J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

PENGANTAR REDAKSI

Puji syukur atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, setelah melalui beberapa tahapan, akhirnya Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER Volume 2 Nomor 2 Juli-Desember 2016 dapat diterbitkan. Artikel-artikel yang dimuat dalam edisi ini adalah artikel-artikel yang telah dipresentasikan dalam Konferensi Hukum Acara Perdata II yang diselenggarakan di Surabaya dan Konferensi Hukum Acara Perdata III yang diselenggarakan di Pontianak. Konferensi tersebut diikuti oleh para Dosen Hukum Acara Perdata dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Dalam edisi kali ini sepuluh artikel disajikan di dalam Jurnal ini dengan berbagai topik mengenai penyelesaian sengketa keperdataan yang merupakan pokok kajian Hukum Acara Perdata. Artikel-artikel tersebut merupakan artikel hasil penelitian maupun artikel konseptual yang membahas berbagai model penyelesaian sengketa di bidang keperdataan.

Artikel pertama ditulis oleh Sdri. Isis Ikhwansyah dengan judul “Gugatan Terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai PT. Persero dalam Perkara Perdata”, mengulas BUMN persero sebagai Badan Hukum Publik yang apabila menimbulkan kerugian dalam aktivitas bisnis dapat digugat di pengadilan layaknya PT sebagai badan Hukum dan sebagai subyek hukum privat. Dengan demikian dalam praktik beracara perdata di pengadilan terdapat kejelasan dari BUMN sebagai badan hukum publik untuk digugat karena BUMN sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara yang berasal dari APBN. Kekayaan BUMN persero dengan kekayaan negara merupakan kekayaan yang terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan ini berarti kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dapat disamakan dengan kerugian negara. UU BUMN yang merupakan aturan hukum khusus dan lebih baru dibandingkan dengan peraturan terkait, maka dapat menggunakan asas lex specialis derogat legi generali dan lex posteriori derogat legi priori.

Artikel kedua dibawakan oleh Sdr. Ema Rahmawati dan Linda Rachmainy yang berjudul “Penjatuhan Putusan Verstek dalam Praktik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Bandung dalam Kajian Hukum Acara Perdata Positif di Indonesia”. Artikel ini merupakan hasil penelitian penulis yang didanai oleh DIPA BLU Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada Tahun 2013. Artikel ini menggunakan metode penelitian empiris yang mengkaji mengenai ketidakhadiran tergugat dalam persidangan yang diatur di dalam Pasal 125 HIR yang dikenal dengan putusan di luar hadir (verstek). Mengenai kapan dijatuhkannya putusan verstek ini menjadi variatif di dalam praktik. Penjatuhan putusan verstek dalam praktik di Pengadilan Agama Bandung umumnya dilakukan dalam perkara perceraian (gugat cerai atau cerai talak). Penjatuhan putusan verstek umumnya dilakukan setelah tergugat dipanggil dua kali untuk Artikel kedua dibawakan oleh Sdr. Ema Rahmawati dan Linda Rachmainy yang berjudul “Penjatuhan Putusan Verstek dalam Praktik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Bandung dalam Kajian Hukum Acara Perdata Positif di Indonesia”. Artikel ini merupakan hasil penelitian penulis yang didanai oleh DIPA BLU Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada Tahun 2013. Artikel ini menggunakan metode penelitian empiris yang mengkaji mengenai ketidakhadiran tergugat dalam persidangan yang diatur di dalam Pasal 125 HIR yang dikenal dengan putusan di luar hadir (verstek). Mengenai kapan dijatuhkannya putusan verstek ini menjadi variatif di dalam praktik. Penjatuhan putusan verstek dalam praktik di Pengadilan Agama Bandung umumnya dilakukan dalam perkara perceraian (gugat cerai atau cerai talak). Penjatuhan putusan verstek umumnya dilakukan setelah tergugat dipanggil dua kali untuk

Artikel ketiga, disajikan oleh Sdr. I Putu Rasmadi Arsha Putra yang berjudul “Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen”. Artikel ini mengulas tentang akibat globalisasi ekonomi yang mengakibatkan masuknya pranata ekonomi dan hukum asing ke dalam suatu negara yang memiliki sistem hukum yang berbeda, yaitu masuknya lembaga hukum yang hanya ada pada sistem Common Law ke Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law, dimana dalam pelaksanaannya seringkali menimbulkan benturan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan salah satu pranata hukum asing yang diadopsi ke dalam pranata hukum Indonesia, hal ini sejalan dengan tujuan undang- undang Perlindungan Konsumen adalah untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam menuntut hak-hak konsumen, dengan penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK. Sejauh ini BPSK masih terganjal dengan berbagai permasalahan yang melingkupi BPSK, hal ini dikarenakan perbedaan system hukum, maka diperlukan upaya-upaya agar BPSK dapat menjadi lembaga penyelesaian sengeta konsumen di luar pengadilan yang cepat, murah dan adil sesui dengan amanah dari UUPK. Upaya yang biasa dilakukan BPSK adalah melakukan perubahan terhadap substansi peraturan, kelembagaan BPSK, cara penerapan hukum serta merubah budaya hukum.

Artikel keempat ditulis oleh Sdr. M. Hamidi Masykur berjudul “Lembaga Eksaminasi Pertanahan sebagai Alternatif Model Penyelesaian Sengketa di Bidang Pertanahan”. Artikel ini mengulas tentang Lembaga Eksaminasi Pertanahan yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan konflik pertanahan. Pada tahun 2011 Pemerintah telah memberlakukan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011. Peraturan tersebut mengamanatkan adanya mekanisme kelembagaan Gelar Kasus Pertanahan dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Yang menjadi tantangan adalah mampukah Lembaga Eksaminasi Pertanahan (Peraturan Kepala BPN RI No 12 Tahun 2013) sebagai lembaga penyelesaian sengketa pertanahan diluar pengadilan (alternatif dispute resolution) mampu menjawab permasalahan konflik pertanahan yang menjadi penyumbang banyaknya perkara di Mahkamah Agung. Kelebihan dari Lembaga Eksaminasi ini adalah dapat menyelesaikan sengketa secara cepat, dan putusannya bersifat win win solution, mengurangi biaya ligitasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi, mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan. Namun kelemahan dari Lembaga Eksaminasi ini adalah kurangnya sosialisasi, belum semua kantor wilayah BPN membentuk tim eksaminasi. Diperlukan Optimalisasi lembaga Eksaminasi

Pertanahan agar penyelesaian sengketa pertanahan dapat segera diselesaiakan tanpa mekanisme peradilan yang tentu memakan waktu yang lama dan tak kunjung selesai.

