BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - NISRINA HANIFITRI BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Penelitian tentang bahasa khususnya tindak tutur direktif (kajian pragmatik)

  sebelumnya pernah dilakukan oleh Yuda Eka Setyaningsih (2004) dengan judul ―Tindak Tutur Direktif Guru dalam Komunikasi Proses Belajar Mengajar di SD Negeri Karanggondang 1 Kecamatan Karangkobar Kabupaten Banjarnegara ‖.

  Penelitian tersebut dilakukan untuk mendeskripsikan wujud tuturan direktif guru dalam komunikasi proses belajar mengajar di SD Negeri Karanggondang 1, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara. Penelitian tersebut menghasilkan wujud tuturan direktif guru SD dalam proses belajar mengajar yang terbagi menjadi enam bentuk yaitu tuturan tuturan requestives, tuturan questions, tuturan requirement, tuturan probibitives, tuturan permissive, dan tuturan adrisories.

  Sedangkan penelitian mengenai tindak tutur yang terdapat dalam novel belum banyak dilakukan, sehingga peneliti mencoba meneliti objek penelitian yang belum banyak dilakukan dengan judul ―Tindak Tutur Direktif dalam Wacana Novel Hafalan Shalat Delisa Karya

  Tere Liye‖. Perbedaan antara penelitian Yuda Eka Setyaningsih dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada objeknya. Objek yang diteliti oleh Yuda Eka Setyaningsih adalah tuturan antara guru dengan anak SD dalam proses belajar mengajar, sedangkan pada penelitian kali ini objek yang diteliti adalah novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye.

  Kemudian penelitian lain yang relevan yakni penelitian yang dilakukan oleh Tri Wendah (2000) dengan judul

  ―Kajian Pragmatik Bahasa Anak SDN 5 Pageraji

  11 pada Catur Wulan III Tahun Ajaran 2001- 2002‖. Penelitian ini menggunakan analisis tuturan bahasa anak dengan prinsip kesantunan bahasa dan prinsip kerjasama. Sumber data yang digunakan yakni siswa SDN 5 Pageraji pada saat jam pelajaran berlangsung. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan yakni menganalisis tindak tutur yang terdapat dalam novel dengan sumber data novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye.

  Dengan demikian dapat disimpulkan penelitian yang peneliti lakukan jelas berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuda Eka Setyaningsih dan Tri Wendah. Selain itu, penelitian tentang tindak tutur pelaku dalam novel masih jarang dilakukan. Karena itu, peneliti beranggapan bahwa penelitian ―Tindak Tutur Direktif dalam Wacana Novel Hafalan Shalat Delisa Karya T ere Liye‖ perlu dilakukan. Untuk hasil penelitian, peneliti menjelaskannya dalam bab hasil penelitian dan pembahasan.

B. Pengertian dan Fungsi Bahasa

  Keraf menjelaskan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat yang berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 2004: 1).

  Bahasa adalah satu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, yang kemudian lazim ditambah dengan sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri (Chaer, 2007: 3). Sedangkan menurut Sutan Takdir Alisjahbana (dalam Wachid dan Kurniawan, 2013: 5) bahasa adalah manifestasi atau alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang. Lebih jauh lagi, bahasa adalah kedirian manusia. Dengan menggunakan bahasa, manusia dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Karena itu, bahasa selalu mempresentasikan pribadi orang.

  Hal senada diungkapkan Saphir (dalam Wachid dan Kurniawan, 2013: 5), yaitu bahasa selalu mempresentasikan pikiran dan perasaan orang, artinya, pada tataran permukaan, bahasa yang diucapkan oleh orang marah dengan seorang yang bahagia tentu berbeda. Setiap orang memiliki karakteristik sendiri dalam berbahasa.

  Karakteristik itu mencerminkan kepribadian pemakainya. Pada wilayah ini, bahasa yang menjadi pusat kajian keilmuan (linguistik) adalah bahasa verbal yaitu, bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (lisan).

