T1 712012002 Full text

LATAR BELAKANG
Greja Kristen Jawi Wetan atau GKJW merupakan Gereja Kristen
yang berada di provinsi Jawa Timur. Penggunaan kata-kata “Jawi Wetan”
yang berarti Jawa Timur ini melambangkan letak teritorial dari gereja tersebut
dan bukan sebagai identitas kesukuan. Sekarang jemaat-jemaat GKJW
tersebar di seluruh provinsi Jawa Timur dengan jumlah warga gereja yang
diperkirakan mencapai 150.000 jiwa dan terhimpun dalam 152 jemaat.1
Sebagai Gereja Protestan GKJW mengakui eksistensi dua sakramen utama,
yaitu baptisan dan perjamuan kudus atau ekaristi. Dalam tulisan ini penulis
akan memfokuskan ulasan kepada sakramen perjamuan kudus atau ekaristi.
Berdasarkan hasil survey awal, di GKJW terdapat peraturan yang berkenaan
dengan Sakramen Perjamuan Kudus mengenai kriteria tertentu bagi jemaat
yang hendak mengikuti Perjamuan Kudus. Hasil survey awal ini akan kembali
diuji melalui hasil penelitian di bagian selanjutnya.
Jika berbicara mengenai istilah sakramen itu sendiri, terdapat
beberapa versi mengenai asal-usulnya mulai dari pemaknaan bahasa asli
hingga kepada budaya atau kebiasaan dari prajurit Romawi Kuno. Dari segi
bahasa asli, kata sakramen berasal dari terjemahan lama dari Perjanjian Baru
dalam bahasa Latin. Kata Yunani yang digunakan dalam Perjanjian Baru ialah
mysterion yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai
sacramentum.2 Sedangkan menurut pemahaman budaya jikalau terdapat dua

pihak yang bertikai tentang suatu hal biasanya mereka datang kepada imam di
kuil untuk menyelesaikan pertikaian. Masing-masing pihak yang bertikai akan
menyerahkan uang sebagai taruhan (sacrum). Seusai pemeriksaan, pihak yang
menang akan memperoleh kembali uang yang dipertaruhkan. Kemudian uang
itu akan masuk ke dalam perbendaharaan kuil. Uang taruhan itulah yang
disebut sebagai sacramentum yang dimaknai sebagai jaminan suci.3

“Tentang GKJW”, last modified January 1, 2009, diakses Maret 20, 2015, http:
//www.gkjw.web.id/tentang-gkjw/.
2
Dr. J. L. Ch. Abineno, Perjamuan Malam: Menurut Ajaran Para Reformator (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1990), 3.
3
Abineno, “Perjamuan Malam”, 2.
1

1

Istilah Perjamuan Kudus atau ekaristi itu sendiri juga mengandung
makna yang mendalam. Ekaristi berasal dari kata Yunani eukharizein yang

berarti mengagumi, bersyukur, berterima kasih.4 Dari interpretasi Injil kata
Yunani yang menjadi akar kata dari Ekaristi lebih dimaknai sebagai semacam
ungkapan syukur. Kata kerja eukharizein yang digunakan dalam empat kitab
Injil ini mendeskripsikan bagaimana Yesus mengungkapkan syukur dalam
Perjamuan

Terakhir

melalui

roti

dan

5

anggur. Sedangkan bila ditinjau dari segi rujukan untuk Perjamuan Kudus itu
sendiri, maka terdapat dua titik tolak. Rujukan pertama berasal dari jamuan
malam yang diadakan Yesus dengan para murid-Nya sehari sebelum Dia
disalibkan. Jamuan malam tersebut merupakan makan malam perpisahan di

mana Yesus memecah-mecahkan roti dan menuangkan anggur (Lukas 22:1921). Rujukan kedua terdapat dalam I Korintus 11:23-26 yang memberikan
penjelasan bahwa sakramen ini harus dilakukan gereja bukan sekedar untuk
mengingat Yesus Kristus tetapi juga untuk memberitakan kematian Tuhan
sampai Ia datang kembali.6 Dalam Injil yang merupakan Berita Baik tentang
Yesus Kristus, sebagaimana disampaikan oleh para rasul dalam tulisantulisannya,7 terdapat laporan-laporan atau kisah-kisah mengenai Perjamuan
Kudus. Pasal-pasal tersebut antara lain ialah Matius 26:26-28, Markus 14:2224, Lukas 22:19,20, dan 1 Korintus 4:24 yang mana tiap nats-nats di dalamnya
saling berlainan. Oleh karena itu, bila mengambil pemahaman dari hal ini
maka dapat disampaikan bahwa Tuhan Yesus pada waktu memerintahkan
penyeleggaraan Perjamuan Malam tidak menghendaki supaya Perjamuan
Malam tersebut dilakukan dalam rumusan yang tidak boleh berubah.8
Pada satu sisi Perjamuan Kudus juga nampak serupa dengan
perjamuan makan yang biasa dilakukan oleh orang Timur Tengah Kuno.
4

Dr. G. Kirchberger SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus (Flores: Nusa Indah, 1988),
195.
5
Alasdair I. C. Heron, Table and Tradition (Philadelphia: The Westminister Press, 1983), xiii.
6
Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo, Manusia dalam Perjalanan Menjumpai Allah Yang Kudus: Suatu

Pemikiran Eklesiologi dan Eskhatologi Kontekstual di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana
University Press, 2013), 73.
7
Dr. G. C. van Niftrik & Dr. B.J Bolland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1997), 405.
8
Dr. P. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1985, 192.

2

Perjamuan makan bersama atau dapat disebut pula sebagai tafelgemeenschap
mengandung makna berupa keakraban dari para pihak yang ambil bagian
dalam perjamuan tersebut. Tidak ada permusuhan, perasaan curiga maupun
perasaan-perasaan lain yang tidak berkenan di antara mereka yang turut ambil
bagian dalam perjamuan makan tersebut.9 Dalam jamuan makan ini juga
nampak keramah-tamahan para tuan rumah untuk menjamu para tamunya.
Perjamuan Kudus sebagai ketetapan dari Tuhan dirayakan sebagai peringatan
akan Yesus Kristus yang membawa atmosfir persaudaraan dan keramahtamahan yang sama. Allah menjamu manusia sebagai tamu-Nya sebagai tanda
tidak lagi ada konflik di antara Allah dan manusia.10 Ekaristi merupakan suatu
puncak dari kebersamaan.11Hal ini mengisyaratkan bila dalam Perjamuan

Kudus juga terselip aspek pengampunan dosa. Pengampunan dosa memiliki
dua sisi, yaitu manusia dibebaskan dari hal-hal yang memisahkan dia dari
Allah sehingga mereka hidup dalam permusuhan dengan Allah. Di sisi lain,
pengampunan dosa ini memberikan masa depan yang baru bagi manusia.
Manusia yang hidup dalam dosa telah menjadi manusia yang hidup dalam
kebenaran.12
Setelah melihat definisi yang terkandung dalam istilah sakramen dan
Perjamuan Kudus yang begitu kaya, maka dapat kita simpulkan bila pada
dasarnya sakramen Perjamuan Kudus memiliki tiga tujuan utama, yaitu
sebagai wujud ungkapan syukur, pengenangan atas pengorbanan Sang Juru
Selamat (Perayaan Keselamatan), dan yang terakhir ialah sebagai wujud
pengampunan dosa. Meskipun demikian, dalam realitanya terdapat peraturanperaturan bagi mereka yang hendak mengikuti Perjamuan Kudus antara lain
memiliki kepercayaan, pertobatan dan motivasi untuk hidup dalam kebenaran
dan kekudusan.13 Seiring dengan berjalannya waktu, maka peraturanperaturan ini juga mengalami perkembangan hingga menyentuh aspek iman
jemaat. Menurut Dr. Albinus Netti, peraturan yang dibuat oleh gereja tidak
9