Artikel kelima disajikan Anita Afriana dan Efa Laela Fakhriah dengan judul “Inklusivitas Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Tanggung Jawab Mutlak: Suatu Tinjauan Terhadap Gugatan Kebakaran Hutan di Indonesia”. Artikel ini menyoroti kasus lingkungan khususnya kebakaran hutan dan mengulas pertimbangan hukum beberapa putusan hakim dalam perkara kebakaran hutan dan pengenaan tanggung jawab mutlak yang dapat dibebankan pada Tergugat. Bahwa penegakan hukum dilakukan hakim melalui putusan sebagai produk pengadilan. Pertanggungjawaban mutlak merupakan suatu pengecualian sebagaimana yang diatur Pasal 1365 KUHPerdata. Karena berbeda dari pertanggungjawaban perdata dalam KUHPerdata, maka penerapannya bersifat inklusivitas antara lain dalam hal pencemaran lingkungan.

Artikel keenam ditulis Sdri. Galuh Puspanigrum berjudul “Karakteritik Hukum Persaingan Usaha”. Artikel ini membahas tentang kegiatan-kegiatan yang diperkenankan dan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Sebagai diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat. Selain itu artikel ini juga mengulas tentang Hukum Acara Persaingan Usaha yang terkandung hukum formil yang bermuara pada hukum acara perdata, meliputi prinsip-prinsip hukum acara perdata, mekanisme penyelesaian dan sifat putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memiliki kekuatan hukum tetap serta pelaksanaan putusan sampai dengan upaya hukum keberatan ke peradilan umum dan apabila pelaku usaha tidak melaksanakan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam hal ini terdapat inkonsistensi dalam hukum acara persaingan usaha sehingga menimbulkan permasalahan dalam pengembanan hukum pada tataran teoritis dan praktisnya.

Artikel ketujuh ditulis oleh Agus Mulya Karsona dan Efa Laela Fakhriah berjudul “Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja di Indonesia”. Artikel ini mengulas tentang keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang dalam tataran implementasinya masih mengalami banyak permasalahan seperti; Gugatan tidak mencantumkan permohonan sita jaminan; Putusan yang memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan kembali pekerja sulit dilaksanakan karena terkait kebijakan dari perusahaan; Terkait kewajiban penggugat dari pihak pekerja yang harus memberikan pembuktian, menurut hakim beban pembuktian khususnya terkait surat-surat sulit dipenuhi oleh pekerja dan menjadi kendala dalam proses gugatannya. Akan tetapi untuk mengatasi hal tersebut hakim di pengadilan lain melakukannya dengan mendatangkan saksi-saksi baik teman saat bekerja atau tetangga; Penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial ada kecenderungan menurun, hal ini disebabkan oleh antara lain : pekerja seringkali kalah Artikel ketujuh ditulis oleh Agus Mulya Karsona dan Efa Laela Fakhriah berjudul “Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja di Indonesia”. Artikel ini mengulas tentang keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang dalam tataran implementasinya masih mengalami banyak permasalahan seperti; Gugatan tidak mencantumkan permohonan sita jaminan; Putusan yang memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan kembali pekerja sulit dilaksanakan karena terkait kebijakan dari perusahaan; Terkait kewajiban penggugat dari pihak pekerja yang harus memberikan pembuktian, menurut hakim beban pembuktian khususnya terkait surat-surat sulit dipenuhi oleh pekerja dan menjadi kendala dalam proses gugatannya. Akan tetapi untuk mengatasi hal tersebut hakim di pengadilan lain melakukannya dengan mendatangkan saksi-saksi baik teman saat bekerja atau tetangga; Penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial ada kecenderungan menurun, hal ini disebabkan oleh antara lain : pekerja seringkali kalah

Artikel kedelapan ditulis oleh Sdr. Heri Hartanto yang berjudul “Perlindungan Hak Konsumen Terhadap Pelaku Usaha yang Dinyatakan Pailit”. Artikel ini mengulas mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa Pelaku Usaha berkewajiban untuk mengganti rugi apabila konsumen dirugikan akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang harus segera dibayar dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Apabila Pelaku Usaha yang memberikan barang dan/atau jasa tersebut dipailitkan oleh Pengadilan Niaga atas pemohonan kreditor atau debitor itu sendiri. Salah satu kelompok kreditor dalam hal Pelaku Usaha yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga adalah para Konsumennya. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur tersendiri tentang bagaimana penyelesaian sengketa konsumen dengan menenpatkan posisi konsumen sebagai pihak yang diberi perlindungan. Namun dengan dipailitkannya Pelaku Usaha, menjadikannya tidak cakap hukum dan kehilangan wewenang untuk mengelola kekayaannnya sendiri kemudian beralih kepada kurator. Ketidakmampuan Pelaku Usaha yang dinyatakan pailit untuk memenuhi hak konsumen menempatkan konsumen diposisi sebagai kreditor konkuren dan tidak memiliki hak untuk didahulukan.

Artikel kesembilan disampaikan oleh Sdr. Moh. Ali yang berjudul “Prinsip Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa pada Kontrak E Commerce Transnasional”. Artikel ini menilai bahwa UUPK, UU ITE, UUP maupun HPI Indonesia belum memberikan jaminan perlindungan yang tegas berkaitan dengan pilihan hukum dalam kontrak e-commerce bersekala transnasional sehingga muncul legal gap. Prinsip-prinsip pilihan hukum yang lazimnya didasarkan atas kebebasan berkontrak dan kesepakatan para pihak mengalami pergeseran paradigma terutama didasarkan doktrin negara kesejahteraan dimana ruang publik perlu mendapatkan perlindungan. Dalam soal penyelesaian sengketa, kebanyakan negara civil law menganut prinsip country of reception yaitu aturan yang memperbolehkan konsumen pemakai terakhir (end user) menerapkan Undang Undang Perlindungan Konsumen negaranya. Prinsip ini dikecualikan terhadap transaksi konsumen dan tidak berlaku pada kontrak e-commerce antara pengusaha. Untuk mengatasi legal gap pada penyelesaian sengketa e-commerce transnasional maka perlu dilakukan legal reform yang mengadaptasi kerberlakuan prinsip country of reception ini ke dalam regulasi Indonesia sehingga kepentingan konsumen dapat terlindungi.

