Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak

  616.979 2 Ind p

  Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak

  

Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

  k Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015 Kata Pengantar

  Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) serta Undang Undang Nomor

  23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan bahwa kesejahteraan merupakan urusan pemerintahan yang didaerahkan. Sementara itu, Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan kesakitan, kematian dan kecacatan yang tinggi sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan yang efektif dan efisien, secara komperehensif berkesinambungan sejak tingkat fasilitas pelayanan kesehatan primer (puskesmas) ke atas. HIV dan Sifilis merupakan penyakit menular langsung yang dapat menginfeksi ibu dan ditularkan ke bayi sejak dalam kandungan, persalinan maupun menyusui. Setiap Puskesmas, baik di kawasan perkotaan, kawasan perdesaan maupun kawasan terpencil/sangat terpencil, sebagai penanggung jawab kesehatan wilayah setempat berkewajiban melaksanakan upaya kesehatan masyarakat (UKM) essensial berupa promosi kesehatan atau penyuluhan peningkatan pengetahuan komprehensif masyarakat tentang pencegahan penularan HIV-AIDS dan

  IMS serta pencegahan dan pengendalian penyakit menular melalui deteksi atau penemuan dini HIV/AIDS dan IMS. Dengan demikian pemerintah daerah kabupaten/kota dan provinsi memiliki peran dan tanggung jawab penting untuk pelaksanaan operasionalnya sebagai standar pelayanan minimal kesehatan dasar masyarakat. Buku Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak ini merupakan panduan standar dan kriteria penilaian akreditasi fasyankes primer maupun lanjutan disamping untuk menentukan situasi epidemi dan intervensinya di masing-masing wilayah kabupaten/kota atau provinsi. Tujuannya dari penyusunan buku Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak adalah untuk memenuhi hak rakyat di seluruh Indonesia dalam bidang kesehatan dan kebutuhan kesehatan masyarakat yang merata serta menjamin generasi masa depan yang berkualitas serta bebas dari penyakit menular langsung, khususnya HIV dan Sifilis dan membuka akses kesehatan yang layak dalam pembangunan kesehatan secara menyeluruh yang mantap, memiliki keunggulan kompetitif sesuai struktur budaya dan sosial serta dilayani oleh sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang berkualitas. Oleh karena itu buku ini dilaksanakan terintegrasi dalam kegiatan Anternal Care terpadu yang lengkap dan berkualitas.

  Buku Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak ini diharapkan dapat mewujudkan pemerataan akses layanan kesehatan seluruh masyakarat, khususnya ibu hamil dan pemerataan pemahaman bagi penyelenggara dan pelaksana dalam memenuhi hak dan kewajiban rakyat di bidang kesehatan dengan baik dan benar maupun pihak pihak yang terkait lainnya. penghargaan dan terima kasih kami sampaikan pada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan buku ini dan bila mana perlu dapat di sempurnakan atau di revisi di kemudian hari, sesuai dinamika managemen program dan pelayanan menurut situasi dan kondisi di layanan serta perubahan kebijakan dan regulasi kesehatan yang berlaku.

  Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

Sambutan

Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak

  Pelayanan antenatal yang baik dan berkualitas merupakan pelayanan yang dapat memberikan perlindungan kesehatan selama ibu menjalankan kehamilannya. Saat ini cakupan pelayanan antenatal kunjungan pertama (akses K1) sudah cukup tinggi, yaitu 81,6% (Riskesdas 2013). Namun cakupan pelayanan antenatal K4 (kualitas) baru mencapai 70,4%. Tujuan pelayanan antenatal berkualitas diantaranya adalah mencegah dan mendeteksi dini masalah atau penyakit yang diderita ibu hamil dan janinnya. Keadaan yang dapat berdampak negatif tersebut antara lain dapat disebabkan oleh infeksi HIV dan sifilis pada ibu hamil. Lebih dari 90% kasus anak yang terinfeksi HIV tertular penyakit melalui proses penularan dari ibu ke anak.

  Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat persalianan dan saat menyusui. Sifilis, seperti infeksi menular seksual lainnya, meningkatkan risiko penularan HIV sebesar 3-5 kali. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67% kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis kongenital. Kajian WHO di beberapa negara Asia Pasifik menunjukkan bahwa skrining HIV dan sifilis pada ibu hamil yang dilaksanakan bersamaan dalam pelayanan antenatal sangat cost-effective untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak dan upaya eliminasi sifilis kongenital. Dalam upaya meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, Kementerian Kesehatan telah menyusun Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke

  

Anak. Dengan diintegrasikannya pemeriksaan tes sifilis pada ibu hamil dalam upaya tersebut,

  maka pedoman itu disesuaikan menjadi Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan

  

HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Pedoman yang telah direvisi ini ditujukan untuk meningkatkan

  kemampuan manajemen bagi pengelola program di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota sampai ke Puskesmas. Untuk peningkatan kemampuan klinis petugas kesehatan telah disusun pula Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Petugas Kesehatan.