Nuban Timo, Manusia dalam Perjalanan, 87.
Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo, Umat Allah di Tapal Batas, (-), 206.
11

E. Martasudjita, Pr, Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), 266-268.
12
Nuban Timo, Manusia dalam Perjalanan, 89.
13
Ester P. Widiasih, “Fencing The Lord’s Table, SOLA EXPERTIA 1, no. 2 (Oktober 2013): 178.
10

3

seharusnya sampai menyentuh iman jemaat, cukuplah peraturan dibuat untuk
hal-hal

penting

terutama

bagi

hal-hal


yang

rawan

menimbulkan

kesalahpahaman dan tidak terdapat satu peraturan yang berlaku untuk segala
waktu dan tempat.14
Peraturan

gereja

mengenai

penggembalaan

khusus

sebelum


mengikuti Perjamuan Kudus bagi mereka yang dipandang telah menyalahi
kehendak Tuhan bukanlah sebuah rahasia lagi. Mereka yang melakukan
kesalahan di dalam kehidupannya baik secara langsung maupun tidak
langsung tidak diperkenankan untuk mengikuti sakramen Perjamuan Kudus
sebelum mengikuti penggembalaan khusus. Hal ini juga terjadi secara umum
di GKJW. Dalam buku tata gereja GKJW atau Tata Pranata GKJW diatur
dengan sistematis perihal seputar Perjamuan Kudus dan Penggembalaan
Khusus. Sakramen dalam Tata Gereja GKJW memiliki definisi sebagai tanda
kudus yang ditetapkan oleh Tuhan Allah yang menyatakan tentang
persekutuan Tuhan Allah dengan orang-orang yang menjadi milikNya dalam
kematian dan kebagkitan Yesus Kristus. Penjabaran ini diikuti dengan dasar
sakaramen adalah berita sukacita tentang pengampunan dosa, penyucian dan
pengharapan akan hidup yang kekal dalam kematian dan kebangkitan Yesus
Kristus serta tujuannya untuk menghayati kematian dan kebangkitan Yesus
Kristus serta pemberlakuan hidup baru.15 Sedangkan Perjamuan Kudus
dimaknai sebagai tanda kudus yang ditetapkan oleh Tuhan Allah untuk umat
milik-Nya yang mengandung penghayatan akan kematian dan kebangkitan
Yesus Ktistus.16 Definisi, dasar, dan tujuan dari Perjamuan Kudus telah
dirumuskan dalam kerangka yang baik, namun sayangnya rumusan yang baik

ini tidak didukung oleh peraturan dalam pelayanannya, di mana dalam BAB
VII Pasal 13 mengenai Pelayanan Perjamuan Kudus. Pada poin a dalam pasal
13 tersebut dituliskan bahwasanya yang dapat mengikuti Perjamuan Kudus

14

Dr, Albinus L. Netti, Ibadah dan Tata Ibadah dalam Permenungan (Salatiga: Satya Wacana
Press, 2014), 108.
15
Majelis Agung, Tata dan Pranata Gereja Kristen Jawi Wetan dan Peraturan Majelis Agung
Tentang Badan-Badan Pembantu Majelis (Malang, 1996), 159.
16
Majelis Agung, Tata dan Pranata, 161.

4

ialah mereka yang tidak terkena penggembalaan khusus.17 Penggembalaan
Khusus diberlakukan kepada mereka yang menyimpang dari kaidah dan
ajaran GKJW untuk diarahkan menuju pertobatan. Sebelum mereka mencapai
pertobatan tersebut maka selama itu pulalah mereka dilarang untuk

mengambil bagian dalam sakramen gereja, salah satunya ialah Perjamuan
Kudus.
Jadi, di GKJW Perjamuan Kudus hanya dapat diikuti oleh mereka
yang telah memenuhi syarat gerejawi. Sakramen dipahami sebagai wujud
nyata gereja sehingga tanpa adanya sakaramen gereja tidak dapat disebut
sebagai gereja. Dalam kerangka wujud nyata gereja inilah sakramen
dipandang sebagai tanda kudus sehingga hanya mereka yang dianggap telah
“siap” yang boleh ambil bagian di dalamnya. Terdapat pula hal-hal yang
perlu dihormati dalam pelaksanaan sakramen ini, yaitu tubuh Kristus yang
dapat dipahami sebagai persekutuan Jemaat maupun karya keselamatan yang
telah Kristus lakukan. Mereka yang terkena penggembalaan khusus
dipandang telah melukai persekutuan dan melukai hati anggota persekutuan
dan juga tidak menghargai karya keselamatan yang telah dilakukan oleh
Kristus.18
Nampaknya kata “kudus” yang terdapat dalam pengertian Perjamuan
Kudus dalam Tata Pranata dan pandangan mengenai wujud nyata gereja
inilah yang menjadi kata kunci dalam melihat kelayakan jemaat untuk
mengikuti Perjamuan Kudus. Bila memang kata “kudus” yang digunakan
sebagai titik tolak pelarangan-pelarangan, lalu bagaimanakah dengan aspek
pengampunan dosa yang dituliskan dalam dasar pelaksanaan sakramen?

apakah pengampunan dosa itu hanya berlaku bagi jemaat yang telah
memenuhi kriteria “kudus” tersebut? bila demikian bukankah seharusnya
mereka yang dipandang melakukan pelanggaran seharusya dilihat sebagai
pihak yang lebih membutuhkan bila dibandingkan dengan mereka yang
dipandang telah sesuai dengan kriteria “kudus” yang ditetapkan oleh gereja.
Hal ketidaksempurnaan seharusnya tidak menjadi penghalang untuk turut
17
18

Majelis Agung, Tata dan Pranata, 162.
Wawancara dengan Pdt. BM, tanggal 7 Maret 2016 di Kantor Gereja.

5

serta dalam Perjamuan Kudus, sebab Perjamuan Kudus diperuntukkan bagi
mereka yang merasa lemah dan mencari kekuatan daripada Tuhan, juga bagi
orang yang menginsyafi kelemahan imannya.19
Sakramen Perjamuan Kudus seringkali dianggap sebagai “daerahdaerah kudus” yang hanya boleh disentuh oleh mereka yang telah memenuhi
syarat. Peraturan yang mengatur syarat-syarat tersebut tanpa disadari telah
menjadi semacam “tembok pemisah” antara “daging” yang berkuasa dan
daerah di mana “Roh” yang berkuasa.20 Peraturan tersebut pulalah yang
mengaburkan tujuan gereja, menobatkan umatnya atau menjaga citra kesucian
gereja

semata.

Upaya

pembinaan

yang

dilakukan

gereja

dalam

penggembalaan khusus mugkin dapat dipahami bila lebih difokuskan
terhadap perbaikan perspektif diri maupun pembangunan perspektif yang
baru. Namun, larangan untuk ambil bagian di dalam Perjamuan Kudus inilah
yang menjadi pertanyaan. Bila kembali kepada hakikat dari Perjamuan Kudus
itu sendiri, maka seharusnya semua orang dapat mengambil bagian di
dalamnya. Maka dari itu melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan sejauh
syarat-syarat mengenai peraturan dalam Perjamuan Kudus itu dipahami dan
dipraktekkan oleh Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW).
Penelitian ini ingin mengetahui secara mendalam apa makna
Perjamuan Kudus bagi GKJW serta apa saja syarat-syarat yang ditentukan
GKJW

untuk

mengikuti

Perjamuan

Kudus,

dengan

tujuan

untuk

mendeskripsikan makna Perjamuan Kudus bagi GKJW dan mendeskripsikan
serta menganalisa syarat-syarat yang ditetapkan GKJW untuk mengikuti
Perjamuan Kudus.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan dua manfaat, yaitu
manfaat secara teoritis dan praktis. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan
dapat berkontribusi dalam hal menambah kekayaan pemahaman dan hal-hal
seputar hakikat dari pelaksanaan Perjamuan Kudus bagi GKJW. Secara
Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan refleksi dan
19
20

Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, 194.
Netti, Ibadah dan Tata Ibadah, 111.

