Karya tulis tentang syair lagu

ESENSI KONTEMPLATIF DEHUMANISASI
PADA SYAIR LAGU IWAN FALS
SEBAGAI BAHAN AJAR APRESIASI SASTRA

Adi Yudo Hantoro
Guru MTs N 1 Banjarnegara
swarantara@gmail.com
Abstrak
Syair lagu Iwan Fals ditulis berdasarkan fenomena sosial,
memperlibatkan manusia sebagai objeknya. Beberapa syair lagu Iwan Fals
justru memotret dehumanisasi yang dialami masyarakat Indonesia. Esensi
dehumanisasi tersebut berpotensi untuk mengetuk nurani, membina jiwa halus,
berbudi, dan berbudaya, sehingga dapat dijadikan alternatif bahan pengajaran
sastra yang menarik. Penelitian ini mendeskripsikan esensi kontemplasi bentuk
dehumanisasi, korelasi bentuk dehumanisasi dengan fenomena sosial, dan
telaah kelayakan syair yang berkesan dehumanisasi sebagai bahan ajar
pembelajaran apresiasi puisi. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi
sastra dan historis dengan teknik analisis deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bentuk dehumanisasi dalam syair lagu Iwan Fals adalah
penghilangan nilai-nilai luhur kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kesucian
manusia serta penistaan terhadap hak-hak asasi manusia. Bentuk dehumanisasi

tersebut mengandung esensi manusia pada dasarnya memiliki nilai dan hak
yang sama, menempatkan manusia secara asasi sama memperkecil timbulnya
ketidakadilan dan kesenjangan. Syair lagu Iwan Fals memenuhi kriteria dan
layak untuk dijadikan bahan ajar apresiasi puisi sekolah menengah atas karena
kaya ajaran moral.
kata kunci : dehumanisasi, syair lagu, Iwan Fals, puisi, dan apresiasi
PENDAHULUAN
Puisi atau sajak dalam perkembangan budaya populer berhasil memasuki
ranah industri musik. Terlebih, sejak zaman renaisans puisi, sajak, dan syair
telah banyak dilagukan. Wellek (1990) mengulas singkat asumsi puisi yang
ditulis untuk dilagukan, banyak puisi ditulis untuk dijadikan musik, misalnya Aria
zaman Elizabeth dan Libretto untuk opera, termasuk Wagner yang menulis
drama-dramanya jauh sebelum dijadikan musik. Budaya populer telah
membawa antitesis pernyataan puisi besar saja yang patut diberi anugerah

1

dengan dijadikan nyanyian. Fakta yang terjadi, hampir sebagian besar para
pembuat lagu telah memilih bahasa dan kata puitis ke dalam syairnya.
Bentuk-bentuk syair lagu yang lahir dewasa ini berpijak dari kebutuhan,

cara pandang, pengetahuan dan problematika masyarakat mayor, menjadi
bagian dari industri budaya yang diproduksi untuk massa luas melalui pola-pola
industrial. Hal ini mengakibatkan semacam kapitalisme nilai dan mutu sastra
yang dengan sengaja atau tidak disengaja menjadi tempat untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi dalam komoditas budaya. Nilai mutu syair lagu yang
substandar dapat dicari dengan mempertimbangkan kebermanfaatan moralnya.
Syair lagu sebagai teks budaya populer yang sengaja dibuat oleh sebuah
kekuasaan besar dan diproduksi untuk konsumsi massa dapat dijadikan media
balik untuk melawan kekuatan dominan yang memimpin intelektualitas dan
moralitas. Fenomena-fenomena perlawanan yang demikian terdapat dalam
syair yang ditulis Virgiawan Litanto atau Iwan Fals. Syair lagu Iwan merekam
fenomena-fenomena yang melibatkan manusia dengan pemutarbalikan cara,
lahir sebagai bentuk interpretasi rekaman melalui media bahasa, emosi, dan
kesannya.
Makna yang ditawarkan syair lagu Iwan adalah pembelaan terhadap nilai
kemanusiaan, meskipun makna tersebut tersirat dalam bentuk dehumanisasi.
Dehumanisasi diartikan sebagai kemerosotan tata nilai manusia, terjadi ketika
nilai-nilai luhur dalam teks ideologi, budaya, dan agama tidak berfungsi efektif
sebagai pegangan hidup manusia sehari-hari (Muhaimin, 2012). Syair lagu Iwan
mengangkat soal manusia dan masyarakat yang menafikan martabat manusia,

baik dalam pribadi individu, maupun terhadap manusia lainnya. Pola utama
syair lagu Iwan sejalan dengan tugas sastra yang justru membuka kebobrokan
untuk dapat menuju ke arah pembinaan jiwa yang halus, manusiawi, dan
berbudaya. Nilai-nilai kemanusiaan inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan ajar apresiasi puisi dikarenakan syair lagu dapat digolongkan ke dalam
bentuk puisi populer.
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang diangkat dalam artikel ini
adalah sebagai berikut: (1) syair lagu Iwan Fals merupakan karya yang ditulis

2

berdasarkan fenomena sosial dengan memperlibatkan manusia sebagai
objeknya, (2) beberapa lagu Iwan Fals justru memotret dehumanisasi yang
dialami masyarakat Indonesia, dan (3) esensi dehumanisasi syair lagu Iwan
Fals berpotensi membina jiwa halus, berbudi, dan berbudaya. Penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan esensi kontemplasi dari bentuk dehumanisasi yang
muncul dan terefleksi dalam syair lagu Iwan Fals, mendeskripsikan kaitan
bentuk dehumanisasi dengan fenomena sosial, dan telaah kelayakan syair lagu
Iwan Fals yang berkesan dehumanisasi sebagai bahan ajar pengajaran sastra.


