ANTROPONIMI DAN TOPONIMI UNIVERSAL DI DALAM STRUKTUR NARATIF SASTRA SUNDA BUHUN (KAJIAN SEMIOTIK TERHADAP KELISANAN CARITA PANTUN DAN KEBERAKSARAAN WAWACAN SANGHYANG JAGATRASA)
Universal Antrophonimy and Toponimy in Narrative Structure of Old Sundanese Literature:
A Semiotic Study on Orality of Carita Pantun and Literacy of Wawacan Sanghyang Jagatrasa
Dedi Koswara
Pendidikan Bahasa Daerah, FPBS Universitas Pendidikan Indonesia, Jalan Setiabudi 229,
Bandung, No Telepon: 081321145245, Pos-el: Rama_ulun@yahoo.com Naskah masuk: 30 April 2011 – Revisi akhir: 30 November 2011
Abstrak: Objek pembicaraan pada tulisan ini meliputi dua ranah studi, yaitu sastra lisan Carita Pantun Sanghyang Jagatrasa (CPSJ) dan sastra tulis naskah Wawacan Sanghyang Jagatrasa (WSJ). Masalah yang diangkat berkenaan dengan:(1) transformasi antara kelisanan CPSJ dan keberaksaraan WSJ, (2) struktur formal puisi naratif CPSJ dan struktur formal sastra tulis WSJ, dan (3) makna semiotik di balik antroponimi dan toponimi universal yang tertuang pada CPSJ dan WSJ. Pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah itu, yaitu (1) pendekatan sastra lisan dan (2) pendekatan sastra tulis. Berdasarkan hasil penerapan pendekatan sastra lisan ditemukan (1) CPSJ memiliki 8 formula, 13 fungsi, dan 7 lingkungan tindakan, sedangkan berdasarkan penerapan sastra tulis terhadap WSJ diketahui bahwa WSJ memiliki 6 model aktan dan 3 model fungsional, (2) transformasi antara kelisanan CPSJ ke keberaksaraan WSJ terdapat pada konvensi kesastraan, teknik naratif, ungkapan formula, kosakata, dan konstruksi kalimat. Adanya transformasi tersebut, secara semiotik, dapat dimaknai sebagai suatu upaya pelestarian nilai-nilai moral yang termuat dalam CPSJ ke dalam era WSJ sejalan dengan situasi dan kondisi serta minat masyarakat Sunda pada zamannya, (3) Munculnya antroponimi dan toponimi universal di dalam CPSJ dan WSJ dapat dimaknai secara semiotik sebagai sebuah cermin tentang eksistensi kosmologi Sunda buhun (lama) yang pernah hidup di dalam masyarakat Sunda pada zamannya.
Kata kunci: sastra lisan, carita pantun, wawacan, antroponimi, dan toponimi
Abstract: The discussion of this paper focuses on two problems, orality of Carita Pantun Sanghyang Jagatrasa (CPSJ) and literacy of Wawacan Sanghyang Jagatrasa (WSJ). The research question is to answer the basis of the two problems.They include the following statement (1) transformation between CPSJ orality and WSJ literacy (2)the formal structure of CPSJ narrative poetry and of WSJ written literature? (3) semiotic meaning within universal anthroponimy and tophonimy in CPSJ and WSJ.
The approach used in the study is aimed at solving problems dealing with the following concerns, (1) oral literary approach and (2) written literary approach. The findings based on the applica- tion of literary approach are as follows: (1) in the CPSJ there are 8 formulas, 13 narrative functions, and 7 setting (spheres) of acts, while in the WSJ, there are six models of acts and three functional models. (2) Transformation from CPSJ orality into WSJ literacy can be found in literary convention, narrative techniques, formula expressions, vocabulary, and sentence constructions.
The transformation of CPSJ can be semiotically considered an effort of preserving moral values in
D ED I K OSW ARA :A NTROPONI MI DAN T OPONI MI U NI VERSAL DI DLM S TRUKTUR N ARATI F ...
CPSJ into WSJ era along with the situation and conditions as well as interest of the Sundanese community. The emerge of The universal anthroponimy and tophonimy can be semiotically meant as a symbol of the existence of old Sundanese that was known in Sundanese society.
Key words: orality, carita pantun, wawacan, anthroponimy, and toponimy
1. Pendahuluan
D i d alam khaz anah sastra Sund a Dilihat dari segi bentuknya, carita pantun
d ikenal carita pantun. Cerita p antun berbentuk p uisi naratif. Sebagai p uisi, merup akan salah satu genre sastra lisan
d alam Sunda yang keberadaannya sudah hampir
kekuatan
pantun terutam a
menentukan pilihan kata yang tepat untuk p unah. Cerita pantun adalah cerita yang
m eng g am barkan
p erband ing an-
d ituturkan o leh seo rang jurup antun p erband ingan karakteristik to ko h y ang (p emantun) d alam p ergelaran seni tutur
sang at p lastis. Sebag ai co nto h, Ro sid i yang d isebut mantun. Pergelaran cerita
(1966:2) mengungkap kan bahw a untuk pantun ini biasanya berlangsung semalam
melukiskan tubuh to ko h raksasa Yaksa suntuk dimulai setelah Isya sampai dengan
Mayuta yang amat tinggi besar, dalam carita menjelang Subuh. Penuturannya dilakukan
pantun Mundinglaya di Kusumah, diperikan dengan cara dihapal secara lisan (Rosidi,
lukisan huluna butak sabeulah/balas pasundul 2000:493; Iskandarw assid, 1996: 102).
jeung langit (kepalanya botak sebelah karena Carita pantun merupakan salah satu hasil
sering bersentuhan dengan langit). Sebagai sastra lisan Sunda asli yang sudah ada pada
bentuk puisi naratif, carita pantun memiliki tahun 1518 Masehi (A tja & Danasasmita,
struktur cerita yang relatif tetap , yaitu 1981:40). Keterang an m eng enai carita
sebagai berikut: Rajah Bubuka — M angkat pantun , lelakon pantun atau seni mantun ada
Carita (Mulai berkisah) — Lukisan-lukisan: dalam naskah Sunda kuna Sanghyang Siksa
lukisan keag ung an kerajaan, lukisan Kanda Ng Karesian (1440 Saka; 1518 Masehi).
kecantikan p utri dan ketamp anan putra
D alam naskah tersebut, d i antarany a, raja, lukisan putri dan putra raja berdandan, disebutkan empat lakon carita pantun, yaitu
lukisan p utri berjalan, lukisan p utri Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, dan
menenun, lukisan hutan lebat, lukisan Haturwangi.
peperangan, lukisan pesta perkawinan dan Pad a
pesta negara — Rajah Panutup (Rosidi, 1966: mengisahkan cerita masa lalu (baheula)
um um ny a
lako n
pantun
tentang raja-raja atau p utra-p utri raja Penelitian mengenai carita pantun Sunda keturunan Pajajaran. Berto lak d ari isi
d ew asa ini sang at kurang jum lahny a ceritany a y ang bany ak m eng isahkan
diband ingkan dengan p enelitian tentang kebesaran dan keagungan Raja Pajajaran,
teks sastra Sund a tertulis, sep erti yang Prabu Siliwangi, diduga bahwa carita pantun
berupa naskah (manuscript: handschrift). Hal itu lahir pada zaman Pajajaran. Akan tetapi,
itu terjadi, di antaranya karena sastra lisan
ad a p enjelasaan lain y ang menyatakan Sund a kini sud ah m ulai leny ap o leh bahw a ad a p ula carita pantun y ang
p erkembangan zaman. Oleh karena itu, mengisahkan kebesaran d an keagungan
p ara p enutur carita pantun Sund a kerajaan yang lebih tua, yaitu Kerajaan Pasir
(jurupantun) yang dahulu pernah populer Batang A nu Girang d alam carita pantun
melakukan pergelaran dalam acara-acara Lutung Kasarung dan Kerajaan Galuh dalam
tertentu serta menjadi idola di masyarakat, carita pantun Ciung Wanara yang telah berdiri
kini ruang lingkup aktivitas mereka semakin jauh lebih d ahulu d arip ad a Kerajaan
sempit dan berkurang.
