Perubahan Siklus Estrus Akibat Induksi Peningkatan Kadar Prostaglandin F2

  α Perubahan Siklus Estrus Akibat Induksi Peningkatan Kadar Prostaglandin F

  2 α (PGF 2 ) Pada Fase Luteal Kambing Peranakan Boer

Aries Erlinda Ratna.Wardhani, Agung Pramana Warih Marhendra, Aris Soewondo

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Universitas Brawijaya, Malang

aries.erlinda@gmail.com

  

ABSTRAK

α Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh single injection PGF pada awal fase diestrus 2

dan pertengahan diestrus terhadap siklus estrus. Perlakuan pada penelitian ini adalah kontrol fase

α α

diestrus awal, kontrol fase diestrus tengah, injeksi PGF pada diestrus awal dan injeksi PGF pada fase

2 ® 2

diestrus tengah (masing- masing kelompok n=3). 1,5 ml Capriglandin diinjeksikan secara intramuskular,

injeksi dilakukan satu kali. Selanjutnya, perubahan fase diperiksa setiap hari sejak satu hari setelah

injeksi. Fase estrus ditentukan berdasarkan pemeriksaan sitologi smear vagina. Data yang didapatkan

dianalisa dengan metode Mann- Whitney dengan software microsoft excel dan SPSS 16,0 for Windows.

Perlakuan kontrol awal dengan injeksi diestrus awal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada

panjang diestrus dan proestrus, onset estrus pada kelompok injeksi dan kontrol berturut- turut 15 hari

dan 16 hari. Kelompok kontrol tengah dengan injeksi diestrus tengah menunjukkan perbedaan yang

signifikan pada onset estrus dan panjang diestrus tetapi tidak terdapat perbedaan signifikan pada

panjang proestrus, onset estrus pada kelompok injeksi dan kontrol secara berurutan 6,7 hari dan 12 hari

α

(P < 0,05). Dapat disimpulkan bahwa single injection PGF tidak memberikan pengaruh terhadap siklus

2

estrus apabila diberikan pada fase diestrus awal sedangkan apabila diberikan pada fase diestrus tegah

mengakibatkan fase diestrus lebih pendek yaitu 2,3 dibandingkan kambing kontrol diestrus tengah yang

memiliki panjang diestrus 8 hari. α Kata Kunci: PGF , onset, sinkronisasi estrus, vaginal smear 2 ABSTRACT α

  The objective of this study to understand the effect of PGF injection in early diestrus phase and mid- 2

diestrus to the estrous cycle. Treatment in this study are early diestrus control, mid- diestrus control,

α α

administration of PGF on early diestrus phase and administration of PGF in mid diestrus phase (each

2 ® 2

group n=3.) 1.5 ml Capriglandin was injected once intramusculary. Then, phase change observed every

day start one day since injection. Estrous phase were determined by observation vaginal smear cytology.

  

Data were analyzed by Mann- Whitney method using Microsoft Excel software and SPSS 16.0 for

Windows. There’s no significant difference in diestrus and proestrus length on injected group at early

diestrus and control early diestrus group, onset estrous of injected group and control group respectively

on day 15 and on day 16. The injected group at mid diestrus and control mid diestrus group have a

significant difference at onset estrous and diestrus length but there is no significant difference in proestrus

length, onset of estrous in the injection group and control group respectively on day 6.7 and on day 12 day

α

(P < 0.05). It can be concluded that there is no response of single injection of PGF when injected at early

2

diestrus, but when injected at mid- diestrus causes a shorter diestrus phase than the control respectively

  2,3 and 8 days. α Keywords : PGF , onset of estrous, estrous synchronization, vaginal smears 2 PENDAHULUAN merangsang sel granulosa dan sel teka ovarium untuk mensekresi estrogen[1].

  Siklus reproduksi berlangsung dengan sintesis Sinkronisasi estrus merupakan salah satu lutenaizing hormon (LH) dan folicular cara mengatur reproduksi pada ternak. stimulating hormon (FSH) oleh hipofisa anterior.

  Pengaturan siklus estrus pada sekelompok Sintesis dan sekresi FSH dan LH dirangsang oleh ternak bertujuan mempermudah pemeliharaan, Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH) yang efisiensi tenaga kerja, dan efisiensi reproduksi disekresi oleh hipotalamus. Hormon ini mulai α α

  [2]. Prostaglandin F (PGF ) telah banyak 2 2 bekerja saat hewan mencapai masa pubertas dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan

  (kematangan kelamin). Perkembangan awal sel sinkronisasi birahi 80-100% dan tingkat folikel diregulasi oleh FSH yang selanjutnya kebuntingan 60-100% [2,3,4,5].

  Timbulnya berahi akibat pemberian PGF 2 α disebabkan karena penurunan konsentrasi progesteron akibat induksi perubahan morfologi jaringan luteal melalui perubahan asetat ke kolesterol. Penurunan kadar progesteron ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan FSH kemudian LH. Kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel- estrogen yang mampu memanifestasikan gejala berahi [4,6].

  Kambing pada perlakuan diestrus awal dan diestrus tengah diinjeksi 1,5 ml capriglandin ® secara intramuscular. Injkesi hanya dilakukan satu kali.