METODE
Penelitian ini menggunakan Sosiologi Sastra yang mengkaji karya sastra
dengan fenomena yang terjadi di masyarakat maupun negara dan pendekatan
historis yang mengutamakan sisi peristiwa. Sumber data penelitian ini adalah
teks syair lagu Iwan Fals dari berbagai album, dokumen, dan tulisan-tulisan
yang

dapat

mendukung

dan

memperkuat

hasil

penelitian.

Peneliti


mendengarkan dan membaca syair lagu-lagu karya Iwan Fals dari album yang
berbeda-beda secara hermeneutik dan heuristik sehingga terpilih dua puluh
lagu, yaitu Sarjana Muda (Album Sarjana Muda 1981), Bunga Trotoar (Album
SWAMI I 1989), Azan Subuh Masih di Telinga (Album Sugali 1984), Tarmijah
dan Problemnya (Album Opini 1982), Dalbo (Album Dalbo 1993), Gali-Gongli
(Aku Sayang Kamu 1986), Doa Pengobral Dosa (Album Sarjana Muda 1981),
Siang Seberang Istana (Album Sugali 1984), Sore Tugu Pancoran (Album Sore
Tugu Pancoran 1985), PHK (Album Wakil Rakyat 1987), Robot Bernyawa
(Album Swami II 1991), Bongkar (Album Swami 1989), Jangan Bicara (Album
Barang Antik 1984), Oemar Bakri (Album Best of the Best 2000), Senandung
Istri Bromocorah (Album KPJ 1985), Mereka Ada di Jalan (Album Belum Ada
Judul 1992), Bento (Album Swami 1989), Tikus-Tikus Kantor (Album Ethiopia
1986), Mencetak Sawah (Album Belum Ada Judul 1992), dan Ambulan Zigzag
(Album Sarjana Muda 1981).
Langkah selanjutnya menyoroti bentuk dehumanisasi yang tercermin
dalam kedua puluh syair lagu yang telah dipilih dan mengkritisinya, mencari

3


kaitan bentuk dehumanisasi yang ada dalam syair lagu Iwan Fals dengan
kenyataan dan sejarah (fenomena sosial), menilai kesan dehumanisasi pada
syair lagu apakah layak dijadikan sebagai bahan ajar, dan menyimpulkan hasil
analisis yang didasarkan pada data secara keseluruhan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Iwan Fals menuangkan perenungan dan tanggapan atas realitas
kehidupan yang dia tangkap dari koran dan media yang menjadi isu aktual
besar ke dalam bati-bait syairnya. Fenoma sosial yang berhasil dia tangkap dan
tanggapi dalam kisaran tahun 1980-an sampai dengan akhir tahun 1990-an
beberapa diantaranya masih eksis hingga saat ini. Ciri khusus dari syair lagu
Iwan adalah pemilihan diksi yang sederhana dan akrab di telinga masyarakat.
Penggunaan diksi yang akrab membuat syair lagu Iwan terkesan deskriptif,
detail, hidup, dan nyata.
Kepekaan dan kekritisan atas fenomena sosial yang terjadi dituangkan
ke dalam syair lagu dengan pilihan kata yang dia kuasai. Hal ini membuat syair
lagunya berkesan gamblang dalam mendeskripsikan fenomena yang berhasil
ditangkap lewat mata dan pikirannya, dan tak jarang, wujud penolakan
terhadap ketidakadilan yang dialami kaumnya terlahir dalam syair dengan
deskripsi jujur dan apa adanya. Kejujuran deskripsi ini dalam beberapa lagu

tertuang dalam bentuk dehumanisasi. Bentuk-bentuk dehumanisasi yang
terdapat dalam syair lagu Iwan Fals berupa penghilangan nilai-nilai luhur
(kebaikan, kebenaran, keindahan dan kesucian) dan penistaan terhadap hak
asasi yang dimiliki manusia.
Penghilangan terhadap nilai-nilai luhur dideskripsikan Iwan dengan
perlambangan situasi manusia yang hanya mengejar kebutuhan materi tanpa
mempedulikan etika dan moralitas yang mengikat dirinya. Manusia-manusia
yang dangkal berpikir dan hanya mementingkan keuntungan pribadi tersebut
adalah manusia materialis dan hedonis. Konsep manusia yang demikian Iwan
ekspresikan ke dalam lagu “Bento” dan “Tikus-Tikus Kantor”. Bento berasal dari
dialek bahasa Jawa Timur yang berarti “goblok” atau “bodoh sekali”, digunakan
4

untuk memberi sebutan sekaligus sindiran kepada manusia-manusia yang
menggunakan segala cara demi kepentingan pribadi. Harta yang melimpah
disebabkan bisnis Bento melibas apa saja tak peduli pihak lain rugi dan
menderita, sebab kesenangan yang demikian telah menjadi tujuan utama
hidup. Hal ini terdapat dalam larik Bisnisku menjagal jagal apa saja/ Yang

penting aku senang aku menan/ Persetan orang susah karena aku/Yang

penting asyik sekali lagi, asyik. Manusia materialis yang lain dilambangkan Iwan
sebagai tikus, tikus yang bekerja di kantor, memakai dasi, dan melahap apa
saja secara sembunyi-sembunyi, terdapat dalam larik Kucing datang cepat ganti

muka/ Segera menjelma bagai tak tercela/ Masa bodoh hilang harga diri/ Asal
tak terbukti, Ah, tentu sikat lagi/ Tikus-Tikus tak kenal kenyang/ Rakus-rakus
bukan kepalang. “Bento” dan “Tikus-Tikus Kantor” adalah manusia yang
mengalami dehumanisasi. Kehilangan kepekaan terhadap nilai-nilai luhur
manusia seperti kejujuran dan kepedulian dan mereka hanya peka dan
berorientasi terhadap materi.
Pada syair lagu Iwan, diskriminasi sosial dilukiskan melalui perbedaan
perlakuan berdasarkan status

sosial, bahkan

perlakuan

yang diterima

masyarakat dengan status sosial rendah lebih berkesan sewenang-wenang.