Pajajaran.
METASASTRA , Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 134—149
Tanp a p end o kum entasian
d an
(1) Apakah transformasi itu secara semiotik
p enelitian terhad ap carita pantun Sund a
memiliki makna bagi masyarakat pada
secara dini, mustahil isi teks sastra lisan
zamannya?
Sunda ini dapat diketahui dan kemudian dapat diwariskan kepada generasi sekarang
(2) Bagaimanakah struktur formal dan struktur
dan generasi mendatang. Hal itu seperti
naratif sastra lisan CPSJ dan sastra tulis
terbukti d ari yang telah d ilakukan oleh
WSJ?
beberapa orang peminat sastra Sunda dan
3) Secara semiotik, apa makna tanda-tanda yang
p eminat kebud ayaan Sund a umum nya.
dikemas pada antroponimi dan toponimi uni-
Pad a abad ke-19 p end o kum entasian
versal di dalam teks CPSJ dan WSJ?
dilakukan oleh orang Barat dan pada abad Berdasarkan identifikasi masalah, baik ke-20 dilakukan oleh orang Sunda. Salah yang muncul dari penelaahan sastra lisan satu teks sastra lisan Sunda yang masih ada maup un yang m uncul d ari p enelaahan sekarang adalah Carita Pantun Sanghyang sastra tulis, serta transfo rm asi d an Jagatrasa. p em aknaanny a secara sem io tik, d ap at
Di samping itu, yang sangat menarik dirumuskan tujuan yang hendak dicapai ialah bahwa teks Sanghyang Jagatrasa selain
dalam tulisan ini adalah sebagai berikut. secara lisan, juga tersaji secara tertulis, yaitu
dalam bentuk wawacan. Oleh sebab itu, tepat
(1) Menemukan rumusan berkenaan dengan
kirany a ap abila Teeuw (1988:280-281)
struktur formal dan struktur naratif teks lisan
mengemukakan bahwa sebenarnya masalah
CPSJ dan teks tulis WSJ,
kelisanan dan keberaksaraan ini lebih pelik lag i untuk situasi d i Ind o nesia, sebab
(2) Merumuskan transformasi bentuk dan isi dari
kelisanan CPSJ ke keberaksaraan WSJ, dan
ternyata tidak hanya kedua bentuk sastra,
di sini masih hidup berdampingan, tetapi
(3) Memaknai fungsi tanda-tanda antroponimi dan
sering ada pula keterpaduan antara yang
toponimi universal secara semiotik di dalam
satu d eng an y ang lain. Sastra y ang
teks lisan CPSJ dan teks tulis WSJ.
d iturunkan d alam bentuk tulis p ad a kenyataannya berfungsi sebagai sastra yang
Ada dua objek studi yang diteliti dalam
d ibacakan d an d id end angkan bersama- penelitian ini, yaitu kelisanan (orality) CPSJ sama. Jad i, sebagai performing art: d an
dan keberaksaraan (literacy) WSJ. Kelisanan sebaliknya sastra lisan sering kemudian
CPSJ d an Keberaksaraan W SJ d ibahas
d itulis d an d ijad ikan sastra tulis atau bedasarkan kajian filologi dan sastra. CPSJ kebiasaan sastra lisan masih terasa dalam
dianalisis berdasarkan pendekatan filologi p erkembangan sastra tulis samp ai puisi
lisan d an sastra lisan, sed angkan W SJ m o d ern d eng an p em bacaan p uisi d an
d ianalisis berd asarkan filo lo gi tulis d an sebagainya. Pendapat ini sejalan dengan
sastra tulis. Filologi lisan menerapkan teori p erny ataan Sw eeney (1987:1) y ang
yang dikemukakan oleh Hutomo (1999) dan m eng atakan bahw a d i satu sisi kasus
filo lo g i tulis m enerap kan teo ri y ang pengalihan itu menduduki w ilayah tradisi
d ikemukakan o leh Maas (1958), Ro bso n lisan y ang beg itu luas d an bany ak
(1978), dan Baried (1985). Penelaahan sastra ditransformasi, sedangkan di sisi lain ada
lisan teks CPSJ menerapkan teori struktur kebiasaan-kebiasaan lisan yang bercampur
naratif Propp (1975) dan teori Lord (1976)
d eng an tulisan y ang lahir p ad a m asa mengenai formula dan tema. Sementara itu, budaya naskah (manuscript).
penelaahan sastra tulis WSJ menarapkan teo ri Greimas (Haw kes, 1978) mengenai
Dengan ditemukannya dua ranah studi, struktur aktan d an fung sio nal. Untuk y aitu kelisanan (orality ) CPSJ d an mengetahui hubungan transformasi antara keberaksaraan (literacy ) W SJ telah kelisanan dan keberaksaraan teks CPSJ dan memunculkan masalah sebagai berikut: WSJ d igunakan teori Teeuw (1994) yang
D ED I K OSW ARA :A NTROPONI MI DAN T OPONI MI U NI VERSAL DI DLM S TRUKTUR N ARATI F ...
mem bahas ko nvensi kesastraan, teknik mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. naratif, ungkapan formula, kosakata, dan
Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, ko nsruksi kalimat. Teo ri semio tik yang
berhubung an d eng an o rang lain, d an digunakan untuk memaknai tanda-tanda
memberi kamna pada apa yang ditampilkan dalam CPSJ adalah teori yang dikemukakan
oleh alam semesta (lihat van Zoest, 1991: 1--2; oleh van Zoest (1990) dan Barthes (Hawkes,
Sudjiman dan Aart van Zoest, 1992: 1). 1978).
