BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - HUBUNGAN ANTARA PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA KEMBARAN DAN DESA LINGGASARI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEMBARAN I KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2015 - repository perpustakaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diare sampai saat ini masih merupakan penyebab kematian utama di

  dunia, terhitung 5-10 juta kematian/tahun. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia dan 2,2 juta diantaranya meninggal, dan sebagian besar anak-anak dibawah umur 5 tahun. Meskipun diare membunuh sekitar 4 juta orang/tahun di negara berkembang, ternyata diare juga masih merupakan masalah utama di negara maju. Di Amerika, setiap anak mengalami 7-15 episode diare dengan rata-rata usia 5 tahun. Di negara berkembang rata-rata tiap anak dibawah usia 5 tahun mengalami episode diare 3 kali pertahun (WHO, 2009).

  Penyakit Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian.

  Laporan Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa penyakit Diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur merupakan penyebab kematian yang ke empat (13,2%) (Riskesdas, 2013).

  Berdasarkan data Dinkes Jateng tahun 2013 diketahui bahwa angka kejadian diare pada tahun 2013 sebesar 3,3% dengan karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah pedesaan (5,3%) dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (6,2%). Berdasarkan program Surveilance Terpadu Penyakit (STP) berbasis Puskesmas tahun 2013 di Kabupaten Banyumas, diare merupakan penyakit terbanyak yang diderita oleh balita, yaitu sebanyak 56,2 %. Adapun data kasus baru penderita rawat inap penyakit menular berbasis rumah sakit tahun 2013 menunjukkan bahwa diare masuk ke dalam urutan tiga teratas penyakit terbanyak. Sedangkan pada tahun 2012, tiga penyakit rawat inap terbanyak yang diderita balita adalah diare, DBD, dan tifus perut klinis (Dinkes Banyumas, 2013).

  Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan, dua faktor yang sangat dominan adalah sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama perilaku manusia, apabila faktor lingkungan yang tidak sehat karena tercemar bakteri atau virus serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare (Depkes RI, 2005).

  Menurut Sucipto (2003), penyebab diare pada anak balita adalah ketersediaan air bersih dan perilaku hidup bersih dan sehat. Menurut penelitian Nilton, dkk (2008) faktor-faktor penyebab diare adalah menggunakan air sumur, minum air yang tidak dimasak, sumur < 10 meter, tidak mempunyai jamban, tidak menggunakan jamban, tidak mempunyai tempat sampah dan tidak cuci tangan.

  PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat (Kemenkes RI, 2011). PHBS di tatanan rumah tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan PHBS untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, mencegah resiko terjadinya penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2009).

  Berdasarkan data Riskesdas (2013), proporsi nasional rumah tangga dengan PHBS baik pada tahun 2013 mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2007. Proporsi nasional rumah tangga PHBS baik pada tahun 2007 adalah sebesar 38,7% dan proporsi nasional rumah tangga PHBS baik pada tahun 2013 adalah sebesar 32,2%, dengan proporsi tertinggi pada DKI Jakarta (56,8%) dan terendah pada Papua (16,4%). Proporsi rumah tangga dengan PHBS baik lebih tinggi di perkotaan (41,5%) dibandingkan di perdesaan (22,8%). Terdapat 20 dari 33 provinsi yang masih memiliki rumah tangga PHBS baik di bawah proporsi nasional.

  Berdasarkan 10 indikator PHBS di rumah tangga yang berhubungan dengan kejadian diare adalah bayi diberi ASI eksklusif, menggunakan air bersih, mencuci tangan pakai sabun, dan menggunakan jamban sehat (Proverawati & Rahmawati, 2012).

  Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Kembaran I pada bulan Januari sampai September tahun 2014 angka kejadian diare pada balita sebesar 119 kasus. Dimana kejadian diare tertinggi di Desa Kembaran sebanyak 29 kasus (24,4%), Desa Linggasari sebanyak 21 kasus (17,6%), Desa Dukuhwaluh sebanyak 17 kasus (14,3%), Desa Karangsari sebanyak 15 kasus (12,6%), Desa Tambaksari sebanyak 13 kasus (10,9%), Desa Bantarwuni dan Desa Purbadana masing-masing 11 kasus (9,2%) dan Desa Karangsoka sebanyak 2 kasus (1,7%).

  Hasil survei di 2 desa dengan kejadian diare tertinggi terhadap 13 rumah warga dengan menggunakan indikator PHBS yang berhubungan dengan kejadian diare adalah bayi diberi ASI eksklusif, penimbangan bayi dan balita, mencuci tangan pakai sabun, menggunakan air bersih, dan menggunakan jamban, diketahui bahwa 44,91% masih menggunakan sumur sebagai sumber air bersihnya dan untuk sarana jamban keluarga masih ada 20,66 % yang belum mempunyai jamban keluarga.

  Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang ”Hubungan Antara PHBS dengan Kejadian Diare Pada Balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015”.

B. Rumusan Masalah

  Kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat dapat penyebab diare pada anak. Berdasarkan 10 indikator PHBS di rumah tangga yang berhubungan dengan kejadian diare adalah bayi diberi ASI eksklusif, menggunakan air bersih, mencuci tangan pakai sabun, dan menggunakan jamban sehat.

  Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan, dua faktor yang sangat dominan adalah sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama perilaku manusia, apabila faktor lingkungan yang tidak sehat karena tercemar bakteri atau virus serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.

  Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah hubungan antara PHBS dengan kejadian diare pada balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015?”.

C. Tujuan Penelitian 1.

  Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara PHBS dengan kejadian diare pada balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.

2. Tujuan Khusus a.

  Untuk mengetahui karakteristik ibu balita meliputi umur, pendidikan, pekerjaan di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.

  b.

  Untuk mengetahui PHBS di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.

  c.

  Untuk mengetahui kejadian diare pada balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.

  d.

  Menganalisis hubungan antara PHBS dengan kejadian diare pada balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.

D. Manfaat Penelitian 1.

  Secara Teoritis Skripsi ini dapat memberikan informasi dan gambaran secara nyata, memperkuat dan mengembangkan teori yang ada serta menambah wawasan ilmu pengetahuan berkenaan dengan pelaksanaan PHBS dan kejadian diare pada balita.

2. Secara Praktis a.

  Bagi Peneliti Skripsi ini diharapkan dapat memberi pengetahuan tentang metode penelitian serta dapat memberikan informasi yang cukup jelas bagi peneliti mengenai hubungan antara Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan kejadian diare pada balita dan pengalaman khususnya dalam mengadakan penelitian ilmiah.

  b.

  Bagi Puskesmas Skripsi ini dapat digunakan sebagai data masyarakat yang melakukan PHBS serta bahan pertimbangan dalam menyelesaikan masalah kesehatan mengenai pencegahan penyakit dan sebagai bahan informasi dalam mengoptimalkan program-program PHBS.

  c.

  Bagi Institusi Pendidikan Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya dalam memperbanyak referensi tentang PHBS dengan kejadian diare dan sebagai acuan penelitian selanjutnya. d.

  Bagi Profesi Keperawatan Skripsi ini diharapkan sebagai bahan informasi dalam upaya peningkatan pelayanan keperawatan pada keluarga tentang pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat dalam upaya untuk pencegahan penyakit dan diharapkan perawat menjadi change agent dalam masyarakat untuk merubah paradigma sakit menjadi paradigma sehat.

E. Keaslian Penelitian

  Sebagai acuan penelitian ini, beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain sebagai berikut:

1. Kusumawati (2011), “Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Dengan

  Kejadian Diare Pada Balita Usia 1-3 Tahun di Desa Tegowanu Wetan Kecamatan Tegowanu Grobogan”. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada karakteristik responden, tingkat pendidikan responden yang paling tinggi adalah SMA (55,3 %), dan terendah adalah SD (8,5 %). Pada usia ibu yang resiko tinggi (usia < 20 tahun dan > 30 tahun) (23,4%), sedangkan resiko rendah (20-30 tahun) (76,6%). Pada kategori pekerjaan, ibu yang tidak bekerja (78,7%), sedangkan yang tidak bekerja (21,3%).

  Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan kejadian diare dengan p value 0,025.

  2. Agustin (2009), dengan judul penelitian Beberapa faktor lingkungan terhadap kejadian diare di Puskesmas Serayu Larangan, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Case control yaitu suatu pendekatan penelitian yang dilakukan dengan cara mengidentifikasi pasien dengan penyakit tertentu (kasus) dan kelompok tanpa penyakit (kontrol). Hasil penelitian ini adalah faktor sanitasi yang berpengaruh secara bersama- sama terhadap kejadian diare adalah ketersediaan jamban (p=0,000 dengan OR= 3,098 CI = 3,098 – 7,907) dan faktor kondisi tempat sampah (p=0,003 dengan OR= 2,098 dengan nilai CI = 3,098 – 7,907).

  Skripsi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dikarenakan pada penelitian ini meneliti tentang hubungan PHBS dengan kejadian diare pada anak, dengan menggunakan metode penelitian croos sectional. Pada penelitian ini berbeda dikarenakan variabel PHBS yang diteliti adalah PHBS terhadap orang tua balita yang dilihat dalam hubungannya terhadap kejadian diare pada balitanya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Definisi Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni: indera

  penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

  Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

2. Adopsi Pengetahuan

  Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa apabila suatu pembuatan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perbuatan yang tidak didasari oleh pengetahuan, dan apabila manusia mengadopsi perbuatan dalam diri seseorang tersebut akan terjadi proses sebagai berikut: a.

  Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). b.

  Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tertentu disini sikap subjek sudah mulai timbul.

  c.

  Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya terhadap stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

  d.

  Trial, dimana subjek mulai melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

  e.

  Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

3. Tingkat Pengetahuan

  Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa pengetahuan yang dicakup dalam bidang atau ranah kognitif mempunyai enam tingkatan bergerak dari yang sederhana sampai pada yang kompleks yaitu: a.

  Tahu (Know) Mengetahui berdasarkan mengingat kepada bahan yang sudah dipelajari sebelumnya.Mengetahui dapat menyangkut bahan yang luas atau sempit seperti fakta (sempit) dan teori (luas). Namun, apa yang diketahui hanya sekedar informasi yang dapat disingkat saja. Oleh karena itu tahu merupakan tingkat yang paling rendah.

  b.

  Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

  c.

  Aplikasi (Aplication) Penerapan adalah kemampuan menggunakan suatu ilmu yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru seperti menerapkan suatu metode, konsep, prinsip atau teori.

  d.

  Analisa (Analysis) Analisa adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitan suatu sama lainnya. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

  e.

  Sintesis (Synthesis) Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyelesaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.

  f.

  Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkenaan dengan kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membuat penelitian terhadap suatu berdasarkan maksud atau kriteria tertentu. Misalnya, dapat membandingkan, menanggapi dan dapat menafsirkan dan sebagainya

B. Sikap 1.

  Pengertian Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007).

  Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007), sikap itu mempunyai 3 komponen pokok : a.

  Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.

  b.

  Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.

  c.

  Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).

2. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan

  Notoatmodjo (2007), membagi tingkatan sikap menjadi 4 yaitu: a.

  Menerima (receiving) Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya, sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian itu terhadap ceramah-ceramah. b.

  Merespons (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.

  c.

  Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

  d.

  Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatuyang dipilihnya dengan segala risiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

3. Arah sikap

  Sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak atau tidak memihak terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek. Orang yang setuju, mendukung atau memihak terhadap suatu objek sikap berarti memiliki sikap yang positif sebaliknya mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung dikatakan memiliki sikap yang arahnya negatif (Azwar, 2009).

C. Diare 1.

  Pengertian Diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defeksi lebih dari biasanya (> 3 kali / hari) disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair, dengan atau tanpa darah dan atau lendir (Suratmadja 2007). Menurut Suriadi & Yuliani (2006) diare merupakan kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair.

2. Klasifikasi

  Menurut Suraatmadja (2007) klasifikasi diare terdiri dari diare akut dan diare kronik.

  a.

  Diare akut Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat (Suraatmadja 2007). Secara operasional, diare akut adalah buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan berlangsung kurang dari 14 hari (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah 2008).

  b.

  Diare kronik Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dan tidak disebabkan oleh infeksi (Suraatmadja 2007). Menurut Suharyono

  (2007) diare kronik merupakan diare yang berlanjut sampai 2 minggu atau lebih dan kehilangan berat badan atau tidak bertambah berat badan selama masa tersebut.

  Menurut Suraatmadja (2007), diare kronik dapat dibagi menjadi 6 klasifikasi yaitu: Persistent diarrhea, diare yang menetap dan berlangsung lebih dari 14 hari, diare ini disebabkan oleh infeksi.

  Protracted diarrhea , diare yang diperlambat dan berlangsung lebih dari

  2 minggu dengan tinja cair. Intractable diarrhea, diare yang tidak dapat diobati atau disembuhkan. Prolonged diarrhea, diare yang diperpanjang atau berlangsung lebih dari 7 hari. Recurrent diarrhea, diare yang berulang-ulang selama 3 bulan dan sedikitnya tiap bulannya 1 kali episode diare. Cronic non spesific diarrhea, diare yang berlangsung lebih dari 3 minggu tetapi tidak disertai gangguan pertumbuhan dan tidak ada tanda-tanda infeksi maupun malabsorpsi.

3. Etiologi

  Menurut Suharyono (2009), dilihat dari sudut patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi menjadi 2 golongan sebagai berikut: a.

  Diare sekresi (secretory diarrhea), disebabkan oleh: Infeksi virus, seperti kuman-kuman patogen dan apatogen. Hiperperistaltik usus halus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia, makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, makanan yang sudah basi dan lain-lain), gangguan syaraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya. Defisiensi imun terutama Secretory imunnoglobulin A (SIgA) yang mengakibatkan terjadinya bakteri atau jamur tumbuh berlipat ganda. b.