6

evaluasi mengenai posisi dan peran pastoral bagi warga jemaat yang dianggap
memerlukan pelayanan khusus bagi GKJW.
Metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis untuk meneliti
permasalahan yang menjadi pokok kajian utama ialah metode kualitatif.
Pengumpulan data primer akan dilakukan melalui wawancara. Wawancara
akan dilakukan secara tidak terstruktur untuk menanyakan secara mendalam
maksud dari penjelasan para informan atau nara sumber.21 Sedangkan untuk
data sekundernya akan diperoleh dari dokumen-dokumen maupun tulisantulisan yang berhubungan dengan topik bahasan. Responden yang dipilih oleh
penulis untuk memaparkan informasi ialah Komisi Teologi di Sinode
(Majelis Agung) GKJW.

MAKNA DARI ISTILAH SAKRAMEN DAN PERJAMUAN KUDUS
Perjamuan Kudus termasuk ke dalam salah satu rangkaian sakramen
yang diakui oleh Gereja Kristen Protestan. Kata “sakramen” itu sendiri
memiliki banyak definisi dengan berbagai perspektif. Terdapat pemaknaan
yang mengatakan bahwa sakramen bukan istilah yang diambil dari Alkitab
melainkan dari adat istiadat Roma, yang berasal sari akar kata sacramentum
yang mengandung dua arti. Pertama, sumpah prajurit yaitu sumpah kesetiaan
yang harus diucapkan oleh seorang prajurit di hadapan panji-panji kaisar.
Kedua, uang taruhan atau uang tanggungan. Uang ini harus diletakkan di kuil
oleh dua golongan yang sedang berperkara. Pihak yang kalah dalam perkara
itu akan kehilangan uangnya. Maka dari itu kata “sakramen” (yang berasal
dari kata sacer = kudus) mengandung juga arti : perbuatan atau perbuatan
yang rahasia, yang kudus, dan yang berhubungan dengan para dewa. Kata ini
kemudian diterjemahkan sebagai mysterion dalam Bahasa Yunani. Awalnya,
yang disebut sebagai sakramen di dalam gereja adalah segala rahasia yang
bersangkutan dengan Tuhan Allah dan penyataan-Nya. Namun, lama-

21

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga (Jakarta: Gramedia,
1997), 129.

7

kelamaan pengertian ini menyentuh segala hal yang berkaitan dengan hidup
kekristenan.22
Gereja Reformasi hanya mengakui dua sakramen saja, perbedaan ini
disebabkan oleh fokus yang digunakan oleh Gereja Reformasi yang berupa
pengertian mengenai hakikat sakramen. Calvin sebagai salah satu reformator
memaknai sakramen sebagai alat bantu yang serupa dengan Pemberitaan Injil
berupa tanda lahiriah yang dapat menopang dan meneguhkan iman. Namun,
sakramen juga tergantung kepada aspek janji Ilahi sehingga sakramen lebih
berfungsi sebagai konfirmasi atas janji tersebut.23 Perjamuan Kudus sebagai
salah satu sakramen dalam tradisi Kristen dipandang sebagai sebuah
perjanjian atau konvenan.24 Perjamuan Kudus juga membawa orang percaya
untuk ikut ambil bagian oleh iman dalam semua manfaat Kristus, seperti
penebusan, kebenaran, dan kehidupan kekal sehingga orang-orang percaya
tersebut juga mendapatkan dorongan untuk menghargai ciptaan.25
Istilah yang digunakan untuk menyebut Perjamuan Kudus itu
sendiri juga beranekaragam, mulai dari Ekaristi, Pejamuan Malam,
Pemecahan Roti, Kurban Kudus, Sakramen Mahakudus, Misa, hingga
Perjamuan Tuhan. Ekaristi berasal dari Bahasa Yunani eukharizein yang
artinya mengagumi, bersyukur, dan berterima kasih. Sedangkan istilah
Perjamuan Malam ini banyak digunakan oleh Gereja Protestan yang melihat
sakramen tersebut secara historis di mana sakramen tersebut dirayakan
sebagai kenangan akan perjamuan perpisahan yang dirayakan Yesus beserta
para murid-Nya pada malam sebelum Ia disalibkan. Sedangkan istilah
Perjamuan Tuhan digunakan seturut dengan apa yang disampaikan Paulus
dalam 1 Korintus 11:20 yang menojolkan peranan Kristus sebagai tuan
pesta.26
Istilah “Ekaristi”, “Sakramen Mahakudus”, dan “Misa” cenderung
digunakan oleh Gereja Katolik Roma, sedangkan istilah-istilah lain seperti
22

Dr. Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 424-426.
Francois Wendel, Calvin: Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya (Surabaya:
Momentum, 2010), 355-358.
24
Wendel, Calvin, 377.
25
Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 240.
26
Kirchberger, Gereja Yesus, 194-197.
23

8

“Perjamuan Malam”, “Perjamuan Tuhan” dan “Perjamuan Kudus” lebih
sering ditemukan dalam Gereja Protestan. Meskipun istilah yang digunakan
berbeda dan perspektiif yang digunakan berlainan, namun kesemuanya
bertolak dari perjamuan yang dirayakan oleh Yesus dengan murid-murid-Nya
dan oleh jemaat mula-mula (Kis., 1 Kor).27 Gereja-gereja Protestan cenderung
lebih menonjolkan aspek Perjamuan Malam, ekaristi sebagai peringatan akan
perbuatan Yesus pada malam sebelum ia memasuki masa sengsara.
Peringatan tersebut lebih kepada tujuan untuk mengenang kembali tanpa
kehadiran realitas kurban dan perbuatan Kristus.28
Bila dikelompokkan ke dalam lima aspek, maka Perjamuan Kudus
dapat diartikan sebagai :
1. Perjamuan Kudus merupakan suatu Perjamuan Peringatan, Yesus
menghendaki kita memperingati-Nya dengan perantaraan roti dan
anggur. Roti dan anggur tersebut mengingatkan kita atas peristiwa yang
pernah terjadi di Bukit Golgota. Namun meskipun demikian, bukan
hanya kematian Yesus yang kita peringati terlebih juga kebangkitan-Nya.
Perjamuan Kudus dirayakan sebagai perjamuan peringatan yang
dilakukan dengan cara memusatkan pikiran kita dengan penuh khidmat
dan kepercayaan kepada Yesus yang telah mati dan bangkit kembali,
Tuhan atas kehidupan.29
2. Perjamuan Kudus adalah suatu Perjamuan Persekutuan dengan Yesus
yang dimuliakan dan dirayakan dengan Roh, dalam artian ini
Perjamuan Kudus lebih dimaknai secara rohani. Merayakan Perjamuan
Kudus adalah makan bersama-sama dalam persekutuan dengan Yesus.
Persekutuan dengan Yesus juga persekutuan dengan karunia-Nya, yakni
pengampunan dosa, pembaharuan hidup setiap hari dan hidup kekal. Para
umat diberikan kepastian melalui anggur dan roti bahwa dosa-dosa telah
diberikan pengampunan dan diangkat menjadi anak Allah.30