M enurut
Peirce y ang
d ikutip
A d ap un p end ekatan sastra y ang Nurgiyantoro (1995:41) sesuatu itu dapat
d isebut sebagai tand a jika ia m emiliki p end ekatan o bjektif d eng an m eto d e
d igunakan d i d alam tulisan ini ad alah
sesuatu yang lain. Sebuah tand a y ang struktural. Metode ini dimaksudkan untuk
disebutnya sebagai repsentamen haruslah memahami struktur formal sastra lisan CPSJ
m eng acau (m ew akili) sesuatu y ang melalui analisis unsur formula dan tema
d isebutnya sebagai objek (acuan, ia juga sebagaimana d ikemukakan Lo rd (1976).
menyebutnya sebagai designatum, denotatum, Kem ud ian, untuk m em aham i struktur
dan kini orang menyebutnya dengan istilah naratif sastra lisan CPSJ diterapkan teori
referen). Lebih lanjut, Peirce menjelaskan struktur naratif Pro pp (1975) berkenaan
bahwa proses semiotika dapat terjadi secara dengan 31 fungsi cerita, sedangkan untuk
terus-menerus sehingga sebuah interpretant m em aham i struktur sastra tulis W SJ
menghasilkan tanda baru yang mewakili objek
d iterap kan analisis struktur Greim as y ang baru p ula d an akan menghasilkan (Haw kes, 1978) berkenaan d engan teo ri
interpretant yang lain lagi. Hal demikian itu aktan dan fungsional. Selanjutnya untuk
sangat relevan dengan diagram tanda yang memahami makna tanda-tanda di d alam
disajikan oleh Roland Barthes dalam Terence CPSJ secara menyeluruh akan diterapkan
Hawkes (1978:132).
kajian sem io tik m enurut teo ri Barthes Selanjutnya, Peirce menjelaskan bahwa (Hawkes, 1978) dan van Zoest (1990, 1993).
tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seorang untuk menyatakan sesuatu yang
2. Pembahasan
lain d alam beberap a hal atau kap asitas. Tanda dapat berarti sesuatu bagi seseorang
a. Pengertian Semiotik
jika hubungan yang berarti ini diperankan Kata semiotika, secara etim o lo g is,
o leh interpretant (Sud jiman & A art v an berasal d ari kata d alam bahasa Yunani
Z oest, 1992:43).
semeion . Kemudian semiotika diartikan ilmu Kedua, Bapak semiotika modern adalah tanda. Pengertian itu dikembangkan lebih
Ferdinan de Saussure (1857-1913), seorang lanjut menjadi sebuah cabang ilmu yang
ahli linguistik umum dari Swiss. Pandangan berurusan dengan pengkajian tanda dan
yang terpenting menurut Saussure bahwa segala suatu yang berhubungan d engan
bahasa harus dipelajari sebagai suatu sistem tanda, seperti sistem tanda, sistem tanda dan
tand a sekalip un bahasa bukanlah satu- proses yang berlaku bagi penggunaan tanda
satuny a tand a (lihat A art Van Z o est, (lihat Van Z oest, 1993: 1; Sudjiman, 1990:
1993:2). Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa 75; Sudjiman dan Aart Van Zoest, 1992: vii;
bahasa ad alah suatu sistem tand a yang dan Hartoko, 1986: 131).
m eng g ung kap kan id e-id e d an d ap at Tokoh yang d ianggap sebagai bapak
dibandingkan dengan tulisan, abjad, tuna semiotika modern, pertama adalah Charles
rungu, ritus simbolik, bentuk sopan santun, Sanders Peirce, seorang filsuf dan ahli logika
isyarat militer, dan sebagainya.
A merika (1834-1914). Pand ang an y ang Adapun yang menjadi dasar pemikiran terpenting dari Peirce bahwa logika harus
Saussure adalah dikotomi antara langue dan memp elajari bagaimana o rang bernalar.
parole , dikotomi antara signifiant dan signifie Penalaran itu menurut hipotesis Peirce yang
serta d iko to m i antara sintagma d an
METASASTRA , Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 134—149
paradigma , (lihat Sudjiman d an A art van secara keseluruhan merupakan tanda-tanda Zoest, 1992:55-56). Dalam hubungan ini ada
ind eksial karena teks itu m em p uny ai pendapat lain yang mengemukakan bahwa
hubungan perbatasan dengan apa-apa yang Saussure memiliki emp at ko nsep d asar
d ip resentasikan, y akni d unia y ang pemikiran, yaitu (1) penampang sinkronik
diciptakannya. Dunia itu menyangkut tiga dan diakronik, (2) relasi sintagmatik dan
d imensi (relasi), yakni (1) d unia nyata p arad igmatik, (3) ko nsep p enand a d an
(kenyataan historis), (2) dunia pengarang, pertanda, dan (4) pengertian antara bahasa
dan (3) dunia pembaca. (lingua) dan turunan (parole) (lihat Santosa,
Lebih lanjut d ijelaskan v an Z o est 1993:17).
(1993:79) bahw a indeksial global rangkap
b. A ntroponimi dan Toponimi dalam
tig a d ari teks sastra ini m erup akan
Karya Sastra sebagai Tanda
pambenaran penulisan, eksistensi, pembaca, dan penelitian sastra yang paling penting.
Kerangka berpikir yang dijadikan dasar Fungsi indeksial tersebut adalah (1) relasi p ijakan analisis sem io tik terhad ap
indeksial dengan dunia pengarang memberi antroponimi dan toponimi universal dalam
tanda ciri komunikasi, (2) relasi indeksial Carita Pantun Sanghyang Jagatrasa (CPSJ) dan
dengan kebenaran historis memberi teks W awacan Sanghy ang Jagatrasa (W SJ) ini
sastra nilai, y akni sebag ai alat untuk adalah suatu pendapat yang mengatakan
p eng etahuan tentang bahwa karya sastra itu merupakan struktur
m em p ero leh
kenyataan dan untuk mendalaminya, dan tand a-tand a y ang berm akna. Tanp a
(3) relasi indeksial dengan pembaca bahwa memperhatikan sistem tand a, tand a d an
si pembaca beroleh w aw asan kehidup an maknanya, dan konvensi tanda, struktur
yang kaya dari teks yang dibacanya. kary a sastra tid ak d ap at d im eng erti
D alam p enelitian sastra d eng an maknanya secara optimal (Junus dikutip
pendekatan semio tik, tanda yang berupa
indeksikal yang paling banyak dicari (diburu), hubung an ini Prem inger yang d ikutip
D jo ko Prad o p o , 1995:118).
D alam
yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukan Prad o p o (1995:12) m enjelaskan bahw a
hubungan sebab akibat (dalam pengertian sastra sebag ai m ed ium ny a. Bahasa
luasnya), (Pradopo, 1995:120). berked ud ukan sebag ai bahan d alam
Karya sastra sebagai tanda perlu dikaji hubung anny a d eng an sastra, sud ah secara semiotik karena ilmu ini menganggap mempunyai sistem dan konvensi sendiri, bahw a feno mena sosial/ masyarakat d an disebut sistem semio tik tingkat p ertama. kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Sastra yang mempunyai sistem semiotik Semio tik itu memp elajari sistem-sistem, tingkat kedua (second order semiotics). Sastra aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang m emiliki ko nvensi send iri d i sam p ing m em ung kinkan tand a-tand a tersebut ko nv ensi bahasa yang o leh Prem ing er mempunyai arti. Tanda-tanda itu terdiri atas ko nv ensi karya sastra tersebut d isebut dua aspek, yaitu penanda ( signifier ) d an konvensi tambahan, yaitu konvensi yang petanda ( signified ). Penanda adalah bentuk ditambahkan pada konvensi bahasa. formalnya yang mendasari sesuatu yang
Berkaitan d eng an p erny ataan p ara disebut petanda, sedangkan petanda adalah teo ritisi sem io tik, Z o est (1993:61) jug a
sesuatu yang ditandai oleh p enanda itu, berp end ap at bahw a teks sastra secara
yaitu artinya.