  

Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak ini

  diharapkan dapat menjadi acuan penyelenggaraan pelayanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan sifilis untuk ibu hamil. Pedoman ini selain ditujukan untuk para pengelola program juga dapat digunakan sebagai acuan bagi pemberi pelayanan kesehatan di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan fasilitas kesehatan tingkat pertama serta rujukan tingkat lanjutan. Kesamaan persepsi antara pengelola program dan pelaksana pelayanan diperlukan dalam mendukung upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak serta upaya eliminasi sifilis kongenital.

  Jakarta, Januari 2015

  A N KE RI S E E T

  Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA

  H N A E T A M E N Direktorat Jenderal

  K Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak

  R

  IA E Dr Anung Sugihantono, MKes

  P S E U N BL O

  IK

  I ND

  k Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015 Daftar Isi

  Kata Pengantar iii

  Sambutan Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak iv Daftar Isi v

  Daftar Singkatan vi

  Definisi viii

  1 BAB I Pendahuluan

  1.1 Latar Belakang

  1

  1.2 Kebijakan dan Strategi

  1

  1.2.1 Kebijakan

  2

  1.2.2 Strategi

  2

  1.3 Tujuan

  3

  1.4 Sasaran

  3 BAB II Upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak

  4

  2.1 Epidemiologi HIV dan Sifilis

  4

  2.1.1 Epidemiologi HIV dan AIDS

  4

  2.1.2 Epidemiologi Sifilis

  5

  2.2 Perkembangan Program PPIA

  7

  2.3 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak

  9

  2.3.1 Prong 1 : Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi 9

  2.3.2 Prong 2 : Pencegahan Kehamilan Tidak Terencana pada Perempuan dengan HIV

  9

  2.3.3 Prong 3 : Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak

  10

  2.3.4 Prong 4 : Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial, Medis dan Perawatan 10

BAB III Pengelolaan Program PPIA

   12

  3.1 Perencanaan

  12

  3.2 Pelaksanaan

  13

  3.3 Pemantauan dan Evaluasi

  17

  3.3.1 Kegiatan

  17

  3.3.2 Indikator

  19

  3.4 Pencatatan dan Pelaporan

  20

  3.4.1 Pencatatan

  20

  3.4.2 Pelaporan

  20

  3.5 Pengorganisasian

  21

  3.5.1 Pihak yang Terkait

  22

  3.5.2 Peran Pemangku Kepentingan Utama

  23

  3.6 Jejaring PPIA/LKB

  24 BAB IV Penutup

   26 Daftar Pustaka

   27 Lampiran

  Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015 Daftar Singkatan

  AIDS : Acquired immune-deficiency syndrome ARV : Anti retroviral drugs BOK : Bantuan Operasional Puskesmas BPM : Bidan Praktek Mandiri FKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama HIV : Human immunodeficiency virus

  IBBS : Integrated Bio-Behavioural Surveillance

  IBI : Ikatan Bidan Indonesia

  IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia

  IDI : Ikatan Dokter Indonesia

  IDU : Injecting drug use

  IMS-ISR : Infeksi Menular Seksual-Infeksi Saluran Reproduksi KDS : Kelompok Dukungan Sebaya KIE : Komunikasi Informasi Edukasi KPAD : Komisi Penanggulangan AIDS Daerah KTS : Konseling dan Tes Sukarela LBT : Laki-laki Berisiko Tinggi LKB : Layanan Komprehensif Berkesinambungan LSL : Lelaki yang Berhubungan Seks dengan Lelaki ODHA : Orang Dengan HIV-AIDS PAPELKI : Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Indonesia PDP : Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Lebih Lanjut PDS Patklin : Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik PERDOSKI : Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia PERSAGI : Persatuan Ahli Gizi Indonesia PKPR : Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja PKRT : Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu PMTCT : Prevention of mother-to-child transmission POGI : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Polindes : Pondok Bersalin Desa Poskesdes : Pos Kesehatan Desa Posyandu : Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu PPIA : Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak PPNI : Persatuan Perawat Nasional Indonesia PPPKMI : Perkumpulan Promosi dan Pendidikan Kesehatan Masyarakat Indonesia PUS : Pasangan Usia Subur Pusling : Puskesmas Keliling

  k Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

  Pustu : Puskesmas Pembantu SIHA : Sistem Informasi HIV dan AIDS SKPDKB : Satuan Kerja Perangkat Daerah Keluarga Berencana STBP : Survei Terpadu Biologi dan Perilaku TB : Tuberkulosis TIPK : Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan dan Konseling UNAIDS : United Nations Programme on HIV and AIDS UPF : Unit Pelayanan Fungsional WPS : Wanita Pekerja Seks

  Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015 Definisi

  Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja)

  : Suatu wadah kegiatan program PKBR yang dikelola dari, oleh dan untuk remaja guna memberikan pelayanan Ekspansi : Perluasan Epidemi : Mewabahnya penyakit dalam komunitas/daerah tertentu dalam jumlah yang melebihi batas jumlah normal atau yang biasa Epidemiologi : Ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan dari peristiwa kesehatan dan peristiwa lainnya yang berhubungan dengan kesehatan yang menimpa sekelompok masyarakat dan menerapkan ilmu tersebut untuk memecahkan masalah-masalah tersebut

  Infeksi oportunistik : Penyakit yang jarang terjadi pada orang sehat, tetapi menyebab- kan infeksi pada individu yang sistem kekebalannya terganggu, termasuk infeksi HIV