  Diare osmotik (osmotic diarrhea), disebabkan oleh: malabsorpsi makanan, Kekurangan Kalori Protein (KKP), Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan bayi baru lahir.

  Menurut Suraatmadja (2007), faktor-faktor penyebab diare kronik dapat dibagi menjadi: a.

  Infeksi bakteri / infestasi parasit yang sudah resisten terhadap antibiotika atau anti parasit, disertai overgrowth bakteri non pathogen seperti Pseudomonas, Klabsiella, Streptokok, Stafilokok dan sebagainya.

  b.

  Kerusakan epitel usus. Sebagai akibat kerusakan epitel usus terjadi kekurangan enzim laktase dan protease dengan akibat terjadinya maldigesti dan malabsorpsi karbohidrat dan protein, dan pada tahap lanjut setelah terjadi KKP yang menyebabkan terjadinya atrofi mukosa lambung, mukosa usus halus disertai penumpukan villi, serta kerusakan hepar dan pankreas, terjadilah defisiensi enzim-enzim yang dikeluarkan oleh organ-organ tersebut, menyebabkan terjadinya maldigesti dan malabsorpsi dari seluruh nutrien. Makanan yang tidak dicerna dengan baik tersebut akan menyebabkan osmotik diare. Selain itu juga akan menyebabkan overgrowth bakteri yang menyebabkan terjadinya dekonjugasi dan dehidroksilasi asam empedu.

  c.

  Gangguan imunologis. Usus merupakan organ utama untuk daya pertahanan tubuh. Defisiensi dan sekretori IgA (SIgA) dan cell mediated

  

immunity akan menyebabkan tidak mampu mengatasi infeksi bakteri dan

  infestasi parasit di dalam usus. Akibatnya bakteri, virus, parasit dan jamur akan mausk ke dalam usus dan berkembangbiak dengan leluasa, menjadi overgrowth dengan akibat lebih lanjut berupa diare persisten dan malabsorpsi makanan yang lebih berat.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian diare

  Menurut Silva et al (2008), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diare adalah: a.

  Penyediaan air bersih.

  Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia akan lebih cepat meninggal karena kekurangan air daripada kekurangan makanan. Kebutuhan manusia akan air sangat komplek antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci dan sebagainya. Diantara kegunaan- kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum termasuk untuk masak, air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia (Silva et al, 2008).

  Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat-syarat kesehatan dan dapat diminum. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan akan menjadi air minum setelah dimasak terlebih dahulu. Penyakit-penyakit yang biasanya ditularkan melalui air adalah Thypus abdominalis, Cholera, Dysentri basiler, Diare akut,

  Poliomyelitis, Dysentri amoeba, penyakit-penyakit cacing seperti Ascariasis, Trichiuris , parasit yang menggunakan air untuk daur

  hidupnya (Sarudji, 2006). b.

  Jamban keluarga.

  Faktor jamban keluarga yang perlu diperhatikan adalah kepemilikan jamban keluarga di rumah, buang air besar di jamban, dan keadaan jamban. Dalam hal pemanfaatan sanitasi, masyarakat umumnya memiliki beberapa pilihan akses yang digunakan secara bergantian, sebelum dialirkan ke sungai. Khusus bagi masyarakat rural dan peri- urban, meski memiliki toilet di rumah, mereka juga masih memanfaatkan toilet terbuka seperti sungai atau empang. Masyarakat peri-urban menjadikan kepraktisan dan norma umum sebagai alasan utama untuk menyalurkan kotorannya ke sungai. Tidak heran, sungai-sungai di Indonesia dapat disebut sebagai jamban raksasa karena masyarakat Indonesia umumnya menggunakan sungai untuk buang air. Masyarakat urban di perkotaan yang tinggal di gang-gang sempit atau rumah-rumah petak di Jakarta umumnya tidak mempunyai lahan besar untuk membangun septic tank. Karena itu, mereka biasanya tak memiliki jamban. Jika kemudian mereka memiliki sumur, umumnya tidak diberi pembatas semen. Ketika hujan tiba, kotoran yang ada di tanah terbawa air hujan masuk ke dalam sumur. Air yang sudah terkontaminasi inilah yang memudahkan terjadinya diare (Hiswani, 2008).

  Menurut Sarudji (2006), keadaan jamban di rumah atau lingkungan sebagai tempat pembuangan tinja diperlukan beberapa persyaratan yaitu tidak menimbulkan kontaminasi pada air tanah yang masuk ke dalam sumber atau mata air dan sumur, tidak menimbulkan kontaminasi pada air permukaan, tidak menimbulkan kontaminasi pada tanah permukaan sehingga dapat mencegah penularan penyakit cacing, tinja tidak dapat dijangkau oleh lalat atau binatang-binatang lainnya dan tidak menimbulkan bau dan terlindung dari pandangan.

  c.

