Fisiologi Dan Produksi Karet Dengan Berbagai Sistem Sadap Dan Penggunaan Stimulan Gas Chapter III V

BAB III
IDENTIFIKASI HISTOLOGI DAN MORFOFISIOLOGI DUA KLON
KARET
Abstrak.
Produktivitas tanaman karet ditentukan oleh karakter morfo-fisiologi seperti lilit batang,
tebal kulit, jumlah dan diameter pembuluh lateks. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakter anatomi, morfo-fisiologi yang berkaitan dengan produksi pada klon
BPM 1 dan PB 260. Penelitian dilaksanakan di kebun sungai Putih PT. Perkebunan
Nusantara III (Persero), pada areal tanaman klon PB 260 dan BPM 1 tahun tanam 1999
(umur karet 15 tahun). Penelitian ini untuk mengetahui perbedaan peubah amatan
morfologi (lilit batang, tebal kulit, panjang alur sadap) serta produksi lateks, sedangkan
peubah amatan anatomi (jumlah dan diameter lateks) dan fisiologi (sukrosa, FA dan tiol).
Hasil penelitian menunujukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dari jumlah
dan diameter pembuluh lateks, kadar sukrosa, fosfat anorganik, dan hasil antara klon PB
260 dan BPM 1 baik pada kulit pulihan maupun kulit perawan. Tetapi diperoleh
kesimpulan khusus kadar tiol lebih tinggi pada klon PB 260 dibandingkan dengan BPM 1.
Kata kunci: Klon PB260, BPM1,anatomi, histologi, morfo-fisiologi pembuluh lateks

IDENTIFICATION HISTOLOGY and MORPHO - PHYSIOLOGY TWO
CLONES OF RUBBER
Abstract.

Rubber plant productivity is determined by the character morpho-phisiology were stem
diameter, bark thickness, number and diameter of latex vessel. The objective of these
research was to study anatomy, morpho-physiology character associated to BPM 1 and
PB 260 productivity. The research was conducted at PTPN III (Persero) Sungai Putih, in
the area of clones PB 260 and BPM 1 planting year 1999 (rubber age 15 years). The
results of this research showed no- difference of number and diameter latex vessels,
sucrose, inorganic phosphate, and yield among clones PB 260 with BPM 1on renewable
bark and virgin. Thiol levels were higher in the renewable bark compared with virgin
bark.
Keywords: Clones PB260, BPM1, histplogy, morpho-physiology, anatomy

Universitas Sumatera Utara

22

Pendahuluan
Produktivitas karet rakyat di Indonesia masih rendah, karena selain belum
menggunakan klon unggul, sistem sadap yang diterapkan juga belum sesuai tipologi klon.
Pada dasarnya masing-masing klon karet memiliki karakter histologi dan morfo-fisiologi
yang berbeda.

Identifikasi histologi meliputi jumlah dan diameter pembuluh lateks, karena
keduanya merupakan peubah amatan yang berkaitan dengan potensi produksi, karena
lateks dihasilkan di dalam pembuluh lateks. Sel-sel pembuluh lateks berada di sekitar
pembuluh tapis (floem) serta memiliki inti banyak dan menghasilkan butiran-butiran
lateks pada bagian sitosol sel - sel tersebut (Jacob et al., 1998).
Identifikasi morfologi karet meliputi lilit batang, ketebalan kulit, karakteristik
pertajukan tanaman, daun, percabangan, tajuk, tebal kulit, dan lain-lain. Selama ini,
identifikasi morfologi klon karet hanya dilakukan oleh tenaga terlatih yang jumlah dan
pengetahuannya sangat terbatas. Identifikasi hanya dilakukan berdasarkan perbedaan ciri
morfologi, dan indikator yang digunakan masih dominan menggunakan pengalaman di
lapangan bertahun - tahun.
Deskripsi mengenai morfologi beberapa penciri klon telah dirumuskan untuk
setiap bagian tanaman (daun, percabangan, tajuk, batang,tebal kulit,dan lain-lain), tetapi
sulit diimplementasikan karena harus mengingat semua karakter dan mengetahui karakter
mana saja yang spesifik untuk setiap klon. Selain itu, beberapa karakter tidak dapat
diidentifikasi karena tanaman belum berkembang secara sempurna. Disamping itu sifat
morfologi mudah dipengaruhi oleh lingkungan sehingga mempersulit dalam membedakan

Universitas Sumatera Utara


23

klon-klon yang ada. Akibatnya seringkali proses identifikasi klon kurang akurat
(Woelan et al., 2007).
Selain morfologi jumlah pembuluh lateks memiliki kolerasi positif dan
berpengaruh langsung yang besar terhadap produksi lateks. Secara genetik tanaman karet
berproduksi rendah disebabkan oleh jumlah pembuluh lateks yang sedikit demikian pula
sebaliknya. Dari hasil penelitian Woelan et al. (2004), Sayurandi dan Woelan (2015)
menyatakan bahwa jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, tebal kulit dan
lilit batang berpengaruh signifikan terhadap produksi karet, sehingga dengan adanya
peningkatan komponen produksi lateks maka lateks yang dihasilkan akan lebih tinggi.
Hal sama sejalan dengan hasil penelitian Aidi-Daslin et al.(2009) bahwa jumlah dan
diameter pembuluh lateks merupakan variabel yang memiliki korelasi positif dengan
potensi produksi lateks.
Pengetahuan mengenai histologi dan morfo-fisiologi berguna untuk keberlanjutan
produktivitas dan memperpanjang umur tanaman karet. Oleh karena itu, morfo-fisiologi
tanaman karet perlu dikaji lebih lanjut untuk melihat tingkat korelasi sifat tersebut
terhadap produksi tanaman karet.