  Inflamasi : Proses peradangan karena cedera fisik, kimiawi, infeksi, atau reaksi alergi yang ditandai oleh bengkak kemerahan, panas, dan nyeri pada jaringan

  Morbiditas : Derajat sakit, cedera atau gangguan pada suatu populasi Mortalitas : Angka rata-rata kematian penduduk di suatu daerah atau wilayah; proporsi kematian akibat penyakit tertentu Prevalensi : Jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah Ulserasi : Luka pada lapisan mukosa

  k Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

BAB I. PENDAHULUAN

  g : n

  1.1 Latar belakang

  Laporan Epidemi HIV Global UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa jumlah penderita HIVdi dunia mencapai : 34 juta orang. Sekitar 50% di antaranya adalah perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun.

  : Di wilayah Asia Selatan dan Tenggara terdapat sekitar 4 juta orang dengan HIV dan AIDS. Menurut Laporan Kemajuan Program HIV dan AIDS WHO/SEARO 2011, di wilayah Asia Tenggara terdapat sekitar 1,3 juta

  : a orang (37%) perempuan terinfeksi HIV. Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman, yang selanjutnya mereka menularkan pada pasangan seksualnya yang lain. Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut meninggal sebelum ulang tahun kedua.

  :

  • Sampai dengan tahun 2013, kasus HIV dan AIDS di Indonesia telah tersebar di 368 dari 497 kabupa- ten/kota (72 %) di seluruh propinsi. Jumlah kasus HIV baru setiap tahunnya mencapai sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2013 tercatat 29.037 kasus baru, dengan 26.527 (90,9%) berada pada usia reproduksi (15-49 tahun) dan 12.279 orang di antaranya adalah perempuan. Kasus AIDS baru pada

  : au kelompok ibu rumah tangga sebesar 429 (15%), yang bila hamil berpotensi menularkan infeksi HIV ke bayinya.

  : Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak

  : u

  (PPIA) atau Prevention of Mother-to-Child HIV Transmission (PMTCT) merupakan intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut. Upaya ini diintegrasikan dengan upaya eliminasi : u sifilis kongenital, karena sifilis meningkatkan risiko penularan HIV di samping mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan kepada bayi seperti pada infeksi HIV. :

  Dalam upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, layanan PPIA dan pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA). Hal ini dilakukan melalui pelayanan antenatal terpadu baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun rujukan. Untuk meningkatkan cakupan dan pelayanan PPIA, Kementerian Kesehatan telah melakukan beberapa kegiatan, antara lain: i) pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat memberikan pelayanan PPIA; ii) penigkatan kemampuan klinis melalui TOT fasilitator dan pelatihan bagi petugas kesehatan; dan iii) penyusunan buku pedoman petunjuk pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak bagi petugas kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah dan non-pemerintah. Untuk meningkatkan kemampuan manajemen bagi pengelola program PPA telah disusun Pedoman

  Nasional PPIA. Dengan adanya berbagai perubahan kebijakan dan perlunya pemutakhiran data

  program PPIA, maka dilakukan revisi terhadap Pedoman tersebut. Dengan diintegrasikannya pemeriksaan tes sifilis pada ibu hamil dalam upaya PPIA, maka pedoman itu disesuaikan menjadi

  Pedoman Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Pedoman yang telah direvisi ini

  ditujukan untuk meningkatkan kemampuan manajemen bagi pengelola program di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota sampai ke Puskesmas.

  1.2 Kebijakan dan Strategi

  Kebijakan dan strategi Program PPIA pada dasarnya mengacu kepada Sistem Kesehatan Nasional, kebijakan Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual, kebijakan Program Kesehatan Ibu serta kebijakan nasional yang terkait lainnya.

  Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

  b. pertologan persalinannya, baik pervaginam atau melalui bedah sesar, dilakukan berdasarkan indikasi medis ibu/bayinya dan dengan menerapkan kewaspadaan standar untuk pencegahan infeksi;

  3. Perlu adanya jejaring pelayanan PPIA sebagai bagian dari Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang melibatkan peran swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun komunitas secara keseluruhan.

  2. Semua fasilitas pelayanan kesehatan dapat memberikan pelayanan PPIA sesuai dengan pendekatan ekspansi bertahap.

  1. PPIA dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan ekspansi bertahap.

  1.2.2 Strategi Strategi Program PPIA sebagai berikut.

  8. Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten merencanakan ketersediaan logistik (obat dan reagen/tes HIV) melalui koordinasi dengan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes.

  d. diberi konseling KB secara khusus dan penjelasan tentang risiko penularan infeksi HIV dan sifilis dari ibu kepada bayi, sejak perawatan antenatal, dengan menyampaikan pilihan metoda kontrasepsi yang sesuai dengan pedoman pelayanan.

  c. diberi konseling menyusui secara khusus sejak perawatan antenatal pertama dengan menyam-paikan pilihan yang ada sesuai dengan pedoman pelayanan, yaitu ASI eksklusif atau susu formula eksklusif. Bila ibu memilih susu formula, maka ibu, pasangannya serta keluarga perlu mendapat konseling cara penyiapan dan pemberian susu formula yang memenuhi persyaratan;

  a. wajib diberi obat ARV dan mendapatkan pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan lebih lanjut (PDP). Demikian pula halnya dengan ibu hamil yang positif sifilis wajib diberi terapi sifilis yang memadai;

  1.2.1 Kebijakan Kebijakan Program PPIA sebagai berikut.

  7. Setiap ibu hamil yang positif HIV:

  b. pelimpahan wewenang kepada tenaga kesehatan lain yang terlatih dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan setempat berdasarkan rekomendasi dari Kepala Laboratorium Rujukan Provinsi. Penetapan daerah yang memerlukan pelimpahan wewenang petugas ditetapkan oleh Kepala Dinkes setempat.