  Pengelolaan sampah.

  Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan sampah adalah tempat pembuangan sampah, keadaan tempat sampah dan faktor adanya vektor lalat melalui lalat. Tempat pembuangan sampah yang dimaksud adalah kegiatan menyingkirkan sampah dengan metode tertentu dengan tujuan agar sampah tidak lagi mengganggu kesehatan lingkungan atau kesehatan masyarakat. Ada dua istilah yang harus dibedakan dalam lingkup pembuangan sampah solid waste (pembuangan sampah saja) dan final disposal (pembuangan akhir) (Sarudji, 2006).

  d.

  Sanitasi makanan.

  Sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya dan penyakit pada manusia (Wijayanti, 2008). Sanitasi makanan meliputi tindakan-tindakan saniter yang ditujukan pada semua tingkatan, sejak makanan mulai dibeli, disimpan, diolah dan disajikan untuk melindungi agar konsumen tidak dirugikan kesehatannya. Tujuan sanitasi makanan yaitu untuk menjamin keamanan dan kebersihan makanan, mencegah penularan wabah penyakit, mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan pada makanan (Wijayanti, 2008). e.

  Fasilitas sanitasi makanan Fasilitas sanitasi peranannya sangat penting, dalam hubungannya sebagai salah satu faktor penyebab diare. Fasilitas makanan yang dimaksud seperti tempat untuk mencuci tangan yang kurang, minimnya tempat untuk mencuci peralatan rumah tangga, serta pola perilaku sehari- hari masyarakat (Hiswani, 2008).

  f.

  Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan penerapan perilaku hidup sehat. Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen dengan melalui air minum. Pada penularan seperti ini, tangan memegang peranan penting, karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman penyakit masuk ke tubuh manusia (Howard & Bartram, 2003).

  Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan oleh Bozkurt et al (2003) di Turki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena diare.

  Berdasarkan 10 indikator PHBS di rumah tangga yang berhubungan dengan kejadian diare adalah bayi diberi ASI eksklusif, menggunakan air bersih, mencuci tangan pakai sabun, dan menggunakan jamban sehat (Proverawati & Rahmawati, 2012).

5. Patofisiologi

  Menurut Suraatmadja (2007), sebagai akibat diare baik akut maupun kronik akan terjadi keadaan sebagai berikut: a.

  Kehilangan air (dehidrasi) Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada pemasukan air (input), keadaan ini merupakan penyebab kematian pada diare.

  b.

  Gangguan keseimbangan asam-basa (metabolik asidosis) Metabolik asidosis dapat terjadi karena: kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja. Adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda keton tertimbun dalam tubuh. Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal sehingga terjadi oliguria/ anuria.

  c.

  Hipoglikemia Keadaan ini terjadi pada 2-3% dari anak-anak yang menderita diare. Pada anak-anak dengan gizi cukup atau baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita KKP.

  d.

  Gangguan gizi Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini dapat disebabkan makanan yang dihentikan orang tua karena orang tua takut diare atau muntahnya akan bertambah hebat. Orang tua sering hanya memberikan air teh saja sebagai dietnya. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengenceran dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama e. Gangguan sirkulasi

  Sebagai akibat diare dengan disertai muntah, dapat terjadi gangguan sirkulasi darah berupa renjatan (syok) hipovolemik.

  6. Gejala Klinis Mula-mula anak balita menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada kemudian timbul diare.

  Tinja cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena tercampur empedu, karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya lecet karena tinja makin lama menjadi asam akibat banyaknya asam laktat, yang berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak kehilangan air dan elektrolit maka akan terjadi gejala dehidrasi. Berat badan menurun, pada bayi ubun- ubun besar dan cekung, tonus dan turgor kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir terlihat kering (Hasan et al, 2007).

  7. Cara Penularan Menurut Lanny (2007) cara penularan diare diantaranya dapat melalui : a.

  Jalur penularan diare melalui mulut dan anus dengan perantaraan lingkungan dan perilaku yang tidak sehat b.

  Tinja penderita yang mengandung kuman bila mengeluarkan tinja akan mencemari lingkungan terutama air.

  c.

  Alat dapur yang dicemari kuman akan masuk ke mulut, kemudian terjadi diare.

  d.

  Infeksi oleh agen penyebab terjadinya diare bila makanan / air minum yang terkontaminasi tinja / muntahan penderita diare.

  e.

  Penularan langsung juga dapat terjadi bila tangan tercemar dipergunakan untuk menyuap makanan.