27

Christian de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 211.
Kirchberger, Gereja Yesus, 195.
29
Dr. J. Verkuyl, Aku Percaya: Uraian Tentang Injil dan Seruan untuk Percaya, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2001), 234-235.
30
Verkuyl, Aku Percaya, 236.
28

9

3. Perjamuan Kudus memiliki arti bagi Persekutuan antara Orang-Orang
Beriman, arti ini hanya mampu dipahami bila dimulai dengan keinsyafan
bahwa setiap kita yang duduk di meja perjamuan merupakan orang
bedosa yang diperkenankan menerima bagian atas pengampunan dosa.
Kita mengetahui sedikit tentang sesama kita dan mengenal perjuangan
mereka masinng-masing. Kita duduk bukan bersama orang-orang yang
kita pilih sendiri melainkan dengan orang-orang yang dipilih oleh
Tuhan.31
4. Perjamuan Kudus adalah suatu Perjamuan Iman, pada Perjamuan
Kudus kita tidak hidup dari apa yang kita lihat melainkan dari iman, dan
kepercayaan. Siapa yang menerima roti yang dipecah-pecahkan, ia
diundang untuk menerima Kristus dalam iman. Namun sayangnya,
seringkali Perjamuan Kudus dilebih-lebihkan nilainya.32
5. Perjamuan Kudus merupakam suatu Perjamuan Kerinduan dan
Pengharapan, Perjamuan Kudus merupakan Perjamuan Pengharapan
akan kedatangan Yesus untuk kedua kalinya dan kehadiran langit serta
bumi yang baru. Perjamuan Kudus di dunia merupakan suatu permulaan,
permulaan yang membangkitkan kerinduan kepada penggenapan.33

PERJAMUAN KUDUS MENURUT INJIL DAN SURAT-SURAT
PAULUS
Merupakan sebuah kenyataan bahwa Perjanjian Baru tidak banyak
membahas mengenai Perjamuan Kudus di dalam tulisan-tulisan yang ada.
Ketiga Kitab Injil Sinoptik hanya menyampaikan bahwa Yesus mengucapkan
beberapa kalimat singkat pada waktu Ia mengadakan perjamuan terakhir
bersama para murid-Nya, yang mana kalimat-kalimat tersebut dikenal sebagai
“Amanat Penetapan” (Mrk. 14:22-25; Mat. 26:26-29; Luk. 22:14-20). Penulis
Kitab Injil keempat juga menguraikan peristiwa perjamuan dengan lebih

31

Verkuyl, Aku Percaya, 236.
Verkuyl, Aku Percaya, 237.
33
Verkuyl, Aku Percaya, 238.

32

10

terinci, namun sayanganya tidak diiringi dengan penyampaian “Amanat
Penetapan” (Yoh. 13).34
Tidak perlu diragukan bahwa Matius, Markus, Lukas, dan Paulus
menceritakan peristiwa yang sama.35 Ketiga penulis Injil sangat menghindari
salah pengertian dengan menegaskan bahwa “Amanat Penetapan” Perjamuan
Malam diucapkan Yesus pada suatu perjamuan. Para penulis Injil juga
sependapat bahwa perjamuan itu sangat khusus sifatnya, yaitu Perjamuan
Paskah tahunan yang sesuai dengan Alkitab dan tradisi. Berbeda dengan
ketiga Injil, Paulus dalam surat-suratnya sama sekali tidak menyebutkan hal
ini.36 “Amanat Penetapan” Perjamuan Kudus diberitakan dalam empat bagian
(Mrk. 14:22-25; Mat. 26:26-29; Luk. 22:14-20; 1 Kor. 11:23-26).37
Matius dan Markus tidak memiliki perbedaan yang terlalu ekstrem.
Matius pada dasarnya mengikuti pendahulunya, yaitu Markus. Namun
perubahan urutan peristiwa dan tambahan kata-kata baru merupakan ciri khas
yang dimiliki oleh Matius. Penambahan yang paling utama terdapat dalam
kalimat “Amanat Penetapan”: “Sebab inilah darahKu, darah perjanjian, yang
ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa”(Mat. 26:28).
Penambahan kata-kata

ini

menunjukkan bagaimana

penulis

Matius

menghayati tindakan Tuhan.38 Lain halnya dengan Lukas, dalam Lukas
“Amanat Penetapan” Perjamuan Kudus didahului oleh suatu perantaraan yang
menimbulkan kesan bahwa telah terdapat cawan lain yang telah diedarkan
terlebih dahulu (Luk. 22:14-18). Selain itu, dalam formulasi “Amanat
Penetapan” Lukas nampak memiliki keterkaitan dengan Rasul Paulus.39
Surat-surat yang ditulis oleh Rasul Paulus memiliki dua kali
pernyataan mengenai “Perjamuan Tuhan” (1Kor. 10:14-22 dan 11:17-34).
Penekanan yang ia sampaikan dalam tulisan-tulisan tersebut ialah untuk
mengingatkan para pembacanya akan amanat penetapan yang Yesus ucapkan

34

Dr. C. J. Den Heyer, Perjamuan Tuhan: Studi Mengenai Paskah dan Perjamuan Kudus
Bertolak dari Penafsiran dan Teologi Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), ix.
35
Heyer, Perjamuan Tuhan, 1.
36
Heyer, Perjamuan Tuhan, 16.
37
Heyer, Perjamuan Tuhan, 1.
38
Heyer, Perjamuan Tuhan, 91-92.
39
Heyer, Perjamuan Tuhan, 94-95

11

sebelum Ia ditangkap (1 Kor. 11:23-26).40 Paulus melalui suratnya yang
pertama kepada jemaat Korintus menyampaikan gambaran mengani perayaan
Perjamuan Kudus pada tahun lima puluhan dalam abad pertama. Surat
pertama ini juga memuat mengenai tanggapannya atas masalah-masalah dan
ketegangan yang terjadi. Perpecahan internal yang terjadi membawa dampak
dalam perayaan Perjamuan Kudus di Jemaat Korintus. Perjamuan Kudus
biasanya selalu diawali dengan makan biasa. Namun, permasalahan timbul
ketika mereka

yang menyediakan banyak

makanan enggan untuk

membaginya dengan mereka yang berkekurangan. Hal inilah yang digaris
bawahi oleh Paulus sehingga Paulus memberlakukan kembali tradisi yang
ada. Paulus mengutip kalimat “Amanat Penetapan” untuk mengatasi situasi
tersebut: “Barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum
cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu
hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia
makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum
tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (1
Kor. 11: 27-29). 41
Seluruh naskah yang ada di dalam Injil dan surat-surat Paulus
menyatakan bahwa Perjamuan Kudus bukanlah sebuah peristiwa yang
bersifat individual melainkan segala hal dan segi yang kena mengena dengan
hakikat berjemaat. Perjanjian Baru juga sama sekali tidak memberikan
petujuk mengenai pertanyaan siapa yang boleh dan tidak boleh dalam
mengikuti

Perjamuan

Tuhan

itu,

meskipun

Paulus

tampil

dengan

menyampaikan peringatan tetapi peringatan tersebut lebih ditujukan kepada
komitmen dan kesadaran masing-masing secara pribadi mengenai hakikat
Tubuh Kristus, khususnya dalam hal berelasi dengan sesama dan hal
kepercayaan.42 Jemaat Korintus pada masa Paulus mengalami masa-masa
buruk di sekitar perayaan Perjamuan Kasih dan Perjamuan Kudus.
Perpecahan, egoisme, kedangkalan berpikir dan sifat-sifat buruk yang