Jurnal edisi kali ini ditutup oleh tulisan dari I Ketut Tjukup, Nyoman A. Martana, Dewa N. Rai Asmara Putra, Made Diah Sekar Mayang Sari, dan I Putu Rasmadi Arsha Putra, yang berjudul “Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata Jurnal edisi kali ini ditutup oleh tulisan dari I Ketut Tjukup, Nyoman A. Martana, Dewa N. Rai Asmara Putra, Made Diah Sekar Mayang Sari, dan I Putu Rasmadi Arsha Putra, yang berjudul “Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata

44 berlaku untuk wilayah hukum Jawa dan Madura), dan RBg (Reglement daerah seberang STB 1927 No. 227) berlaku luar Jawa dan Madura. Mencermati pluralistiknya hukum acara perdata Indonesia yang sampai sekarang belum memiliki Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata yang nasional, hukum acara yang demikian dalam penerapannya timbul multi interpretasi, sulit mewujudkan keadilan dan tidak menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu Hakim sebagai penegak hukum dan untuk mewujudkan keadilan tidak boleh hanya bertindak sebagai mulut undang-undang, hakim harus progresif dan selalu memperhatikan perasaan keadilan para pihak dalam proses pemeriksaan di persidangan, sebagaimana yang diatur oleh moralitas para pihak yang dilanggar selalu menginginkan keadilan atau penegakan hukum identik dengan penegakan keadilan. Perwujudan keadilan haruslah didahului dengan kepastian hukum sehingga sangat diperlukan hukum acara perdata yang unifikasi atau tidak terlalu banyak multi interpretasi, yang akhirnya putusan Hakim yang adil dapat diketemukan. Jadi hukum acara perdata yang pluralistik dalam penerapannya banyak timbul hambatan, tidak mencerminkan kepastian hukum dan sangat sulit mewujudkan keadilan, sehingga sangat diperlukan satu kesatuan hukum acara perdata (unifikasi hukum).

Pemikiran-pemikiran yang tertuang di dalam artikel pada jurnal ini semoga dapat memberikan manfaat dan tentunya dorongan bagi berbagai pihak untuk memberikan perhatian pada pembaharuan Hukum Acara Perdata Indonesia yang harus diakui sudah cukup renta serta tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pembaharuan Hukum Acara Perdata diharapkan memberikan kepastian hukum dalam proses penegakan hukum perdata di Indonesia serta mampu beradaptasi dengan perkembangan bisnis dan teknologi. Kami redaktur JHAPER mengucapkan selamat membaca!

PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN BERDASARKAN HUKUM ACARA PERDATA YANG PLURALISTIK

I Ketut Tjukup, Nyoman A. Martana, Dewa N. Rai Asmara Putra,

Made Diah Sekar Mayang Sari, dan I Putu Rasmadi Arsha Putra *

ABSTRAK

Hukum Acara Perdata yang berlaku sebagai dasar hukum dalam pemeriksaan perkara perdata di Indonesia sampai detik ini sangat pluralistik dan tersebar dalam berbagai Peraturan Perundang- undangan. Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 masih tetap mempergunakan HIR (Reglement Indonesia yang diperbaharui STB 1941 No. 44 berlaku untuk wilayah hukum Jawa dan Madura), dan RBg (Reglement daerah seberang STB 1927 No. 227) berlaku luar Jawa dan Madura. Mencermati pluralistiknya hukum acara perdata Indonesia yang sampai sekarang belum memiliki Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata yang nasional, hukum acara yang demikian dalam penerapannya timbul multi interpretasi, sulit mewujudkan keadilan dan tidak menjamin kepastian hukum. Metode dalam penulisan ini ialah normatif dengan penelusuran bahan hukum primer dan sekunder. Pendekatan untuk menganalisis ialah pendekatan perundang-undangan, konseptual dan kasus. Hakim sebagai penegak hukum dan untuk mewujudkan keadilan tidak boleh mulut undang-undang, hakim harus progresif dan selalu memperhatikan perasaan keadilan para pihak dalam proses pemeriksaan di persidangan. Sebagaimana yang diatur oleh moralitas para pihak yang dilanggar selalu menginginkan keadilan atau penegakan hukum identik dengan penegakan keadilan. Dalam perkara perdata beraneka kepentingan akan dituntut hakim yang kritis, menguasai hukum secara koprehensif dan dapat mewujudkan hakikat keadilan dalam penegakan hukum berdasarkan hukum acara perdata yang fluralistik. Persoalan keadilan ialah persoalan yang sangat fundamental dalam penegakan hukum. Perwujudan keadilan haruslah didahului dengan kepastian hukum sehingga sangat diperlukan hukum acara perdata yang unifikasi atau tidak terlalu banyak multi interpretasi, yang akhirnya putusan Hakim yang adil dapat diketemukan. Jadi hukum acara perdata yang pluralistik dalam penerapannya banyak timbul hambatan, tidak mencerminkan kepastian hukum dan sangat sulit mewujudkan keadilan, sehingga sangat diperlukan satu kesatuan hukum acara perdata (unifikasi hukum).

Kata Kunci: Penegakan Hukum, Perkara Perdata, Asas Keadilan

* Para penulis adalah Dosen pengajar Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, dan dapat

dihubungi melalui ketut.tjukup@fh.unud.ac.id.

350 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 349–366

PENDAHULUAN Latar Belakang

Hukum Acara Perdata sebagai hukum formil yang berfungsi mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materiil apabila ada pelanggaran. Lebih kongkrit menurut Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan

tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya. 1 Hal ini harus ada aturan main yaitu Hukum Acara yang dipakai dasar hukum dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan. Berangkat dari Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam hukum positif di Indonesia (ius constitutum) sumbernya sangat pluralistik dan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Darurat No. 1 Tahun 1951 berturut-turut yaitu :

1. Het Huziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglement Indonesia yang diperbaharui STB 1848 No 16, STB 1941 No. 44 berlaku untuk wilayah hukum Jawa dan Madura)

2. Rechtsreglement Buitengewijsten (RBG atau Reglement daerah seberang STB 1927 No 227 berlaku di wilayah hukum diluar Jawa dan Madura)

3. RV (BRV) Burgerlijk Rechtsvoordering yang berlaku bagi golongan Eropa.

4. RO (Reglement op de Rechterlijk organisatie in het beleid der justitie in Indonesie atau Reglement tentang organisasi kekuasaan kehakiman STB 1847 No. 23.