  Bahasa juga mempunyai fungsi yang penting bagi manusia, terutama fungsi komunikatif. Dalam arti yang sederhana kata ‗fungsi‘ dapat dipandang sebagai padanan kata ‗penggunaan‘. Berbicara mengenai fungsi bahasa, Halliday mengartikan fungsi bahasa sebagai cara seseorang dalam menggunakan bahasa mereka, atau bahasa- bahasa mereka bila mereka berbahasa lebih dari satu (Halliday, 1992: 20). Menurut Gorys Keraf (2004: 3) fungsi bahasa terbagi menjadi 4, yakni: 1) Alat untuk Menyatakan Ekspresi Diri, 2) Alat Komunikasi, 3) Alat mengadakan Interaksi dan Adaptasi Sosial, dan 4) Alat Mengadakan Kontrol Sosial. Penjelasan lebih lengkap sebagai berikut.

1. Alat untuk Menyatakan Ekspresi Diri.

  Bahasa sebagai alat ekspresi diri digunakan untuk menyatakan segala sesuatu yang digunakan manusia sebagai media membebaskan dari semua tekanan dan emosi.

  Ekspresi diri juga bertujuan untuk menarik perhatian orang lain terhadap kita. Misalkan bahasa pada anak- anak. Bahasa yang digunakan berkembang untuk menyatakan ekspresi diri. Ketika anak-anak mulai belajar berbahasa dan mulai memerlukan kata-kata untuk menyatakan ekspresinya, misalnya ketika ia sedang marah ataupun lelah, anak-anak mengekspresikan apa yang dirasa melalui bahasa sehingga tekanan dan emosi jiwanya dapat tersalurkan. Misalnya: ih, sebel, aduh, dsb.

  Hal itu berlangsung hingga dewasa.

  2. Alat Komunikasi.

  Dengan komunikasi kita dapat menyampaikan semua yang kita rasakan, pikirkan, dan kita ketahui kepada orang lain. Komunikasi tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila ekspresi yang kita tunjukkan kepada orang lain tidak dapat dipahami oleh orang lain. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan cara untuk menyampaikan maksud, menciptakan asosiasi dengan orang lain, dan mengeluarkan apa yang kita rasa. Bahasa sebagai alat komunikasi mengalami perkembangan dari jaman ke jaman sesuai dengan perkembangan intelektual manusia dan kekayaan cipta- karya manusia sebagai hasil dari kemajuan intelektual itu sendiri. Bahasa juga memungkinkan manusia menganalisa masa lampaunya untuk memetik pengalaman yang berguna bagi masa kini dan masa yang akan datang.

  3. Alat Mengadakan Interaksi dan Adaptasi Sosial.

  Sebagai anggota masyarakat yang mulai belajar mengenal segala adat- istiadat, tingkah laku, dan tata- krama seseorang akan mencoba menyesuaikan diri atau adaptasi dengan anggota masyarakat lainnya. Adaptasi ini bertujuan agar seseorang dapat hidup tentram dan harmonis dengan masyarakat. Agar dapat hidup tentram dan harmonis manusia pun memerlukan bahasa yakni bahasa masyarakat setempat. Bila ia dapat menyesuaikan dirinya maka ia pun dengan mudah membaur (integrasi) dengan segala macam tata-krama di dalam masyarakat tersebut.

4. Alat Mengadakan Kontrol Sosial.

  Semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat di atur dengan menggunakan bahasa. Tuturan pertama kali dimaksudkan untuk mendapat tanggapan, baik tanggapan yang berupa tuturan, maupun tanggapan yang berupa tindakan atau perbuatan. Bahasa juga dapat ditunjukkan untuk mempengaruhi tingkah laku atau tindak tanduk orang lain. Misalnya seorang ibu akan kehilangan wibawanya jika dalam menyampaikan arahan kepada anak-anaknya dengan menggunakan bahasa yang kacau dan tidak teratur. Kekacauannya akan menggagalkan upayanya untuk mempengaruhi tindak laku anak- anaknya.