  6. Daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan yang mampu/berwenang memberikan pelayanan PPIA, pelayanan tersebut tetap dilakukan dengan cara: a. merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan HIV yang memadai;

  5. Di daerah epidemi HIV rendah, tes HIV dan sifilis diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS, berisiko tertulari HIV, IMS dan TB. Pemeriksaan dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin pada waktu pemeriksaan antenatal sampai menjelang persalinan.

  4. Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi , tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan tes HIV dan sifilis kepada semua ibu hamil sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin pada waktu pemeriksaan antenatal sampai menjelang persalinan.

  3. Setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan remaja yang mendapat layanan kesehatan diberi informasi tentang PPIA.

  2. Pelaksanaan kegiatan PPIA diintegrasikan pada layanan KIA, Keluarga Berencana (KB) dan Konseling Remaja di setiap jenjang pelayanan kesehatan dengan ekspansi secara bertahap dan melibatkan peran non-pemerintah, LSM dan komunitas.

  1. PPIA merupakan bagian dari Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS dan upaya kesehatan ibu dan anak.

  4. Daerah menetapkan wilayah yang memerlukan pelimpahan wewenang petugas.

  k Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

  5. Ketersediaan logistik (obat dan reagen) dan menentukan petugas yang diberi wewenang melakukan tes HIV.

  1.3 Tujuan

  Tujuan umum Program PPIA adalah mencegah penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak dan meningkatkan kualitas hidup ibu dan anak yang terinfeksi HIV dan sifilis dalam rangka menurunkan kejadian kasus baru HIV pada bayi dan kejadian sifilis kongenital. Tujuan khususnya sebagai berikut.

  a. Mencegah terjadinya kasus baru HIV pada bayi dan terjadinya sifilis kongenital melalui pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak.

  b. Meningkatkan kelangsungan hidup ibu dan anak akibat HIV/AIDS dan/atau sifilis serendah mungkin, khususnya di daerah dengan epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi.

  c. Meningkatkan kualitas hidup ibu hamil dan anak dengan HIV dan sifilis.

  1.4 Sasaran Sasaran dari pedoman ini adalah sebagai berikut.

  a. Pengelola program Kesehatan di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmas.

  b. Pemangku kepentingan, baik Pemerintah maupun non-pemerintah, yang terkait dengan penyediaan layanan HIV-AIDS dan IMS.

  c. Tenaga kesehatan, yaitu dokter spesialis, dokter umum, bidan, perawat dan tenaga terkait lainnya yang bertugas di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan rujukan tingkat lanjutan, termasuk fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan non-pemerintah.

  Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

BAB II. UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN SIFILIS DARI IBU KE ANAK Seperti telah dikemukakan dalam Bab I, upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak

  ↓ ↑

  diintegrasi-kan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital. Namun demikian, istilah PPIA tetap

  ↓ ↓ digunakan untuk menyebut upaya integratif tersebut. ↑ ↔

2.1 Epidemiologi HIV dan Sifilis

  ↑ ↑

  Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan beban

  ↑ ↑

  morbiditas bahkan mortalitas di negara berkembang. Mencegah dan mengobati IMS dapat mengurangi risiko penularan HIV melalui hubungan seksual. Keberadaan IMS dalam bentuk inflamasi atau ulserasi akan meningkatkan risiko masuknya infeksi HIV saat melakukan hubungan seksual tanpa pelindung antara seseorang yang telah terinfeksi IMS dengan pasangannya yang sehat.

  Pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA), sifilis meningkatkan daya penularan HIV. Berbagai penelitian di banyak negara melaporkan bahwa infeksi sifilis dapat meningkatkan risiko penularan HIV sebesar 3-5 kali. Saat ini prevalensi HIV dan sifilis di antara ibu hamil di Indonesia belum diketahui secara luas. Namun telah diketahui bahwa semakin banyak ditemukan bayi yang tertular HIV atau sifilis dari ibunya. Keberadaan kedua infeksi tersebut secara bersamaan menurunkan kualitas dan umur harapan hidup.