Universitas Sumatera Utara


24

Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu
iatan penelitian dilaksanakan di dua lokasi yang berbeda yaitu di kebun Percobaan Balai
Penelitian Sungai Putih Pusat Penelitian Karet dan kebun Sungai Putih, PT. Perkebunan
Nusantara III (Persero). Kedua lokasi berada di kecamatan Galang,
kabupaten Deli Serdang pada ketinggian 25 m di atas permukaan laut dengan jenis
tanah ultisol. Penelitian ini terdiri dari 2 percobaan yakni percobaan 1: Mengidentifikasi
dua
Klon Karet dilaksanakan di Kebun Sungai Putih, PT. Perkebunan Nusantara III
(Persero) dari April sampai Juli 2014. Kegiatan penelitian meliputi pengamatan, anatomi
(jumlah dan diameter pembuluh lateks), morfologi (tajuk tananaman, lilit batang, posisi
bidang sadap, tebal kulit dan kesehatan tanaman) dan produktivitas lateks (produksi lateks
g p-1ha-1) serta pengamatan fisiologi kadar sukrosa, mM, Fosfat Anorganik, FA, mM dan
Tiol, mM yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Sungai Putih.
Bahan dan Alat yang Digunakan
Bahan untuk kegiatan di lapangan antara lain tanaman karet yang berumur 15
tahun (tahun tanam 1999), dengan jarak tanam 2,5 x 5 m untuk klon BPM 1 dan klon PB

260. Alat pengamatan di lapangan terdiri dari Tap SP, stop watch, cat, kuas, meteran,
timbangan analitik, botol - botol untuk tempat contoh lateks dan kulit, alat untuk
pengambilan kulit (cork-borer), alat tulis, kamera dan alat-alat pendukung lainnya. Bahan
untuk analisis fisiologi di laboratiorium yaitu TCA (asam trikloro-asetat), asam sulfat
(H2SO4 70%), asam dithiobis-nitrobenzoat (DNTB), asam semut (formid acid), alkohol
96%, glycerine, KOH 50%, HN03 65%, dan aquadest.

Universitas Sumatera Utara

Metode
Perlakuan yang diuji sebanyak 2 klon yaitu klon yang mewakili metabolisme
rendah (BPM 1) dan klon yang mewakili metabolisme tinggi (PB 260) dengan sistem25
sadap S/2 d3. Menggunakan Uji -t untuk peubah amatan morfologi (lilit batang, tebal
kulit, panjang alur sadap) dan produksi lateks, sedangkan peubah amatan anatomi (jumlah
dan diameter lateks) dan fisiologi (sukrosa, FA dan tiol) menggunakan Uji F pada taraf
5% untuk mengetahui perbedaan, dan apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan
Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Masing-masing diulang sebanyak
tiga kali dengan menggunakan sepuluh pohon setiap satuan percobaan.
Tahapan Pelaksanaan
Pemilihan Tanaman

Identifikasi anatomi pada klon BPM 1 dan PB 260 dilakukan pada awal dan akhir
penelitian. Dari tiap klon dipilih sebanyak 500 tanaman dengan homogenitas relatif
tinggi (koefisien keragaman ≤ 15%) (Gomez, 1998). Pengukuran lilit batang dilakukan
dengan cara mengukur lilit batang pada ketinggian 130 cm dari sambungan okulasi.
Untuk klon BPM 1 dan PB 260 lilit batang yang dibutuhkan memiliki kisaran (60 - 75
cm). Disamping pengukuran lilit batang juga dilakukan pengamatan yang meliputi: posisi
bidang sadap, panjang alur sadap, tebal kulit, kondisi tajuk, kesehatan tanaman (bebas
dari penyakit akar, daun dan batang). Untuk data peubah hasil lateks diambil dari data
sekunder yang bersumber dari kebun PTPN III Sungai Putih.

Sistem S/2 d3 BI-1

dapat dilihat pada Gambar 1.

Universitas Sumatera Utara

26

Gambar 3.1. Sistem sadap (S/2d3 BI-1)
Penghitungan jumlah dan diamater pembuluh lateks

Untuk pengamatan jumlah dan diamater pembuluh lateks, maka dilakukan
pengambilan contoh jaringan kulit. Metode pengambilannya adalah membuat tusukan
(menggunakan cork-borer) dengan diameter 8mm dan ketebalan 5-7mm. Pengambilan
tusukan dilakukan sebanyak dua kali pada tiap tanaman. Setiap tusukan akan
menghasilkan 0,6g bobot segar jaringan kulit. Jaringan kulit segar ini kemudian dibawa
ke laboratorium untuk analisis histologi menggunakan metode Gomez et al.(1972), yakni
pengamatan jaringan kulit melalui fiksasi FAA (asam lemak bebas)

selama sehari

semalam ( 24 jam).
Setelah direndam, selanjutnya dilakukan pencucian pada air mengalir selama 5
menit, kemudian dikeringkan dengan kertas saring lalu dimasukkan kedalam larutan
KOH 15% selama 1 jam. Setelah itu, jaringan dicuci kembali dengan air mengalir selama
5 menit, dikeringkan dan dimasukkan kedalam larutan HNO3 selama 2 jam. Setelah 2
jam, jaringan kulit dicuci kembali dengan air mengalir selama 5 menit, dikeringkan

Universitas Sumatera Utara

dengan kertas saring dan dimasukkan kedalam alkohol 70% selama 15 menit. Pekerjaan

27
selanjutnya adalah memasukkan sampel kulit kedalam larutan Sudan III selama 30 menit.