C. Wacana

  Menurut Chaer (2007: 267) wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, dalam wacana itu terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apa pun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat- kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya.

  Wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Wacana juga berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Unsur pembeda yang bentuk wacana dengan bentuk bukan wacana yakni terlihat pada keutuhan maknanya. (Mulyana, 2005: 1-5).

  Berdasarkan definisi dan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa wacana yakni keseluruhan tuturan yang merupakan satu kesatuan bahasa yang lengkap. Satuan pendukungnya dapat meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Wacana juga berkaitan dengan tindakan yang dilakukan dengan verbal maupun nonverbal.

D. Konteks Tuturan

  Menurut Leech (2011: 20) konteks telah diberi berbagai arti: antara lain diartikan sebagai aspek- aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama- sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur dan yang membantu mitra tutur menafsirkan makna tuturan. Wijana (1996: 11) menjelaskan konteks tuturan adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting sosial disebut konteks.

  Konteks juga dapat diartikan sebagai situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami (Mey dalam F.X Nadar, 2009: 4). Menurut (Leech dalam F.X Nadar 2009:6), konteks ialah latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu.

  Berdasarkan definisi dan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah segala aspek yang berhubungan dengan lingkungan fisik maupun sosial yang sesuai dari tuturan tersebut. Konteks tuturan juga dapat diartikan sebagai konteks yang berkaitan dengan situasi untuk berinteraksi antara penutur dengan mitra tutur agar tuturan mereka dapat dipahami. Contohnya konteks orang yang sedang marah. Jika penutur dan lawan tutur memiliki pemahaman dan interpretasi yang sama maka apa yang dimaksud penutur akan diterima oleh lawan tuturnya.

E. Pragmatik

  Yule (2006: 3) mengemukakan pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan- tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik juga merupakan suatu istilah yang mengesankan bahwa sesuatu yang sangat khusus dan teknis sedang menjadi objek pembicaraan, padahal istilah tersebut tidak mempunyai arti yang jelas (Levinson dalam F.X. Nadar, 2009: 5).

  Menurut Tarigan (2009: 31) pragmatik adalah telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara kita menafsirkan kalimat. Sementara Rohmadi (2004:65), pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat konteks. Konteks memiliki peranan kuat dalam menentukan maksud penutur dalam berinteraksi dengan lawan tutur.

  Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa pragmatik yaitu studi tentang makna yang terikat dengan konteks dan tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari- hari. Pragmatik juga dapat diartikan sebagai studi bahasa yang mempelajari aspek kebahasaan, ujaran- ujaran yang sesuai dengan konteks baik langsung maupun tidak.

F. Pengertian Novel Novel (Inggris: novel) merupakan karya sastra yang seringkali disebut fiksi.

  Bahkan dalam perkembangannya novel kemudian dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris

  —dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia—berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti ‗sebuah barang baru yang kecil‘, dan kemudian diartikan sebagai ‗cerita pendek dalam bentuk prosa‘ (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010: 9). Menurut Nurgiyantoro (2010: 4), novel merupakan sebuah karya sastra fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain- lain yang bersifat imajinatif. Keterkaitan satu aspek dengan aspek yang lain inilah yang dapat membuat sebuah novel layak atau tidak untuk dinikmati.

  Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan novel adalah karya sastra fiksi yang berisi tentang model kehidupan dan ditautkan dengan berbagai unsur intrinsik maupun ekstrinsiknya. Unsur intrinsik novel meliputi alur, tema, tokoh dan penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsiknya meliputi nilai pendidikan, sosial budaya, adat istiadat dan religi. Novel juga dapat diartikan sebagai suatu cerita fiksi yang berisi mengenai kehidupan manusia dengan menonjolkan sifat dari setiap pelaku. Keterkaitan aspek yang saling mendukung dengan aspek lainnya merupakan faktor utama untuk sebuah novel layak atau tidak untuk dinikmati.