5. Buku ke IV BW, WVK, Peraturan Kepailitan. 2

Selain disebutkan menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 dapat disebutkan sumber-sumber lainnya yaitu : Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Peradilan Umum, Undang-Undang Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung, Yurisprudensi M.A., adat istiadat kebiasaan hakim, perjanjian internasional tentang kerjasama peradilan, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 beserta peraturan pelaksana dan sumber-sumber hukum lainnya.

Mencermati pluralistiknya sumber-sumber Hukum Acara Perdata Indonesia yang sampai sekarang belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang bersifat nasional. Hukum acara yang demikian akan menimbulkan multi interpretasi dalam penerapannya, tidak mencerminkan kepastian hukum dan sangat sulit mewujudkan keadilan dalam perkara perdata. Lebih-lebih para penegak hukum hanya berpandangan hukum adalah undang-undang (aliran legisme), atau menurut Sabian Utsman, karena masih berpandangan hukum adalah undang-undang (tanpa memperhatikan gejolak masyarakat sehingga tidak ada komitmen dan

1 Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan I. Liberty, Yogyakarta, h. 2. 2 Ibid, h. 6-7.

Tjukup, dkk.: Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata 351

moralitas untuk membangun hukum yang ideal berkeadilan disamping berkepastian yang profesional. 3

Para penegak hukum seperti hakim kecendrungan corong atau mulut undang-undang, hal ini mengabaikan perasaan keadilan yang hidup di masyarakat yang terus berkembang. Hukum positif dapat menjamin kepastian hukum, tapi baru lengkap jika disusun sesuai dengan

prinsip-prinsip keadilan. 4 Hal ini baru nampak atau semakin terasa jika kepentingan penegakan hukum identik dengan penegakan keadilan. 5

Masyarakat umum yang merasa dikurangi atau dilanggar haknya oleh pihak lain menginginkan ia mendapatkan keadilan sebagaimana yang dituntut oleh moralitas yang hidup di masyarakat. 6 Dalam penegakan perkara perdata di Pengadilan secara moralitas Hakim mempunyai kewajiban dalam memutus perkara perdata yang dituangkan dalam Putusan Hakim harus dapat mewujudkan keadilan bagi pencari keadilan, tuntutan moralitas atas keadilan, dalam hal ini Hakim dalam pemeriksaan perkara perdata wajib dalam putusannya dapat menjamin kepastian hukum yang berkeadilan. Hal ini harus disadari oleh Hakim Perdata, oleh karena peristiwa hukum perdata yang sangat luas dan dengan kepentingan yang berbeda- beda, akan dapat menimbulkan kasus-kasus perdata yang berbeda-beda dapat menimbulkan kepastian hukum yang berbeda-beda demikian juga keadilan. Hal ini menuntut Hakim yang kritis, menguasai pengetahuan hukum perdata yang koprehensif, dan dapat mewujudkan hakikat keadilan dalam penegakan hukum perdata di Pengadilan.

Lebih jauh menurut Numenson Sinamo, hakikat hukum adalah bagaimana hukum itu dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh dan hukum mampu memenuhi fungsi / tujuannya memuaskan para pencari keadilan. Seorang filsuf hukum mencari hakikat dari hukum dimana ia harus mengetahui apa yang ada di belakang hukum, apa yang tersembunyi dalam hukum dan menyelidiki kaedah-kaedah hukum sebagai pertimbangan nilai, memberi penjelasan, postulat-postulat hukum sampai pada dasar-dasarnya filsafat terkahir, bahkan ia berusaha

untuk mencari akarnya dari hukum. 7 Dalam tugasnya sebagai Hakim dalam memeriksa perkara perdata hakim dituntut untuk memahami lapisan-lapisan ilmu hukum (sistem-sistem hukum positif, teori hukum dan filsafat hukum). Disamping itu, Hakim harus memahami perilaku dari masyarakat melalui disiplin kenyataan dalam ilmu hukum, seperti sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum dan psikologi hukum.

3 Sabian Utsman, 2000, Menuju Penegakan Hukum Reponsif, Cetakan II. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 6. 4 Numenson Sinamo, 2014, Filsafat Hukum Dilengkapi dengan Materi Etika Profesi Hukum, Jakarta, h. 77. 5 Ibid. 6 Ibid, h. 71-72. 7 Ibid, h. 65.

352 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 349–366

Tujuan hukum yang lebih dalam selain kepastian hukum ialah keadilan. Menurut O. Notohamidjojo, tujuan hukum yang lebih dalam dan hakiki, hukum mengarah pada keadilan. 8 Lebih jauh dikemukakan hukum yang tidak mengarah kepada keadilan adalah bukan hukum. Hukum yang dikosongi segi keadilannya, mewujudkan alat paksa, alat kekuasaan dari pemerintahan diktator. Sebab itu kita yang dipanggil mengembalakan hukum perlu tetap waspada agar hukum yang kita gembalakan mengarah pada keadilan dan menunaikan

keadilan. 9 Disamping Hukum Acara Perdata yang pluralistik, demikian juga hukum perdata Indonesia yang sampai sekarang memperlakukan BW. W.V.K. hukum nasional, hukum adat. Hakim harus mampu mengembalakan hukum yang demikian oleh karena keadilan tersebut sangat relatif dalam masyarakat dengan budaya yang berbeda.