Setelah itu jaringan diiris tipis melintang atau membujur menggunakan pisau silet
untuk diamati dibawah mikroskop. Jumlah pembuluh lateks diamati dengan menghitung
jumlah pembuluh langsung pada objek yang terlihat di bawah mikroskop. Sedangkan
diameter pembuluh lateks diamati dengan mengukur diameter subs centere (dl) dan
subscribe (db) dari pembuluh lateks yang terlihat di bawah mikroskop. Dengan
menggunakan rumus Gomez et al.,(1972)
(dl)x 2,5+ (db) x 2,5
Diameter =
2
Hasil dan Pembahasan
a. Anatomi Klon PB 260 dan BPM 1
Dari hasil perhitungan dengan rumus :
��

� �=

� 2,5 +

2

� 2,5

diperoleh nilai jumlah dan diameter pembuluh lateks (Lampiran 1) kemudian dianalisis
dengan uji F. Hasil secara statistik diperoleh tidak terdapat perbedaan yang nyata pada
peubah amatan jumlah dan diameter pembuluh lateks.
Untuk lebih jelas pada Gambar (3.2.a dan 3.3.b) memperlihatkan anatomi pembuluh
lateks klon PB 260 dan BPM 1 pada umur 15 tahun.
Pembuluh Lateks

Pembuluh Lateks

Gelembung Udara
a. PB 260

Gelembung Udara
b. BPM 1

Gambar 3.2. Anatomi pembuluh lateks dari klon PB 260 dan BPM 1


Universitas Sumatera Utara

Hasil analisis jaringan kulit yang telah dilakukan pada klon BPM 1 dan PB 260
umur 15 tahun pada kulit perawan dan pulihan disajikan pada Tabel 4.

28

Tabel 4. Anatomi, Morfo-fisiologi dan Produksi Klon PB 260 dan BPM 1 pada umur 15
tahun.
Peubah

Jumlah Pembuluh Lateks
Diameter Pembuluh Lateks(µm)
Sukrosa (mM)
FA (mM)
Tiol (mM)
Lilit Batang (cm)
Tebal Kulit (mm)
Panjang Alur sadap (cm)

Produksi Lateks (gp-1s-1)

BPM 1
Perawan
11,50
22,12
10,10
19,33
0,34 b

Pulihan
15,30
24,11
9,13
20,84
0,49 b
68,93
11,63
34,47
15,04

PB 260
Kulit
Perawan
14,63
24,23
7,87
19.23
0,59a

Pulihan
18,57
24,31
7,85
23,74
0,73 a
69,06
10,97
34,53
14,79

Keterangan: Untuk peubah amatan anatomi dan fisiologi dianalisis dengan Uji F pada taraf 5% (analisis ragam), dan apabila
berpengaruh nyata dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. (Angka antar kolom yang
diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf P=0.05 berdasarkan uji-Duncan). Untuk membandingkan
antar perlakuan pada peubah amatan morfologi dan hasil lateks digunakan uji-t.

b. Morfologi
Rataan lilit batang, tebal kulit dan panjang alur sadap pada kulit perawan maupun
pulihan pada klon BPM 1 tidak ada perbedaan yang nyata, begitu juga pada klon PB 260
rataan lilit batang, tebal kulit dan panjang alur sadap pada kulit perawan maupun tidak
ada perbedaan yang nyata, (Tabel 4). Pada kedua klon (BPM 1 dan PB 260) rataan lilit
batang, tebal kulit dan panjang alur sadap pada kulit perawan maupun pulihan tidak ada
perbedaan yang nyata.
Hal ini disebabkan pemilihan kedua klon dilakukan berdasarkan lilit batang yang
sama, tanaman dengan lilit batang yang sama akan memiliki panjang alur sadap yang
sama juga. Secara genetis tebal kulit antara klon QS dan SS berbeda, kulit klon SS lebih
tebal dibandingkn dengan QS. Akan tetapi hasil penelitian memperlihatkan tidak terdapat
perbedaan ketebalan kulit antara dua klon. Hal ini diduga, karena pengamatan penelitian
dilakukan pada umur tanaman 15 tahun. Umur tanaman, diketahui mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

ketebalan kulit, semakin bertambahnya umur tanaman maka ketebalan kulit juga semakin
meningkat (Jacob et al., 1989)
c. Histologi

29

Hasil analisis Tabel 4. menunjukkan bahwa rataan jumlah pembuluh lateks pada kulit
perawan maupun pulihan pada klon BPM 1 tidak ada perbedaan yang nyata, begitu juga
halnya pada diameter pembuluh lateks di kulit perawan maupun pulihan pada klon BPM
1 tidak ada perbedaan yang nyata.
Pada klon PB 260 rataan jumlah pembuluh lateks pada kulit perawan maupun
pulihan tidak ada perbedaan yang nyata, juga pada diameter pembuluh lateks di kulit
perawan maupun pulihan tidak ada perbedaan yang nyata (Tabel 3.1).
Pada kedua klon (BPM 1 dan PB 260) jumlah pembuluh dan diameter lateks pada
kulit perawan maupun pulihan tidak ada perbedaan yang nyata. Secara genetik Klon PB
260 memiliki jumlah dan diamater pembuluh lateks yang lebih banyak dan besar
dibandingkan dengan BPM 1 (Daslin, 2002). Akan tetapi, sejalan dengan pertambahan
umur tanaman, maka jumlah dan diameter pembuluh lateks juga mengalami peningkatan.
Hal ini, yang menyebabkan tidak terdapat perbedaan jumlah dan diameter pembuluh
lateks antara dua klon yang dicobakan.
d. Fisiologi
Hasil analisis peubah amatan fisiologi (sukrosa, FA, tiol) pada klon PB 260 dan
BPM 1disajikan pada Tabel 4. Rataan kadar sukrosa dan FA pada kulit perawan maupun
pulihan pada klon BPM 1 tidak ada perbedaan yang nyata, begitu juga pada klon PB 260
kadar sukrosa dan FA tidak ada perbedaan yang nyata, (Tabel 4). Pada kedua klon
(BPM 1 dan PB 260) rataan kadar sukrosa dan fosfat anorganik FA pada kulit perawan
maupun tidak ada perbedaan yang nyata. Berbeda halnya dengan kadar tiol,baik pada

Universitas Sumatera Utara

klon BPM 1 maupun PB 260 lebih tinggi pada kulit pulihan dibandingkan kulit perawan
(Tabel 4).