40

Heyer, Perjamuan Tuhan, ix.
Heyer, Perjamuan Tuhan, 82-84.
42
Heyer, Perjamuan Tuhan, 104. .
41

12

ditularkan oleh pemujaan berhala yang terdapat di lingkungan mereka
membingungkan Paulus.43
Seiring dengan perkembangan gereja, Perjamuan Kudus juga
mengalami perkembangan dalam hal pelayanannya. Terdapat kriteria-kriteria
bagi mereka yang hendak mengikutinya seperti:
a) Pengetahuan
b) Perilaku hidup
c) Usia
Mereka yang hendak mengikuti Perjamuan Kudus harus melewati
proses katekisasi yang tidak singkat sebelum menerima baptisan sehingga
dengan pengetahuan dari katekisasi tersebut mereka dirasakan layak untuk
ikut serta dalam meja Perjamuan. Pengetahuan mengenai Iman Kristen
merupakan hal yang dianggap penting. Perilaku hidup berkaitan dengan
kebiasaan-kebiasaan lama dalam perkembangannya juga menjadi sebuah
indikator yang penting. Bahkan, penyelewengan dalam kebiasaan hidup dapat
mengakibatkan seseorang tidak diperkenankan mengambil tempat di meja
Perjamuan. Perjamuan kudus dinilai mengkehendaki iman yang kuat,
pertobatan yang lebih tinggi tarafnya dan di samping itu keadaan hati yang
lain sekali, sebuah kepastian bahwa kita dengan kesungguhan hati yang
dalam sehingga dapat menguji diri kita. Oleh karena kriteria yang tinggi
tersebut, kelompok yang dapat mengikutinyapun kemudian dipersempit, yaitu
dikhususkan bagi orang dewasa saja.44

DOKTRIN CALVINISME
Greja Kristen Jawi Wetan lebih condong kepada perspektif John
Calvin dalam melaksanakan kehidupan bergereja. Oleh karena itu penulis
akan menjabarkan beberapa bagian yang merepresentasikan pemikiran Calvin
dan doktin yang dihasilkan.
43

Dr. I. H. Enklaar, Baptisan Massal dan Pemisahan Sakramen-Sakramen (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1978), 11.
44
Enklaar, Baptisan Massal, 9-21.

13

Ajaran Calvin lebih bersifat kontekstual sehingga penekananpenekanan di dalam ajaran Calvin seringkali mengalami pergeseran karena
gereja-gereja yang menganut ajaran tersebut hidup dalam zaman yang
berbeda. Ajaran Calvin yang dipelihara terkadang mengalami penambahan
atau justru perubahan. Evolusi ajaran tersebut membuat istilah “Calvinisme”
menjadi semakin kaya dan luas.45 Tokoh-tokoh yang berkontribusi pada
pembentukan doktrin Calvinis antara lain Luther, Augustinus, dan Bucher.46
Calvinisme bertitik tolak dari Allah yang berdaulat, yaitu Allah
Tritunggal.47 Calvinis selalu mengutamakan pemikiran akan Allah, sehingga
pemikiran tidak dimulai dari kepentingan manusia melainkan berpijak pada
pemahaman mengenai bagaimana Allah memperoleh apa yang menjadi hakNya.48 Dalam perspektif Calvinisme Allah merupakan sosok yang dinamis,
yang berintervensi dalam sejarah manusia. Namun, meskipun demikian
transendensi Allah sangat mendapatkan perhatian sehingga beberapa
pandangan seperti Pantheisme dan Deisme mendapatkan penolakan.
Penolakan ini berakar pada pemahaman bahwa Allah adalah Allah yang
menciptakan dan menyempurnakan. Allah tidak hanya menciptakan tetapi
terus melakukan penyempurnaan menuju kepada penggenapan.49
Calvinisme memiliki tradisi khas yang membedakannya dengan
aliran atau perspektif lain, yaitu perihal melihat sisi positif dari Taurat sebagai
cermin dalam kehidupan. Oleh karenanya Calvinisme sangat mengedepankan
penerapan kebajikan sebagai wujud dari tuntutan taurat yang baru dalam
Injil.50 Implikasi dari tradisi ini ialah posisi moralitas dan etika Kristen yang
sangat penting. Pentingnya moralitas dan etika Kristen ini sebenarnya juga
dipengaruhi oleh posisi Allah yang central dalam pandangan Calvinisme,
sehingga kemuliaan Allah amat diutamakan. Alasan lain mengapa moralitas
sangat ditekankan ialah bersumber kepada kesadaran akan kebobrokan
45

Jonge, Apa itu Calvinisme?, 2.
Wendel, Calvin, 379.
47
Pdt. Dr. Stephen Tong, Reformasi dan Teologi Reformed (Jakarta: Lembaga Reformed Injili
Indonesia, 1994), 66.
48
H. Henry Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme (Surabaya: Momentum, 2009), 7.
49
Tong, Reformasi dan Teologi Reformed, 37- 66.
50
Tong, Reformasi dan Teologi Reformed, 38.
46

14

totalnya. Seorang Calvinis percaya bahwa manusia berada dalam kondisi
bobrok secara total. Orang yang paling menyadari ketidakberdayaannya
adalah pribadi yang paling bergantung pada Allah sehingga ia akan menimba
paling banyak dari kekayaan anugerah Allah untuk pembaharuan moralnya.51
Gereja dalam perspektif Calvin dipahami sebagai sarana yang
diberikan Allah kepada orang-orang percaya yang lemah untuk membina dan
memelihara mereka dalam iman.52 Calvin memahami bahwa gereja kudus
karena Allah memberikan hal-hal kudus, yaitu berupa Firman dan sakramensakramen di dalamnya.53 Calvin menyatakan bila iman yang kita miliki
bersifat sempurna, baginya iman kita tidak sempurna. Iman bersifat tidak
stabil sehingga bisa berubah karena jika tidak demikian manusia tidak akan
terus menjadi orang berdosa. Oleh karena iman yang tidak sempurna inilah
sakramen diperlukan terkhusus Perjamuan Kudus dengan mengingat aspekaspek yang ada di dalamnya.54 Peran penting gereja dalam definisi tersebut
menimbulkan kesadaran bahwa kehidupan gereja perlu diatur dengan sebaikbaiknya, sehingga diperlukan kumpulan peraturan-peraturan atau tata gereja.
Tata Gereja pertama yang ditulis oleh Calvin diperuntukkan oleh gereja di
Genewa dengan latar belakang krisis yang tengah terjadi karena munculnya
upaya dari seorang kardinal untuk membawa kembali jemaat-jemaat di
Genewa ke dalam naungan Katolik Roma.55 Selain peristiwa tersebut,
konteks Genewa juga menjadi faktor pendorong yang penting. Ketika Calvin
memulai pelayanannya di Genewa, kota ini baru saja membebaskan diri dari
pemerintahan uskup Genewa dan darah Savoye.56 Genewa menjadi sebuah
kota yang bebas.57 Hidup tanpa aturan dan bebas ini membuat jemaat Genewa
cenderung hidup dalam perbuatan-perbuatan tidak bermoral seperti mabukmabukkan, bermain judi, mencuri, perzinahan dan tindakan yang tidak

51

Meeter, Pandangan-Pandangan, 52-53.
Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 99.
53
Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 150.
54
Wendel, Calvin, 382.
55
Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 8-9.
56
Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 8.
57
Dr. J. L. Ch. Abineno, Johanes Calvin: Pembangunan Jemaat, Tata Gereja, dan Jabatan
Gerejawi (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1992), 25.