Sebagai contoh terdapat dalam syair “Ambulan Zigzag” lewat larik Suster cantik

datang/ Mau menanyakan/ Dia menanyakan data si korban/ Di jawab dengan
jerit kesakitan/ Suster menyarankan/ bayar ongkos pengobatan/ Ai sungguh
sayang korban tak bawa uang/ Suster cantik ngotot/ Lalu melotot/ Dan berkata
“Silahkan Bapak tunggu di muka!”. Bentuk diskriminasi dalam syair membawa
pesan bahwa menempatkan

manusia secara asasi

sama

memperkecil

kemungkinan hati dan jiwa untuk memilah manusia berdasarkan golongan
tertentu. Keadilan bukan hanya konsep yuridis, tapi juga berhakikat secara
konsep etis dan moral. Hal tersebut yang ada masa kini sering dilupakan
masyarakat yang memandang remeh kelas tertentu di bawah kelas mereka.
Wanita dari golongan miskin yang tersudut oleh himpitan kebutuhan
materi sebagian dari mereka terjerumus ke dalam lingkaran prostitusi. Syair

“Doa Pengobral Dosa” dan “Azan Subuh Masih di Telinga” menceritakan
5

perjuangan seorang Ibu dan sebagai perempuan dalam menghidupi dan
menyekolahkan anaknya dengan cara yang tragis, yaitu menjual diri. Fenomena
ini terdapat dalam petikan syair “Doa Pengobral Dosa” dalam larik Habis

berbatang batang/ Tuan belum datang/ Dalam hati/ Resah menjerit bimbang/
Apakah esok hari/ Anak-anakku dapat makan/ Oh Tuhan beri/ Setetes rezeki.
Dehumanisasi

pada

syair

tersebut

terletak

pada


perempuan

yang

mengindahkan nilai kesucian karena mengejar materi, tapi di sisi lain tidak ada
perlindungan

dan

jaminan

yang

pasti

untuk

menyambung

kehidupan

perempuan tersebut bersama anaknya. Syair lagu tersebut mengantarkan
manusia untuk tidak memandang hina dan menelisik lebih dalam tentang
sesuatu yang dianggap buruk, sebab terkadang kita menggeneralisasikan
bahwa semua perempuan yang terjerumus ke dalam lubang prostitusi adalah
manusia kotor dan hina. Manusia yang rendah status sosialnya masih berupa
manusia ketika dia mempedulikan manusia lain. Syair tersebut mengajarkan
untuk lebih peduli lagi terhadap manusia lain. Hujatan dan makian tidak
memberikan solusi namun pertolongan nyata yang seharusnya diberikan
kepada mereka yang terjerumus.
Pembelaan

terhadap

kaum

marginal

atas

tindak

ketidakadilan

disampaikan Iwan justru dalam bentuk penistaan terhadap hak-hak manusia.
Iwan mendeskripsikan kenyataan yang terjadi bahwa tindak pembungkaman
hak bicara, kejahatan kemanusiaan, katidakpastian akan kesejahteraan,
terlantarnya nasib anak jalanan, dan ketidakpastian perlindungan hak milik
masih tetap terjadi.
Pembungkaman tuntutan atas tunjangan pekerjaan yang dialami
pegawai kelas rendah ditulis dalam syair “Robot Bernyawa”. Manusia pekerja
yang hanya bisa menurut pada kebijakan pemerintah dan pabrik dilambangkan
sebagai robot, robot yang bernyawa. Hal ini terdapat dalam larik Orang

berkumpul bising suaranya/ Wajahnya merah dibakar marah/ Sang dewa nasib
sedang berduka/ Didepan pabrik minta keadilan/ Hanyalah janji membumbung
tinggi/ Tuntutan mereka membentur baja/ Terus bekerja atau di PHK.
Dehumanisasi dialami buruh yang dipaksa diam tidak diberi kesempatan

6

menuntut haknya. Hak bicara buruh dibungkam, gerakan mereka dibatasi.
Perusahaan berkuasa mengendalikan buruh lewat ancaman pemecatan. Lewat
syair di atas dapat diambil pesan bahwa masing-masing manusia mempunyai
hak untuk mengeluarkan pendapat dan berbicara, juga kepastian untuk
mendapatkan apa yang sudah menjadi hanknya.
.Kejahatan terhadap hak asasi kemanusiaan yang berkaitan dengan
penghilangan nyawa manusia dituangkan Iwan dalam syair “Senandung Istri
Bromocorah”. Fenomena ini tertuang dalam petikan larik Nak, mari berdoa/

Agar bapak selamat dari penembakan/ Berita gencar/ Disetiap lembaran koran/
Tentang dibunuhnya para bromocorah. Penembakan misterius merupakan
bentuk dehumanisasi sebab preman dan penjahat diadili tanpa adanya proses
peradilan yang jelas, tidak ada penghormatan terhadap nilai manusia, meskipun
yang bersangkutan adalah preman perlu disadari bahwa mereka juga manusia.
Penghilangan nyawa manusia untuk kepentingan tertentu melanggar hak asasi
manusia. Kasus penembakan misterius yang terjadi pada era 80-an merupakan
kejahatan kemanusiaan. Dengan demikian, diperlukan pemikiran lebih untuk
mencari alternatif penanganan terhadap kaum yang meresahkan dengan cara
yang manusiawi pula.
Ketidakpastian kesejahteraan ditulis Iwan dalam beberapa lagu, yaitu
lagu “Sarjana Muda”, “Guru Oemar Bakri”, “Tarmjah dan Problemnya”, “P.H.K”,
dan “Bunga Trotoar”. Tidak terjaminnya kesejahteraan tersurat dalam syair
“Guru Oemar Bakri” yang menceritakan kehidupan seorang guru. Fenomena
tersebut terdapat dalam larik Oemar Bakri/ Empat puluh tahun mengabdi/ Jadi

