarki kekerasan dalam oposisi biner: bentuk­materi, esensi­aksiden,
hitam­putih, pria­wanita dan seterusnya.
Dengan gagasan “constitutive outside,”
Moufe mau mengatakan bahwa tidak ada
identitas yang menyatakan untuk dirinya
sendiri. Ia selalu dikonstitusikan oleh tindakan kekuasaan. Dalam realitas sosial
objektif apapun, kita melihat bahwa seluruh sistem relasi sosial pada dirinya sudah
bersifat politis, dan tindakan itu sudah
selalu berhubungan dengan kekuasaan
(Moufe, 1993:141).
Laclau menambahkan bahwa kekuasa­
an (power) tidak harus dimaknai sebagai
relasi eksternal yang ada di antara dua

Lih. Derrida, J. (1988). Limited, Inc. Diterjemahkan oleh S Weber. Evanston, IL: Northwestern University Press.

4/18/2013 8:32:45 PM

88

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:
Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

identitas yang belum saling mengkonstitusikan. Kekuasaan (power) baginya adalah
daya yang mengkonstitusi identitas­identitas itu sendiri. Sistem organisasi sosial
(sebagaimana yang ada dalam liberalisme)
berupaya mengurangi marjin dari sesuatu
yang tidak bisa diputuskan (undecidability)
dari relasi antar­komunitas yang plural
demi mencapai keputusan yang didasarkan pada konsensus. Upaya mengurangi
marjin dari sesuatu yang tidak bisa diputuskan adalah gejala penegasian akan yang
politis. Padahal setiap upaya yang bertujuan menekan yang politis adalah tidak
mungkin. Upaya semacam itu, menurutnya, tidak akan pernah rampung. Segala
tindakan yang berupaya menegasi yang
politis masuk dalam kategori kekerasan
(Moufe, 1993:141).
2. Rasionalitas dan Netralitas
Dalam liberalisme politis, menurut
Moufe, pluralisme sebenarnya tidak beri
ruang secara total karena ada pandangan­
pandangan yang harus dieksklusi dari arena komunikasi publik (Moufe, 1993:142).
Standar yang dipakai untuk mengeksklusi
kelompok tertentu dalam sistem liberalisme politis adalah prinsip rasionalitas (rational) dan kewarasan (reasonable). Namun
dalam pembelaan liberalisme, eksklusi
itu sendiri lahir dari satu kesepakatan
yang bebas dan prosedur rasional yang
steril dari relasi kuasa. Namun yang menjadi pertanyaan Moufe kemudian adalah
bagaimana mungkin sebuah eksklusi lahir
dari proses yang netral?
Dalam merumuskan konsep netralitas,
Charles Larmore memahaminya sebagai

6

Volume 1, 2013

upaya meminimalisasi konsep atau doktrin
mengenai hidup yang baik dalam komunikasi publik.6 Dengan cara itu, komunikasi
publik diharapkan menjadi netral dari pe­
ngaruh nilai atau doktrin yang berasal dari
komunitas tertentu dalam masyarakat, se­
hingga karenanya komunikasi yang rasio­
nal menjadi mungkin (Moufe, 1993:142).
Bagi Larmore sendiri, prinsip netralitas
merupakan sesuatu yang penting dalam
membangun komunikasi di antara komunitas yang sangat plural secara sehat dan
tanpa dominasi.
Lantas bagaimana dengan mereka
yang menentang prinsip netralitas ini?
Larmore akan menjawab bahwa mereka
yang menentang akan dianggap sebagai
kelompok irasional dan tidak tidak waras
(unreasonable). Atas dasar ini, Moufe mencoba mengkritik standar rasionalitas dan
kewarasan (reasonable) yang diandaikan
liberalisme. Siapa yang berhak menentukan waras dan tidak waras? Menurutnya
standarisasi mengenai rasionalitas dan reasonable (waras dan tidak waras) tidak lepas
dari permainan bahasa (language game) dari
kelompok yang berkuasa.
Dalam arti itu, standarisasi adalah bagian dari proses hegemoni dan hasil se­
dimentasi dalam masyarakat oleh kekuasa­
an tertentu. Dalam demokrasi modern, kita
dapat mempertanyakan standar rasionali­
tas dan kewarasan yang diajukan oleh sebuah sistem. Dalam hal ini, Moufe juga
menggugat klaim universalitas yang menjadi bagian dari prinsip liberalisme. Mengutip Judith Butler, segala upaya yang bermaksud memapankan satu norma dengan