Haruslah diakui pengintegrasian persoalan keadilan kedalam peraturan perundang- undangan yang pluralistik adalah sangat sulit karena adanya multi interpretasi dari kalangan para penegak hukum. Menurut Dominikus Rato dalam mencari, menemukan dan memahami hukum, diantara itu persoalan yang paling menonjol dalam kaitannya dengan hukum adalah persoalan keadilan, karena hukum atau aturan perundang-undangan haruslah adil, namun

sering kali berkebalikan bahkan terabaikan. 10 Persoalan keadilan dalam ilmu hukum adalah merupakan persoalan yang sangat fundamental atau sangat mendasar. Menurut Kaum Naturalis tujuan utama hukum adalah keadilan. 11 Dalam keadilan karena ada sifat relativisme, abstrak, luas, dan kompleks maka tujuan hukum sering ngambang. Oleh karena itu selayaknya tujuan hukum haruslah lebih realistis. 12

Tujuan hukum yang kita ketahui ialah kepastian hukum, keadilan dan kefaedahan dalam penegakan hukum yang paling substansial ialah keadilan. Seorang pemikir Yunani Aristoteles mengatakan uniquique suum tribuere (memberikan kepada setiap orang sesuatu yang menjadi haknya) dan meminem laedere (janganlah merugikan orang lain, atau menurut Kant Honeste

Rivere, neminem laedere suum queque tribuere/tribuendi. 13 Dalam kaitannya dengan pendapat Aristoteles, Kant, para pihak yang bersengketa perdata yang telah menyerahkan penyelesaiannya melalui Pengadilan / Hakim, Hakim dengan tugasnya menyelesaikan sengketa haruslah dapat memberikan keadilan siapa yang paling berhak untuk mendapatkannya apakah penggugat atau tergugat. Menurut legalitas tindakan individu adalah adil/tidak adil berarti

8 O. Notohamidjojo, 1975, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK. Gunung Mulya, Jakarta Pusat, h. 84. 9 Ibid.

10 Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, Cetakan I, Laksbang Justitia, Surabaya, h. 58.

11 Ibid, h. 59. 12 Ibid. 13 Ibid.

Tjukup, dkk.: Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata 353

legal atau tidak legal, tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian dari tata hukum positif. 14

Berdasarkan uraian latar belakang di atas demikian pentingnya keadilan dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan dari judul “Penegakan Hukum Yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan Berdasarkan Hukum Acara Perdata yang Pluralistik”. Berdasarkan Hukum Acara Perdata yang pluralistik dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

Rumusan Masalah

1. Hambatan-hambatan untuk mencapai keadilan dalam penerapan Hukum Acara Perdata yang pluralistik dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan.

2. Bagaimana mengintegrasikan akses keadilan kedalam Hukum Acara Perdata yang sangat pluralistik sebagai dasar hukum dalam penyelesaian sengketa perdata.

Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuannya ialah ingin mengetahui secara umum perwujudan akses keadilan dan menganalisis hambatan-hambatan serta menganalisis pengintegrasian akses keadilan kedalam hukum acara yang fluralistik. Dan hasilnya dapat disumbangkan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu Hukum Acara Perdata.

Metode Penelitian

Metode dalam penulisan ini ialah normatif dengan mengkaji nilai-nilai keadilan, asas- asas hukum dalam peraturan perundang-undangan dibidang hukum acara perdata. Pendekatan yuridis, pendekatan konseptual dan pendekatan filsafat di dalam membahas dari rumusan masalah yang telah ditentukan. Bahan hukum yang dipakai ialah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik analisis dari bahan hukum primer dan sekunder dalam menganalisa dan membahas dua rumusan masalah di atas dengan lebih mengedepankan pendekatan filsafat, dengan teknik analisis deskriptif analisis.

PEMBAHASAN Pemeriksaan Perkara Perdata Berdasarkan Hukum Acara Perdata yang Pluralistik

Seperti uraian sebelumnya hukum Acara Perdata yang berlaku dalam proses pemeriksaan perkara perdata masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini

14 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2012, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Cetakan II, Jakarta, h. 21.

354 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 349–366 menimbulkan multi interpretasi dalam pemeriksaan perkara perdata, tidak mencerminkan

kepastian hukum dan dapat berakibat sulit mewujudkan keadilan bagi pencari keadilan. Hukum Acara Perdata yang pluralistik dapat menimbulkan konflik norma, kekaburan norma, dan kekosongan norma dan hal ini disebabkan Hukum Acara Perdata menurut HIR dan RBg yang merupakan peninggalan kolonial sudah banyak pasal-pasalnya tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat.

Hukum Acara Perdata yang demikian sudah tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang merupakan jantungnya aturan hukum. Asas hukum merupakan penilaian yang sangat fundamental dalam sistem-sistem hukum yang berlaku. Paul Scholten menguraikan asas hukum ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan hakim yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat

dipandang sebagai penjabarannya. 15 Selanjutnya asas hukum memainkan peranan pada interpretasi terhadap aturan hukum dan dengan itu menentukan wilayah penerapan kaedah hukum. 16

Dalam Hukum Acara Perdata Pasal 118 HIR, 142 RBg. Ditentukan bahwa tuntutan hak di ajukan oleh pihak yang berkepentingan, Hakim bersifat menunggu (asas iudex ne procedet ex officio), dan (wajib memeriksa perkara), tidak boleh menolak memeriksa perkara dengan alasan undang-undang atau hukum tidak mengatur tapi wajib untuk memeriksa, karena Hakim dianggap tahu hukum (iuscuria novit). Hukum Acara Perdata yang pluralistik dalam tahapan- tahapan pemeriksaan perkara perdata, menurut Pasal 121 ayat (4) HIR dan Pasal 145 ayat (4) RBg gugatan tidak akan didaftar apabila belum melunasi biaya perkara. Pasal ini belum mencerminkan perasaan keadilan bagi yang tidak mampu dalam usaha untuk memperoleh pemerataan keadilan, belum ada kriteria yang jelas untuk mengukur orang tidak mampu.

Pemeriksaan selanjutnya menurut Pasal 121 ayat (1) HIR Pasal 145 ayat (1) RBg. Hakim membuka sidang dan memanggil pihak-pihak secara patut, dalam praktek bervariasi satu kali, dua kali, tiga kali, hal ini tidak mencerminkan kepastian hukum. Usaha-usaha perdamaian menurut Pasal 130 HIR, 154 RBg dan mediasi di Pengadilan menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 apabila mengalami kegagalan dapat menghambat pelaksanaan peradilan sederhana, cepat, dan biaya murah. Hakim aktif sangat dibutuhkan dalam proses untuk mewujudkan perdamaian dalam pemeriksaan perkara perdata.