keseluruhan merup akan tand a d engan Berd asarkan d iagram tand a Barthes semua cirinya, bagi pembaca, teks sastra ini (Hawkes, 1978:132), diketahui bahwa setiap menggantikan sesuatu yang lain, kenyataan tand a tentu memiliki dua tataran, yaitu yang dipanggil, yang fiksional. Teks adalah tataran kebahasaan d an tataran m itis. suatu tand a yang d ibangun dari tand a- Tataran kebahasaan d isebut sebag ai tand a
lain. Selanjutny a,
Z o est
penanda perimer yang penuh, yaitu tanda mengemukakan bahw a semua teks sastra,
D ED I K OSW ARA :A NTROPONI MI DAN T OPONI MI U NI VERSAL DI DLM S TRUKTUR N ARATI F ...
yang telah penuh disebabkan penandanya budaya. Barang siap a mempelajari suatu telah mantap acuan maknanya. Hal ini
bud ay a, ia berurusan d eng an id eo lo g i- karena berkat p restasi semio tik tataran
ideologi, ia harus memerhatikan keterangan- kebahasaan, yaitu kata sebagai tanda tipe
keterang an bud aya. Mencari titik to lak simbol telah dikuasai secara kolektif oleh
id eo lo g i d alam ung kap an bud ay a, masyarakat pemakai bahasa, dalam hal ini
merup akan p ekerjaan p enting. Id eo lo gi kata atau bahasa tersebut sebagai penanda
mengarahkan bud aya, ideo lo gilah yang mengacu pada makna lugas petandanya.
p ad a akhirny a m enentukan v isi, atau Sebaliknya, pada penanda sekunder atau
p and ang an, suatau kelo m p o k bud ay a pada tataran mitis, tanda yang telah penuh
terhadap kenyataan.
pada tataran kebahasaan itu dituangkan ke Untuk memahami ideologi yang termuat
d alam p enand a ko so ng . Penand a p ad a di dalam karya sastra, misalnya, genre carita tataran mitis ini sesuatunya harus direbut
pantun dan wawacan terlebih dahulu harus kembali oleh penafsir karena tataran mitis
d ilakukan p enelitian terhad ap struktur bukan lag i m eng and ung arti d eno tatif,
naratif d ari ked ua jenis kary a sastra melainkan telah berm akna kias, majas,
tersebut. Setelah itu dilakukan pengkajian figuratif, khusus, subjektif, dan makna-
terhadap isinya (dalam hal ini, toponiminya) makna.
yang perlu diteliti secara semiotik. Untuk Model diagram Barthes tersebut adalah
menganalisis struktur naratif kelisanan model penandaan model primer yang telah
Carita Pantun Sanghiyang Jagatrasa (CPSJ) penuh makna acuannya, yaitu tanda sudah
perlu diterapkan teori struktur naratif Lord dapat dianggap penuh karena penandanya
(1976) dan teori Propp (1975), sedangkan telah mantap acuan maknanya. Pada dia-
untuk m eng analisis struktur naratif
g ram d iatas, arti d eno tatif-arti y ang keberaksaraan W awacan Sanghiy ang m enunjukkan p ad a arti atau leksial-
Jagatrasa perlu d iterap kan teo ri Greimas mancakup : penanda, petanda, d an tanda.
(Haw kes, 1978).
W ilay ah d eno tatif m enjad i tataran Berd asarkan p enerap an teo ri Lo rd kebahasaan karena bermakna lugas, objektif
(1976) d iketahui bahw a teks lisan CPSJ dan apa adanya, yaitu sebagai model primer
memiliki struktur formula yang terdiri atas bahasa. Tanda dalam tataran kebahasaan itu
8 jenis formula, yaitu (1) Formula satu baris, berubah menjadi penanda pada tataran mi-
(2) formula setengah baris, (3) formula tis sehingga petanda harus ditemukan oleh
pengulangan preposisi ka ‘ ke’ , (4) formula awal p enafsir agar p enand a itu d ap at p enuh
cerita berupa “ rajah” , (5) formula kalimat awal acuan maknanya. Dengan ditemukannya
berkisah (6) formula di tengah cerita untuk petanda oleh p enafsir, menjadi p enuhlah
menandai pergantian episode cerita (7) formula tanda sebagai makna tataran mitis. Oleh
di tengah cerita untuk menandai cerita hendak karena itu, tidaklah heran apabila Van Zoest
berlanjut, (8) formula untuk meny atakan (1990:70) mengemukakan bahwa kita dapat
terjadinya suatu peristiwa. menemukan ideologi dalam teks dengan
Formula tersebut muncul berkali-kali jalan m eneliti ko no tasi-ko no tasi y ang
d alam CPSJ sebagai sarana jurup antun terd ap at d i d alam ny a. Salah satu cara untuk memp ermudah pencip taan cerita.
ad alah m encari m ito lo g i d alam teks. Formula merupakan kelompok kata yang M ito lo g i (kesatuan m ito s-m ito s y ang
secara teratur d igunakan dalam ko nd isi ko heren) menyajikan inkarnasi makna-
matra yang sama untuk mengungkapkan makna yang memp unyai w ad ah d alam ide pokok tertentu yang mendasar (Lord, ideologi. Ideologi harus dapat diceritakan. 1976: 31; Pradotokusumo, 2005: 94). Cerita itulah mitos. Secara gamblang Van
Z oest (1993:53) menjelaskan lebih lanjut Di samping hasil penerapan teori Lord bahwa setiap budaya mengenai ideologinya
(1976) d i d alam p enelitian CPSJ jug a masing-masing. Setiap ideologi terikat pada
d iterap kan teo ri Pro p p (1975) y ang
METASASTRA , Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 134—149
bertujuan untuk mengetahui bentuk struktur
(6) Lingkungan tindakan pahlawan, ditandai
naratif CPSJ. Menurut Propp, suatu cerita
dengan lambang: (H), (I), ( ), (M), dan
p ad a d asarny a m em iliki ko nstruksi.