Pandangan Larmore ini sebenarnya masih relatif moderat bila dibanding dengan sikap Rawls mengenai doktrin
komprehensif dalam Political Liberalism. Melalui gagasan konsensus tumpangsuh (overlapping consesnsus), Rawls
mencoba mendesain satu model komunikasi di mana pandangan­pandangan yang irasional akan gugur dengan
sendirinya dalam komunikasi politik (bdk. Freeman, 2007:366­367). Dengan asumsi ini, dalam konsensus tumpangsuh, doktrin komprehensif tidak hanya diminimalisasi, tetapi dievakuasi ke dalam ruang yang disebut sebagai budaya latar (background culture). Bagi Rawls setiap upaya untuk memasukkan doktrin komprehensif dalam diskursus
politik sama dengan kolonisasi satu pandangan atas pandangan yang lain.

08-Kritik Chantal.indd 88

4/18/2013 8:32:45 PM

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:
Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

(maksud) melampaui kekuasaan (power)
dan pemaksaan (forceful) adalah juga praktik konseptual yang (sebenarnya) memasukan unsur kekuasaan dan pemaksaan
(Moufe, 1993:142­143).
Menurut Moufe, standar yang sama
juga dilakukan oleh Rawls. Konsep libera­
lisme politis­nya tidak memungkinkan
pluralisme dalam arti total. Ia mensyaratkan prinsip rasionalitas dan kewarasan
dalam hidup bersama. Pandangan Rawls
ini sebenarnya merupakan konsekuensi
praktis dari teori keadilannya. Konsepsi
keadilan macam apa yang paling cocok
untuk merealisasikan nilai kebebasan dan
kesetaraan dalam institusi politik? Jawabannya adalah komunikasi publik politis
yang steril dari salah satu pandangan atau
doktrin yang ada dalam masyarakat. Komunikasi juga dibangun atas dasar prinsip
rasional dan kewarasan. Dengan kata lain,
prinsip netralitas menjadi pengandaian
yang penting dalam pandangan Rawls
(Moufe, 1993:143).7
7. Moralitas dan Kesepakatan
Moralitas dalam pengertian liberal
adalah paham atau doktrin tentang kehidupan yang baik. Ruang gerak moralitas
dalam pengertian ini dibatasi agar tidak
mengekspansi ke ranah publik. Pandangan mengenai hidup yang baik­­­Rawls
menyebutnya sebagai doktrin komprehensif ­­­harus dipisahkan dari ruang politik
yang bersifat publik. Salah seorang yang
juga berupaya menjustiikasi pemisahan
ini adalah Thomas Nagel, ilsuf Amerika

7

08-Kritik Chantal.indd 89

SUNARYO

89

kelahiran Belgrade,Yugoslavia pada 1937,
yang sekarang menjabat sebagai Profesor
Filsafat dan Hukum di New York University.
Menurutnya, hal yang sulit dalam
teori politik adalah bahwa institusi politik
dan justiikasi teoritisnya harus mengeks­
ternalisasi tuntutan impersonal (Moufe,
1993:147). Nagel yakin bahwa untuk mempertahankan tatanan politis yang dapat
diterima maka kita harus mampu mencapai titik imparsialitas tersebut. Melalui
gagasannya mengenai parsialitas – se­
bagaimana tertuang dalam bukunya Equality and Partiality (Oxford University Press,
1991)– Nagel menegaskan bahwa sese­
orang sampai pada posisi liberal ketika ia
sanggup menyetarakan pandangan moral
tertentu dalam cara pandang yang imparsial (Moufe, 1993:147­148).
Upaya untuk mencapai titik imparsialitas dilakukan agar para anggota komunitas politik sampai pada kesepakatan yang
lejitim. Kemampuan ini terkait dengan
pencarian konsensus silang di antara kelompok yang beragam. Bagi para pemikir
liberal, konsensus dalam sebuah komunitas
politik yang beragam merupakan hal yang
sangat penting. Untuk mengupayakan itu,
mereka akan mendiskualiikasi setiap pandangan yang mendestabilisasi konsensus.
Dengan demikian, bila kita masih menyebut pluralisme dalam teori liberal maka ia
merujuk pada ranah privat yang sangat terbatas (Moufe, 1993:148 ­ 149).
Dalam pandangan Moufe, ide konsensus semacam ini sangat berbahaya karena
akan mengancam esensi pluralisme itu