15 J.J.H. Bruggink, 2011, Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 119-120. 16 Ibid, h. 120.

Tjukup, dkk.: Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata 355

Demikian juga class action menurut PERMA No. 1 tahun 2002 sering mengalami kesulitan dalam merumuskan syarat-syarat gugatan perwakilan. Menurut Yahya Harahap hal ini dihadapkan pada dua sistem hukum dalam pemeriksaan gugatan perwakilan, pertama prosedur pemeriksaan tunduk pada PERMA No. 1 Tahun 2002 dan kedua asas pemeriksaan biasa

menurut Hukum Acara Perdata yang digariskan oleh HIR dan RBg. 17 Mengenai asas kuasa ketentuan HIR dan RBg tidak mewajibkan memakai seorang kuasa dan dapat menyulitkan bagi yang buta hukum. Menurut Pasal 123 HIR, 147 RBg ayat (1), kedua belah pihak jika mereka menghendaki dapat meminta bantuan atau mewakilkan pada seorang kuasa yang untuk maksud itu harus dilakukan dengan surat kuasa khusus, kecuali badan yang memberi kuasa itu sendiri hadir. 18

Tentang kuasa khusus menurut Yahya Harahap berdasarkan Pasal 1795 KUHPerdata pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan

pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. 19 Selanjutnya menurut Yahya Harahap meskipun kuasa tersebut bersifat khusus, khusus tersebut tidak dapat dipergunakan untuk tampil di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa. Alasannya sifat khusus yang dimiliki bukan untuk tampil di pengadilan, tapi hanya untuk

menjual rumah. 20 Dalam hal ini perlu penjelasan demi adanya kepastian hukum terhadap kepentingan yang akan dikuasakan oleh pemberi kuasa.

Tahapan proses berikutnya sebelum jawaban pada gugatan, dalam Hukum Acara Perdata dikenal acara istimewa yaitu gugatan gugur dan VERSTEK. Persoalan Verstek menurut Pasal 125 HIR dalam ayat (1) ditentukan, jikalah si tergugat dipanggil dengan patut untuk menghadap pada hari yang ditentukan dan tidak juga menyuruh orang lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatan itu diterima dengan keputusan tidak hadir, kecuali jika nyata kepada Pengadilan Negeri bahwa gugatannya itu melawan hak atau tidak beralasan. Untuk merealisasikan Verstek ini ialah asas audi et alteram partem dan Hakim harus aktif, secara ex officio karena jabatannya demi menegakkan keadilan gugatan penggugat melawan hak atau tidak beralasan. Asas aktif ini harus penegasan dibandingkan dengan asas hakim pasif oleh karena dalam Hukum Acara Perdata kebenaran formil yang dicari tapi tidak mengurangi juga kebenaran materiil seperti uraian di atas tadi. Penegakan mengenai verstek menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata menegaskan, verstek ialah pernyataan bahwa tergugat

17 Yahya Harahap, 2008. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan dan Putusan Pengadilan, Cetakan VII, Sinar Grafika, Jakarta, h. 155.

18 K. Wantjik Saleh, 1990, Hukum Acara Perdata RBg, HIR, Cetakan X, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 20. 19 Yahya Harahap, Op. Cit, h. 7. 20 Ibid.

356 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 349–366 tidak hadir meskipun ia menurut hukum acara harus datang. Verstek hanya dapat dinyatakan

apabila pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap pada sidang yang pertama dan apabila perkara diundurkan sesuai dengan Pasal 126 HIR juga pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap lagi. 21

Dalam tahap mengajukan jawaban gugatan ada bentuk rekonvensi (gugat balik, gugat balas) yang menimbulkan multiinterpretasi baik dari pandangan para sarjana, aturan (hukum) dan penerapannya oleh Hakim. Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad, rekonvensi ialah jawaban tergugat terhadap gugatan penggugat

atas perkara yang diperiksa oleh Hakim. 22 Dapat diajukan pada jawaban pertama dan pada saat dupliek, disamping itu rekonvensi tidak mesti diajukan bersama-sama dengan jawaban gugatan tapi dapat juga diajukan gugatan baru secara terpisah.

Menurut Abdulkadir Muhammad, pada dasarnya rekonvensi adalah gugatan yang berdiri sendiri tidak ada hubungannya dengan gugatan konvensi dalam ketentuan HIR dan RBg. tidak mengharuskan adanya koneksitas antara rekonvensi dengan konvensi, janggal dalam praktek Hakim akan memisahkan atau diperiksa sendiri-sendiri, jika ada koneksitas rekonvensi dan konvensi dapat diperiksa dalam sidang yang sama. 23

Tujuan rekonvensi adalah menghindarkan kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan dan pula mempermudah jalannya acara dan menghemat biaya perkara. 24 Multi interpretasi yang penulis telah uraikan sebelumnya dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan dapat menghambat pelaksanaan asas trilogi peradilan (yaitu sederhana, cepat dan biaya murah). Pada prinsipnya menurut penulis gugatan rekonvensi diputus secara bersama- sama dengan gugatan konvensi, sepanjang ada hubungannya, dapat merealisasi asas trilogi peradilan dan mencegah putusan saling bertentangan.

Pada tahap selesai jawab-menjawab gugatan dilanjutkan dengan proses pembuktian. Menurut pendapat Bambang Sugeng dan Sujayadi, karena dari hasil pembuktian dapat diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan. 25 Selanjutnya dikatakan ada 2 (dua) unsur yang memegang peranan penting dalam pembuktian.

21 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Cetakan VI, Mandar Maju, Bandung, h.20.

22 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 116. 23 Ibid, h. 117. 24 Ibid. 25 Bambang Sugeng dan Sujayadi, 2012, Pengantar Hukum Acara Perdata, Contoh Dokumen Litigasi, Kencana

Prenada Group, Jakarta, h. 63.

Tjukup, dkk.: Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata 357

1. Membuktikan sesuatu dengan alat bukti yang syah dan tidak boleh dengan setiap alat. Menurut Pasal 164 IR, 1866 BW ada lima alat bukti (1. bukti tulisan, 2. bukti saksi, 3. bukti persangkaan, 4. bukti yang akurat, 5. bukti sumpah).

2. Oleh karena kelima alat bukti di atas dapat digunakan sebagai alat bukti, maka peraturan perundang-undangan mengatur cara pembuatan, penggunaan dan kekuatan (nilainya) sebagai alat bukti. 26

Dalam tahap pembuktian ini akan dapat meyakinkan Hakim atas kebenaran dari peristiwa atau sengketa perdata yang dipersoalkan oleh pihak-pihak.