guru jujur berbakti memang makan hati/ Oemar Bakri/ Profesor dokter
insinyurpun jadi/ Tapi mengapa gaji guru Umar Bakri/ Seperti dikebiri. Dalam
lagu “Sarjana Muda”, “Guru Oemar Bakri”, “Tarmjah dan Problemnya”, “P.H.K”,
dan “Bunga Trotoar”, Iwan menggambarkan dehumanisasi dalam bentuk
ketidakpastian akan kesejahteraan pekerja. Buruh tidak mendapatkan gaji yang
sesuai, guru tidak mendapatkan tunjuangan yang layak, lapangan pekerjaan
sangat sedikit. Pembantu, buruh, guru, dan sarjana yang terdapat dalam syair
adalah korban dehumanisasi, sedangkan pelaku dehumanisasi adalah kekuatan

7

besar korporasi baik di pabrik maupun negara. Melalui syair tersebut diperoleh
sari bahwa keadilan dan kehidupan yang selaras dapat ditempuh dengan
menghargai hak-hak manusia yang lain.

Keadilan dapat merupakan

pemenuhan hak setiap orang untuk dihormati dan dipedulikan masing-masing
dengan derajat yang sama.
Bentuk perhatian Iwan yang lain dituangkan dalam apatisme masyarakat
terhadap nasib anak-anak jalanan. Permasalahan anak miskin dan anak jalanan
tanpa kejelasan nasib ditulis Iwan dalam syair “Dalbo”, “Gali Gongli”, “Siang
Seberang Istana”, “Sore Tugu Pancoran”, dan “Mereka Ada di Jalan”. Ketidak
pedulian masyarakat terhadap nasib anak jalanan salah satunya terdapat dalam
syair “Siang Seberang Istana” pada larik Seorang anak kecil bertubuh dekil/

Tertidur berbantal sebelah lengan/ Berselimut debu jalanan/ Kotak semir
mungil dan sama dekil/ Benteng rapuh dari lapar memanggil/ Gardu dan mata
para penjaga/ Saksi nyata yang sudah terbiasa. Pada syair lagu “Dalbo”, “Gali
Gongli”, “Siang Seberang Istana”, “Sore Tugu Pancoran”, dan “Mereka Ada di
Jalan”, Iwan Fals menggambarkan anak jalanan sebagai korban dehumanisasi
yang tidak diperhatikan oleh lingkungannya, di sisi lain masyarakat juga
mengalami dehumanisasi sebab acuh terhadap kesengsaraan yang dialami
anak-anak jalanan. Meskipun negara telah menjaminnya dalam UUD pasal 34,
namun masyarakat juga berkewajiban untuk memperhatikan kehidupan anak
jalanan. Anak jalanan yang ditelantarkan sudah sepatutnya menjadi tanggung
jawab bersama.
Bentuk dehumanisasi lainnya digambarkan Iwan dengan tidak terjaminan
perlindungan hukum terhadap hak milik atas tanah yang di alami oleh
masyarakat desa dalam syair “Mencetak Sawah”. Hal ini terdapat dalam larik

Kubaca koran pagi sambil ngopi/ Ada kabar menarik hati/ Konglomerat akan
mencetak sawah/ Di atas tanah milik siapa/ Untuk apa sawah sawah/ Pak
taniku sudah pergi/ Menjadi pejalan kaki yang sepi. Dalam syair lagu “Mencetak
Sawah” terdapat bentuk dehumanisasi yang menempatkan petani sebagai
korban pembangunan. Petani-petani tersebut kehilangan sawah tempat
mencari nafkah, terlepas sebab pembangungan menyudutkan petani. Pihak

8

yang menyudutkan petani adalah investor-investor dari kelas atas yang
mendapat dukungan dari pihak keamanan dan hukum.
Melalui dehumanisasi dalam syair-syair lagu Iwan Fals, dapat dipetik
pesan bahwa manusia pada dasarnya memiliki hak yang sama di mata manusia
lain. Menempatkan manusia secara asasi sama memperkecil timbulnya
ketidakadilan

dan

kesenjangan.

Syair

lagu

Iwan

Fals

yang

memuat

dehumanisasi mengajak pembaca untuk melihat kenyataan yang sebenarnya
dan menilik kembali kadar kemanusiaan dirinya, sehingga diharapkan dapat
menghargai manusia lainnya, dengan begitu mempunyai harga bagi dirinya
sendiri.
Dua puluh syair lagu karya Iwan Fals diciptakan dalam kisaran waktu
antara tahun 1980 sampai dengan akhir tahun 1990-an. Berpijak dari data
tersebut, peneliti mengaitkan syair lagu dengan keadaan dan pemerintahan
yang berkuasa pada masa itu, yaitu masa pemerintahan Orde Baru. Adnan
Buyung Nasution (dikutip Sulasmono dalam Mardimin, 2000:72) melukiskan
hakikat sistem pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru sebagai sebuah
pemerintahan totaliter, bukan demokrasi. Dengan meminjam pemikiran Hannah
Arendt, Buyung melukiskan penguasa totaliter sebagai penguasa yang berusaha
terus menerus mengendalikan dan menguasai setiap ekpresi dan gerak yang
melembaga di dalam masyarakat. Demi terwujudnya pembangunan ekonomi,
pemerintah membangun stabilitas politik melalui sentralisasi kekuasaan yang
dilakukan dengan pengucilan politik. Dengan demikian, pembangunan ekonomi,
paham kekeluargaan, dan stabilitas politik merupakan poin utama kebijakan
yang dilakukan pemerintah saat itu.
Pembangunan berkala meningkatkan pendapatan kaum miskin, namun
pendapatan yang diterima kum miskin jauh lebih rendah dari pendapatan kaum
menengah atas usaha dan industri yang dimilikinya. Hal ini memperlebar
kesenjangan antara si kaya dengan si miskin, kesenjangan ini tergambar dalam
syair lagu yang menceritakan anak jalan dan kaum pinggiran. Syair lagu
tersebut adalah “Siang Seberang Istana”, “Sore Tugu Pancoran”, “Dalbo”, “Gali
Gongli”, “Mereka ada di Jalan”, “Doa Pengobral Dosa”, dan “Azan Subuh Masih
9