Salah satu gagasan penting Rawls mengenai keadilan ada dalam ide tentang posisi asali (the original position). Ketika
mereleksikan suatu teori keadilan, kita perlu membuat sebuah pengandaian dasar bahwa setiap orang yang hendak
membuat sebuah putusan bersama berada dalam kondisi di mana mereka tidak mengetahui posisi mereka ketika
hukum tersebut bekerja (veil of ignorance). Mereka tidak mengetahui apakah nantinya mereka akan menjadi bagian
dari kelompok minoritas atau mayoritas, perempuan atau laki­laki, kulit hitam atau kulit putih, etnis A atau etnis
B. (Rawls, 2001:15, dan seterusnya; bdk. Farelly, 2004:8). Gagasan mengenai liberalisme politis datang dari ide dasar
ini. Dalam sebuah masyarakat yang terdiri dari beraneka doktrin komprehensif yang sangat beragam, kita tidak
mungkin mendasarkan kehidupan bersama kita pada satu doktrin komprehensif tertentu. Jalan paling adil adalah
dengan tidak mengambil salah satu doktrin komprehensif yang ada. Setiap orang atau kelompok harus melepas
bahasa yang terkait dengan doktrin komprehensif yang mereka yakini.

4/18/2013 8:32:45 PM

90

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:
Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

Volume 1, 2013

sendiri. Baginya, komitmen terhadap demokrasi dan pluralisme seharusnya memberikan ruang pada berbagai pandangan
di ranah publik. Setiap pandangan dapat
dikontestasikan secara terbuka tanpa khawatir akan didiskualiikasi. Pandangan,
paham, atau doktrin yang ada dalam masyarakat tidak dibatasi ruangnya hanya
pada wilayah privat. Bagi Moufe, kepercayaan pada idealitas mengenai ruang
publik yang non­eksklusif dan konsensus
yang non­koersif adalah ilusi jika standar
yang dibuat oleh pemikir liberal masih
diberlakukan. Agar ia tidak menjadi ilusi
maka kita harus membuang standar yang
menjadi alat eksklusi dan membiarkan berbagai pandangan dan ide masuk ke arena
publik untuk dikontestasikan secara terbuka (bdk. Moufe, 1993:149).

waras. Tindakan semacam itu akan dipahami sebagai tindak kekerasan. Ia sendiri
mengakui bahwa tidak mungkin bagi kita
untuk menghindari praktik eksklusi atas
beberapa pandangan tertentu.
Namun hal yang penting adalah bahwa kita menyadari adanya bentuk­bentuk
“eksklusi” dan “kekerasan”. Yang ia hindari
adalah bentuk eksklusi dan kekerasan yang
mengatasnamakan prinsip netralitas dan
rasionalitas (Moufe, 1993:145­146). Prinsip
yang diandaikan dalam pemikiran liberal
yang atas nama itu mereka beranggapan
tidak melakukan tindakan eksklusi.
Moufe berpandangan bahwa kekhasan
demokrasi pluralis bukan meletak pada
soal dominasi dan kekerasan. Yang di­
ajukan oleh demokrasi pluralis adalah se­
perangkat institusi yang dapat dibatasi dan
dikontestasikan. Karenanya, demokrasi
pluralis tetap merawat pemisahan (split)
4. Demokrasi Pluralis Agonistik
antara hukum dan keadilan. Baginya kea. Pluralisme dan Undecidability
Tradisi liberal cenderung pada kon- adilan adalah sesuatu yang tidak mungkin,
sensus dan kerap menghindari ruang dis- dalam arti bahwa keadilan tidak akan menkusi terbuka karena dianggap mengancam capai dasar nalar hukum yang betul­betul
konsensus. Moufe mencoba mengatasi ke- memadai (Moufe, 1993:146). Kita tidak
cenderungan semacam ini dengan meng­ bisa mengatakan bahwa keadilan dapat diajukan model demokrasi yang membuka capai seraya menyamarkan kekerasan atas
ruang bagi mereka yang memiliki cara ber- nama netralitas dan rasionalitas. Demokrapikir berbeda. Untuk mewujudkan proyek si pada dirinya bersifat tidak sempurna,
demokrasi semacam ini, kita harus meneri- dan ia akan tercederai bila kita mengatakan
ma dan memapankan status “tanpa dasar” bahwa rongak (gap) antara hukum dan ke­
(ungrounded) yang dengannya dapat me- adilan dapat diatasi (bdk. Moufe, 1993:146)
Bagi Moufe, untuk menghindari ma­
wadahi seluruh proses dialog atau komunikasi tanpa distorsi. Moufe menyebut salah yang ada dalam liberalisme, yang
model komunikasi semacam itu sebagai harus dilakukan adalah melepas ide li­
model komunikasi antagonistik (Moufe, beralisme yang paling dasar, yakni kecen­
derungan pada konsensus politik rasional
1993:144-145).
Filsafat politik yang memberikan ru- itu sendiri. Gagasan mengenai konsensus
ang pada kontingensi dan undecidability ba- rasional tidak menjawab persoalan dan
rangkali akan dianggap aneh dalam tradi- sangat sulit untuk ditransformasikan. Ide
si liberal. Namun Moufe justru hendak konsensus yang digagas Rawls (dan juga
menunjukkan bahwa upaya membangun Larmore) sangat tidak kondusif bagi plukomunikasi yang rasional dan waras me- ralisme. Kecenderungan yang terjadi dalam
miliki konsekuensi pada eksklusi mereka liberalisme justru mengarah pada hoyang dianggap tidak rasional dan tidak mogenitas yang menegasi ketidaksepakat­