30

Tiol merupakan senyawa yang berfungsi sebagai anti oksidan, sehingga tekanan
oksidatif sebagai akibat aktifnya metabolisme dalam sel dapat ditekan (Lo Conte and
Kate, 2012). Kadar tiol yang tinggi pada kulit pulihan menunjukkan kemampuan kulit ini
menanggulangi cekaman akibat stres. Hasil ini mengindikasikan bahwa kulit pulihan
memiliki kemampuan yang lebih untuk menghambat terjadinya stres akibat perlakuan
dibandingkan kulit perawan. Kemampuan yang tinggi pada kulit pulihan ini diduga
disebabkan pembagian asimilat pada kulit pulihan lebih banyak, sehingga mampu untuk
membentuk tiol (Blohm, 2005).
e. Hasil Lateks (gp-1s-1)
Hasil lateks klon BPM 1 dan PB 260, secara statistik tidak berbeda nyata. (Tabel
4). Rataan hasil lateks pada kulit perawan maupun pulihan pada klon BPM 1 tidak ada
perbedaan yang nyata, begitu juga pada klon PB 260 hasil lateks tidak ada perbedaan
yang nyata, (Tabel 4). Pada kedua klon (BPM 1 dan PB 260) rataan hasil lateks pada
kulit perawan maupun tidak ada perbedaan yang nyata.
Hasil lateks dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah jumlah dan
diameter pembuluh lateks. Jika jumlah dan diameter pembuluh lateksnya sama makan
akan menghasilkan produksi yang sama. Walaupun secara genetik klon PB 260 memiliki
potensi hasil yang lebih tinggi, akan tetapi pada penelitian ini, tidak terdapat perbedaan
31

produksi dengan klon BPM 1. Hal ini diduga disebabkan pengamatan yang dilakukan,
pada umur karet 15 tahun. Terdapat perbedaan puncak produksi antara klon PB 260 (QS)
dengan BPM 1 (SS).

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN
1. Tidak terdapat perbedaan jumlah dan diameter pembuluh lateks, kadar sukrosa, fosfat
anorganik, dan hasil lateks antara klon PB 260 dengan BPM 1 pada kulit perawan
maupun pulihan
2. Kadar tiol lebih tinggi pada klon PB 260 dibandingkan dengan BPM 1, begitu juga
kadar tiol pada kulit pulihan lebih tinggi dibandingkan dengan kulit perawan pada
masing - masing klon atau antar klon.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
FISIOLOGI DAN PRODUKSI LATEKS DARI KLON BPM1 DAN PB 260
DENGAN PERLAKUAN SISTEM EKSPLOITASI
Abstrak.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sistem eksploitasi yang dapat memacu
klon BPM 1dan PB 260 untuk mencapai hasil lateks yang optimal. Penelitian
dilaksanakan di PT. Perkebunan Nusantara III, pada areal tanaman karet klon BPM 1 dan
PB 260 tahun tanam 1999 (umur tanaman 15 tahun). Penelitian dilaksanakan pada 2 klon,
yakni PB 260 sebagai klon yang mewakili Quick Stater dan BPM 1 mewakili klon Slow
Starter, dengan menggunakan Rancangan Tersarang (Nested Design). Pada kedua klon
diuji 4 perlakuan yaitu panjang dan arah sadap S/4, S/2, S/2U dan S/4U, dan frekuensi
stimulan yakni stimulan cair ET2,5%, dan gas ETG/9d, ETG/18d, ETG/27d. Sehingga
kombinasi perlakuan yang diuji adalah S/4 d3 ET/15d, S/4 d3 ETG/9d, S/4 d3 ETG/18d,
S/4d3 ETG/27d, S/2d3 ET/15d, S/2 d3 ETG/9d, S/2 d3 ETG/18d, S/2 d3 ETG/27d, S/2U
d3 ET/15d, S/2U d3 ETG/9d, S/2U d3 ETG/18d, S/2U d3 ETG/27d, S/4U d3 ET/15d,
S/4U d3 ETG/9d, S/4U d3 ETG/18d, S/4U d3 ETG/27d.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar sukrosa lebih tinggi pada klon BPM 1
dibandingkan PB 260. Kadar sukrosa yang tinggi untuk klon BPM 1 menggunakan irisan
pendek S/4 d3 ETG/18d (bulan kering). Kadar FA lebih tinggi pada klon BPM 1 di bulan
basah ( S/2U d3 ETG/18d), dibandingkan klon PB 260. Akan tetapi pada bulan kering
(S/2U d3 ETG/18d) dan lembab (S/2U d3 ETG/9d) kadar FA lebih tinggi pada klon PB
260. Kadar tiol lebih tinggi pada klon PB 260 di bulan basah dan kering (S/2U d3
ETG/9d) di bulan lembab perubahan panjang, arah sadap dan stimulan tidak
mempengaruhi kadar tiol pada klon PB 260. Kadar Karet Kering di bulan kering (S/4 d3
ETG/9d) dan lembab (S/4 d3 ET/15d) klon BPM 1 lebih tinggi dibandingkan PB 260.
Kecuali di bulan basah klon PB 260 lebih tinggi dari BPM 1 (S/2 d3 ETG/9d). Indeks
penyumbatan pada klon BPM 1 lebih rendah di bulan basah (S/2U d3 ET/15d), kering
(S/4U d3 ETG/9d) dan lembab (S/4 d3 ETG/18d) dibandingkan klon PB 260. Hasil
lateks dan indek hasil pada klon BPM 1 lebih tinggi di bulan lembab dengan sistem sadap
(S/2U d3 ETG/27d) dibandingkan klon PB 260. Akan tetapi di bulan basah dan kering
(S/2U d3 ET/15d) hasil lateks dan indeks hasil tertinggi pada klon PB 260. Panjang dan
arah sadap (S/2U d3 ET/15d) pada klon PB 260 di bulan basah dapat meningkatkan hasil
lateks 135,51%. Panjang dan arah sadap (S/2U d3 ETG/27d) pada klon BPM 1 dapat
meningkatkan hasil lateks 39,52% di bulan kering dan 185,67% di bulan lembab. Selama
satu tahun pengujian pemberian semua perlakuan stimulan pada klon BPM 1 dan PB 260
belum menunjukkan cekaman eksploitasi yang berlebihan yang tercermin dari kadar tiol
0.30-0.48 mM.
Kata kunci : Klon BPM1,PB260, sistem eksploitasi, peubah fisiologi dan hasil lateks.