52

15

bermoral lainnya.58 Pelanggaran-pelanggaran itulah yang dinilai terjadi
sebagai akibat dari dosa-dosa berat dianggap membahayakan persekutuan
jemaat. Hal ini secara khusus nampak dalam perayaan Perjamuan Kudus. 59
Tradisi Calvinisme juga mengenal istilah disiplin gereja. Yang
dimaksudkan dengan displin oleh Calvin ialah ketertiban di dalam gereja,
semacam usaha untuk menghindari dan menghilangkan dosa. Tujuan utama
dari disiplin tersebut ialah mempertahankan kesucian gereja sebagai
persekutuan yang merayakan Perjamuan Kudus, supaya nama Allah tetap
dipermuliakan dan tidak dicemarkan.60 Disiplin Calvin bertalian erat dengan
perayaan Perjamuan Kudus karena bagi Calvin jemaat adalah persekutuan
yang mendengar Firman dan merayakan sakramen-sakramen sehingga pada
hakikatnya jemaat merupakan persekutuan Perjamuan Kudus. Doktrin dasar
Calvinisme mengenai kemuliaan Allah sebagai pokok dari segalanya menjadi
acuan munculnya larangan bagi pihak-pihak yang dinilai tidak memiliki
tingkah laku yang pantas dan mengalami penyimpangan ajaran untuk turut
ambil bagian dalam perayaan Perjamuan Kudus.61 Penggalan tulisan dalam
surat Rasul Paulus bagi jemaatnya di Korintus (1 Kor. 11: 27-29) pada era
Calvin mendapatkan perhatian khusus dalam pelayanan Perjamuan Kudus.62
Sayangnya penerapan kutipan dari surat Paulus ini tidak disertai dengan
peninjauan yang mendalam. Banyak ahli menyatakan bahwa Calvin dalam
pembahasannya terutama dalam hal jabatan gerejawi dan tata gereja
cenderung menggunakan Alkitab sebagai kumpulan hukum dan peraturan
yang harus diikuti secara harafiah.63
Bagi sebagian ahli baik tata gereja maupun disiplin gereja yang
diselenggarakan oleh Calvin menggunakan istilah “doctrina” yang lebih
merujuk

kepada

ajakan

untuk

“mengajar”

orang

lain.

Sedangkan

penerapannya dalam perayaan Perjamuan Malam lebih bersifat paedagogis
Gridmedlis Hattu, “Sikap Warga Jemaat GPM Haria Terhadap Larangan Mengikuti Perjamuan
Kudus Bagi Pasangan Kawin Piara” (S. Si Teol Tugas Akhir, Universitas Kristen Satya Wacana,
2016), 10.
59
Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 146.
60
Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 151.
61
Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 153.
62
Heyer, Perjamuan Tuhan, 83.
63
Abineno, Johanes Calvin, 32.
58

16

dan pastoral karena ia berbincang dengan anggota jemaat sebelum masuk ke
dalam perayaan. Perbincangan tersebut juga mengandung unsur pengakuan di
dalamnya. Penolakan bagi anggota tertentu untuk ikut serta dalam perayaan
lebih dimaksudkan untuk mengajar orang-orang itu dan memimpinnya
kepada hidup yang lebih baik. Calvin dinilai sebagai tokoh yang membenci
praktek disiplin yang merusak (memecahkan) Gereja dan yang tidak
menunjang kesatuaannya. Tata gereja dan disiplin gereja ia adakan untuk
memajukan dan memelihara kelangsungan pemberitaan Firman dalam artinya
yang luas (sebagai doktrin).64 Bagi Calvin orang yang menyadari dosanya dan
sadar bahwa ia patut dihukum oleh Allah, boleh menyerahkan diri kepada
Allah dalam iman dan menjadi yakin bahwa Allah membenarkannya.65
Ajaran Calvinisme memiliki lima prinsip dasar yang lahir dari
dengan perselisihan orang-orang Armenius perihal konsep keselamatan dan
predestinasi, yaitu Total Depravity (kerusakan total manusia yang berdosa),
Unconditional Election (pilihan Allah yang tanpa syarat), Limited
Antonement (penebusan Kristus atas orang-orang yang percaya), Irresistible
Grace (anugerah Roh Kudus yang tidak dapat ditolak), dan Perseverence of
the saints (ketekunan orang kudus sampai pada akhirnya). Kelimanya dimulai
dengan orang yang berdosa dan diakhiri dengan orang yang dikuduskan yang
menunjukkan proses perubahan status karena penebusan Kristus. Allah Bapa
memilih kita, Anak menebus kita, dan Roh Kudus mengaruniakan
keselamatan bagi kita.66

AJARAN MENGENAI DOSA
Penyebab utama munculnya peraturan dan larangan bagi pihak-pihak
tertentu untuk mengambil bagian dalam perayaan Perjamuan Kudus tidak lain
ialah karena dosa. Mereka yang dilarang bergabung di dalam perjamuan

64

Dr. J.L. Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011),
75-76.
65
Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 229.
66
Tong, Reformasi dan Teologi Reformed, 74.

17

dinilai telah melakukan pelanggaran berat dan tentunya menimbulkan dosa
yang dapat mengancam kekudusan perayaan Perjamuan Kudus.
Perjanjian Lama menyampaikan penjabaran mengenai dosa dengan
cara yang beragam. Dosa terkadang didefinisikan sebagai kata yang setara
dengan makna kehilangan (Kel. 20: 20; Ams. 8:23). Kehilangan yang
dimakudkan di sini ialah bagaimana manusia kehilangan tujuannya atau
bahkan tidak dapat mencapai tujuannya karena mengesampingkan peraturan
yang diberlakukan oleh Tuhan Allah. Bagian lain dari Perjanjian Lama,
memaknai dosa sebagai : bengkok, keliru, menyimpang dari jalan, sehingga
dosa mengandung unsur kesengajaan. Manusia dipandang sebagai makhluk
yang berhati jahat sehingga melanggar hukum Tuhan, sehingga definisi dosa
lebih mengerucut kepada “kesalahan” (Ayb. 15:5; 20:7; dll). Istilah lain yang
menggambarkan makna dari dosa ialah memberontak, yaitu memberontak
terhadap kekuasaan yang sah (1 Rj. 12:9; 2 Rj. 8:20), pemberontakan
terhadap hukum Tuhan Allah (Hos. 8:1). 67
Perjanjian Baru juga memiliki gayanya sediri untuk mendeskripsikan
dosa. Dosa disebut sebagai pelanggaran hukum Allah (1 Yoh. 3:4), atau
dalam bahasa aslinya disebut: anomia, yaitu perbuatan yang tanpa kasih (1
Yoh. 4:8) atau kejahatan (1 Yoh. 5:17). Istilah-istilah lain yang digunakan
ialah: ketidaktaatan, ketidaksetiaan, tidak percaya. Intinya, seluruh istilah
tersebut menunjukkan bahwa ada sesuatu yang hilang karena dosa itu.68 Dosa
juga merusak hubungan antara Allah dan manusia maupun hubungan antara
manusia dan manusia.69
Tradisi Kekristenan memperkenalkan kita kepada istilah dosa
turunan. Agustinus yang memahami bahwa dosa turunan itu berakar pada
pelanggaran yang dilakukan oleh Adam karena memakan buah pengetahuan.
Dosa yang dilakukan oleh Adam tersebut membuatnya mengalami
keterpisahan dengan Sang Pencipta. Keterpisahan yang mencerminkan
rusaknya hubungan ini tidak semata-mata ditanggung oleh Adam secara
pribadi, namun juga oleh keturunannya. Sedangkan tokoh lain, yaitu Pelagius
67

Hadiwijono, Iman Kristen, 234-235.
Hadiwijono, Iman Kristen, 235.
69
Hadiwijono, Iman Kristen, 237.