8. Pencegahan Diare

  Menurut Suraatmadja (2007), pencegahan diare yang benar dan efektif dapat dilakukan dengan cara: a.

  Memberikan ASI ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan. ASI bersifat steril berbeda dengan sumber susu lain seperti susu formula atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan dapat terkontaminasi dalam botol kotor. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare.

  b.

  Memperbaiki makanan pendamping ASI Makanan pendamping ASI dimulai saat bayi secara bertahap, bayi dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi, sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian makanan pendamping ASI yang baik dapat meliputi perhatian terhadap kapan, apa dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan.

  c.

  Menggunakan air bersih yang cukup Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah.

  d.

  Mencuci tangan dengan air dan sabun Kebiasaan berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan mempunyai dampak dalam kejadian diare.

  e.

  Menggunakan jamban Upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam menurunkan risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban dan keluarga harus buang air besar di jamban. f.

  Membuang tinja bayi yang benar Banyak orang yang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya.

  Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara benar.

  g.

  Memberikan imunisasi campak Anak yang sakit campak sering disertai diare, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu, segera beri anak imunisasi campak segera setelah umur 9 bulan.

9. Komplikasi Diare

  Menurut Suraatmadja (2007), kebanyakan diare sembuh tanpa mengalami komplikasi, tetapi sebagian kecil mengalami komplikasi dari dehidrasi, kelainan elektrolit atau pengobatan yang diberikan. Komplikasi tersebut meliputi: a.

  Hipertermia. Biasanya terjadi pada diare yang disertai muntah dengan intake cairan atau makanan kurang, atau cairan yang diminum terlalu banyak mengandung natrium. Pada bayi juga dapat terjadi jika setelah diare sembuh diberi oralit dalam jumlah yang berlebihan.

  b.

  Hiponatermia. Keadaan ini dapat terjadi pada penderita minum cairan sedikit atau tidak mengandung natrium. penderita gizi buruk mempunyai kecenderungan mengalami hiponatremia.

  c.

  Demam. Keadaan sering terjadi pada infeksi Shigella disentriae dan

  Rotavirus . Pada umumnya demam akan timbul apabila penyebab diare

  mengadakan invasi ke dalam sel epitel usus. Demam juga dapat terjadi akibat dehidrasi. Demam yang timbul akibat dehidrasi pada umumnya tidak tinggi dan akan menurun setelah mendapat hidrasi yang cukup.

  Demam yang tinggi mungkin diikuti dengan kejang.

  d.

  Oedema atau overhidrasi. Keadaan ini terjadi apabila penderita mendapatkan cairan terlalu banyak. Tanda dan gejala oedema kelopak mata, kejang-kejang jika terjadi oedema otak, oedema paru-paru.

  e.

  Asidosis metabolik ditandai dengan bertambahnya asam atau hilangnya basa cairan ektraseluler. Sebagai kompensasi terjadi alkalosis respiratorik, yang ditandai dengan pernapasan yang dalam dan cepat.

  f.

  Hipokalemia (serum K > 3.0 mMol/L). keadaan ini terjadi jika penggantian K selama dehidrasi tidak cukup, akan terjadi kekurangan K yang ditandai dengan kelemahan pada tungkai, ileus, kerusakan ginjal dan aritma jantung.

  g.

  Illeus paralitikus. Komplikasi ini penting dan sering fatal terutama sering terjadi pada anak kecil sebagai akibat penggunaan obat antimotilitas.

  Tanda dan gejala perut kembung, muntah, peristaltik usus berkurang atau tidak ada.

  h.

  Kejang karena hipoglikemia. Terjadi kalau anak dipuasakan terlalu lama.

  Bila penderita dalam keadaan koma, glukosa 20% harus diberi IV dengan dosis 2,5 mg/kg berat badan. Jika koma tersebut disebabkan oleh hipoglikemia, dengan pemberian glukosa intrvena, kesadaran akan cepat pulih kembali. i.

  Intoleransi laktosa. Pada penderita intoleransi laktosa, pemberian susu formula selama diare dapat menyebabkan: volume tinja bertambah, berat badan tidak bertambah atau gejala dehidrasi memburuk, dalam tinja terdapat reduksi dalam jumlah cukup banyak. j.

  Malabsorpsi glukosa. Komplikasi ini jarang terjadi, namun dapat terjadi pada penderita diare yang disebabkan oleh infeksi, atau penderita dengan gizi buruk. k.

  Malabsorpsi dan intoleransi laktosa. Pada penderita intoleransi laktosa, pemberian susu formula selama diare dapat menyebabkan volume tinja bertambah, berat badan tidak bertambah atau tanda dehidrasi memburuk, dan dalam tinja terdapat reduksi dalam jumlah yang cukup banyak. l.