2.1.1 Epidemiologi HIV dan AIDS

  Sejak pertama kali ditemukan kasus HIV di Indonesia pada tahun 1987 di Bali sampai dengan Juni 2014, kasus HIV/AIDS telah tersebar di 381 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh propinsi Indonesia. Estimasi prevalensi HIV secara nasional diperkirakan mencapai 0.41% (2013) dan variasi antar-propinsi berkisar antara 0.1%-3%. Propinsi Papua dan Papua Barat mempunyai situasi khusus, karena epidemi HIV sudah menyebar di populasi umum sejak tahun 2006 dan pada tahun 2013 mencapai prevalensi 2.3%. Dengan demikian Tanah Papua telah berada dalam tingkat epidemi HIV

  meluas, sedangkan sejumlah propinsi lainnya berada dalam tingkat epidemi HIV terkonsentrasi.

  Dalam 10 tahun terakhir, penularan HIV telah bergeser dari penularan melalui penggunaan alat suntik tidak steril di kalangan pengguna napza suntik (penasun) menjadi transmisi melalui hubungan seksual. Berdasarkan estimasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2012, di Indonesia terdapat sekitar 9 juta penduduk yang berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV. Dari jumlah tersebut, terdapat kurang lebih 75.000 penasun, 250.000 wanita pekerja seks langsung dan tidak langsung (WPSL dan WPSTL), 1,15 juta laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dan waria; serta 7 juta laki-laki pembeli seks (laki-laki berisiko tinggi/LBT). Selain itu terdapat sekitar 5 juta pasangan risiko tinggi, termasuk ibu rumah tangga yang sangat rentan tertular HIV.

  Pada tahun 2007, 2009, 2011 dan 2013, Kementerian Kesehatan melakukan Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP). Lokasi STBP 2007 sama dengan STBP 2011m sedangkan STBP 2009 sama dengan STBP 2013, yang dijadikan acuan dalam melakukan perbandingan. Dari hasil STBP, dapat disimpulkan bahwa prevalensi HIV menurun atau stabil pada penasun dan WPS namun meningkat di kalangan waria dan LSL. Dengan adanya peningkatan prevalensi HIV pada kelompok populasi kunci (Lihat Tabel 1) dan besarnya jumlah populasi LBT (pelanggan), diproyeksikan akan terjadi peningkatan infeksi baru HIV pada perempuan risiko rendah dan LSL, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

  k Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015 Tabel 1. Kecenderungan Prevalensi HIV

POPULASI KUNCI

  IBBS 2007

IBBS 2011 TREND

  IBBS 2009

IBBS 2013 TREND

  Penasun

  29.8

  19.5

  8.8

  14.4 ↓ ↑ WPS Tak Langsung

  5.3

  3.1

  3.5

  1.5 ↓ ↓ WPS Langsung

  8.4

  9.0

  5.7

  6.1 ↑ ↔ Waria

  9.8

  11.9

  5.8

  8.2 ↑ ↑ LSL

  1.9

  6.5

  2.5

  7.4 ↑ ↑ Sumber: STBP 2007, 2009, 2011 dan 2013, Kementerian Kesehatan

  Gambar 1. Estimasi infeksi baru berdasarkan populasi kunci 2000-2030 Sumber: ICA Report 2014

  Sejak beberapa tahun terakhir, penularan HIV pada pasangan pelanggan WPS meningkat. Ini terlihat pada jumlah ibu rumah tangga yang dilaporkan tertular AIDS, menempati posisi pertama. Dari tahun 1987 sampai bulan Juni 2014, secara kumulatif, jumlah ibu rumah tangga yang menderita AIDS sebanyak 6.516 orang. Persentase penderita AIDS yang dilaporkan pada kurun waktu tersebut menurut faktor risiko terbanyak ditemukan pada kalangan heteroseksual (61,5%), diikuti dengan kelompok IDU (17,1%) dan perinatal (2,7%).

  Jumlah ibu hamil yang terinfeksi HIV juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2011, jumlah ibu hamil dengan HIV sebanyak 534 orang yang kemudian meningkat menjadi 1.182 orang pada bulan Januari-Juni 2014. Sementara itu jumlah bayi dengan HIV juga meningkat, yaitu sebanyak 71 bayi pada tahun 2011 menjadi 86 bayi pada bulan Januari-Juni 2014.

2.1.2 Epidemiologi Sifilis

  IMS merupakan faktor yang mempermudah penularan HIV atau berperan sebagai kofaktor terhadap

  1

  infeksi HIV . Penanggulangan HIV tanpa penanggulangan IMS akan menyebabkan upaya yang dilakukan menjadi tidak efektif. IMS tidak hanya mengancam populasi dengan perilaku berganti-ganti pasangan, tetapi juga dapat ditularkan pada populasi umum, yaitu pasangan penderita IMS dan janin/bayi dari ibu hamil dengan IMS.

1 Regional strategy for the prevention and control of STIs 2007-2015, WHO SEARO.

  Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67% kehamilan akan berakhir

dengan abortus, lahir mati atau sifilis kongenital pada neonatus. Pencegahan penularan sifilis dari ibu

ke bayi dapat dilakukan dengan deteksi dini melalui skrining pada ibu hamil dan mengobati ibu yang

terinfeksi sifilis dan pasangannya. Pada tahun 2007 dilakukan skrining sifilis dengan menggunakan

rapid test di tiga propinsi yang mencakup empat kabupaten/kota di DKI Jakarta, Kalimantan Barat

dan Jawa Barat. Skrining tersebut dilakukan terhadap 2.332 ibu hamil yang datang pada kunjungan

pertama antenatal. Hasilnya menunjukkan bahwa 24 orang (1,45%) di antara ibu hamil tersebut

terinfeksi sifilis.