68

18

beranggapan bahwa Adam dengan kesalahannya hanya mencelakakan dirinya
sendiri dan tidak merugikan keturunannya. Jika dosa itu menurun kepada
generasinya itu karena generasi tersebut telah meniru pelanggaran yang
dilakukan oleh nenek moyangnya. Namun, dalam hal ini Calvin lebih
berpihak kepada pandangan Agustinus.70

MAKNA PERJAMUAN KUDUS BAGI GKJW
Greja Kristen Jawi Wetan atau GKJW dimulai dengan adanya
sejumlah orang yang mengaku percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan
dan Juruselamat yang dibuktikan dengan adanya Baptisan Kudus pertama
pada tanggal 12 Desember 1843 di Surabaya, Jawa Timur. Orang-orang
percaya itu kemudian menyatukan diri sebagai persekutuan gerejawi pada
tanggal 11 Desember 1931 dengan nama Pasamuwan-pasamuwan Kristen
Djawi ing Tanah Djawi Wetan. Persekutuan ini mendapatkan pengakuan
khusus dari pemerintah pada saat itu yang dinyatakan dalam Besluit Gubernur
Djenderal Hindia Belanda No. 53 (Staatsblad No. 372) pada tanggal 27 Juni
1932, yang menyebut persekutuan ini dengan nama Oost-Javaansche Kerk.
Nama ini kemudian diubah menjadi Greja Kristen Jawi Wetan dan disahkan
oleh Surat Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat (Kristen)
Protestan Departemen Agama Republik Indonesia Ni. F/KEP/38/3685/79
tanggal 10 Oktober 1979.71 Sebagai bagian dari Gereja Reformasi maka
GKJW hanya mengakui eksistensi dari dua sakramen saja, yaitu Baptisan dan
Perjamuan Kudus. Dua sakramen tersebut dipilih karena hanya dua sakramen
itulah yang dinyatakan secara jelas di dalam Alkitab. Tradisi reformasi yang
bersifat dogmatis ini merupakan hal yang dirasakan perlu untuk terus
dilestarikan. Namun, dalam hal ajaran maupun hal-hal lain yang berkaitan
dengan kehidupan gerejawi lainnya GKJW menyatakan bahwa mereka tidak
dapat menjadi begitu identik dengan ajaran Calvin karena GKJW memandang

70
71

Yohanes Calvin, Institutio (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 58-61.
Majelis Agung, Tata dan Pranata, 2.

19

konteks yang real sehingga dapat mengungkapkan pengakuan yang
kontekstual.72
Sebelum merujuk kepada makna Perjamuan Kudus bagi GKJW,
maka akan lebih baik bila kita melihat pengertian dan pemaknaan sakramen
bagi GKJW terlebih dahulu. Sakramen dimaknai sebagai tanda kudus yang
ditetapkan oleh Tuhan Allah yang menyatakan tentang persekutuan Tuhan
Allah dengan orang-orang yang menjadi milik-Nya dalam kematian dan
kebangkitan Yesus Kristus. Dasar dari pelayanan sakramen dimaknai sebagai
berita sukacita tentang pengampunan dosa, penyucian dan pengharapan akan
hidup yang kekal dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus dengan
tujuan untuk menghayati kematian dan kebangkitan Yesus Kristus serta
pemberlakuan hidup baru.73 Berita Sukacita yang dimaksudkan ialah berita
yang menimbulkan rasa gembira/ sukacita karena Tuhan Allah telah
mengampuni, menebus, menyucikan manusia dari dosa dan memberi
pengharapan akan hidup kekal dalam kematian dan kebangkitan Tuhan
Yesus. Hal ini sejalan dengan apa yang diberitakan oleh Alkitab berkaitan
dengan karya penyelamatan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan
“menghayati” adalah kegiatan batin yang terus menerus dilakukan oleh
seseorang untuk mentransformasikan hal-hal yang sudah lama terjadi
(peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus Kristus) ke dalam kehidupan
masa kini sehingga kehidupan yang sekarang memiliki kepastian masa depan
(hidup kekal). Hidup Baru juga memiliki definisi yang spesifik, yaitu hidup
yang diberikan oleh Tuhan Allah kepada orang yang menjadi milik-Nya
dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus yang penuh dengan
pengampunan, penyucian manusia dari dosa dan pengharapan akan hidup
yang kekal. Hidup baru ini akan senantiasa nampak pada orang-orang yang
menjadi milik Tuhan Allah dalam kehidupannya sehari-hari.74 Sakramen
disadari sebagai inti kehidupan iman orang percaya yang sangat dibutuhkan
oleh gereja (warga Kristen) dalam kehidupan dan iman mereka dan

72

Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 1 Juni 2016 di Kantor Sinode GKJW.
Majelis Agung, Tata dan Pranata, 159.
74
Majelis Agung, Tata dan Pranata, 164-165.
73

20

keikutsertaan dalam menyambut sakramen ini merupakan kewajiban bagi
seluruh warga gereja.75
Perjamuan Kudus sendiri dimaknai sebagai tanda kudus yang
ditetapkan oleh Tuhan Allah untuk umat milik-Nya yang mengandung
penghayatan akan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.76 Kata “yang
mengandung” dalam definisi tersebut secara tidak langsung hendak
menyampaikan mengenai kewajiban bagi orang milik-Nya untuk menerima
Perjamuan Kudus, sedangkan “penghayatan” yang dimaksudkan adalah
keikutsertaan secara lahir dan batin dari umat milik Tuhan Allah dalam
menerima Perjamuan Kudus itu dengan kesadaran iman yang sejati.
Keikutsertaan ini bukan dikarenakan terpaksa melainkan karena dorongan
kesukacitaan dan kerinduan. Oleh karena itu hendaklah keikutsertaan tersebut
penuh dengan sukacita dan khidmat. Makna Perjamuan Kudus disadari lebih
luas dari penghayatan yang dituliskan, namun yang ingin ditekankan pada
pemaknaan ini ialah dimensi penghayatannya. Dengan kata lain terjadi pengkini-an kematian dan kebangkitan Yesus Kristus dan kepastian harapan akan
hidup yang kekal.

77

Definisi ini dinyatakan sebagai pemaknaan yang tepat

sebab bersifat utuh, akomodatif, dan mengakomodir Kekristenan Reformasi
yang universal dan constant dari waktu ke waktu. Namun, sikap gereja
terhadap sakramen dapat mengalami perkembangan dan pembaharuan dari
waktu ke waktu, seperti halnya dalam sikapnya yang terbaru gereja
menyatakan bahwa anak-anak bisa turut mengambil bagian dalam Perjamuan
Kudus. Sikap yang baru ini dilandasi oleh keyakinan bahwa anak-anak
memiliki tingkat kejujuran yang tinggi dan cenderung masih polos, sehingga
bila disertai dengan bimbingan khusus maka mereka dapat ikut ambil bagian
dalam sakramen Perjamuan Kudus dengan baik.78 GKJW melayankan
Perjamuan Kudus sebanyak 4 (empat) kali dalam setahun, yaitu pada Hari

75

Majelis Agung, Tata dan Pranata, 164.
Majelis Agung, Tata dan Pranata, 161.
77
Majelis Agung, Tata dan Pranata, 168.
78
Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 1 Juni 2016 di Kantor Sinode GKJW.
76

21

Paskah, Hari Pembangunan Greja Kristen Jawi Wetan, Hari Perjamuan
Kudus se-dunia, dan Hari Perayaan Natal.79