(N),
Ko nstruksi itu terdiri atas naratif-naratif yang terbagi dalam tiga unsur, yaitu pelaku,
(7) Lingkungan tindakan pahlawan palsu, ditandai
perbuatan, dan penderita. Kemudian ketiga
dengan lambang: (L), (M), dan (Ex).
unsur itu dapat dikelompokkan menjadi dua Di samping struktur naratif sastra lisan bagian, yaitu unsur yang tetap dan unsur
CPSJ, di dalam penelitian ini juga ditemukan yang berubah. Unsur yang tetap adalah
struktur sastra tulis WSJ. Menurut Greimas perbuatan, sedangkan unsur yang berubah
(Haw kes, 1978:92-93), sem ua cerita adalah pelaku dan penderita. Bagi Propp
walaupun dalam bentuk yang berbeda-beda, yang terpenting adalah unsur yang tetap,
menunjukkan ad anya suatu konfigurasi yaitu tindakan atau perbuatan (action) yang
yang sama p ada tipe-tipe tokoh (aktan) selanjutnya disebut fungsi (function) (Yunus,
berdasarkan hubungan dan fungsi yang 1983:6; Suw o nd o , 2003:38). Teo ri m o tif
d ip erankan d i d alam cerita. Greim as naratif Propp menjelaskan bahw a sastra
mengajukan sebuah model dengan enam lisan (cerita rakyat) itu memiliki 31 fungsi
aktan yang terdiri atas: pengirim, penerima, cerita d an 7 ling kung an tind akan.
objek, subjek pahlawan, pembantu dan Berd asarkan p enerap an teo ri Pro p p
penentang . Selain itu, ia juga mengajukan diketahui bahwa sastra lisan CPSJ memiliki
satu mo del fungsional yang terdiri atas:
13 fungsi cerita dan 7 lingkungan tindakan. tahap kecakapan, tahap utama, dan tahap Ketig a belas fung si tersebut ad alah:
kegemilangan.
keberangkatan, kejahatan, penyelamatan, Di dalam teks CPSJ dan WSJ terdapat p erjuang an, kem enang an, p enerim aan
sejumlah toponimi dan peristiwa universal unsur m ag is, fung si p ertam a d o no r,
sebagai tanda yang perlu dimaknai secara kepulangan, tuntutan yang tidak mendasar,
semio tik. Berd asarkan p enerap an teo ri tug as y ang sulit, p eny elesaian tug as,
semiotik Pierce (Z oest, 1996:7), diketahui penyingkapan tabir, dan perkawinan (naik
bahwa CPSJ dan WSJ memiliki tanda dalam tahta). A p abila struktur naratif itu
hubungan trio , yaitu d engan groundnya, dirumuskan dalam sebuah pola akan tampak
d eng an sebag ai berikut: (á) ‘ ! A RsHIFD HI “ !
d eng an
acuanny a,
d an
interp retanny a. Tand a-tand a tersebut ARsLMNExW: (X).
berup a ikon, indeks, dan simbol. Tanda- Ketiga belas fungsi naratif CPSJ di atas
tanda tersebut di dalam CPSJ mengacu pada
d ap at d ikelo m p o kkan ke d alam 7 sebuah referen yang dapat dimaknai sebagai lingkungan tindakan, yaitu sebagai berikut.
adanya keyakinan masyarakat Sunda masa lalu terhadap kosmologi Sunda lama. Hal itu
(1) Lingkungan tindakan kejahatan, ditandai
dap at ditemukan di antaranya dari rajah
dengan lambang: (A), (L), dan ( )
bubuka ‘rajah pembuka’ yang terdapat pada
(2) Lingkungan tindakan donor (pembekal),
awal cerita CPSJ.
ditandai dengan lambang: (F), dan (D)’
Konsep kosmologi Sunda buhun (lama) yang terdapat dalam rajah bubuka di atas
(3) Lingkungan tindakan pembantu, ditandai
dapat dilihat pada gambar konsep dunia atas
dengan lambang: (Rs), (F), dan (D),
CPSJ.
(4) Lingkungan tindakan seorang putri dan
Selain d alam rajah, secara semio tik,
ayahandanya, ditandai dengan lambang: (I),
had irny a ko sm o lo g i Sund a buhun jug a
(Rs), dan (W).
terungkap dari simbo l-simbol penamaan to ko h binatang (go lo ngan unggas, ular,
(5) Lingkungan tindakan perantara, ditandai
singa), dan penyebutan latar tempat seperti
dengan lambang: (I), (F), (Rs), dan (D).
gunung, laut, dan pertapaan sebagai sebuah antroponimi dan toponimi universal serta
D ED I K OSW ARA :A NTROPONI MI DAN T OPONI MI U NI VERSAL DI DLM S TRUKTUR N ARATI F ...
simbol-simbol yang terdapat pada benda- orang tokoh, yaitu Jagatlaga, Jagatnata, dan benda sesajen yang dipakai dalam perangkat
Jagatrasa. Sosok ketiga nama tersebut dapat upacara pada awal pergelaran mantun.
d imaknai secara heuristik p ad a tataran
A d a tiga buah unsur semio tik yang bahasa d an secara herm eneutik p ad a tertuang di dalam teks CPSJ, yaitu tanda
tataran sastra.
ikon, indeks, dan simbol. Tanda ikon di Secara etimologis, kata jagat (Skr.) berarti
d alam CPSJ terd iri atas iko n to p o lo gis, dunia, bumi dan kata laga artinya berperang; diagramatis, dan metaporis. Ketiga tanda
bertempur (Mardiwarsito, 1983:305). Oleh ikon tersebut muncul di dalam wacana rajah
karena itu, jagatlaga d ap at d iartikan bubuka CPSJ.
“ memerangi bumi, dunia” . Hal ini sesuai
d engan karakteristik to koh Jagatlaga d i muncul pada tanda indeks di dalam CPSJ
A ntroponimi dan toponimi universal itu
d alam CPSJ sebag aim ana d ituturkan yang melip uti ind eks p enamaan to ko h,
Jurupantun. Pada tataran myth (Haw kes, indeks perbuatan tokoh, dan indeks latar
d ap at cerita. A ntroponomi berup a ind eks
to ko h
Jag atlag a
dianalogikan dengan karakteristik Dew a penamaan tokoh hadir pada nama ketiga
Siwa dalam kepercayaan agama Hindu. Hal
d emikian, mengisyaratkan bahw a carita
METASASTRA , Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 134—149
pantun ini (CPSJ) paling tidak telah hidup mimpi merupakan bagian dari alam spiri- p ad a z am an ketika m asy arakat Sund a
tual dan ketidaksadaran manusia. Mimpi masih menganut agama Hindu.
d alam bud aya mitis-sp iritual Ind o nesia Selanjutnya, nam a to ko h Jag atnata
adalah tanda. Mimpi itu adalah bagian dari dapat dimakna sebagai, jagat (Skr.) berarti
realitas Dunia A tas. Ketiga d unia, yaitu bumi, dunia, rakyat dan nata dari kata natha
D unia A tas, Dunia Teng ah d an D unia (Skr.) artinya penolong, pelindung. Oleh
Baw ah merupakan satu kesatuan. Mimpi karena itu, tokoh Jagatnata di dalam CPSJ
y ang berasal d ari D unia A tas jug a dapat diinterpretasikan sebagai tokoh yang
merupakan realitas Dunia Tengah Manusia
d ap at memberikan bahw a perlind ungan (Sumarjo, 2004:12). Jadi, perbuatan mimpi kepada manusia di bumi. Demikian juga
d alam kisah CPSJ d an W SJ merup akan nama Jagatrasa dapat diidentifikasi berasal
sebuah tand a ind eks yang d ap at d iberi dari kata jagat dan rasa. Sebagaimana telah
makna sebagai proses pencapaian manusia disebutkan, kata jagat berarti bumi, dunia,
sempurna untuk menyatukan ketiga dunia sed ang kan kata rasa y ang d alam basa
dalam kosmologi Sunda. Sanskerta beranalo g d engan kata raksa,
Adapun yang termasuk dalam kategori artinya penjagaan, perlindungan. Selain itu,
indeks latar cerita sebagai sebuah toponimi kata rasa juga bisa beranalog dengan kata
universal pada teks CPSJ dan WSJ adalah raksaka (Skr.) yang berarti (sebagai) penjaga
hadirnya latar tempat, seperti bengawan, atau pelindung (Mardiw arsito, 1981:460).