  Muntah. Muntah dapat disebabkan oleh dehidrasi, iritasi usus dan gastritis Karena infeksi, ileus yang menyebabkan gangguan fungsi usus atau mual yang berhubungan dengan infeksi sistemik. Muntah dapat juga disebabkan pemberian cairan oral terlalu cepat.

D. Perilaku Hidup Bersih Sehat

  Perilaku hidup bersih dan sehat adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku guna membantu masyarakat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri sehingga masyarakat sadar, mau dan mampu mempraktekkan PHBS melalui pendekatan pimpinan (Advokasi), bina suasana (Sosial Suport) dan pemberdayaan masyarakat (Empowerment). Terdapat 5 tatanan PHBS yaitu PHBS Rumah Tangga, PHBS Sekolah, PHBS Tempat Kerja, PHBS Sarana Kesehatan, PHBS Tempat-tempat Umum (Dinkes Jateng, 2009).

1. Perilaku Hidup Bersih Sehat pada Keluarga a.

  PHBS Keluarga PHBS keluarga adalah wahana atau wadah dimana orang tua

  (bapak dan ibu) dan anak serta anggota keluarga yang lain dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari bertolak dari pengertian di atas PHBS tatanan rumah tangga adalah suatu upaya yang dilakukan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam berperilaku hidup bersih dan sehat (Dinkes Jateng, 2009).

  b.

  Manfaat Perilaku hidup bersih dan sehat sangat banyak bermanfaat bagi penduduk Indonesia, yaitu (Kamisah, 2009) :

1) Setiap rumah tangga meningkat kesehatannya dan tidak mudah sakit.

  2) Rumah tangga sehat dapat meningkat produktivitas kerja anggota keluarga.

  3) Dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya yang tadinya dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi seperti biaya pendidikan dan usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan anggota rumah tangga.

  4) Salah satu indikator menilai keberhasilan Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota di bidang kesehatan.

  5) Meningkatkan citra pemerintah dalam bidang kesehatan. 6) Dapat menjadikan percontohan rumah tangga sehat bagi daerah lain.

  c.

  Manajemen Pelaksanaan Sasaran PHBS pada keluarga adalah seluruh anggota keluarga yaitu pasangan usia subur, ibu hamil dan menyusui, anak dan remaja, usia lanjut dan pengasuh anak (Kamisah, 2009).

  d.

  Indikator PHBS Keluarga Indikator PHBS adalah suatu alat ukur untuk menilai keadaan atau permasalahan kesehatan. Indikator PHBS keluarga yang digunakan yaitu mengacu kepada standar pelayanan minimal bidang kesehatan antara lain (Dinkes, 2009) :

  1) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan (Dokter atau Bidan). 2)

  Bayi diberi ASI saja sejak usia 0-6 bulan tanpa makanan tambahan lain termasuk susu formula.

  3) Penimbangan balita dilakukan satu bulan sekali /minimal 8 kali setahun di sarana kesehatan (Posyandu, PKD, puskesmas dan lain- lain).

  4) Anggota keluarga mengkonsumsi makanan yang bergizi dan beraneka ragam.

  5) Anggota keluarga menggunakan air bersih untuk keperluan sehari- hari.

  6) Anggota keluarga menggunakan jamban sehat. 7) Anggota keluarga membuang sampah pada tempatnya.

  8) Setiap anggota keluarga menempati ruangan rumah minimal 9 m². 9)

  Anggota keluarga yang berumur 10 tahun keatas melakukan aktifitas fisik /olahraga.

  10) Semua ruangan rumah berlantai kedap air (bukan tanah) dan dalam keadaan bersih.

  11) Anggota keluarga tidak ada yang merokok. 12)

  Anggota keluarga mencuci tangan sebelum makan dan sesudah BAB.

  13) Anggota keluarga menggosok gigi minimal 2 kali sehari sesudah makan dan sebelum tidur.

  14) Anggota keluarga tidak minum minuman keras dan tidak menyalahgunakan narkoba.

  15) Anggota keluarga menjadi peserta jaminan pemeliharaan kesehatan (Dana Sehat, Askes Maskin, Jamsostek dan lain- lain).

  16) Anggota keluarga melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk).

  e.

  Indikator PHBS yang berhubungan dengan diare Berdasarkan 10 indikator PHBS di rumah tangga yang berhubungan dengan kejadian diare adalah bayi diberi ASI eksklusif, menggunakan air bersih, mencuci tangan pakai sabun, dan menggunakan jamban sehat (Proverawati & Rahmawati, 2012).

  Pengukuran dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotetis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2007). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat ukur untuk indicator PHBS yang berhubungan dengan diare.