Universitas Sumatera Utara

PHYSIOLOGY AND LATEX PRODUCTION OF CLONES BPM1 AND PB 260
ON SYSTEM EXPLOITATION TREATMENT
Abstract.
The objective of this research was to get combination of exploitation systems that can to
increase clone PB 260 and BPM 1 yeild. The research was conducted at PTPN III Sungai
Putih, in the area of rubber trees clone PB 260 and BPM1 planting year 1999 (15 years
old). This research was prepared using a Nested Design, with three factor. The first factor
is the type of clone consists of two type: BPM 1 and PB 260, while the second factor is a
tapping system that consists of four levels are S / 4, S / 2 S / and S 2U / 4U. The third
factor is a stimulant that consists of four levels were liquid stimulant ET2,5%, and gas
ETG / 9d, ETG / 18d, ETG / 27d. The results showed that tapping system for clones
BPM 1 in wet and humid, upward tapping produce high levels of sucrose, FA, latex flow
rate, yield, yield potential and high yield index. In the dry season using downward
tapping produces high DRC and TSC. The use of stimulant gas on clone BPM 1 can
increase yield 39.52% in the dry season and 185.67% in humid than liquid stimulant.
Tapping system for clones PB 260 in wet, dry and humid season, using upward tapping
produce high levels of sucrose, FA, DRC, TSC, latex flow rate, yield, yield potential and
high yield index. The use of liquid stimulant on clone PB 260 can increase 135.51%
yield. Interval stimulant gas treatment in the wet and humid season more better aplication
twenty-seven days on BPM 1 and PB 260. During one year of research, all stimulant
treatment at BPM1 and PB 260 clones have not show symptoms of stress, which is
reflected in the low levels of thiol (0.30-0.48 mM).
Keywords: Clones BPM1, PB260, exploitation systems, physiological variables and
productivity.

Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan
Klon BPM 1
Penyadapan merupakan suatu tindakan pembukaan pembuluh lateks agar lateks
yang terdapat didalam kulit karet keluar (Junaidi dan Kuswanhandi, 2002).
Setelah penyadapan aliran lateks akan berhenti secara perlahan.

Berhentinya

aliran lateks disebabkan oleh adanya pembekuan (koagulasi) partikel karet yang
menyumbat luka irisan sadap (Jacob et al., 1989).

Upaya yang dilakukan untuk

menghambat penyumbatan sehingga lateks mengalir lebih lama adalah dengan
menggunakan stimulan (Khasanah, 2012).Pemakaian stimulan akan meningkatkan hasil
dan menurunkan biaya tenaga kerja. Penggunaan jenis stimulan dan frekuensi aplikasi
yang tepat merupakan upaya untuk mencapai optimalisasi hasil tanaman.
Sistem eksploitasi

adalah rangkaian penyadapan yang

diterapkan sepanjang

waktu produksi (TM) tanaman karet umur (20 - 25 tahun). Keuntungan dan produksi yang
dihasilkan sangat ditentukan oleh sistem eksplotasi. Oleh karenanya upaya dalam
meningkatkan hasil dan keuntungan, penelitian sadap dan stimulan terus dilakukan untuk
mencari sistem yang paling tepat dan memberikan hasil tinggi dengan efek negatif
minimum terhadap tanaman. Faktor utama yang menentukan intensitas eksploitasi adalah
panjang irisan, frekuensi sadap, dan aplikasi stimulan (Junaidi dan Kuswanhadi, 1998).
Ketiga faktor ini saling interaksi terhadap klon, umur tanaman dan variasi musiman,
sehingga setiap klon memiliki sistem eksploitasi yang berbeda (Sumarmadji et al., 2003).
Klon-klon SS memiliki beberapa sifat spesifik seperti tanggap terhadap stimulan,
relatif lebih tahan terhadap tekanan eksploitasi dan umumnya memiliki kulit pulihan yang

Universitas Sumatera Utara

tebal, sehingga potensial untuk dimanfaatkan. Karakteristik klon SS ini tertera pada Tabel
4.1.
Tabel 4.1.Karekteristik klon Slow Stater
Morfologi
Fisiologi
Kelebihan (+)
Lilit batang
tegap
Kulit pulihan
tebal

- Metabolism
e rendah
- Kadar
sukrosa
tinggi

- Responsif terhadap
pemberian stimulan
- Puncak hasil pada
periode pertengahan
siklus ekonomi (1214 tahun).
- Pada kondisi
agroekosistim sesuai
capaian hasil 22002300kgha-1tahun-1
- Relatif lebih tahan
terhadap tekanan
ekploitasi tinggi.