di Telinga”. Kesenjangan antara kaum bawah dan kaum atas yang makin
melebar menimbulkan diskriminasi sosial. Diskriminasi sosial yang dialami
masyarakat tertuang dalam syair “Tarmijah dan Problemnya”, “Ambulance
Zigzag”, dan “Jangan Bicara”. Sementara pembangunan ekonomi sektor industri
terus berlangsung, perhatian negara pada daerah berkurang. Lapangan
pekerjaan terpusat pada daerah industri, yaitu perkotaan. Ini menyebabkan
banyak pengangguran. Jumlah penduduk dan lapangan indutri tidak sebanding.
Pengangguran yang mencari pekerjaan terdapat dalam lagu “Sarjana Muda”.
Para pelaku industri menginginkan biaya produksi yang lebih murah dengan
menekan gaji buruh. Otoriter pemerintah menular pada pelaku industri, ini
menyebabkan para buruh dibungkam bahkan diberhentikan. Peristiwa ini
terdapat dalam syair “Robot Bernyawa” dan “PHK”. Kerja manusia yang
dihargai rendah tidak hanya terjadi dalam golongan industri. Di lembaga formal,
golongan kecil pun tidak ditunjang kesejahteraan yang memadai. Fenomena ini
tergambar dalam syair “Oemar Bakri”.
Stabilitas politik digunakan untuk mendukung lancarnya pembangunan
ekonomi yang dijadikan jembatan legitimasi Orde Baru. Aparatur militer
digunakan untuk menekan kemungkinan timbulnya pemberontakan. Tindakan
aparat yang represif digunakan untuk penertiban dan penataan keamanan.
Fenomena ini tergambar dalam syair lagu “Senandung Istri Bromocorah” yang
menceritakan pemberantasan para preman dan gali dengan cara penembakan
pada taun 80-an. Selain dengan pemanfaatan aparatur, pemerintah melakukan
pelemahan sistematis terhadap organisasi masyarakat, termasuk buruh dan
pers. Pembungkaman terhadap hak protes buruh tersurat dalam lagu “Robot
Bernyawa”.
Paham kekeluargaan yang digunakan dalam pemerintahan membentuk
sistem paternalime yang mengindikasikan kepatuhan anak kepada kepala
keluarga “Bapak”. Paham ini membuat struktur vertikal yang menuntut sang
anak (bawahan) harus menghormati atasan. Kewenangan otoriter membuat
bawahan yang mempunyai kepentingan mencari jalan untuk dapat meluluhkan
hati “Bapak” atau pimpinannya, salah satunya adalah dengan memberi
10

kesenangan “Bapaknya” atau dengan menyuap. Dari sini masyarakat mengenal
sitilah “asal bapak senang”. Kolusi, korupsi, dan nepotisme

dituangan Iwan

dalam lagu “Bento” dan “Tikus-tikus Kantor”. Kong-kalikong membudaya dan
melibatkan para pelaku industri (yang sebagian besar adalah kaum kelas atas)
bekerjasama dengan pemerintah dan aparat melancarkan usahanya. Upaya
bisnis kotor yang melibatkan banyak pihak ini tak jarang menyingkirkan kaum
kecil. Fenomena ini terdapat dalam syair “Mencetak Sawah”, menceritakan
petani yang digusur dari tanahnya sendiri untuk kepentingan industri.
Syair lagu Iwan Fals memotret dehumanisasi yang terjadi di masyarakat
Indonesia. Dehumanisasi tersebut mempunyai korelasi dengan fenomenafenomena sosial dan membawa pesan tentang nilai-nilai kemanusiaan. Nilainilai kemanusiaan tersebut merupakan isi bahan ajar apresiasi sastra yang
bermanfaat memberikan pemahaman dan wawasan tentang kompleksitas
masalah kemanusiaan kepada siswa. Nilai kemanusiaan dan permasalahan
tentang manusia di dalam syair diharapkan membelajarkan siswa memahami
dirinya sebagai individu yang hidup di masyarakat. Muatan afektif tersebut
diharapkan juga mengilhami siswa dalam menjalani kehidupan bermasyarakat
dan bernegara sesuai dengan falsafah Pancasila. Selanjutnya, syair lagu akan
dipertimbangkan kelayakannya melalui aspek bahasa, psikologi, dan latar
belakang budaya.
Syair lagu akan ditelaah kali pertama berdasarkan aspek bahasa. Pada
aspek ini akan dibahas pilihan kata, bahasa figuratif, persajakan, dan
kesesuaian tingkat pemaknaan kosakata. Keempat bahan pertimbangan
tersebut akan dikaji apakah sesuai dengan tingkat kebahasaan siswa sekolah
menengah atas..
Syair lagu Iwan Fals menggunakan bahasa yang konkret deskriptif dan
sederhana. Dari aspek bahasa, kosa kata dan tata bahasa yang terdapat dalam
syair pada umumnya adalah kata dan bahasa yang akrab ditelinga. Penggunaan
kata konkret membuat syair lagu Iwan menjadi detail, hidup, dan nyata
sehingga membangun deskripsi kuat. Pendengar dan pembaca syair tertuntun
imajinasinya menuju ruang fiktif yang detail. Kaitannya dengan hal ini, pilihan