laut, hutan, pertapaan, dan gunung. Latar O leh karena itu, kata jagatrasa d ap at
bengaw an d an laut d apat d iberi makna diartikan sebagai pelindung dan penjaga
sebagai suatu rujukan tempat-tempat yang manusia di bumi ini. To koh Jagatrasa di
memiliki resiko keselamatan yang lebih dalam CPSJ mencerminkan sosok seorang
tingg i. Jika berad a d i tem p at tersebut, m anusia y ang telah m encap ai ting kat
artinya kita harus tabah, sabar, dan tawakal kesempurnaan lahir dan batin. Oleh sebab
terhadap ujian (inisiasi) yang bakal terjadi. itu, sangat tepat kiranya apabila jurupantun
Derasnya air bengaw an d an d ahsyatnya memerankan tokoh Jagatrasa itu menjadi
ombak lautan bisa menjadi ancaman bagi to ko h utam a d an nama to ko h tersebut
keselamatan jiwa dan raga seseorang yang diabadikan menjadi judul carita pantun ini.
tengah mengarunginya. Latar ini mengacu Bersandar pada karakteristik ketiga orang
p ad a sebuah makna berkenaan d engan tokoh di dalam CPSJ dapat diinterpretasikan
kadar keteguhan seseorang di dalam upaya sebag ai had irny a ko nsep d ualism e—
menggapai cita-citanya. Di dalam kosmologi p ertentang an antara kejahatan d an
Sunda buhun (lama) latar ini adalah sebuah kebaikan atau pertentangan antara hak dan
toponimi y ang d ap at d im aknai sebagai batil yang sekaligus menjiwai isi carita pantun
lam bang D unia Baw ah y ang harus ini. Kejahatan atau kebatilan pada akhirnya
ditempuh seseorang untuk menjadi manusia dapat dikalahkan oleh kebaikan atau oleh
semp urna. Kemud ian, munculnya latar yang hak. Oleh karena itu, bagi seseorang
Gunung Mandala Datar juga merupakan yang ingin mencapai tingkat kesempurnaan
sebuah toponimi yang dapat diberi makna diri harus mampu mengatasi segala cobaan
sebagai lambang poros kosmos (axis-mundi)
d eng an sabar, taw akal, d an ulet serta tem p at ro h-ro h nenek m o y ang d an meyakini akan keagungan dan kekuasaan
penghubung kedew ataan. Sementara itu, yang di atas, yakni Alloh SWT.
istilah mandala juga merup akan sebuah toponimi y ang bisa dimaknai sebagai pusat,
Indeks perbuatan tokoh di dalam teks kehad iran D unia A tas y ang m eny atu CPSJ dan WSJ, di antaranya ditemukan pada dengan manusia. Demikian juga adanya p eristiw a mimp inya Raja Gand aermaya latar hutan merupakan toponimi yang dapat sehingga memanggil ketiga orang putranya diberi makna sebagai lambang kosmologi untuk mewujudkan impian tersebut. Kasus Sunda primordial. Hutan sebagai tempat
D ED I K OSW ARA :A NTROPONI MI DAN T OPONI MI U NI VERSAL DI DLM S TRUKTUR N ARATI F ...
yang sejak lama oleh orang Sunda dijadikan ditemukan juga tanda simbol. Tanda simbol lad ang , temp at bertani menanam p ad i.
ini, di antaranya, hadir pada isi rajah bubuka Sunan Ambu adalah penguasa Dunia Atas
CPSJ. Rajah itu d ap at m enuntun p ad a perladangan umumnya. Langit itu Dunia
pemaknaan kosmologi masyarakat Sunda
A tas, dari mana unsur hujan itu datang zaman pantun. Dalam rajah d isebutkan yang d ap at menyuburkan p erlad angan.
berbagai nam a d ew a, raja, A llah, Nabi Langit itu “ basah” (azas perempuan) dan
Muhammad, sahabat nabi, para malaikat, “ kering” (azas lelaki) akan menimbulkan
dan para wali, serta arah tempat mata angin kesuburan tanam an d an kehid up an
dengan satu pusatnya di tengah. Dengan (Sumarjo, 2003:176)
demikian, rajah d itujukan kepad a segala Latar lain yang merup akan toponimi
jenis p enguasa ruang d an w aktu. Rajah universal hadir di Dunia Tengah manusia
m akro ko sm o s, rajah adalah latar pertapaan. Dalam CPSJ disebut
m eng hasilkan
menghadirkan yang kudus kepada manusia, nama Pertapaan Mandalagiri yang dihuni
menghad irkan sesuatu yang keramat d i o leh Sy eh Yaz id bersam a ked ua o rang
alam manusia yang akan menyebarkan p utriny a, y aitu Lam bang sara
berkat kepada seluruh ruang yang sakral Lam bangsari. Pertap aan ad alah sebuah
d an
serta akan membersihkan wilayah profane. indeks yang dapat d iberi makna sebagai
D eng an kata lain, jurup antun d eng an tem p at suci d an tem p at belajar ilm u
rajahny a m encip atkan mandala , kero hanian untuk m encap ai ting kat
mendatangkan yang esensi dalam ruang kesucian bagi seseorang. Pertapaan adalah
pertunjukan. Juru pantun adalah seorang “ dunia kosong yang isi” yang berada dalam
mediator yang menghubungkan Dunia Atas “ d unia isi y ang ko so ng ” . Isi d i d unia
dengan Dunia Manusia. Jurupantun adalah manusia ini sesungguhnya kosong (kosong
dunia tengah yang menghubungkan Dunia bagi y ang p ercay a). A kan tetap i, y ang
Manusia d engan Dunia A tas (Sumarjo , nampaknya kosong di Dunia Atas itulah
2003:87). Selanjutny a, ia m enjelaskan sejatinya isi. Yang bermakna isi di dunia
bahwa kosmologi Sunda mengenal Dunia manusia, sesungguhnya kosong. Isi yang
A tas d alam d ua kateg o ri, y aitu Buana sesungguhnya ada di dunia kosong, yakni
Nyungcung dan Buana Larang, langit dan dunia mega, dunia langit, dunia pelangi,
bumi. A lam (bumi) ini d ikuasai Batara nun
jauh di
atas,
d an
d unia
Nagaraja, Batari Nagasugih atau sejenis itu.