08-Kritik Chantal.indd 90

4/18/2013 8:32:45 PM

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:
Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

an (perbedaan) dan kontestasi dalam ruang politik (Moufe, 1993:146).
Moufe memahami pluralisme demo­
kratis sebagai ruang ekspresi terbuka bagi
berbagai simbol. Dalam masyarakat seperti
ini, kekuasaan, hukum dan pengetahuan
ditampilkan dalam indeterminasi radikal.
Masyarakat menjadi teater dari petualang­
an yang tidak perlu dikontrol (Moufe,
1993:147).
b. Proyek Demokrasi Pluralis
Yang politis (the political) dalam demo­
krasi liberal cenderung dinegasi demi mencapai konsensus. Padahal yang disebut
dengan yang politis tidak mungkin dinegasi dan dihapus. Karena ketidakmungkinan
ini maka proyek sentral dari demokrasi
pluralis adalah menciptakan ruang kemungkinan bagi yang politis untuk tampil
dalam wajahnya yang paling radikal. Pada
awalnya, motif dasar demokrasi liberal sebenarnya juga berupaya melahirkan ruang
di mana yang plural itu tetap terjaga dan
tidak ada eksklusi. Political Liberalism Rawls kurang lebih menggambarkan proyek
tersebut.
Namun sayangnya hal yang dilupakan
oleh pemikir liberal adalah bahwa yang
mereka anggap sebagai sesuatu yang netral
dan imparsial ternyata sudah terboncengi
dengan sendirinya oleh pandangan­pandangan liberal. Karenanya, upaya pemikir
liberal untuk merawat pluralisme justru
berujung pada eksklusi yang plural itu
sendiri karena harus mengevakuasi pandangan yang tidak segaris dengan prinsip
liberal (Moufe, 1993:151).
Melalui demokrasi pluralis, Moufe
menegaskan bahwa tidak ada satu kelompok atau pandangan dalam komunitas
politik yang merasa berhak mendominasi
yang lain dan mengklaim dirinya sebagai
fondasi masyarakat. Relasi sosial dapat
disebut demokratis sejauh mereka mene­
rima partikularitas dan keterbatasan ma­