  

Prevalensi dan kejadian komplikasi IMS pada saat ini masih cukup tinggi. Meskipun upaya

pengendalian IMS telah dilakukan, prevalensi IMS di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang

berarti. Hasil STBP 2011 menunjukkan prevalensi sifilis yang cukup tinggi di kalangan populasi kunci,

yaitu 10% pada WPSL, 9% pada LSL, 25% pada waria dan 2% pada penasun. Prevalensi gonorea juga

cukup tinggi, yaitu 38% pada WPSL, 21% pada LSL, dan 29% pada waria. Prevalensi tersebut masih

jauh lebih tinggi dari target pengendalian IMS, yaitu sifilis kurang dari 1% dan gonorea kurang dari

  2 10% pada populasi kunci .

  

Data pelaporan rutin layanan kesehatan pada Subdirektorat AIDS dan PMS melalui Sistem Informasi

HIV dan AIDS (SIHA) tahun 2012-2014 juga memperlihatkan tingginya angka positif pemeriksaan sifilis

di kalangan populasi kunci. Untuk semua populasi kunci, angka tersebut masih terlalu tinggi (Gambar

2).

   Gambar 2. Persentase tes sifilis positif pada populasi kunci yang mendapat layanan kesehatan

  3 Sumber: SIHA 2012-2014 (Laporan tahun 2014 hanya mencakup pelaporan Januari-Juni 2014)

Demikian pula pada populasi antara, angka kejadian IMS masih cukup tinggi. Data SIHA 2012-2014

menunjukkan tingginya kejadian duh tubuh uretra dan ulkus genital pada kelompok pelanggan

pekerja seks (Gambar 3). Angka kejadian duh uretra yang tinggi pada populasi antara ini dapat

menggambarkan besarnya peluang penularan IMS dari populasi antara ke populasi umum. Pada

populasi umum, tahun 2013 tercatat sebanyak 52.032 kunjungan ibu hamil ke layanan IMS. Hampir

setengahnya (25.506) mendapat tes sifilis dan ditemukan hasil positif pada 572 ibu hamil. Angka

kejadian sifilis pada ibu hamil dengan demikian adalah 2% di antara mereka yang mendapat tes sifilis

atau 1.1% di antara mereka yang mengunjungi layanan IMS. Ibu hamil yang menerima pengobatan

  4 sifilis tercatat sebanyak 676 orang .

  

Angka ini masih terlalu tinggi bila dibandingkan dengan target yang ditetapkan untuk populasi umum

  5 yakni 0,1% .

  2 Kemenkes RI. Rencana aksi pengendalian IMS-ISR sebagai strategi nasional 2008-2012.

  3 Angka positif pemeriksaan tes sifilis adalah jumlah hasil tes positif di antara mereka yang dites sifilis. Data SIHA berasal dari laporan lebih dari 800 fasyankes, sementara terdapat lebih dari 9000 fasyankes di Indonesia.

  4 Data GF/SubDit PMS dan AIDS

  5 Rencana aksi pengendalian IMS-ISR sebagai strategi nasional 2008-2012.

  k Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015 Gambar 3. Persentase Duh Tubuh Uretra dan Ulkus Genital pada pelanggan WPS yang mengunjungi fasyankes

  Pada tahun 2013 diperkirakan ter- dapat 5,3 juta ibu hamil di Indone-

  6 sia . Dengan perkiraan rentang prevalensi sifilis pada ibu hamil antara 0,5-3,0% diperkirakan ter- dapat 26.500-159.000 kehamilan dengan sifilis di Indonesia setiap tahunnya. Janin dari ibu hamil de- ngan sifilis yang tidak diobati dapat mengakibatkan kematian perinatal hingga 40%, yaitu lahir mati 25% dan kematian neonatal

  7 15% .

  Sumber: SIHA 2012-2014 Sampai bulan Juni tahun 2014 penapisan dengan tes sifilis pada kunjungan antenatal baru dilakukan pada 24.022 ibu hamil. Beban tersebut belum memperhitungkan kom-plikasi IMS lainnya, seperti gonorhea dan klamidia yang dapat menyebabkan abortus, kelahiran prematur dan kematian neonatal. Agar penapisan IMS pada ibu hamil efektif dalam mencegah kesakitan dan kematian janin/neonatus tersebut, maka diperlukan peningkatan cakupan penapisan, baik melalui tes sifilis maupun tes untuk IMS lainnya.

  Semua data IMS pada populasi kunci, antara dan umum di atas menunjukkan bahwa IMS belum terkendali dengan baik di Indonesia. Dengan pengendalian yang baik, prevalensi IMS pada ketiga populasi tersebut akan menurun. Penurunan prevalensi IMS akan berkontribusi terhadap penurunan penularan HIV, penurunan tingkat komplikasi, kesakitan dan kematian yang terkait dengan IMS.