Di alam ini terdapat dew ata dan pohaci, merupakan bias Dunia A tas yang hadir
d ew ata.Pertap aan
sesung g uhny a
seperti pada Buana Nyungcung. Dalam ra- p ad a D unia Teng ah, m anusia. D alam
jah CPSJ dipanggil “ Sang Rumuhun” , “ Sang kosmologi Sunda lama, seperti pada carita
N ug raha” , “ Pang eran Sury ap arat” , pantun , selalu ada tuntutan agar manusia itu
“ Pang eran Karang sip at” , d an “ Ka N u sempurna di tiga dunia. Maksudnya bahwa
Agung” .
d ia harus bisa masuk d an menyatukan Kata “ Sang Rum uhun” cend erung
d itujukan kep ad a d ew ata d an p o haci. Teng ah. Salah satu jem batan untuk
D unia A tas, D unia Baw ah d an D unia
Pohaci berasal dari kata pwah aci yang berati memasuki dunia atas itu adalah manusia
inti atau sari keperempuanan. Ini sakti atau harus mencapai tingkat kesucian. Tingkat
istri p ara d ew a atau bo d hisatw a yang kesucian, di antaranya, bisa diperoleh di
merupakan sumber energi, kreativitas, dan pertapaan. Itulah sebabnya, dalam cerita-
kesaktian para dew a. Dew ata dan pohaci cerita klasik Sunda, latar pertapaan identik
m erup akan d ua p asang an tung g al, dengan hadirnya o rang-orang suci yang
bergantung pada aspek mana yang dituju, kelak d ap at d ijad ikan jem batan atau
apakah kekuasaan dew ata atau kesaktian penghubung dengan Dunia Atas.
yang berasal dari pohacinya. Penyebutan Di sam p ing tand a iko n d an ind eks
“ Sang N ug raha” m eng acu kep ad a seperti telah dikemukakan, di dalam CPSJ
penghuni di sebuah d unia yang d isebut
METASASTRA , Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 134—149
Buana Larang atau Patala. Tem p at ini
d ihuni o leh Sang N ugraha atau Batara Nagaraja, Naga Rahyang Niskala (di Bumi Paniisan). Di sini juga ada Nini Bagaw at Sangsri yang mengurusi kesuburan tanah dan Ki Bagaw at Sangsri yang mengurusi segala tanaman. Di dalam kosmologi ini, Buana Larang tidak identik dengan Neraka yang merupakan bias dari agama-agama Samaw i (Sumarjo, 2003:62). Selanjutnya, p eny ebutan nam a A llah d an N abi Muhammad oleh jurupantun tamp aknya merup akan suatu kiat agar carita pantun tetap eksis, hidup dari zaman ke zaman di dalam masyarakat Sunda, sekalipun sudah berganti agama, yaitu menjadi Islam. Di sisi lain, akar budaya nenek moyang Sunda bisa tetap dikenang dan dijadikan pengetahuan bagi generasi Sunda yang telah maju dan islami.
Tand a simbol lainnya di dalam CPSJ yang terkait erat dengan antroponimi adalah munculnya nama-nama binatang sep erti unggas, ayam d an burung garud a, ular naga, dan seekor singa. Tokoh ayam, secara lokal, memiliki sebuah simbol Dunia Atas. Demikian juga tokoh Burung Garuda, Naga W ulung , d an Sing a Baro ng, cend erung merupakan simbol hadirnya Dunia Atas. Di dalam CPSJ tokoh-tokoh tersebut berpihak dan membantu seorang pahlawan (Raden Jagatrasa) dalam perjalanan sucinya. Hal ini
d ap at d im aknai sebag ai suatu sim bo l adanya pertautan ekologi antara manusia, hewan, dengan toponimi alami yang berupa latar geografis gunung, bengawan, laut, serta penguatan hadirnya akan kebutuhan batin, yaitu pertapaan. Kemudian hadirnya latar puseur jagat ‘ pusat bumi’ d i baw ah laut sebagai sebuah negara yang berkeraton di dalam gua dapat dimaknai sebagai simbol
D unia Baw ah d alam p and angan d unia Sund a-kelautan atau m aritim . D alam hubung an
ini,
Sum arjo
m eny ebutny a d eng an D unia Baw ah Nagaraja yang bisa dicapai melalui pusaran
d i tengah laut d an Dunia Baw ah yang dicapai melalui mulut gua.
Ada simbol-simbol lainnya (yang secara implisit menjadi substansi toponimi) di dalam
CPSJ y ang menjad i p erangkat up acara sebag ai sy arat y ang harus d ihad irkan sebelum p erg elaran p antun d im ulai. Perangkat upacara tersebut berupa sesajen y ang terd iri atas (1) parupuy an, y aitu p erap ian sebag ai w ad ah p em bakaran kemenyan atau dupa, (2) pangradinan, yaitu tem p at untuk m eny im p an alat-alat kecantikan, seperti minyak kelapa, minyak wangi, sirih, pinang, bunga-bunga, sisir dan cerm in, (3) parawanten, y aitu sesajen makanan, sep erti tangtangangin (sejenis ketupat), leupeut, bubur merah, bubur putih, tumpeng, bakakak hayam, rujak buah pisang kulutuk, rujak roti, buah-buahan, ubi-ubian, kelapa muda, gula pasir atau gula batu, telur ayam kampung, dua ikat padi dan beras, (4) pany inglar , berupa d aun beringin, d aun hanjuang, anak batang pisang, dan batang tebu.
Pembakaran kemenyan dimaksudkan untuk meng hasilkan asap y ang berbau wangi. Hal ini dijadikan sebuah simbol me- dium indrawi terhubungnya dunia manusia dengan kosmologi Dunia Atas dalam sistem kepercayaan sezaman. Hal d emikian itu seiring dengan tuturan rajah jurup antun, “ bulkukus mendung ka manggung, nyambuang ka awang- awang, ka manggung neda papayung, ka dewata neda suka, ka pohaci neda suci ” . M enurut jurup antun, m elalui p embakaran kem enyan itu d iharap kan penghuni Dunia A tas dapat hadir dalam p ertunjukan y ang akan d ituturkan jurupantun.
Perang kat sesajen berup a alat kecantikan trad isio nal ad alah alat-alat kecantikan untuk kaum perempuan. Hal ini dimaksudkan sebagai sesajen bagi roh-roh Dunia Atas yang berazas keperempuanan.
D em ikan jug a tangtangangin y ang bentuknya menggambarkan emp at arah m ata ang in sem esta sebag ai d asar p embentukan mandala. Sesajen leupeut dimaknai sebagai azas kelelakian, dilengkapi dengan bubur merah dan bubur putih yang melambangkan azas lelaki (putih, Dunia Atas) dan azas perempuan (merah, dunia manusia). Begitu juga gula pasir atau gula batu
(p utih)
d an
ko p i (hitam )
D ED I K OSW ARA :A NTROPONI MI DAN T OPONI MI U NI VERSAL DI DLM S TRUKTUR N ARATI F ...
melambangkan azas lelaki dan perempuan sejajar dengan makhluk-makhluk kosmis
d ari D unia A tas d an d unia m anusia.
yang lain.