08-Kritik Chantal.indd 91

SUNARYO

91

sing­masing. Moufe tidak percaya dengan
konsensus (liberal) yang didasarkan pada
rasionalitas dan imparsialitas. Alih­alih
mengupayakan hal yang tidak mungkin,
berikut Moufe bertanya, tidakkah sebaik­
nya kita menciptakan satu kemungkinan
di mana yang antagonistik menemukan ruangnya?
Dalam ruang itu, yang plural dapat
memanifestasikan dirinya. Jika yang plural
dapat diselamatkan maka yang demokratis
juga akan menemukan wujudnya. Karena
bagi Moufe, salah satu tujuan strategis
demokrasi pluralis adalah memapankan
nilai­nilai dan praktik­praktik hidup demokratis itu sendiri (Moufe, 1993:151).
Bahkan, bagi Moufe, tujuan dasar
demokrasi pluralis tidak hanya menciptakan ruang bagi pluralisme budaya dan
bentuk kolektif kehidupan, tetapi juga pluralisme subjek, pilihan individu dan konsep mengenai yang baik. Semua itu merupakan hal penting dan mendasar dalam
diskursus mengenai yang politik. Rezim
politik yang demokratis seharusnya menjadi tempat “diputuskannya sesuatu yang
tidak dapat diputuskan” (undecidability decided). Keharusan ini menjadi tidak mungkin tanpa adanya “constitutive outside”
(Moufe, 1993:152). “Constitutive outside”
dipahami sebagai airmasi kita atas yang
lain, yang karena airmasi itu maka kita
menjadi ada (bdk. Moufe, 1993:69, 85).
Dengan penegasan ini, demokrasi pluralis
selalu mengandaikan relasi antagonisme
antara kami dan mereka.
c. Dari Antagonisme ke Agonisme
Terma agonistik sebenarnya bukan istilah khas Moufe. Ada beberapa pemikir
lain yang juga menggunakan terma ini,
misalnya William E. Connolly (Profesor
Ilmu Politik di Johns Hopkins University),
Bonnie Honig (Profesor Ilmu Politik di
Northwestern University ) atau James Tully
(Profesor Ilmu Politik, Hukum, Indigenous

4/18/2013 8:32:45 PM

92

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:
Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

Governance, dan Filsafat di University of
Victoria, Kanada, sejak 2003). Namun ada
perbedaan mendasar pengertian agonistik
yang dipahami Moufe dibanding pemikir­
pemikir tersebut. Moufe lebih memahami
agonistik sebagai ruang konlik dan anta­
gonisme, sementara yang lain pada umumnya lebih memahami itu sebagai ruang kebebasan dan deliberasi, pengertian
the political yang diinspirasi dari Arendt
(Moufe, 2005:20).
Konsep konlik dan antagonisme menjadi kata kunci dalam demokrasi agonistik. Namun perlu dicatat bahwa pengertian konlik yang dipahami Moufe bukan
dalam arti konlik permusuhan di mana
yang lain dianggap sebagai lawan yang
harus dihancurkan. Konlik di sini lebih
diartikan sebagai satu ruang di mana perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan setiap perbedaan pada dirinya bersifat lejitim
dan tidak ada satu bagian yang menjadi
fondasi bagi yang lain. Setiap bagian memiliki hak untuk menyatakan pendapatnya
tanpa khawatir akan dianggap ilegal atau
irasional.
Moufe menilai bahwa ruang konlik
dan antagonisme semacam ini yang absen
dalam demokrasi liberal. Demokrasi liberal
menutup ruang konlik dan antagonisme,
dan mereka mengubahnya menjadi konsensus rasional. Berangkat dari pengertian
yang politik sebagai konlik dan antagonisme, maka bangunan demokrasi agonistik Moufe didasarkan pada semangat konlik dan antagonisme itu. Namun Moufe
sendiri kemudian berupaya menjinakkan
istilah antagonisme menjadi agonis. Jika
di dalam antagonisme, relasi kita­mereka
dianggap sebagai relasi permusuhan yang
tidak memiliki titik temu sama sekali, di
dalam agonistik meski tidak ada solusi
rasional bagi konlik yang mereka alami,
namun mereka tetap mengakui legitimasi
lawan. Menurut Moufe, salah tugas dari
demokrasi adalah mentransformasi an-