11

diksi yang dipakai Iwan berhasil menghidupkan citraan sebab bagaimana latar
belakang proses peristiwa dalam syair digambarkan dengan jelas. Usaha Iwan
dalam merealisasikan gambaran angannya ke dalam bait syair juga dapat
dilihat dari contoh petikan syair “Sore Tugu Pancoran” berikut. Si Budi kecil

kuyup menggigil/ Menahan dingin tanpa jas hujan/ Di simpang jalan Tugu
Pancoran/ Tunggu pembeli jajakan koran.
Syair “Sore Tugu Pancoran” mendeskripsikan bagaimana keseharian
Budi. Pada larik-larik syair “Sore Tugu Pancoran” Iwan menggunakan pilihan
kata kecil, kuyup, dingin, jas hujan, simpang jalan, dan jajakan guna
merealisasikan keadaan Budi yang tetap menjajakan korannya di waktu hujan.
Pilihan kata konkret yang dipakai Iwan tersebut sangat akrab di telinga
masyarakat termasuk bagi siswa. Pemilihan kata yang akrab ini mempermudah
siswa dalam mencari interpretasi syair, sebab pendeskripsian yang kuat
menguatkan bangun ruang imajinasi yang kuat.
Bahasa figuratif (kias) dalam syair lagu Iwan Fals tidak menuntut daya
tafsir yang tinggi. Berikut pembahasannya. Seorang anak kecil bertubuh dekil/

Tertidur berbantal sebelah lengan/ Berselimut debu jalanan/ Rindang pohon
jalan menunggu rela/ Kawan setia sehabis bekerja/ Siang di seberang sebuah
istana/ Siang di seberang istana sang raja. Dalam syair lagu berjudul “Siang
Seberang Istana”, bahasa figuratif yang dipakai tidak menuntut daya
interpretasi yang tinggi. Personifikasi larik Rindang pohon jalan menunggu rela
tidak menuntut daya tafsir yang tinggi. Kesederhanaan pengkiasan ini
mempermudah siswa untuk mengangankan imajinasinya.
Penilaian

syair

lagu

sebagai

bahan

ajar

apresiasi

puisi

juga

mempertimbangkan bahwa dalam syair lagu harus membelajarkan siswa
mengenai bahasa kiasan. Dalam syair lagu Iwan Fals bahasa kiasan yang
digunakan tidak rumit. Sebagai contoh analisis dalam lagu “Mencetak Sawah”,

petani, sawah, dan konglomerat merupakan metonomia sebagai atribut kaum
golongan petani dan kaum dari golongan atas konglomerat. Pemaknaan
tersebut akan membawa pertanyaan “apa yang terjadi antara petani dan

12

konglomerat?” juga “mengapa para konglomerat merebut lahan sawah para
petani?”.
Perkembangan bahasa siswa sekolah menengah tingkat atas termasuk
ke dalam tahap kompetensi lengkap. Pada tahap ini individu telah memiliki gaya
bahasanya sendiri dengan kosakata yang kompleks dan fasih serta lancar dalam
berkomunikasi dengan bahasa. Keterampilan dan performansi tata bahasa
(sintaksis) berkembang ke arah tercapainya kompetensi berbahasa secara
lengkap sebagai kompetensi komunikasi. Hasil penelaahan berdasarkan pilihan
kata, bahasa figuratif, dan tingkat pemaknaan syair menunjukkan bahwa syair
lagu karya Iwan Fals menggunakan pilihan kata yang akrab dipakai dalam
bahasa sehari-hari, ungkapan yang dipakai pun tidak membutuhkan interpretasi
tinggi. Berdasarkan segi bahasa, dua puluh syair lagu Iwan Fals tersebut layak
untuk digunakan sebagai bahan ajar.
Analisis kelayakan syair lagu karya Iwan Fals dari aspek psikologi
berdasarkan kesesuaian syair dari segi emosional dan intelektual siswa.
Pertimbangan dari aspek psikologi lebih menekankan pada kedekatan
emosional karya sastra dengan siswa. Syair lagu Iwan tidak diragukan
kedekatannya dengan siswa sekolah. Syair lagu Bongkar misalnya, lagu ini
kerap muncul di media sebagai bentuk ekspresi protes. Masa remaja adalah
masa pencarian jati diri yang kadang kala semangat pencarian dalam dirinya
berapi-api. Semangat membara yang dimiliki remaja merupakan sebuah energi
potensial yang perlu diolah. Syair lagu “Bongkar” dapat mengarahkan semangat
siswa yang membara untuk tanggap terhadap penyelewengan nilai kebenaran
dengan mau bertindak kritis dan berbicara.
Tema tanggung jawab dan bakti anak kepada orang tua terdapat dalam
syair lagu “Sarjana Muda”. Dalam syair lagu ini dilukiskan seorang pemuda
gelisah sebab tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Kegelisahan yang dialami
pemuda disebabkan karena dia harus menghadapi kenyataan bahwa lamaran
pekerjaan yang diajukannya mendapatkan penolakan, di sisi lain pemuda
tersebut juga mempunyai tanggung jawab moral dengan gelar kesarjanaannya.
Pergolakaan batin yang demikian secara emosional mampu diangankan oleh