Pada umumnya, cerita pantun tersaji bentukny a
M unculny a sesajen tumpeng y ang
d alam susunan (rangkay ) cerita (1) rajah melambangkan suatu poros kosmos (axis-
m eny erup ai
g unung ,
mangkat cerita, (3) mundi ) yang dianggap tempat yang dapat
pamuka,
mend eskrip sikan kead aan kerajaan d an menghububngkan dunia manusia dengan
tokoh cerita yang berpetualang dan (4) ra- Dunia Atas. Selain itu, ubi kayu dan ubi jalar
jah pamunah atau rajah panutup (Rosidi, 1983: juga melambangkan atau menjadi simbol
33). Susunan cerita seperti itu juga dimilki p erem p uan d an lelaki, sep erti jug a
o leh CPSJ, w alaup un d alam CPSJ tid ak
d ilam bang kan d alam p o ho n tebu d an ditemukan rajah panutup. Demikian juga alur cerutu. Selanjutny a, sesajen telo r
certianya, CPSJ memiliki susunan alur cerita mengisyaratkan simbo l aw al kehidupan,
seperti alur cerita pantun pada umumnya sedangkan daun pisang muda merupakan
(Kartini, 1984:80), yaitu sebagai berikut: simbol kematian manusia dan kehidupan
barunya di Dunia Atas. Kelapa muda yang
(1) Perpisahan : (a) datangnya panggilan untuk
d ilubang i bag ian atasny a, biasany a
bertualang (b) bantuan gaib datang kepada
d isatukan d eng an batang hanjuang
yang bertualang
mengisyaratkan sebuah simbol bersatunya
(2) Ujian (inisiasi) : (a) perjalanan cobaan yang
azas lelaki dan azas perempuan, Dunia Atas
berbahaya, (b) pertemuan dengan dewa
dan dunia manusia (Sumarjo, 2003:23).
penyelamat, (c) ada wanita penggoda (d)
Perang kat sesajen yang d ihad irkan
apoteosis, pahlawan menjadi bersifat
p ad a up acara p erg elaran mantun p ad a
dewata, (e) anugerah utama
dasarnya melukiskan bersatunya kosmos, dunia atas dan dunia manusia, hadirnya
(3) Kembali : (a) jadi penguasa dunia rohani dan
Yang di Atas dan dunia manusia. Itu semua
jasmani, (b) hidup bahagia (bebas/leluasa)
dimaksudkan sebagai syarat keselamatan,
sebagai pernyataan adanya hikmah anugerah.
kerahayuan, kesejahteraan, dan kesuburan Inti cerita CPSJ dan WSJ adalah suatu bagi hidup dan kehidupan manusia di alam p eng harap an atau p enantian akan
d an alam nanti. A p abila mem erhatikan keberhasilan ketiga orang putra raja selan hadirnya persyaratan sesajen berupa kelapa
dalam menemukan dan menangkap ayam muda, batang hanjuang dan handeuleum
itu. Harapan atau penantian itu pada teks yang dimasukkan ke dalam lubang kelapa, tulis WSJ dilukiskan dalam sebuah pupuh, hal itu m enurut Sum arjo (2003:25) yaitu pupuh Kinanti. Oleh sebab itu, tepat menunjukkan adanya kepercayaan Tantra, kiranya apabila pupuh Kinanti dalam WSJ baik d alam agama Hind u-Siw a maupun
mengalami empat kali pergantian dengan Budha-Mahayana di Jawa Barat pada pasa
menempati jumlah bait (pada) yang paling lalu. Pada paham ini dikenal ada delapan
banyak.
jalan yang berjajar dan semuanya menuju satu pusat (mandala). Delapan arah tersebut
Sebagai salah satu bentuk karangan masing-masing dijaga oleh dewa-dewa atau
puisi epik, CPSJ memiliki ciri-ciri ungkapan bodhisatwa dan kekuatan-kekuatan semesta
fo rm ula yang berbed a d eng an ciri-ciri yang lain yang melind ungi d ew a pusat
ungkapan formula dalam WSJ yang ditulis dalam bentuk puisi pupuh.
(Siw a). Kalau tujuh m ata ang in telah memusat, tinggal satu mata angin yang ikut
Di dalam CPSJ ungkapan formula itu m em usat, y aitu tem p at si Jurup antun.
terdapat pada awal cerita, yaitu berupa rajah
dan kalimat awal berkisah; dan formula di m enem p atkan d iri d alam kesatuan
D eng an
d em ikian,
jurup antun
tengah cerita yang terdiri atas formula untuk kekuatan-kekuatan
menandai pergantian episode cerita dan formula berpantun. Ia memiliki daya-daya kosmis
ko sm is
selam a
untuk menandai cerita hendak berlanjut.
METASASTRA , Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 134—149
3. Penutup
Selain itu, ditemukan pula suatu formula y ang berfung si untuk m eny atakan
Ada beberapa simpulan yang diperoleh terjadinya suatu peristiwa.
dari penelitian ini, yaitu sebagi berikut.
A dapun ungkapan formula di dalam WSJ, ditandai dengan hadirnya kolofon pada
(1) Teks lisan Carita Pantun Sanghyang
akhir cerita. Selain itu, ungkapan formula
Jagatrasa (CPSJ) dan teks tulis Wawacan
juga ditemukan pada pergantian p upuh,
Sanghyang Jagatrasa (WSJ) memiliki
misalnya untuk menandai pergantian Pupuh
struktur formal dan struktur naratif. Struktur
I A smarandana ke Pupuh II Sinom, pada
formal CPSJ terbentuk oleh 8 formula,
akhir bait 21, Pup uh I A sm arand ana
sedangkan struktur formal WSJ terbentuk
d isebutkan kata nu aranom geus dongkap
oleh puisi pupuh. Struktur naratif CPSJ
‘ yang muda-muda sudah tiba’ . Pada kata
tersusun dalam 13 fungsi dan 7 lingkungan
aranom, ad a suku kata nom y ang secara
tindakan, sedangkan struktur naratif WSJ
fonologis memiliki persamaan bunyi dengan
tersusun dalam 6 model aktan dan 1 model
suku kata nom dalam pupuh sinom. Hal itu
fungsional yang terdiri atas 3 tahapan jalan
menunjukkan bahwa pupuh sebelumnya,
cerita.
yaitu Pupuh I A smarandana, selanjutnya
(2) Hadirnya antroponimi dan toponimi universal
akan diganti dengan pupuh Sinom.
pada transformasi dari kelisanan CPSJ ke
Terjadinya tranformasi dari kelisanan
keberaksaraan WSJ, secara semiotik, dapat
CPSJ ke keberaksaraan WSJ secara semiotik
dimaknai sebagai suatu upaya untuk
d ap at d im aknai sebag ai suatu up ay a
melestarikan dan mempertahankan eksistensi
p elestarian nilai-nilai ajaran moral yang
nilai ajaran moral yang tertuang dalam cerita
tertuang di dalam cerita pantun ke dalam
pantun ke dalam era (zaman) wawacan
era (zaman) wawacan sejalan dengan situasi
sejalan dengan situasi dan kondisi serta minat
dan kondisi serta minat masyarakat Sunda
masyarakat Sunda masa itu.
m asa itu. D em ikian jug a had irny a antro p o nimi d an to p o nimi universal d i
(3) Antroponimi dan toponimi universal pada
dalam CPSJ dan WSJ sekaligus merupakan
khazanah sastra Sunda buhun, seperti dalam
sebuah lukisan mo num ental berkenaan
carita pantun dan wawacan, dapat
dengan kehidupan kosmologi masyarakat
dimaknai secara semiotik sebagai suatu tanda
Sunda primordial pada masa silam.
yang mengacu pada referent tertentu tentang eksistensi kosmologi Sunda pada zamannya.
Daftar Pustaka