Kekurangan(-)
Memiliki indeks
penyumbatan tinggi

Sumber : Sumarmadji (2008).
Secara umum sistem eksploitasi pada klon SS ini, modifikasi penyadapan pada
kulit pulihan (BI) yang dikombinasikan dengan panel atas (H0) berupa sadapan ganda
irisan pendek. Irisan ganda yaitu (double cut) (2x S/4UD d3.ET.2.5%) pada panel H0-1
dan BI-1 serta H0-2 dan BI-2, setelah panel B0-1 dan B0-2. Klon karet dengan
metabolisme rendah relatif lebih tahan terhadap tekanan eksploitasi yang agak berat
sehingga aplikasi stimulan dapat dilakukan maksimal 18 kali pertahun dengan interval
dua kali perbulan (Siregar et al., 2008).
Salah satu klon SS yaitu BPM 1 yang merupakan hasil seleksi dari persilangan
Avros 163 dengan Avros 308 oleh Balai Penelitian Perkebunan Medan, Klon ini dirilis
menjadi klon anjuran pada tahun 1937, lebih sesuai pada daerah lembab sampai kering
dengan pertumbuhan relatif sedang sejak fase TBM sampai TM, dan berpotensi sebagai
penghasil kayu (Woelan et al., 2011).

Universitas Sumatera Utara

Beberapa keunggulan yakni, pertumbuhannya sangat baik, dapat menghasilkan
kayu, serta toleran terhadap serangan penyakit gugur daun yang disebabkan oleh
Colletotricum. Akan tetapi tidak tahan terhadap penyakit gugur daun(Phytopthora) yang
disebabkan oleh cendawan Phytopthora palmivoraug. Kelemahan lainnya dari klon ini
gugur daun (Oidium) disebabkan oleh jamur Oidium hevea (Balai Penelitian Sembawa,
2000).
Klon PB260
Indonesia umumnya hanya menggunakan klon karet QS sekitar 40% sementara
Malaysia 90%, Thailand 95%, India 99%, dan Vietnam 100% dari seluruh pertanaman
karet (Ditjenbun, 2007).
Siregar et al. (2001) memberikan karakteristik klonQS (Tabel 4.2), yang
merupakan kompilasasi dari beberapa hasil penelitian sifat spesifik klon QS adalahkurang
tanggap terhadap stimulan, rentan akan KAS, kulit pulihan yang kurang potensial (tipis
dan benjol - benjol), dan umumnya lilit batang kecil sampai sedang. Sistem eksplotasi
yang umum digunakan untuk klon QS tidak menggunakan kulit pulihan dan menerapkan
irisan pendek ke arah atas (S/4Ud3. ET.2.5%).
Penyadapan awal panel B0-1 selama empat tahun, setelah itu langsung
menggunakan panbel H0-1, dilanjutkan panel B0-2. Untuk klon ini tidak dianjurkan
pemakaian kulit pulihan (BI-1). Klon metabolisme cepat ini juga tidak tahan terhadap
tekanan, sehingga penggunaan stimulan dibatasi maksimal dua belas kali per tahun.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.2. Karekteristik klon QuickStarter
Morfologi
Fisiologi
Kelebihan (+)
- Lilit batang
tidak terlalu
tegap.

- Metabolisme
tinggi

Kekurangan (-)

- Kurang respon
terhadap stimulan.
- Puncak hasil pada
periode awal (7-9
tahun).

- Kulit pulihan
tipis

- Rentan tumbang
/patah karena
serangan angin.
- Panel terbatas

-Pada kondisi
- Sangat rentan terhadap
agroekosistim sesuai KAS
capaian hasil 2700 2800 kgha-tahun-1
Klon PB merupakam

hasil seleksi dari persilangan PB5/51 dengan PB 49.

Beberapa klon unggul lainnya seperti RRIC 100, PB 330, PB 260, PB 340, BPM 109.
Klon yang paling banyak di budidayakan di Sumatera Utara adalah klon PB 260. Hal ini
dikarenakan klon ini memiliki keunggulan seperti potensi hasil yang tinggi.Klon ini juga
merupakan satu dari beberapa tanaman karet penghasil getah yang direkomendasikan
sebagai klon karet unggul periode 2010 -2015.
3.00
2.50

Hasil rata-rata
(kg -1ha)

2.00
1.50
Slow starter
Quick
starter

1.00
500

-

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Tahun sadap

Grafik 4.1. Pola produksi klon Quick Starter dan Slow Starter (Siregar et al. 2008)
Klon - klon QS dan SS memiliki pola hasil yang berbeda Gambar 4.1 Puncak hasil
pada klon QSberada pada awal penyadapan (7 - 9 tahun), rata - rata hasil dapat di capai

Universitas Sumatera Utara

2.700 - 2.800 kgha-1.Untuk klon SS puncak hasil berada pada 12 – 13 setelah
tanam(Azwar dan Suhendry,1998).
Klon PB 260 merupakan klon yang dominan digunakan pekebun
peremajaan dan perluasan kebun karetnya. Klon ini

untuk

memiliki produksi tinggi pada

awalnya dan selanjutnya terus meningkat, disamping itu ketahanannya terhadap penyakit
daun cukup baik. Hanya saja kulit PB 260 lebih tipis daripada GT 1 dan rentan terhadap
penyakit kering alur sadap (Siregar et al., 2007). Selain ituhasil penelitian Anwar (2008)
menyatakan bahwa klon PB260 mempunyai hasil lateks dan tingkat produktivitas tinggi
dari semua jenis klon yang ada, serta potensi hasil lateks yang dihasilkan PB 260 mulai
bisa dideres rata-rata umur 5 tahun. Hal yang samapendapat Nurlaili, (2009) bahwa bibit
karet klon PB 260 juga mempunyai keunggulan dari sisi hasil lateks lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis klon lainnya.