08-Kritik Chantal.indd 92

Volume 1, 2013

tagonisme menjadi agonisme (Moufe,
2005:20). Dalam bahasa lain, antagonisme
yang identik dengan kekasaran diperhalus
dalam agonisme. Konlik dalam agonisme
tidak bertujuan menghancurkan lawan namun justru ditujukan untuk merawat ruang konlik itu sendiri.
Istilah lawan yang terlibat dalam konlik tidak dipahami dalam pengertian “enemy”, namun lebih diartikan sebagai “adversary.” Dengan pengertian adversary, maka
meski mereka terlibat di dalam konlik,
namun masing-masing memiliki legitimasi yang setara dan tidak menghancurkan
mereka yang dianggap sebagai lawan. Bagi
Moufe, model relasi adversarial semacam ini harus dianggap sebagai sesuatu
yang konstitutif dalam demokrasi (Moufe,
2005:20).
Model ini tidak lepas dari tesis sentral
Moufe (bersama Ernesto Laclau) dalam
Hegemony and Socialist Strategy (1985) bahwa objektivitas sosial dikonstitusikan melalui tindakan kuasa (acts of power). Dengan
tesis ini maka objektivitas sosial apapun
pada dirinya sudah dalam pengertian yang
politis. Kekuasaan menurut Moufe tidak
dimaknai sebagai relasi eksternal yang
mengambil tempat di antara dua identitas
yang belum dikonstitusikan. Kekuasaan
justru lebih dimaknai sebagai aktivitas
mengkonstitusikan identitas itu sendiri
(Moufe, 2000:99).
Dengan pendasaran di atas maka de­
mokrasi agonistik sebenarnya hendak
mengairmasi konlik dan antagonisme
sebagai relasi yang tidak bisa dieliminasi.
Yang dapat kita lakukan sebenarnya hanya
menghaluskan proses konlik dan antagonisme itu. Dalam liberalisme, ada kecenderungan untuk menghapus konlik, antagonisme dan lawan (dalam pengertian
adversary). Liberalisme hanya memahami
lawan sebagai kompetitor yang memiliki
tujuan merebut kekuasaan, yang dengan
kekuasaan tersebut ia akan mengeluar-

4/18/2013 8:32:45 PM

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:
Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

SUNARYO

93

kan lawannya (bdk. Moufe, 2005:21). Demokrasi agonis justru memahami konlik dan antagonisme sebagai proses yang
terus-menerus tanpa inal dan tanpa konsensus. Kalaupun ada kompromi, itu lebih
dipahami sebagai peristirahatan sejenak
di tengah konfrontasi yang sedang berlangsung (bdk. Moufe, 2000:102). Dengan
demokrasi pluralis agonis, Moufe menampilkan satu realitas sosial yang tidak
luput dari relasi kuasa dan membuka ruang bagi yang politis untuk tampil dalam
konlik agonis.

harus mampu menahan diri dan mengeks­
presikan budaya latarnya (background culture) dalam kehidupan publik secara selek­
tif.
Dalam ranah publik, hanya ekspresi
yang masuk dalam kategori konsensus silang (overlapping consensus) yang dapat di­
tampilkan. Ide mengenai konsensus silang
merupakan upaya untuk menghindari
kolonisasi satu doktrin komprehensif atas
doktrin komprehensif yang lain. Kritik
Moufe yang menilai konsensus silang sebagai alat untuk mengeksklusi mereka
yang tidak segaris dapat dibenarkan jika
komunikasi di ruang publik menolak toCatatan atas Kritik
tal seluruh bahasa partikular yang berasal
Pada bagian akhir tulisan ini, saya menco- dari doktrin komprehensif. Rawls tentu tiba memberikan beberapa catatan atas kri- dak bermaksud membendung seluruh bahasa partikular dari doktrin komprehensif.
tik Moufe terhadap liberalisme Rawls.
Catatan yang pertama, bila kita mem- Yang ia lakukan adalah pembatasan dan
baca proyek dasar dalam Political Liberalism penyesuaian bahasa partikular agar dapat
Rawls, motivasinya berangkat dari realitas dipahami dan tidak menjadi ancaman bagi
kemajemukan pandangan (doktrin kom- kelompok lain.
Proyek Rawls tentu bukan tanpa ke­
prehensif). Dalam menghadapi realitas
semacam ini, Rawls bertanya: prinsip poli- lemahan. Kritik terpenting ada pada pemtik macam apakah yang dapat djadikan batasan yang sangat rjid dan kaku bagi
ruang hidup bersama? Jawabannya cukup pandangan partikular dalam kehidupan
jelas: prinsip tersebut tidak berasal dari publik. Penulis menilai bahwa keresahan
satu doktrin komprehensif tertentu yang Moufe yang paling dasar berakar pada
ada dalam masyarakat. Setiap komunitas rigiditas komunikasi publik Rawls ini, se-