G. Perbedaan Novel, Cerpen, dan Novelet

  Perbedaan antara novel dengan cerpen yang paling utama dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, segi panjang cerita. Sebuah cerita yang panjang, katakanlah berjumlah ratusan halaman, jelas tidak dapat disebut cerpen, melainkan lebih tepat sebagai novel. Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe (Jassin, 1961: 72), sastrawan kenamaan dari Amerika itu, mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira- kira berkisar antara setengah sampai dua jam – suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.

  Walaupun sama- sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500- an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (midle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. Karya sastra yang disebut novelet adalah karya sastra yang lebih pendek daripada novel, tetapi lebih panjang daripada cerpen. Katakanlah pertengahan di antara keduanya. Cerpen yang panjang yang terdiri dari puluhan ribu kata tersebut, barangkali, dapat disebut juga sebagai novelet. Sebagai contoh misalnya, Sri Sumarah dan juga Bawuk.

  Perbedaan yang lainnya, yakni mengenai pencapaian sifat kepaduan. Novel jauh lebih sulit dibandingkan dengan cerpen. Novel umumnya terdiri dari sejumlah bab yang masing- masing berisi cerita yang berbeda. Hubungan antar bab, kadang- kadang, merupakan hubungan sebab akibat, atau hubungan kronologis biasa saja, bab yang satu merupakan kelanjutan dari bab (-bab) yang lain. Jika membaca satu bab novel saja secara acak, kita tidak akan mendapatkan cerita yang utuh, hanya bagaikan membaca sebuah pragmen saja. Keutuhan cerita sebuah novel meliputi keseluruhan bab. Hal semacam ini tidak akan kita temui jika membaca cerpen yang telah mencapai keutuhan dalam bentuknya yang pendek, yang barangkali, sependek satu bab novel (Nurgiyantoro: 2010: 10- 14).

H. Tindak tutur 1. Pengertian Tindak Tutur

  Menurut Chaer dan Leonie Agustina (2004:50) istilah dan teori mengenai tindak tutur mula- mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul How to do Thing with

  

Word? Tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle

  (1969) menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of

  

Languange . Menurut Chaer (2010: 27), tindak tutur merupakan tuturan dari seseorang

yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu.

  Serangkaian tindak tutur tersebut akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event ).

  Tindak tutur (speech act) merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu (Chaer dalam Rohmadi, 2004: 29). Menurut Chaer dan Leonie Agustina (2004:50), tindak tutur merupakan gejala individu yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur aspek yang lebih dilihat yakni pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur juga merupakan gejala dalam suatu proses yakni proses komunikasi. Sementara menurut Searle (dalam Rohmadi, 2004:29) menegaskan bahwa tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, perintah atau yang lainnya.

  Berdasarkan pendapat dari para ahli, dapat disimpulkan tindak tutur merupakan gejala individual yang dapat dilihat dari makna atau maksud tindakan dalam tuturan tersebut. Makna tersebut dapat berupa pernyataan, pertanyaan, perintah. Tindak tutur juga dapat diartikan sebagai aktivitas mengajarkan tuturan dengan maksud pesan atau perintah akan dimengerti oleh pendengar.

2. Bentuk Tindak Tutur

  Searle (dalam Rohmadi, 2004: 30-32) dalam bukunya Speech Acts: An Essay

  

In The Philosophy of Language mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-

  tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act) untuk menyatakan sesuatu, tindak ilokusi (ilocutionary

  

act ) untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dan tindak perlokusi (per

locutionary act ) untuk mempengaruhi lawan tuturnya.

a. Tindak Lokusi

  Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh tindak lokusi terdapat pada kalimat (1)

  ―kemarin ayahku sakit‖. Kalimat tersebut diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi, karena dalam pengidentifikasiannya tindak lokusi tidak memperhitungkan konteks tuturannya.

b. Tindak Ilokusi

  Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Tuturan (1) jika diucapkan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan pernikahan temannya, maka ilokusinya adalah untuk meminta maaf. Tindak ilokusi sangat sulit diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tuturnya serta kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi. Ibrahim (1993:16-43) mengklasifikasikan tindak ilokusi menjadi empat jenis. Keempat tindak ilokusi tersebut yakni sebagai berikut: 1) Konstatif, 2) Direktif, 3) Komisif, 4) Acknowledgments. Penjelasan lebih lengkap sebagai berikut.