Bahan dan Metode Penelitian
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada dua lokasi yaitu di Kebun Percobaan Balai
Penelitian Sungai Putih dan Pusat Penelitian Karet dan Kebun Sungai Putih, PT.
Perkebunan Nusantara III (Persero).Kedua lokasi tersebut berada di Kecamatan Galang,
Kabupaten Deli Serdang dengan ketinggian 25 m di atas permukaan laut dengan jenis
tanah Ultisol. Penelitian dimulai bulan Agustus 2014 hingga Juli 2015.
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini, dibedakan atas bahan untuk
kegiatan di lapangan dan pengamatan di laboratorium.

Universitas Sumatera Utara

Bahan di Lapangan
Bahan untuk kegiatan di lapangan antara lain tanaman karet yang berumur 15
(tahun tanam 1999), dengan jarak tanam 2,5 x 5 m ( populasi awal setiap klon 800 pohon
ha-1). Klon yang digunakan disesuaikan dengan perlakuan yang mewakili tingkat
metabolisme lateks yaitu metabolisme tinggi (PB 260), dan metabolisme rendah (BPM1).

Bahan di Laboratorium
Stimulan yang diberikan adalah berbahan aktif etepon (asam 2-cloro etil pospate)
2,5% dan stimulan gas (±100%). Bahan yang digunakan untuk analisis fisiologi di
Laboratiorium yaitu TCA (asam trikloro-asetat), asam sulfat (H2SO4 70%),

asam

dithiobis-nitrobenzoat (DNTB) dan asam semut (formid acid), alkohol 96%, glycerine,
KOH 50%, HN03 65%, aquadest. Alat yang digunakan untuk pengamatan di lapangan
terdiri atas Tap SP, stop watch, cat, kuas, meteran, timbangan analitik, botol untuk tempat
contoh lateks dan kulit, alat tulis, kamera dan computer, peralatan sadap antara lain
pisau sadap, mangkok penampung, talang, ember, aplikator regulator gas, soket dan alatalat pendukung lainnya.

Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat pengamatan, alat sadap
dan alat analisis fisiologi.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.3. Alat dan Bahan yang digunakan untuk Penelitian
N0.
1.

Alat/Bahan

Tempat

Alat

Lapangan :
- Alat Sadap (pisau sadap, mangkok
penampung,talang, ember, aplikator regulator,
soket, jiregen).

Balai Penelitian
Sungei Putih, Pusat
Penelitian Karet

2.

Bahan

Nama Alat

PTPN III
(Sei Putih)
Afdeling III
Afdeling II

Balai Penelitian
Sungei Putih, Pusat
Penelitian Karet

- Alat Pengamatan (Tap SP, stop watch, cat, kuas,
meteran, timbangan analitik, botol film), alat
tulis, kamera dan computer.
Laboratorium :
- Timbangan analitik
- Beker glass
- Tabung rekasi
- Pinset
- Objek glass
- Cover glass
- Petridist
- Pipet skala
- Spektrometer Beckman DU 650
- Mortal
- Blender
Lapangan:
- Tanaman karet berumur 15 tahun (TT 1999).
- metabolisme tinggi (PB 260), dan metabolisme
rendah (BPM1).
Laboratorium:
- TCA (asam trikloro-asetat),
- asam sulfat (H2SO4 70%),
- asam dithiobis-nitrobenzoat (DNTB)
semut (formid acid),
- alkohol 96%,
- glycerine, KOH 50%,
- HN03 65%,
- Aquadest

asam

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua macam data yaitu primer dan sekunder.Data
primer merupakan hasil percobaan lapangan yang menggunakan pola Rancangan
Tersarang (Nested Design) (Suhendry, 1998). Total tanaman adalah 2 x 4 x 4 x 3 x 10=
960 pohon. Percobaan diulang tiga kali tersarang dalam faktor perlakuan jenis klon.
Perlakuan penelitian dengan tiga faktor yaitu jenis klon memiliki dua taraf, faktor sistem

Universitas Sumatera Utara

sadap empat taraf dan faktor stimulan empat taraf.Rincian masing - masing

faktor

perlakuan adalah sebagai berikut :
Tabel 4.4.Faktor Perlakuan Penelitian
N0. Jenis Klon
Sistem Sadap
1.

BPM 1
PB 260

S/2
S/4
S/2U
S/4U

Jenis Stimulan
Cair (ET2.5%)
Gas pemberian 9 hari sekali

( ETG/9d)

Gas pemberian 18 hari sekali (ETG/18d)
Gas pemberian 27 hari sekali (ETG27d)
Keterangan :BPM1 Tahun Tanam 1999 Klon Metabolisme Rendah
PB260 Tahun Tanam 1999 Klon Metabolisme Tinggi

3.3.2.b. Model Persamaan dalam pengolahan data :
Model linier yang digunakan (Suhendry, 1998) adalah :
Yijk = µ +j + δj/j + k + jδk + kδj /j +ijk
keterangan
Yijk
= Hasil pengamatan dari seluruh petak percobaan
µ
= Pengaruh rata-rata percobaan
j
= Pengaruh klon sebanyak j taraf
δj /j = Pengaruh Stimulan sebanyak i taraf di dalam setiap klon
k
= Pengaruh sistem sadap sebanyak taraf k
jδk = Pengaruh interaksi antara klon dan sistem sadap
kδj / = Pengaruh interaksi sistem sadap dan stimulan di dalam setiap klon
ijk
= Pengaruh kekeliuran percobaan
Data hasil percobaan dianalisis dengan Uji F pada taraf 5% (analisis ragam),
dan apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test
(DMRT) pada taraf 5%.
Data sekunder diperoleh dari PTPN III Sungai Putih yaitu data Curah Hujan
selama 13 tahun (2002 - 2015) yaitu rata - rata curah hujan bulanan.