8

08-Kritik Chantal.indd 93

Salah satu masalah yang dianggap krusial dalam Political Liberalism adalah minimnya ruang dialog yang terbuka. Habermas
mencoba menegaskan kembali signiikansi dialog dalam masyarakat yang beragam. Hal ini ia singgung dalam menanggapi relasi perspektif sekular dan perspektif yang didasarkan pada iman/agama. Ia melihat bahwa pandangan miring kelompok sekular kepada kaum beriman sehingga karenanya mereka tidak membuka ruang dialog dengan kelompok kaum
beriman dinilai sebagai sikap yang kurang tepat. Agama, betapapun pernah menorehkan sejarah kelam bagi kehidupan
publik politik, ia tentu bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan begitu saja. Ruang untuk membangun dialog dengan kaum
beriman kembali ia kumandangkan. Dialog ini, menurutnya, tentu saja harus didasari oleh proses penalaran yang dapat
dipahami oleh masing­masing kelompok. Lih. Habermas, 2008:4­5. Bdk. Kleden dan Sunarko, (2010), Dialektika Sekularisasi:
Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan. Dalam semangat yang sama, Amartya Sen juga kerap menekankan pentingnya
membangun diskusi publik yang terbuka bagi semua kelompok. Proses penalaran publik yang lebih luas dalam pandang­
an Sen menjadi sesuatu yang sangat mendesak untuk mengurangi ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat. Sikap
yang menutup diri dari dialog dapat membuat kita jatuh pada ilusi mengenai objektivitas, menganggap pandangan yang
kita yakini sebagai benar tanpa pernah mendiskusikan pandangan itu bersama kelompok lain. Lebih jauh dapat dilihat
dalam Sen, (2009), The Idea of Justice. Sementara Dostert, lewat Beyond Political Liberalism, karya yang merupakan hasil
disertasinya, mencoba membalik tesis dasar dalam Political Liberalism. Jika Rawls beranggapan bahwa untuk membangun
masyarakat yang tertata baik kita harus membatasi ruang pandangan partikular, Dostert justru mengajukan pandangan
sebaliknya. Menurutnya, hubungan antar­komunitas akan jauh lebih baik jika ruang bahasa partikular tidak dibatasi secara
rjid. Pembatasan yang rjid dan penempatan doktrin komprehensif ke dalam budaya latar dapat mengerdilkan makna dan
peran nilai agama atau budaya dalam politik. Lihat Dostert, Troy. (2006). Beyond Political Liberalism: Toward a Post-Secular
Ethics of Public Life, Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press.

4/18/2013 8:32:45 PM

94

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:
Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

hingga karenanya yang politis terevakuasi.
Keresahan ini tidak hanya muncul dari
Moufe, tetapi juga Habermas, Sen, Dostert
dan lain­lain.8 Namun keberatan ini tidak
berarti bahwa kita harus menolak kehadir­
an standarisasi komunikasi publik di antara komunitas yang plural. Penulis sulit
membayangkan komunikasi publik yang
tidak memiliki standar bahasa publik di
mana ada pembatasan dan penyesuaian
bahasa partikular dalam kehidupan publik.
Prinsip paling mendasar dalam liberalisme
politis adalah upaya mencari konsensus silang di antara pandangan yang sangat beragam (Freeman, 2007:366). Dalam meng­
upayakan hal itu, Rawls tidak menolak
bahasa partikular sejauh ia sudah disesuaikan dengan nalar publik. Dengan motivasi
ini kita dapat mengerti bahwa gagasan li­
beralisme politis merupakan konsekuensi
dari persoalan yang lebih mendasar, yakni
persoalan keadilan itu sendiri. Membatasi
ruang doktrin komprehensif di dalam kehidupan publik adalah upaya untuk me­
netralisasi potensi kekuasaan destruktif
kelompok tertentu terhadap kelompok
lain. Dengan kata lain, di dalam kehidupan
publik, apapun latar belakangnya, setiap
warga negara harus kita tempatkan pada
posisi di mana kebebasan mereka memiliki
keluasan yang setara.
Catatan yang kedua, penulis ingin
menunjukkan letak masalah mengapa kita
membutuhkan standar komunikasi publik.
Melalui ide demokrasi pluralis agonistik,
meski menjadi ruang komunikasi yang terbuka bagi siapapun, Moufe tentu menolak
kehadiran kelompok­kelompok yang cenderung mentotalisasi pihak lain. Contoh
yang dapat diangkat adalah kehadiran kelompok agama yang memahami pihak lain
sebagai lawan yang harus dihancurkan
atau diluruskan sehingga sesuai dengan
harapan yang mereka pancangkan. Dalam
kasus Indonesia misalnya, bagaimana kita