13

batin siswa sekolah menengah atas. Pergolakan batin yang demikian juga dapat
membelajarkan siswa bagaimana menghadapi kenyataan yang sesungguhnya
sebab tidak semua anak sekolah menengah atas mampu meneruskan
pendidikan dan sebagian dari mereka mau tidak mau harus bekerja. Rasa
bersalah pemuda yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan di dalam syair lagu
ini juga mengajarkan siswa untuk kembali menimbang kasih, budi, dan jasa
orang tua yang telah bekerja keras untuk dapat menyekolahkan anaknya. Rasa
berslah pemuda tersebut adalah kegelisahan sebab merasa belum mampu
membahagiakan ibu atau orang tua.
Tingkat perkembangan intelektual siswa sekolah menengah atas
termasuk ke dalam stadium kognitif tahap formal operasional. Pada tahap ini
individu mengembangkan pikiran formalnya. Mereka bisa mencapai logika dan
rasio serta menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka
mengerti. Dehumanisasi di dalam syair lagu karya Iwan Fals merupakan cara
yang diguanakan Iwan Fals untuk menyampaikan maksud pesan yang berisi
pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Siswa sekolah menengah atas
sudah mampu menganalisis dan memahami bahwa bentuk dehumanisasi
merupakan wadah yang digunakan Iwan untuk mengemas pesan. Pada
bahasan mengenai kesesuaian aspek bahasa telah ditemukan bahwa bahasa
kiasan dan simbol-simbol seperti pemakaian atribut metonimia dalam syair tidak
memerlukan daya tafsir yang tinggi.

Dengan demikian berdasarkan tingkat

logika siswa sekolah menengah atas, pemaknaan simbol dan kiasan yang
terdapat dalam syair dapat dijangkau oleh tingkat logika dan rasio siswa.
Pada tahap stadium operasional formal, individu mempunyai karakteristik
utama dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi.
Hal ini dicirikan individu mampu berpikir logis dengan objek yang abstrak,
individu dapat melakukan introspeksi diri sehingga kesadaran diri sendiri dapat
tercapai,

dan

individu

mulai

mampu

menyadari

serta

memperhatikan

kepentingan masyarakat di lingkungannya. Syair lagu karya Iwan Fals yang
berbentuk dehumanisasi memuat konsep-konsep tentang nilai-nilai manusia.
Iwan Fals sebagai penulis lagu menggunakan cara balik, yaitu dengan

14

memaparkan kebobrokan yang terjadi agar pembaca dapat mengmabil pesan
dari terjadinya kebobrokan tersebut. Karya sastra yang agung dan megah juga
selalu

menampilkan

kebobrokan

yang

terjadi

sebagai

sarana

untuk

berkontemplasi. Merenungi dan memikirkan pesan dari suatu karya sastra
dengan kebulatan pikiran dan perhatian penuh bergantung dengan tingkat
intelektual. Siswa sekolah menengah atas sudah menggunakan rasio dan
logikanya sehingga mampu mengambil pesan dari syair lagu karya Iwan Fals.
Dehumanisasi merupakan kulit yang mampu dikupas oleh siswa sekolah
menengah atas. Meskipun demikian, bimbingan guru tetap perlu diberikan saat
proses penganalisisan tersebut.
Dalam penelaahan aspek latar belakang budaya, akan dibahas latar
budaya dan keehidupan yang terdapat dalam syair lagu. Aspek yang akan
ditelaah adalah hubungan latar budaya dalam lagu dengan kehidupan siswa.
Guru sastra memilih bahan pengajarannya menggunakan prinsip
mengutamakan karya sastra yang latar ceritanya dikenal oleh siswa. Guru
menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar
jangkauan kemampuan pembayangan yang dimiliki oleh para siswanya. Syair
lagu Iwan Fals menghadirkan lukisan kehidupan yang erat hubungannya
dengan kehidupan masyarakat di sekitar siswa.
Syair

“Mencetak

Sawah”

menceritakan

industrialisasi

yang

mengorbankan kaum petani. Petani harus kehilangan sawah mereka yang
berdampak bahwa para petani juga kehilangan lapangan pekerjaan mereka.
Latar agraria merupakan latar yang dikenal siswa. Siswa dapat mengangankan
bagaimana pembangunan menyentuh daerah pertanian yang kini perlahan
disulap menjadi daerah perindustrian. Petani kehilangan pekerjaan dan
akhirnya melakukan urbanisasi ke kota untuk bekerja. Fenomena ini sangat
lumrah terjadi. Syair lagu tersebut dapat mengantarkah pemahaman kepada
siswa terutama yang hidup di daerah agraris agar mereka lebih mencintai
keagrarisan daerahnya, turut bercita-cita dalam memajukan pertanian di
daerahnya, dan menyadari bahwa desa dapat menjadi daerah ekonomi yang

15

mandiri. Siswa adalah masa depan kehidupan negara Indonesia yang bertanah
agraris.
Lukisan keadaan kaum buruh di daerah industri dalam syair lagu “PHK”
dan “Robot Bernyawa” kerap terjadi di lingkungan industri. Aksi demonstrasi
dan Pemutusan Hubungan Kerja sering muncul dalam media berita televisi dan
radio. Latar tersebut adalah latar yang dekat dengan kehidupan masyarakat
termasuk siswa. Meninjau kembali bahwa tidak semua siswa SMA dapat
melanjutkan studi ke perguruan tinggi, syair dengan latar belakang lingkungan
industri dan lingkungan kerja seperti contoh di atas dapat memperkenalkan
sekaligus menyiapkan mental siswa jika mereka harus terjun ke lingkungan
pekerjaan kelak. Siswa diajak untuk bersifat kritis dan tanggap terhadap
keadaan. Saat ini banyak masyarakat Indonesia yang bekerja tunduk dan patuh
terhadap kekuasaan korporasi pabrik, menerima gaji rendah, dan diperlakukan
secara semena-mena. Memperkenalkan bagaimana dunia kerja kelak bukan
menakut-nakuti siswa, tapi guru justru bertugas untuk memperkenalkan,
menyiapkan, dan menggugah daya kritis tentang tanggung jawab, disiplin, dan
hak pekerja.
Latar cerita dalam syair lagu Iwan Fals adalah latar yang dikenal oleh
siswa karena masih tergolong dalam lingkup nasional. Melalui latar kehidupan
yang dikenal siswa tersebut siswa dapat mengangankan imanjinasinya untuk
menelah dan akhirnya memperoleh pesan yang dimaksudkan dari syair lagu.
Kesewenangan yang dialami buruh, pembantu, dan anak-anak terlantar dalam
syair sebagai contoh, jika dipahami dengan benar akan mengantarkan siswa
untuk lebih peduli, lebih menghormati orang lain meskipun berprofesi rendah,
dan lebih menghargai nasib dengan memiliki kesadaran dalam belajar. Syair
lagu Iwan Fals mendeskripsikan karakter manusia dan latar keadaannya dengan
jelas. Berdasarkan pertimbangan melalui segi latar budaya, syair lagu Iwan Fals
memenuhi kriteria dan layak untuk dijadikan bahan ajar karena syair tersebut
mengangkat persoalan masyarakat Indonesia yang dekat dan masih bisa
dijangkau oleh imajinasi siswa.