2.2 Perkembangan Program PPIA

  Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004, khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV tinggi. PPIA merupakan bagian dari upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS lainnya melalui pelayanan KIA. Pada saat itu, upaya yang dilakukan terfokus pada penyusunan pedoman nasional, penyusunan modul pelatihan, pelatihan PPIA, pembentukan jejaring pelayanan dan memulai pembenahan sistem pencatatan dan pelaporan. Pada waktu itu pemeriksaan HIV pada ibu hamil hanya dilakukan pada ibu dengan perilaku berisiko.

  Sebagai akibat dari adanya stigma dan perilaku diskriminatif di lingkungan kesehatan pada awal upaya PPIA, serta kurangnya perhatian dan dukungan dari pengelola program, maka pengembangan program berjalan lambat. Hingga akhir tahun 2011 baru terdapat 94 layanan PPIA (Kemenkes, 2011), yang baru menjangkau sekitar 7% dari perkiraan jumlah ibu hamil yang memerlukan layanan PPIA. Untuk perluasan jangkauan dan akses layanan bagi masyarakat, Program PPIA juga dilaksanakan oleh beberapa lembaga masyarakat.

  Peningkatan akses program dan pelayanan PPIA selanjutnya ditingkatkan untuk mengendalikan penularan HIV dari ibu ke anak, seiring dengan semakin banyak ditemukan ibu hamil dengan HIV. pada tahun 2013 Kementerian Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan No 001/GK/2013 tentang Layanan PPIA yang disertai dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) PPIA 2013-2017. Dengan terbitnya surat edaran

6 Kemenkes RI. Subdirektorat Bina Kesehatan Ibu Hamil

  Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

  tersebut,kegiatan PPIA diintegrasikan ke dalam pelayanan KIA, KB dan konseling remaja. Surat edaran tersebut selanjutnya diperkuat oleh Peraturan Menteri Kesehatan No 51/2013 tentang Pedoman PPIA dan Peraturan Menteri Kesehatan No 21/2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.

  Berdasarkan surat edaran tersebut, semua ibu hamil di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi dalam pelayanan antenatal wajib mendapatkan tes HIV yang inklusif dalam pemeriksaan laboratorium rutin, bersama tes lainnya, sejak kunjungan pertama sampai menjelang persalinan. Untuk daerah epidemi rendah, tes HIV diprioritaskan untuk ibu hamil dengan IMS dan tuberkulosis (TB).

  

Boks 1. Tes HIV pada ibu hamil

  • Di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi: semua ibu hamil wajib mendapatkan tes HIV
  • Di daerah epidemi rendah: tes HIV diprioritaskan untuk ibu hamil dengan IMS dan tuberkulosis Selain perubahan kebijakan tersebut, terdapat juga perubahan di tingkat global dalam cara pengobatan ARV pada ibu hamil yang menetapkan bahwa semua ibu hamil dengan HIV diberi pengobatan ARV segera tanpa memperhitungkan jumlah CD4 dan umur kehamilan, serta pengobatan ARV diberikan seumur

  

hidup. Persalinan pada ibu dengan HIV dapat dilakukan secara pervaginam dan pemberian ASI eksklusif

dengan mengikuti syarat-syarat tertentu. Semua ibu hamil dengan HIV diberi konseling dan pelayanan KB

  postpartum. Semua metoda kontrasepsi dapat digunakan oleh perempuan dengan HIV, kecuali kontrasepsi hormonal tertentu yang mengurangi efektivitas ARV. Untuk pencegahan penularan infeksi HIV tetap dianjurkan penggunaan kondom pada setiap hubungan seksual.

  

Boks 2. Ibu hamil dengan HIV: pengobatan, cara persalinan, KB dan pemberian ASI

  • Pengobatan ARV diberikan kepada ibu hamil segera setelah diketahui bahwa hasil tes HIV-nya positif tanpa memperhitungkan jumlah CD4 dan umur kehamilan
  • Persalinan pada ibu dengan HIV dapat dilakukan secara pervaginam, kecuali bila ada indikasi medis
  • Semua ibu hamil dengan HIV diberi konseling dan pelayanan KB postpartum. Semua metoda kontrasepsi dapat digunakan oleh perempuan dengan HIV, kecuali kontrasepsi hormonal tertentu yang mengurangi efektivitas ARV
  • ASI ekslusif dapat diberikan dengan mengikuti syarat-syarat tertentu
  • • Untuk pencegahan penularan infeksi HIV tetap dianjurkan penggunaan kondom pada setiap hubungan

    seksual

  Untuk meningkatkan kemampuan pengelola program dan petugas kesehatan, pada tahun 2013 diadakan pelatihan PPIA di 12 propinsi dengan kasus HIV-AIDS tinggi (Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Bali, Papua dan Papua Barat), yang mencakup 65 kabupaten/kota dan 166 puskesmas. Pada tahun 2013 fasilitas yang memberikan pelayanan PPIA meningkat sebanyak 108 rumah sakit dan 370 puskesmas. Jumlah ibu hamil yang dites HIV juga meningkat dari sebanyak 21.103 ibu hamil (2011) menjadi 137.000 ibu hamil (Januari- Juni 2014).