1) Konstatif (constatives)

  Secara umum, constative merupakan ekspresi kepercayaan yang dibarengi oleh ekspresi maksud. Mitra tutur membentuk atau memegang kepercayaan yang serupa atas apa yang dituturkan oleh penuturnya. Jika penutur menuturkan suatu ucapan mengenai kepercayaan, sangat jelas mitra tutur memegang kepercayaan yang diberikan dari penututrnya. Penutur mengatakan (2) ―tolong jaga pulpen saya”. Penutur mengucapkan seperti itu memiliki indikasi kepada mitratutur untuk menjaga barang miliknya. Tindak tutur bentuk ini dapat berupa menyatakan, memprediksi, melaporkan, menasehati, menilai dan membenarkan.

  2) Direktif (directives)

  Direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitratutur. Tindak tutur direktif mengekspresikan maksud penutur (keinginan, harapan) sehingga ujaran atau sikap yang diekspresikan dijadikan sebagai alasan untuk bertindak oleh mitratutur. Jika penutur mengatakan saya ingin makan ayam goreng itu, maka ujaran yang diucapkan oleh penutur dijadikan alasan untuk mitratutur agar segera membelikannya. Jenis dari tindak tutur direktif ini dapat berupa meminta, bertanya, memerintah, melarang, memberikan izin, dan menasehati.

  3) Komisif (comissives)

  Tindak tutur comissives merupakan satu kategori tindak ilokusi yang mewajibkan seseorang menolak atau melakukan sesuatu yang dispesifikasi dalam proposisinya. Dalam bentuk tindak tutur komisif, misalkan seseorang diminta untuk melakukan kegiatan A. Maksud perlokusi yang sesuai yakni mitra tutur percaya penutur memiliki maksud dan kepercayaan dan penutur sendiri percaya bahwa mitra tutur diwajibkan untuk melakukan A, paling tidak jika kondisinya memungkinkan.

  Bentuk komisif ini dapat dibedakan menjadi menjanjikan dan menawarkan.

  4) Acknowledgments (pengakuan)

  Tindak tutur Acknowledgments mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur, baik yang berupa rutinitas ataupun yang murni. Perasaan dan pengekspresiannya cocok untuk jenis situasi tertentu. Tindak tutur bentuk ini seringkali disampaikan bukan karena perasaan yang benar- benar murni tetapi karena ingin memenuhi harapan sosial sehingga perasaan itu perlu diekspresikan. Misalnya, penyampaian salam mengekspresikan rasa senang karena bertemu atau melihat seseorang. Begitu juga dengan berterimakasih mengekspresikan rasa syukur karena telah menerima sesuatu. Jenis dari tindak tutur ini yakni ekspresi penyesalan, belasungkawa, mengucapkan selamat, mengucapkan salam, mengucapkan terimakasih, harapan, penerimaan, dan menolak.

c. Tindak Perlokusi

  Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tuturan yang diucapkan penutur memiliki efek atau daya pengaruh kepada lawan tutur. Tindak perlokusi disebut sebagai The Act of

  

Affecting Someone . Tuturan (1) jika diucapkan oleh seseorang yang tidak dapat

  menghadiri undangan teman, maka perlokusinya adalah agar orang yang mengundangnya dapat memaklumi. Menurut Wijana dalam Rohmadi (2009:31-35) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, tindak tutur langsung literal dan tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal dan tindak tutur tidak langsung tidak literal.

1) Tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung

  Secara formal kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interrogative) dan kalimat perintah (imperative). Secara konvensional kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan atau permohonan. Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech). Sebagai contoh:

  (3) Riri memiliki tas baru (4) Di mana sekolahmu? (5) Tutup jendela itu!

  Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah. Tindak tutur tidak langsung ialah tindak tutur untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Seperti contoh seorang ayah menyuruh untuk mengambil buku, diungkapkan dengan (6)

  ―Ani, bukunya di mana?‖ kalimat (6) selain untuk bertanya juga untuk memerintah anaknya untuk mengambil buku.

2) Tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal

  Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata- kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat berikut: ―Kondektur itu kerjanya bagus‖. Kalimat (7) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau mengangumi hasil kerja kondektur yang dibicrakan, maka kalimat itu merupakan tindak tutur literal. Tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata- kata yang menyusunnya.

  Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat berikut: (8) ―Kerjamu bagus, tapi kamu tidak usah bekerja‖. Pada kalimat (8) penutur bermaksud mengatakan bahwa kerja lawan tuturnya tidak bagus, yaitu d engan mengatakan ―Tak usah bekerja‖. Tindak tutur pada kalimat (8) merupakan tindak tutur tak literal.

3) Tindak tutur langsung literal dan Tindak tutur tidak langsung literal

  Tindak tutur langsung literal ialah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya:

  (9) Ambilkan papan itu! (10) Ghina gadis yang manis (11) Berapa gurumu, Mad? Sedangkan tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata- kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Seperti contoh pada kalimat: (12)

  ―Bajunya kotor‖. Kalimat (12) itu jika diucapkan seorang majikan kepada pembantu bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk mencucinya.

  4)

Tindak tutur langsung tidak literal dan Tindak tutur tidak langsung tidak

literal

  Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata- kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Seperti contoh pada kalimat: (13)

  ―Celanamu bagus, kok‖. Penutur sebenarnya ingin mengatakan bahwa celana lawan tuturnya jelek. Sedangkan tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai yang kotor, sang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat (14)

  ―Lantainya bersih sekali, mbok‖.

I. Tindak Tutur Direktif

  Ibrahim (1993: 27) menjelaskan tindak tutur direktif merupakan ekspresi sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitratutur. Selain itu, tindak tutur direktif merupakan ekspresi maksud penutur (keinginan dan harapan) sehingga ujaran atau sikap yang diekspresikan dijadikan alasan untuk bertindak oleh mitra tutur.

  Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang dituturkan oleh penutur dengan maksud agar si mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan itu.

  Menurut Ibrahim (1993: 29-33) tindak tutur direktif dibagi menjadi 6 yaitu: requestives, questions, requirements, prohibitives, permissives, advisories .

1. Requestives (meminta)

  Tindak tutur yang mengekspresikan keinginan atau harapan penutur sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang terekspresikan sebagai alasan untuk bertindak disebut tindak tutur requestives. Tindak tutur requestives merupakan tindak tutur yang mengekspresikan keinginan, harapan dan juga maksud penutur. Yang termasuk dalam tindak tutur bentuk requestives yakni meminta, mengemis, memohon, menekan, mendoa, mengajak, dan mendorong.

  Contoh: (1)

  ―Saya akan senang sekali jika uang jajan saya ditambah bu, ku mohon.‖ Konteks tuturan: Dituturkan oleh anak kepada ibunya yang meminta uang jajan.

  Pada tuturan (1) dituturkan oleh anak kepada ibunya yang memiliki maksud tuturan untuk meminta uang jajan lebih. Si anak memohon kepada si ibu untuk ditambah uang jajannya. Tuturan yang diucapkan anak kepada ibunya tersebut sangat halus dan sopan sekali. Si anak tidak ingin meminta kepada ibunya dengan cara kasar. Si anak merasa kurang dan ingin ada uang jajan tambahan dari ibunya. Oleh sebab itu, si anak meminta lebih uang jajan untuknya. Bentuk tuturan tersebut yakni tuturan dalam bentuk requestives jenis meminta.