  Untuk mencari nilai kriteria peneliti menggunakan rumus

  

kategorisasi dalam Syarifudin (2010) sebagai berikut, dengan jumlah

  soal sebanyak 35 dengan kriteria jawaban sangat selalu, sering, kadang- kadang dan tidak pernah. Untuk nilai skor jawaban menggunakan skala likert adalah sebagai berikut: 1) : 4

  Selalu 2) : 3

  Sering 3) : 2

  Kadang-kadang 4) : 1

  Tidak pernah Untuk mencari nilai kriteria peneliti menggunakan rumus kategorisasi dalam Syarifudin (2010) sebagai berikut: 1)

  Tentukan skor maksimal ideal dengan cara skor tertinggi dari jawaban dikali dengan jumlah butir soal.

  2) Tentukan skor minimal ideal dengan cara skor terendah dari jawaban dikali dengan jumlah butir soal.

  3) Tentukan nilai rentang dengan cara skor mak ideal dikurangi skor min ideal kemudian dibagi 3.

  Sehingga didapatkan nilai sebagai berikut:

  a) : 140 Nilai Maksimal (tertinggi)

  b) : 35 Nilai Minimal (terendah)

  c) : 35 Rentang Nilai

  Jadi kriteria beban kerja berdasarkan skala linkert adalah

  a) : 105-140 Baik

  b) : 75-104 Cukup

  c) : 35-74 Kurang

  Jadi responden akan diketahui memiliki PHBS baik jika memperoleh nilai sejumlah 105-140, memiliki PHBS cukup jika memperoleh nilai 75-104 dan memiliki PHBS kurang jika memperoleh nilai 35-74.

E. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

  Sumber : Silva at all (2008), Suaratmadja (2007), Sarudji (2006), Suriadi & Yuliani (2006), Mida (2009), Wahab (2007), Suharyono (2009)

  

Sehat

Diare

  Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian diare: 1.

  Faktor penyediaan air bersih.

  2. Faktor sanitasi makanan.

  3. Faktor penyediaan jamban keluarga.

  4. Faktor pengolahan sampah.

  5. Faktor fasilitas sanitasi.

  Lingkungan

PHBS

F. Kerangka Konseptual Penelitian

  

Variabel Independen Variabel Dependen

  Kejadian Diare 1.

  1 bulan yang lalu Perilaku Hidup Bersih dan 2.

  2 bulan yang lalu Sehat 3.

  3 bulan yang lalu

  Keterangan: : variabel yang diteliti : arah penelitian

Gambar 2.2 Kerangka Konsep G.

   Hipotesis

  Hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Pernyataan tersebut merupakan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang diharapkan dapat menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ha : Ada hubungan antara PHBS dengan kejadian diare pada balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.

  Ho : Tidak ada hubungan antara PHBS dengan kejadian diare pada balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA USIA 1-3 TAHUN STUDI KASUS DI DESA TEGOWANU WETAN KECAMATAN TEGOWANU GROBOGAN

0 0 8

HUBUNGAN PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN DEMAM THYPOID DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DINOYO MALANG

0 0 9

HUBUNGAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) IBU DENGAN KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA (1-5 TAHUN) DI POSYANDU MAWAR KELURAHAN MERJOSARI WILAYAH PUSKESMAS DINOYO KOTA MALANG

0 2 13

HUBUNGAN PERILAKU HIDUP BERSIH SEHAT RUMAH TANGGA DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BATITA DI WILAYAH KERJA POLIKLINIK KESEHATAN DESA JUMOYO, SALAM, KABUPATEN MAGELANG - DIGILIB UNISAYOGYA

0 0 9

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI POSYANDU DUSUN KETANGI DESA BANYUSOCO KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNGKIDUL YOGYAKARTA

0 0 25

HUBUNGAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) PADA IBU DENGAN KEJADIAN DIARE BALITA UMUR 2-5 TAHUN DI DUSUN SEMBUNGAN BANGUNJIWO KASIHAN BANTUL TAHUN 2015 NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada Ibu dengan Kejadian Diare

0 0 13

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN PERAWATAN DIABETES MELLITUS TIPE II PADA LANSIA DI WILAYAH DESA LEDUG KECAMATAN KEMBARAN KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2014 - repository perpustakaan

0 0 16

HUBUNGAN KUNJUNGAN ANTENATAL CARE DENGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG RESIKO TINGGI KEHAMILAN DI PUSKESMAS I KEMBARAN KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 0 16

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DAN KONDISI LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS II RAKIT KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

0 0 13

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA KEMBARAN DAN DESA LINGGASARI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEMBARAN I KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2015 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Mencapai Derajat

0 0 24