16

Berdasarkan pertimbangan melalui tiga aspek di atas, dua puluh syair
lagu Iwan Fals tersebut dapat dijadikan sebagai bahan ajar karena berisi
moralitas dan religiusitas, bersifat afektif dan sosial, dapat membelajarkan
siswa memahami kompleksitas manusia dan menjadikan mereka manusia. Di
dalam pembelajaran sastra, syair lagu Iwan Fals dapat dimanfaatkan pada
pembelajaran apresiasi puisi.
Siswa dapat dikelompokkan untuk menemukan pola berulang dalam
syair lagu dan menentukan gaya bahasa yang terdapat di dalamnya. Titik berat
kegiatan ini adalah kemampuan siswa dalam menunjukkan bagian, kata, serta
ungkapan yang terdapat dalam syair. Setelah unsur tersebut ditemukan, siswa
diarahkan untuk menganalisa bagaimana unsur tersebut berfungsi, dilanjutkan
dengan teknik pengungkapan yang dominan dipakai Iwan dalam menuangkan
pikirannya dan efek dari penggunaan gaya tersebut. Siswa tidak dituntut harus
menganalisis syair lagu Iwan Fals secara rinci karena tujuannya adalah untuk
mengapresiasi puisi, belum mengarah kepada kritik sastra.
Siswa dapat dikelompokkan untuk diarahkan mengenali aspek puitis
dalam syair lagu Iwan Fals. Siswa diajak untuk menggunakan imajinasi dalam
menggali berbagai kemungkinan makna yang menimbulkan suasana yang
dibangun dari aspek tersebut. Siswa diarahkan untuk menggali berbagai
kemungkinan manfaat dari nilai-nilai puitis yang terdapat dalam syair Iwan Fals.
Ajak siswa untuk melihat luasnya makna dalam syair lagu Iwan Fals agar
mereka menyadari kekayaan makna dari teks yang bersifat puitis. Siswa diberi
kesempatan untuk menyepakati bersama tafsiran nuansa yang terdapat dalam
syair lagu Iwan Fals apakah terasa dipaksakan atau tidak.

PENUTUP
Berdasarkan pembahasan permasalahan dalam syair lagu karya Iwan
Fals dapat diambil simpulan bahwa bentuk-bentuk dehumanisasi yang terdapat
dalam syair lagu karya Fals adalah penghilangan nilai-nilai luhur kebenaran,
kebaikan, keindahan, dan kesucian manusia yang dituangkan dalam: manusia
materialis dan hedonis; diskriminasi sosial; dan perempuan dalam pigura lacur,

17

serta penistaan hak-hak asasi manusia yang meliputi: pembungkaman hak
bicara; kejahatan kemanusiaan; ketidakpastian kesejahteraan; ketidakpedulian
terhadap nasib anak jalanan; dan perampasan hak milik.
Esensi dari dehumanisasi tersebut adalah manusia pada dasarnya
memiliki nilai dan hak yang sama di mata manusia lain. Menempatkan manusia
secara asasi sama memperkecil timbulnya ketidakadilan. Syair lagu Iwan Fals
mengajak untuk menghargai manusia lain. Manusia yang dapat menghargai
manusia lainnya mempunyai harga bagi dirinya sendiri. Dehumanisasi pada
syair lagu Iwan Fals merupakan wujud pembelaan terhadap kaum lemah yang
menjadi korban sosial dari kebijakan pembangunan ekonomi, stabilitas politik,
dan paternalisme yang dilakukan totaliterisme rezim Orde Baru. Berdasarkan
pertimbangan melalui segi bahasa, psikologi, dan sosial-budaya, syair lagu Iwan
Fals memenuhi kriteria dan layak untuk dijadikan bahan ajar.
Berdasarkan penelitian ini, disarankan kepada pembaca baik peminat
sastra, khalayak umum

atau pun pendidik agar syair lagu karya Iwan Fals

dapat digunakan dan dimanfaatkan sebagai media hiburan yang kontemplatif
edukatif, sehingga diharapkan mampu mengasah kepekaan rasa dan ketajaman
berfikir dalam menyikapi fenomena sosial yang terjadi
DAFTAR RUJUKAN
Evans, Janet. 2011. "Rhymes, Jingles, Song and Poetry--Out of Fashion or

What" NATE Classroom 13 (2011): 51+. Gale Power Search. Akses:
http:go.galegroup.com [akses 22 Nov. 2012]
Mardimin, Johanes (Ed). 2000. Dimensi Kritis Proses Pembangunan Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius
Muhaimin, Hendro. 2012. Dehumanisasi dan Perkembangannya.

http:www.duniakontraktor.com.html. [akses 28 Oktober 2012]
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

18