2. Questions (pertanyaan)

  Tindak tutur question (bertanya) mendeskripsikan apa yang diinginkan penutur kepada mitra tutur melalui pertanyaan. Jenis dari tindak tutur ini yakni bertanya dan menginterogasi. Perbedaan dari kedua jenis tindak tutur questions ini terletak kepada teknisnya. Bertanya hanya sekedar ingin tahu tetapi jika interogasi bukan hanya sekedar ingin tahu tetapi lebih dalam untuk mengetahui suatu informasi. Tindak tutur questions memiliki pengertian bahwa apa yang diinginkan penutur adalah mitratutur memberikan kepada penutur mengenai suatu informasi tertentu.

  (2) ―Eh kenapa belum siap juga?‖ Konteks tuturan: Dituturkan oleh seorang teman kepada temannya yang ingin mengajak jalan dan tergesa-gesa karena mereka akan telat menonton pada jam 15.00

  Jika tuturan (2) dituturkan oleh teman yang satu ke teman yang lain memiliki maksud agar temannya lebih cepat dalam bersiap-siap. Penutur menginginkan temannya segera cepat karena waktunya sudah telat. Bioskop yang menjadi tempat tujuan mereka jam tayangnya mulai pukul 15.00 tetapi pukul 14.50 belum bersiap- siap. Oleh sebab itu penutur bertanya kepada mitratutur kenapa belum siap padahal waktu sudah menunjukkan pukul 14.50 dan bioskop mulai tayang pukul 15.00. Bentuk tuturan tersebut yakni tuturan dalam bentuk questions jenis bertanya.

  3. Requirements (perintah)

  Tindak tutur perintah yaitu tindak tutur yang mengekspresikan maksud penutur, yakni mitra tutur menyikapi ujaran penutur sebagai alasan untuk bertindak, dan dengan demikian ujaran penutur dijadikan alasan penuh untuk bertindak. Tindak tutur perintah seringkali dibuat rancu dengan permohonan. Pada jenis tindak tutur ini maksud yang diekspresikan penutur yakni mitra tutur menyikapi ujaran penuturnya yang dijadikan alasan penuh untuk bertindak. Yang termasuk ke dalam tindak tutur

  

requirements yakni memerintah, menghendaki, mengkomando, menuntut, mendikte,

mengarahkan, menginstruksikan, mengatur, dan mensyaratkan.

  (3) ―Tolong buang sampah pada tempatnya, Intan!‖

  Konteks tuturan: Dituturkan oleh Kak Dannis kepada Intan yang membuang sampah sembarangan Tuturan (3) dituturkan oleh Kak Dannis kepada Intan yang memiliki maksud agar Intan tidak membuang sampah sembarangan dan lebih menjaga kebersihan.

  Maksud dari perintah yang dituturkan oleh Kak Dannis kepada Intan adalah lingkungan menjadi asri dan tidak terjadi banjir di lingkungan rumah tempat tinggalnya. Kak Dannis bermaksud agar intan tidak melakukan hal sepele yang berakibat fatal. Bentuk tuturan tersebut yakni tuturan dalam bentuk requirements jenis memerintah.

  4. Prohibitives (larangan)

  Tindak tutur prohibitives adalah tindak tutur yang melarang mitra tutur untuk mengerjakan sesuatu. Konsep jenis tindak tutur prohibitives tidak hanya melarang atau membatasi, tetapi ada keterkaitan dengan perintah atau suruhan. Sebenarnya konsep melarang sama halnya dengan menyuruh untuk tidak melakukan kegiatan tersebut. Tujuan dari tindak tutur ini yakni agar mitra tutur tidak mengerjakan sesuatu yang disebutkan oleh penutur. Misalnya melarang orang merokok sama halnya menyuruhnya untuk tidak merokok. Yang termasuk ke dalam bentuk tindak tutur prohibitives yakni melarang dan membatasi.