Pembuktian yang merupakan bagian yang sangat menentukan, banyaknya teori-teori dalam hukum pembuktian, aturan-aturan hukumnya sangat memberatkan salah satu pihak lain membawa konsekuensi timbul multi interpretasi dalam penerapannya. Menurut pendapat Yahya Harahap, hukum pembuktian (law of evidence) merupakan bagian yang sangat komplek

dalam proses litigasi. 27 Selanjutnya dikemukakan keadaan kompleksitasnya makin rumit karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (post event) sebagai suatu kebenaran (truth). 28 Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran absolut (ultimate truth) tetapi bersifat kebenaran relatif atau bersifat kemungkinan (probable) namun untuk mencari kebenaran yang demikianpun tetap menghadapi kesulitan. 29

Pendapat pakar lain dapat penulis kemukakan diantaranya ialah adanya perubahan yang terjadi terhadap alat-alat bukti. Menurut Efa Laela Fakhriah perubahan terjadi dalam hal macam-macam alat bukti yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa perdata melalui

pengadilan dengan dikenalnya dan digunakannya alat bukti elektronik di masyarakat. 30 Selanjutnya Efa Laela Fakhriah, dalam tataran hukum formal baik HIR dan RBg maupun aturan hukum lainnya sampai saat ini belum mengatur tentang dokumen/data elektronik sebagai salah satu alat bukti. Dengan kata lain hukum pembuktian di Indonesia belum mengakomodasi

kebenaran dokumen/data elektronik sebagai alat bukti. 31 Seperti misalnya data/dokumen elektronik dikaitkan dengan tanda tangan digital, peraturan bea meterai yang harus dipenuhi oleh alat bukti surat, pemeriksaan saksi dengan teleconference, alat bukti lainnya rekaman radio kaset, VCD/DVD, foto, faximil, CCTV, SMS (short massage system). 32

26 Ibid. 27 Yahya Harahap, Op. Cit., h. 496. 28 Ibid. 29 Ibid. 30 Efa Laela Fakhriah, 2011, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata, Alumni, Bandung, h. 4. 31 Ibid. 32 Ibid.

358 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 349–366

Senada dengan pendapat Efa Laela Fakhriah yaitu menurut Achmad Ali dan Wiwie Heryani, alat-alat bukti baru yang muncul dalam lalu lintas keperdataan diantaranya a. pembicaraan telepon, b. testing darah, c. hasil komputer, d. foto copy, e. rekaman kaset, f. hasil fotografi,

g. dan lain-lainnya. 33 beban pembuktian adalah hal yang sulit karena aturan yang ada belum memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Dalam asas beban pembuktian menurut Pasal 163 HIR, 283 RBg siapa yang mendalilkan sesuatu dia harus membuktikannya. Bunyi Pasal 163 HIR, 283 RBg dan 1865 KUH Perdata : Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

Secara teori asas pembagian beban pembuktian dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg dan Pasal 1865 KUH. Perdata sangat mudah untuk dipahami. Dalam perkembangan perdagangan dan industri dan timbulnya kasus-kasus pencemaran yang merugikan masyarakat luas / merugikan publik sangat memberatkan pihak-pihak khususnya penggugat. Menurut Efa Laela Fakhriah, dalam kasus-kasus tertentu seeprti kasus lingkungan hidup, sengketa

kesalahan profesi medis asas ini tidak dapat diterapkan. 34 Dalam hal ini sistem pembuktian yang berlaku ialah sistem pembuktian terbalik dengan asas tanggung jawab langsung atau tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liabilityi). 35 Dapat dilihat dalam Pasal 88 UU No.

32 Tahun 2009 (UUPPLH) bunyinya : setiap orang yang tindakannya, usahanya dan atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Dalam kaitannya dengan penerapan beban pembuktian dalam perkara perdata, menurut Yahya Harahap, penerapan beban pembuktian atau pembagian beban pembuktian merupakan masalah hukum atau yuridis. Oleh karena menurut Yahya Harahap adalah masalah yuridis,

penerapannya dapat diperjuangkan ke tingkat kasasi pada Mahkamah Agung. 36 Artinya apabila PN. PT. salah meletakkan pembagian beban pembuktian, pihak yang merasa dirugikan dapat menjadikan kesalahan penerapan itu sebagai alasan kasasi. 37 Kesalahan yuridis yang dikemukakan oleh Yahya Harahap menurut penulis termasuk didalamnya asas keadilan.

Hal lain yang juga menimbulkan multi interpretasi ialah descente (pemeriksaan setempat). Hal ini diatur dalam dua aturan hukum yaitu: HIR, RBg, dan R.O. Menurut Pasal 26, 29 RO,

33 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 78.

34 Efa Laela Fakthriah, Op. Cit., h. 37. 35 Ibid. 36 Yahya Harahap, Op. Cit., h. 521. 37 Ibid.

Tjukup, dkk.: Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata 359

Pasal 35 RBg pada asasnya sidang di Pengadilan, tapi demi kepastian menurut HIR, RBg, dapat dilakukan Descente.

Setelah tahap pembuktian dibuatlah kesimpulan untuk selanjutnya Hakim akan mengambil putusan. Tahap berikutnya ialah tahap eksekusi atau tahap pelaksanaan putusan. Pada asasnya hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) yang dapat dimohonkan eksekusi, akan tetapi putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetappun dapat dimohonkan eksekusi meskipun ada upaya hukum banding atau kasasi. Eksekusi tersebut disebut dengan eksekusi terlebih dahulu atau uitvoerbaar by voorrood. Menurut Subekti yang dikutip oleh Yahya Harahap praktek penerapan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu telah mendatangkan banyak kesulitan dan memusingkan para

Hakim. 38 Timbul pertanyaan bagaimana apabila putusan Pengadilan Negeri yang belum berkekuatan hukum tetap dibatalkan ditingkat banding (Pengadilan Tinggi). Hal ini timbul perbedaan pendapat dalam penerapannya karena dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang mohon eksekusi ini.