Untuk

menetapkan kriteria bulan basah, kering dan lembab digunakan klasifikasi Oldeman.
Berdasarkan klasifikasi tersebut diperoleh bulan basah, lembab dan kering. Jumlah

Universitas Sumatera Utara

curah hujan pada bulan basah: >200mm, bulan lembab:100-200mm, sedangkan bulan
kering 200 mm)
** BK = Bulan Kering (Jan-Mar CH < 100 mm)
*** BL = Bulan Lembab (Apr-Agt dan Des CH 100-200 mm)

Universitas Sumatera Utara

Hasil analisis statistik diketahui perlakuan sistem sadap pada klon BPM 1 dan PB
260 berpengaruh nyata terhadap kadar sukrosa lateks baik pada bulan basah, kering dan
lembab.
Rataan tertinggi kadar sukrosa klon BPM 1 diperoleh pada bulan lembab,
sedangkan untuk klon PB 260 pada bulan kering. Sistem sadap yang sesuai untuk klon
BPM 1 adalah sistem sadap pendek S/4 d3, sedangkan klon PB 260 menggunakan sistem
sadap panjang S/2U d3. Untuk penggunaan stimulan juga terdapat perbedaan antar klon
yaitu cair untuk klon BPM 1 dan gas untuk PB 260. Perubahan sistem sadap dari pendek
ke panjang, atau sebaliknya akan menurunkan kadar sukrosa. Begitu juga halnya dengan
stimulan perubahan stimulan dari cair menjadi gas akan menurunkan sukrosa BPM 1,
berbeda dengan PB 260 perubahan stimulan dari gas ke cair akan menyebabkan
penurunan sukrosa (Tabel 4.6). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa respons
tanaman terhadap penggunaan sistem sadap dan stimulan bergantung pada jenis
metabolismenya.
Kadar sukrosa yang tinggi di bulan lembab pada klon BPM 1 dengan
menggunakan kulit pulihan

dengan panjang alur sadap S/4. (Tabel 4.6.), diduga

disebabkan kulit pulihan melakukan antisipasi dengan membentuk sukrosa lebih banyak
yang akan melindungi tanaman dari stres. Pelukaan yang telah dilakukan pada kulit
pulihan, mengakibatkan tanaman meningkatkan laju kapasitas pembentukan gula
(sukrosa). Kondisi lingkungan, ketersediaan air yang cukup, didukung oleh penggunaan
frekuensi aplikasi stimulan etepon yang rendah (15 hari sekali), menyebabkan tanaman
cukup waktu untuk membentuk bahan sukrosa menjadi lateks. Kadar sukrosa yang lebih
tinggi pada kulit pulihan juga ditemukan oleh Siregar (2001) dan Sumarmadjiet al.,
(2006).

Universitas Sumatera Utara

Hasil ini mengindikasikan bahwa penggunaan panel kulit pulihan pada klon SS
juga berpotensi untuk meningkatkan produksi lateks. Disamping itu, pada kondisi daun
telah berkembang sempurna, sehingga fungsi daun sebagai penghasil asimilat dapat
optimum. Berdasarkan data Curah hujan Kebun Sei Putih PTPN III,

diketahui bahwa

curah hujan rata-rata pada bulan lembab ini adalah 152.04 mm/bulan dengan jumlah hari
hujan 5 hari/bulan. Data ini mengindikasikan bahwa tanaman karet pada bulan lembab ini
dalam kondisi cukup air. Ketersediaan air yang cukup akan mempengaruhi keseimbangan
sukrosa dalam sel tanaman

(Gao, et. al., 2006). Hasil bahasannya mereka juga

menambahkan bahwa, kondisi cukup air pada tubuh tanaman akan memperlancar
pembentukan sukrosa (bioaktivitas sukrosa).
Pada kondisi cukup air, sukrosa yang dibentuk akan segera ditranslokasikan ke
tempat lain, sehingga tidak mengganggu keseimbangan sukrosa pada tubuh tanaman.
Kadar air yang cukup menyebabkan terjadinya keseimbangan osmotikum dalam sel
karet, yang berimplikasi pada turgor tanaman. Proses metabolisme tanaman sangat
tergantung pada turgor, dengan kata lain proses akan berlangsung pada turgor
maksimum. Perubahan tekanan turgor kearah minimal (dengan rendahnya kandungan air
pada tubuh tanaman) berakibat pada penurunan laju metabolisme tanaman.
Kadar sukrosa lateks klon PB 260, nyata lebih tinggi pada bulan kering dengan
perlakuan sistem eksploitasi S/2U d3 ETG/9d (Tabel 4.6), dengan interval pemberian
stimulan gas 9 hari sekali (8.92 mM). Pemberian interval stimulan gas 9 hari sekali pada
klon PB 260, akan meningkatkan kadar sukrosa lateks yang nyata melalui peningkatan
frekuensi stimulan pada bulan kering. Hal ini diduga pada karet dengan karakter
metabolisme tinggi kurang respons terhadap pemberian stimulan. Kondisi ini tentunya

Universitas Sumatera Utara

membuyuhkan frekuensi tinggi baru mampu untuk menggerakkan pompa proton H+
untuk menghasilkan sukrosa yang tinggi
Kadar sukrosa yang tinggi pada bulan kering untuk klon PB 260

diduga

disebabkan terjadinya penurunan kandungan air pada tubuh tanaman. Penurunan sejumlah
pelarut akan mempengaruhi konsentr