  Selanjutnya upaya PPIA berkembang dengan mengintegrasikan pencegahan sifilis kongenital ke dalamnya. Hal ini mengacu kepada hasil kajian WHO di beberapa negara Asia-Pasifik yang menunjukkan bahwa skrining sifilis pada ibu hamil yang dilaksanakan bersamaan dengan PPIA sangat

  

cost-effective untuk mencapai tujuan target eliminasi ganda (eliminasi HIV pada neonatus dan sifilis

  kongenital). Untuk melihat kelayakan dan efektivitas pendekatan ini dalam konteks Indonesia serta mencari model layanan yang bisa diterapkan, maka pada tahun 2013 Kementerian Kesehatan melakukan ujicoba dengan membuat wilayah percontohan untuk penerapan tes HIV dan sifilis pada ibu hamil dalam pelayanan antenatal di 4 kota (Bandung, Jakarta Barat, Surabaya dan Sorong) di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan. Hasil ujicoba ini nantinya akan menjadi model layanan yang akan diterapkan di Indonesia.

  k Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

2.3 Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak

  Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif dan berkesinambungan dalam empat komponen (prong) sebagai berikut.

  1. Prong 1: pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi.

  2. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV.

  3. Prong 3: pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil (dengan HIV dan sifilis) kepada janin/bayi yang dikandungnya.

  4. Prong 4: dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya.

  2.3.1 Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi

  Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia reproduksi tertular HIV. Komponen ini dapat juga dinamakan pencegahan primer. Pendekatan pencegahan primer bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi secara dini, bahkan sebelum terjadinya hubungan seksual. Hal ini berarti mencegah perempuan muda pada usia reproduksi, ibu hamil dan pasangannya untuk tidak terinfeksi HIV. Dengan demikian, penularan HIV dari ibu ke bayi dijamin bisa dicegah.

  Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE” sebagai berikut.

  1. A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi yang belum menikah.

  2. B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti

  • pasangan).

  3. C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan

  • kondom.
  • 4. D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.

  5. E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang benar mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.

  • Kegiatan yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer antara lain sebagai berikut.

  1. KIE tentang HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara individu atau kelompok dengan sasaran khusus perempuan usia reproduksi dan pasangannya.

  2. Dukungan psikologis kepada perempuan usia reproduksi yang mempunyai perilaku atau pekerjaan berisiko dan rentan untuk tertular HIV (misalnya penerima donor darah, pasangan dengan perilaku/pekerjaan berisiko) agar bersedia melakukan tes HIV.

  3. Dukungan sosial dan perawatan bila hasil tes positif.

  2.3.2 Prong 2: Mencegah Kehamilan Tidak Direncanakan pada Perempuan dengan HIV

  Perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan seksama sebelum memutuskan untuk ingin punya anak. Perempuan dengan HIV memerlukan kondisi khusus yang

  aman untuk hamil, bersalin, nifas dan menyusui, yaitu aman untuk ibu terhadap komplikasi

  kehamilan akibat keadaan daya tahan tubuh yang rendah; dan aman untuk bayi terhadap penularan HIV selama kehamilan, proses persalinan dan masa laktasi. Perempuan dengan HIV masih dapat melanjutkan kehidupannya, bersosialisasi dan bekerja seperti biasa bila mendapatkan pengobatan dan perawatan yang teratur. Mereka juga bisa memiliki anak yang bebas dari HIV bila kehamilannya direncanakan dengan baik. Untuk itu, perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu memanfaatkan layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi guna mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.

  

Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

  Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut.

  1. Meningkatkan akses ODHA ke layanan KB yang menyediakan informasi dan sarana pelayanan kontrasepsi yang aman dan efektif.

  2. Memberikan konseling dan pelayanan KB berkualitas tentang perencanaan kehamilan dan pemilihan metoda kontrasepsi yang sesuai, kehidupan seksual yang aman dan penanganan efek

  • samping KB.
  • 3. Menyediakan alat dan obat kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan dengan HIV.
  • 4. Memberikan dukungan psikologis, sosial, medis dan keperawatan.

  2.3.3 Prong 3: Mencegah Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Bayi

  • Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan penularan kepada janin atau
  • bayinya, maka risiko penularan berkisar antara 20-50%. Bila dilakukan upaya pencegahan, maka risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan pengobatan ARV yang teratur dan perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan anak yang terbebas dari HIV
  • melalui persalinan pervaginam dan menyusui bayinya. Pada ibu hamil dengan sifilis, pemberian
  • terapi yang adekuat untuk sifilis pada ibu dapat mencegah terjadinya sifilis kongenital pada bayinya.

  Pencegahan penularan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan sifilis ke janin/bayi yang dikandungnya mencakup langkah-langkah sebagai berikut.

  • 1. Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV dan sifilis.
  • 2. Menegakkan diagnosis HIV dan/atau sifilis.

  3. Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) dan Benzatin Penisilin (untuk sifilis) bagi ibu.

  • 4. Konseling persalianan dan KB pasca persalianan.
  • 5. Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta KB.

  6. Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.

  7. Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.

  8. Pemberian profilaksis ARV pada bayi.

  9. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi ibu selama hamil, bersalin dan bayinya. Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV dan sifilis serta mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak pada masa kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran.

  2.3.4 Prong 4: Dukungan Psikologis, Sosial, Medis dan Perawatan