08-Kritik Chantal.indd 94

Volume 1, 2013

menempatkan kelompok-kelompok agama
– dalam hal ini Islam – garis keras dalam
kehidupan publik. Sejauh ini mereka menikmati kebebasan yang disediakan demokrasi untuk tampil di ranah publik. Ruang kebebasan yang mereka nikmati justru
digunakan untuk menghancurkan kebebasan pihak lain.
Baik Moufe, dan terlebih Rawls tentu
tidak memahami kebebasan demokrasi
dalam arti ini. Melalui liberalisme politis,
Rawls akan merespon kasus ini dengan
menekankan pentingnya konsensus silang
sehingga kelompok Islam garis keras harus
belajar bagaimana bertindak sesuai dengan
nilai dan nalar kepublikan. Sementara
Moufe juga akan menolak kelompok yang
melakukan tindakan destruktif terhadap
yang lain atas nama kebebasan dalam demokrasi. Dengan demikian, meski Moufe
menyediakan ruang yang terbuka bagi
setiap pandangan, namun ia tetap memberikan batasan pada kelompok­kelompok
yang akan mengeksklusi kelompok lain.
Selalu ada syarat dan standar yang harus
diajukan ketika kita membangun komunikasi di ranah publik. Bedanya, Rawls
berasumsi bahwa pembatasan itu bersifat
netral sementara Moufe mengganggapnya
tidak demikian.
Catatan yang ketiga, saya mencoba
meraba model yang diajukan Moufe, di
manakah letak momen keputusan dalam
demokrasi agonis Moufe? Jika ia me­
ngatakan bahwa momen itu dipahami sebagai peristirahatan sejenak, saya melihat
porsi mengenai momen keputusan tidaklah besar dalam demokrasi agonis Moufe.
Hal ini bisa dipahami karena gagasan dasar
dari demokrasi agonis adalah anti­inalitas
sehingga karenanya konsensus menjadi
absen. Namun dalam hemat saya, betapa­
pun kita memahami kehidupan demokrasi
agonis sebagai antagonisme tanpa akhir,
bukankah ada banyak kesepakatan yang

4/18/2013 8:32:46 PM

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:
Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

SUNARYO

95

perlu kita buat dalam kehidupan bersama, meskipun kesepakatan itu tidak inal.
Dalam soal ini, saya melihat Moufe tidak
memberikan porsi yang memadai mengenai momen kesepakatan dalam kehidupan
bersama yang kerap menuntut keputusan.

Diterjemahkan oleh Ciaran Cronin.
Cambridge: Polity Press.
Kleden, Paul Budi dan Adrianus Sunarko.
(2010). Dialektika Sekularisasi: Diskusi
Habermas-Ratzinger dan Tanggapan. Penerbit Lamalera dan Penerbit Ledalero
Moufe, Chantal. (2005). On The Political.
London: Routledge.
_____. (2000). The Democratic Paradox. LonDaftar Pustaka
don: Verso.
Dostert, Troy. (2006). Beyond Political Li- _____. (1993). The Return of The Political,
London: Verso.
beralism: Toward a Post-Secular Ethics of
Rawls,
John (2001). Justice as Fairness: A RePublic Life. Notre Dame, Indiana: Unistatement. Cambridge, Mass.: The Belk­
versity of Notre Dame Press .
nap Press/Harvard University Press
Farrelly, Colin. (2004). An Introduction to
Contemporary Political Theory. London: _____. (1993). Political Liberalism, Columbia
University Press, New York
Sage Publication.
Sen,
Amartya. (2009). The Idea of Justice.
Freeman, Samuel. (2007). Rawls: The PhilosMassachusets, Cambridge, Mass.:
ophers Series. New York: Routledge.
The Belknap Press/Harvard University
Habermas, Jürgen. (2008). Between NatuPress.
ralism and Religion: Philosophical Essays.

08-Kritik Chantal.indd 95

4/18/2013 8:32:46 PM

Dokumen yang terkait