Ada beberapa variasi dalam penerapannya yaitu untuk memperkecil resiko atau permasalahan yang akan timbul. Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat MA) dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (disingakt SEMA) yang dapat dipakai pedoman oleh Hakim dalam penerapan eksekusi terlebih dahulu tersebut. Berturut-turut yang telah ditentukan dalam SEMA.

a. SEMA No. 13 Tahun 1964 (10 Juli 1964)

1) Jangan secara mudah mengabulkan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar byvoorrad)

2) Hakim sedapat mungkin jangan mengabulkannya meskipun memenuhi syarat

3) Apabila sempat dikabulkan, putusan itu jangan dilaksanakan atau ditunda pelaksanaannya sampai putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

b. SEMA No. 5 Tahun 1969 (2 Juni 1969)

1) Pelaksanaan atas putusan ini perlu persetujuan

2) Persetujuan MA menyerahkan kepada Pengadilan Tinggi

c. SEMA No. 3 Tahun 1971 (17 Mei 1971) Yaitu mempertegas syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 180 ayat (1) HIR. Pasal 191 ayat (1) RBg.

38 Ibid, h. 898.

360 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 349–366

d. SEMA No. 6 Tahun 1975 (1 Desember 1975)

1) Kewenangan menjatuhkan putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu harus mengindahkan syarat-syarat dalam Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) RBg, bersifat diskrisioner bukan bersifat imperatif.

2) Dalam hal yang sangat eksepsional dapat dikabulkan dengan syarat-syarat

a) Apabila ada conservatoir beslag yang harga barang yang disita tidak mencukupi menutup jumlah gugatan.

b) Meminta jaminan kepada pemohon eksekusi yang seimbang nilainya

c) Pada saat diucapkan putusan sudah selesai

d) Dalam waktu dua minggu setelah diucapkan salinan putusan dikirimkan pada P.T untuk meminta persetujuan.

e. SEMA No. 3 Tahun 1978 (1 April 1978) SEMA ini menegaskan kembali :

1) Agar para Hakim diseluruh Indonesia tidak menjatuhkan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uit voerbaar byvoorraad)

2) Hanya dalam hal yang tidak dapat dihindarkan dapat dikabulkan dengan mengingat syarat-syarat yang ditentukan dalam SEMA No. 6 Tahun 1975.

Dengan ketentuan-ketentuan SEMA tersebut menggambarkan multi interpretasi dalam penerapannya dikalangan para penegak hukum (hakim, pengacara) dan juga dikalangan ilmuan.

Demikianlah pada sub ini tentang permasalahan dalam tahap-tahap pemeriksaan yang telah penulis paparkan dan akan dikaji dalam sub analisis berikutnya.

Analisis Pengintegrasian Asas Keadilan Dalam Pemeriksaan Perkara Perdata di Persidangan Pengadilan Berdasarkan Hukum Acara Perdata yang Pluralistik

Dalam ilmu hukum tujuan hukum ialah keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Apakah ketiga (3) tujuan hukum tersebut dapat terimplementasi dalam penegakan hukum dalam hal ini penegakan hukum di dalam pemeriksaan perkara perdata. Dalam tahapan-tahapan pemeriksaan yang penulis telah uraikan pada sub sebelumnya sampai diambilnya putusan hakim sudah tentu sangat diharapkan tidak akan ada penolakan oleh para pihak (pencari keadilan) dan putusan dapat dieksekusi secara sukarela serta eksekusi tidak terjadi paksaan. Patut kita ketahui bahwa persoalan keadilan ialah merupakan persoalan yang sangat fundamental dalam penegakan hukum.

Tjukup, dkk.: Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata 361

Melalui pengadilan yang dikendalikan oleh Hakim tentunya harapan semua masyarakat akan diketemukan keadilan. Menurut pendapat Bambang Sutiyoso, mengingat pengadilan ialah institusi hukum bagi pencaharian keadilan, maka problema-problema yang bersentuhan dengan paradigma tersebut tak dapat begitu saja dimatikan karena gugatan dan tanggapan luas yang telah diberikan baik dari kalangan profesi hukum maupun masyarakat awam perlu

dipahami sebagai sikap keprihatinan terhadap praktek peradilan. 39

Lebih jauh dikemukakan oleh Bambang Sutiyoso, ketidakpuasan masyarakat luas terhadap putusan-putusan pengadilan selama ini hakikatnya ketidaksesuaian antara keadilan yang tumbuh dalam perasaan masyarakat dengan keadilan yang diberikan oleh Hakim sebagai

aktor pengadilan berdasarkan skenario yang telah digariskan oleh undang-undang. 40 Dari pendapat Bambang Sutiyoso tersebut bila dikaitkan dengan problem hukum acara perdata yang pluralistik, sudah tentu dituntut Hakim yang kritis dan profesional dalam pemeriksaan perkara perdata.

Kita sering mendengar keluhan-keluhan dari masyarakat yaitu : keadilan yang diberikan melalui prosedur formal, dalam hal ini hukum acara perdata yang sering tidak diterima oleh pencari keadilan. Demikian juga disamping sumber hukum acara perdata yang sangat pluralistik dan merupakan peninggalan kolonial. Dalam sistem hukum di Indonesia, Hakim selalu dihadapkan dengan pola sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) yang mengakibatn kecendrungan Hakim sebagai corong dari undang-undang. Harapan para pencari keadilan menurut Bambang Sutiyoso, ialah paradigma pengadilan sebagai simbul keadilan mengandung muatan bahwa putusan-putusan akan memberikan keadilan kepada warga masyarakat terutama yang berurusan dengan pengadilan. Tidak menjadi masalah pranata, soal pranata apa yang menjadi dasar pendistribusian keadilan yang dihasilkan oleh pengadilan. 41

Pola sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) kecendrungan mengarah ke sistem hukum tertutup, hukum kader sehingga sulit mengikuti perasaan keadilan masyarakat yang harus berkembang. Menurut Bambang Sutiyoso, dalam berbagai penanganan kasus hukum yang terjadi di tanah air, sering kali mencuat menjadi bahan pembicaraan publik karena putusan pengadilan dianggap mengabaikan nilai-nilai keadilan yang semestinya dirasakan oleh masyarakat dan pencari keadilan. Proses hukum di lingkungan pengadilan

39 Bambang Sutiyoso, 2000, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. vii.

40 Ibid. 41 Ibid.

362 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 349–366 belum mencerminkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya, keadilan seolah menjadi “barang