  (4) ―Dilarang merokok!‖

  Konteks tuturan: Dituturkan oleh Ibu Isti kepada Pak Ibnu Tuturan (4) diucapkan oleh Ibu Isti kepada Pak Ibnu yang melarangnya untuk merokok di daerah kawasan bebas asap rokok. Ibu Isti mengatakan seperti itu karena

  Ibu Isti merasa terganggu dengan asap rokok yang dia hirup. Seharusnya kalau ada tulisan kawasan bebas asap rokok berarti benar- benar kawasan yang tidak akan menghirup asap rokok sedikitpun. Karena Ibu Isti merasa terganggu dengan keadaan seperti ini, maka Ibu Isti segara melarang Pak Ibnu untuk merokok di kawasan bebas asap rokok tersebut. Bentuk tuturan tersebut yakni tuturan dalam bentuk prohibitives jenis melarang.

5. Permissives (pemberian izin)

  Tindak tutur yang mengekspresikan kepercayaan penutur dan maksud penutur sehingga mitra tutur percaya bahwa ujaran penutur mengandung alasan yang cukup bagi mitra tutur. Alasan tersebut yaitu untuk bebas melakukan suatu tindakan tertentu. Tindak tutur ini berkonsep mitra tutur meminta izin atau memberi kebebasan dan penutur mengabulkan izin atas permohonan izin dari mitra tutur. Yang termasuk ke dalam tindak tutur permissives yakni menyetujui, membolehkan, memberi wewenang, menganugerahi, mengabulkan, membiarkan, mengijinkan, melepaskan, memaafkan dan memperkenankan.

  (5) ―Ya sudah kamu boleh belajar kelompok. Tetapi, pulangnya jangan malam- malam ya.‖

  Konteks tuturan: Dituturkan oleh Ibu kepada Ani

  Tuturan (5) merupakan tuturan yang dituturkan Ibu kepada Ani yang menyetujui Ani untuk belajar kelompok bersama teman- temannya. Tetapi, walaupun Ibu sudah menyetujui Ani untuk belajar kelompok ibu tetap mengingatkan kepadanya agar pulangnya tidak kemalaman. Ibu menyetujui Ani untuk belajar kelompok sebab Ani akan ada test UAS disekolahnya. Oleh sebab itu, karena ada tes inilah ibu menyetujui Ani untuk belajar bersama teman- temannya. Bentuk tuturan tersebut yakni tuturan dalam bentuk Permissives jenis menyetujui.

6. Advisories (nasihat)

  Segala apa yang telah diekspresikan penutur bukanlah keinginan kepercayaan mitra tutur bahwa apa yang diekspresikan penutur merupakan hal yang baik untuk kepentingan mitra tutur. Maksud dari tindak tutur ini yakni mitra tutur menyikapi penutur untuk percaya bahwa penutur sebenarnya memiliki sikap yang dia ekspresikan dan mitra tutur melakukan tindakan yang disarankan untuk dilakukan. Yang termasuk ke dalam tindak tutur bentuk advisories yakni menasehatkan, memperingatkan, mengkonseling, mengusulkan, menyarankan, mendorong.

  (6) ―Jangan melanggar tata tertib pak… Nanti terjadi kecelakaan siapa yang mau tanggung jawab!‖

  Konteks tuturan: Dituturkan oleh Amir kepada Pak Agus yang melanggar tata tertib lalu lintas

  Tuturan (6) dituturkan oleh Amir kepada Pak Agus dengan tujuan menasehatkan agar tidak terjadi kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Amir menasehatkan pak Agus yang berniat menerobos lampu merah. Seharusnya jika dalam lalu lintas lampu merah itu tanda untuk berhenti. Kalau Pak Agus tidak berhenti bagaimana kendaraan dari arah lain yang akan segara jalan. Nanti kalau sudah terjadi baru akan terasa akibatnya. Amir tidak ingin Pak Agus mengalaminya. Oleh sebab itu Amir menasehatkannya. Bentuk tuturan tersebut yakni tuturan dalam bentuk Advisories jenis menasehatkan.