SYARAT-SYARAT

YANG

DITENTUKAN

GKJW

UNTUK

MENGIKUTI PERJAMUAN KUDUS
Bila kita pahami secara keseluruhan dalam pemaknaan Sakramen
Perjamuan Kudus bagi GKJW, kata “kudus” memiliki posisi yang penting.
Posisi “kekudusan” yang tinggi ini membawa implikasi-implikasi dalam
pelaksanaan pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus, antara lain ialah adanya
larangan bagi warga jemaat yang terkena Penggembalaan Khusus untuk turut
serta di dalamnya.
Peraturan mengenai pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus ini
dicantumkan dengan jelas di dalam tata gereja GKJW yang bernama Tata dan
Pranata Greja Kristen Jawi Wetan dan Peraturan Majelis Agung Tentang
Badan-Badan Pembantu Majelis. Tata Pranata ini dalam kurun waktu tertentu
akan mengalami perubahan atau proses revisi sebagai akibat dari perubahan
konteks, sebab GKJW menyadari betul bahwa setiap zaman memiliki
pergumulannya masing-masing.80 Proses revisi yang dilaksanakan mengacu
kepada lima hal, yaitu Alkitab (isi dan pesannya), Sejarah Greja Kristen Jawi
Wetan, Tata dan Pranata yang ada, Kenyataan kehidupan seluruh persekutuan
Greja Kristen Jawi Wetan (Jemaat, Majelis Daerah, Majelis Agung dan
Badan Pembantunya) dan campur tangan Roh Kudus.81 Sejauh ini Tata
Pranata GKJW memiliki lima versi, yaitu tahun 1931, 1947, 1967, 1989,
1966.82 Ketika penelitian ini dilaksanakan, proses revisi terhadap Tata Pranata
tengah dilaksanakan sehingga acuan yang digunakan oleh penulis ialah Tata
Pranata versi 1966. Namun, mengenai perubahan yang terjadi dalam
hubungannya dengan Sakramen Perjamuan Kudus kemungkinan besar hanya

79

Majelis Agung, Tata dan Pranata, 162-163.
Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 1 Juni 2016 di Kantor Sinode GKJW.
81
Majelis Agung, Tata dan Pranata, i.
82
Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 1 Juni 2016 di Kantor Sinode GKJW.

80

22

akan meliputi pengadaan Perjamuan Kudus bagi anak-anak dan perubahan
istilah Penggembalaan Khusus menjadi Penggembalaan saja.83
Pranata mengenai Pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus terdapat
dalam BAB VII Pranata tentang Sakramen. Pada pasalnya yang ke-13
dicantumkan mengenai siapa yang dapat mengikuti Perjamuan Kudus.
Yang dapat menerima pelayanan Perjamuan Kudus adalah:
a. Seluruh warga dewasa yang tidak sedang terkena penggembalaan
khusus.
b. Warga dewasa dari jemaat/ gereja lain yang tidak berhalangan
mengikuti Perjamuan Kudus, yang dinyatakan secara tertulis oleh
Majelis Jemaat/ gereja asal.
c. Dalam hal khusus di luar yang sudah disebutkan dalam titik a dan b,
dapat atau tidaknya seseorang menerima pelayanan Perjamuan Kudus
diserahkan kepada kebijakan Majelis yang bersangkutan.84
Dari ketiga butir persyaratan di atas dapat kita pahami bersama bila
syarat mutlak untuk mengikuti Perjamuan Kudus ialah termasuk kategori
warga dewasa (dalam hal ini ialah jemaat yang telah Sidi) tidak terkena
Penggembalaan Khusus. Tata dan Pranata GKJW juga menguraikan
ketetapan mengenai

Penggembalaan Khusus.

Secara

ringkas

upaya

Penggembalaan Khusus ini ditujukan bagi mereka yang perilaku atau
kepercayaannya menyimpang dari kaidah-kaidah dan ajaran Alkitab yang
berlaku di GKJW dengan tujuan supaya warga yang bersangkutan kembali
kepada perilaku dan kepercayaan yang sesuai demi damai sejahtera
persekutuan umat Tuhan Allah yang baru.85 Yang dimaksudkan dengan
“menyimpang dari kaidah dan ajaran GKJW” antara lain ialah menganut
ajaran sesat, berperilaku yang bertentangan dengan tingkah laku Kristen atau
tidak menurut kehendak Tuhan Allah seperti yang diajarkan gereja, yang lalai
(nglirwakake) menjalankan tugas jabatan gerejawi, dan mengganggu tata dan
kehidupan

persekutuan

dengan

83

bermacam

cara.86

Sederhananya

Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 31 Mei 2016 di Kantor Sinode GKJW.
Majelis Agung, Tata dan Pranata, 161-162.
85
Majelis Agung, Tata dan Pranata, 183.
86
Majelis Agung, Tata dan Pranata, 196.
84

23

Penggembalaan Khusus ini ditujukan bagi mereka yang tidak mencerminkan
identitas sebagai anggota persekutuan kudus. Perilaku dan kepercayaan yang
tidak sesuai ini dinilai dapat mengganggu kehidupan persekutuan dan
menimbulkan kendala dalam pemberitaan kabar baik. Peraturan mengenai hal
ini juga telah terdapat dalam Tata dan Pranata di versi-versi sebelumnya.87
Gereja dipahami sebagai rekan sekerja Allah dalam misi
penyelamatan, ajakan itu dipahami sama seperti ketika Yesus memanggil para
rasul-Nya. Hal itulah yang dihayati dengan penuh sehingga timbul kesadaran
bahwa kita tanpa terkecuali merupakan murid Kristus yang menyediakan diri
sebagai ruang kerja dan rekan kerja dalam rangka membangun kerajaan
Allah. Oleh karena itu bila terdapat anggota yang dirasakan tidak menyadari
pentingnya peran yang dimiliki, maka penggembalaan khusus perlu untuk
dilakukan. Kepentingan utama dari penggembalaan khusus tersebut bukanlah
untuk menuding atau mendakwa orang lain tetapi justru untuk menjadikan
diri orang terebut sebagai lahan dan rekan kerja yang benar. Motif mengasihi,
menyayangi, dan membina sampai tuntas tidak dapat dihilangkan dalam hal
ini sehingga dialog dalam bentuk sharing dengan menggunakan bahasa
sehari-hari dirasakan sangat cocok untuk diterapkan dalam proses
penggembalaan. Mereka yang terkena penggembalaan khusus sama halnya
dengan orang yang tengah sakit. Orang yang tengah sakit dinilai tidak dapat
turut bekerja atau menjadi rekan sekerja Allah karena memerlukan waktu
untuk pemulihan. Oleh karena itu, mereka yang terkena penggembalaan
khusus tidak dapat menduduki jabatan gerejawi dan mengikuti Perjamuan
Kudus. Namun dalam hal ini berjalan atau tidaknya proses penggembalaan
khusus di dalam jemaat sangat ditentukan oleh sumber daya pemimpin yang
ada di dalam jemaat tersebut, karena pada dasarnya gereja tidak akan
mengeluarkan pernyataan tertulis berkaitan dengan hal tersebut. 88

87
88

Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 1 Juni 2016 di Kantor Sinode GKJW.
Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 1 Juni 2016 di Kantor Sinode GKJW.

24

SYARAT-SYARAT DAN MAKNA PERJAMUAN KUDUS YANG
DITERAPKAN DI GKJW: ANALISA KRITIS
GKJW memandang Perjamuan Kudus sebagai hal Kudus yang
berasal dari Tuhan yang mencangku