  Gambar 1. Sitologi vagina pada pengamatan hari ke-1 kelompok injeksi diestrus awal ditandai dengan sel epitel parabasal (panah hitam) perbesaran 200x

  Pengamatan sebelum injeksi pada kelompok diestrus awal dan kontrol diestrus awal menunjukkan adanya sel- sel epitel parabasal, dominasi sel- sel parabasal pada preparat merupakan ciri fase diestrus awal. Sel- sel parabasal ditandai dengan diameter sel yang kecil (kurang dari 30 µm), inti yang besar dan rasio sitoplasma dan inti sel relatif kecil. Sel parabasal berdiameter sekitar 20 µm dan berinti dengan diameter sekitar 9 µm [8].

  Data dianalisis dengan metode Mann– Whitney menggunakan SPSS 16,0 for windows dan Microsoft Excel.

  Analisa Data

  Pengamatan dilakukan setiap hari mulai 1 hari setelah injeksi hingga fase estrus. Perubahan fase diamati melalui smear vagina. Parameter untuk mengetahui tingkat keberhasilan sinkronisasi diamati dari onset estrus.

  Pengamatan Perubahan fase dan Onset Estrus

  Injeksi PGF 2 α

  Pada sinkronisasi estrus, terjadi peningkatan kadar prostaglandin yang dapat melisiskan korpus luteum sehingga menginduksi perkembangan folikel tersier dan meningkatkan kadar estrogen sehingga memicu estrus secara cepat dibandingkan siklus normal. Usia korpus luteum diketahui berpengaruh terhadap respon prostaglandin, oleh karena itu untuk mempelajari pengaruh tersebut penelitian ini perlu dilakukan.

METODE PENELITIAN

  Untuk mengetahui fase estrus sebelum perlakuan pada hewan coba, dilakukan pemeriksaan fase estrus dengan metode smear vagina. Smear vagina dilakukan dengan menggunakan cotton bud yang telah dibasahi dengan alkohol 70%, selanjutnya dimasukkan dalam vagina kambing betina dengan sudut ±45 o dan diusapkan selama 2-3 kali putaran. Selanjutnya dibuat preparat apusan pada slide glass. Preparat apusan kemudian ditetesi ethanol absolut dan didiamkan selama 15 menit. Preparat selanjutnya ditetesi pewarna giemsa 20% kemudian didiamkan selama 10- 15 menit. Selanjutnya preparat dibilas dengan air mengalir dan dikeringanginkan. Preparat yang telah jadi kemudian diamati morfologi sel epitel mengunakan mikroskop dengan perbesaran lemah (100x) kemudian dengan perbesaran lebih kuat (400x). Hewan dikelompokkan pada masing- masing kelompok perlakuan sesuai masing- masing hewan.

  Smear Vagina

  α pada fase diestrus tengah (masing- masing kelompok n=3).

  α pada fase diestrus awal dan injeksi PGF 2

  Persiapan awal penelitian ini yaitu memilih 12 hewan coba dengan kriteria status tidak bunting, sehat secara klinis, sudah pernah melahirkan, umur 1,5 -3,0 tahun [7]. Hewan coba selanjutnya akan dikelompokkan menjadi kontrol fase diestrus awal, kontrol fase diestrus tengah, injeksi PGF 2

  Persiapan awal

  Penelitian ini dilakukan di peternakan kambing milik Bapak Ir Agus Tumulyadi M.P. di Bululawang dan Laboratorium Lapangan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya di Sumber Sekar, Malang pada bulan Februari hingga april dan analisis data dilakukan dilaboratorium anatomi dan histologi hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  Injeksi PGF 2 α yang dilakukan pada fase diestrus awal tidak memberikan banyak perubahan terhadap durasi masing- masing fase pada siklus estrus, durasi fase diestrus kambing yang diinjeksi dengan kambing kontrol tidak terdapat perbedaan signifikan berdasarkan uji dengan Mann–Whitney. Kelompok yang diiinjeksi PGF 2

  α memiliki rata- rata panjang fase diestrus 11,3 hari, sedangkan kelompok kontrol 12,3 hari. Fase proestrus merupakan fase lanjutan Injeksi yang dilakukan pada fase diestrus diperkirakan akan mempengaruhi fase proestrus pula. Pada fase proestrus, kedua kelompok memiliki durasi rata- rata fase proestrus yang sama yaitu 2,7 hari. Hal tersebut membuktikan bahwa injeksi PGF 2

  α pada fase diestrus awal tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fase proestrus.

  Onset estrus merupakan waktu yang dibutuhkan untuk kambing mencapai estrus/ birahi, dihitung sejak dilakukannya injeksi. Penelitian ini dilakukan pada waktu yang bersamaan sehingga onset estrus kelompok kambing kontrol dihitung sejak dilakukannya injeksi pada kelompok kambing yang diinjeksi PGF 2

  α , sedangkan pada perulangan kelompok kontrol yang tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, onset estrus dihitung sejak kambing berada pada fase yang sama dengan kambing yang diinjeksi dilihat dari proporsi sel yang muncul pada preparat. Rata- rata onset estrus kelompok yang diinjeksi PGF 2

  α adalah 15 hari, sedangkan pada kelompok kontrol 16 hari. Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa injeksi pada awal fase diestrus awal tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pemendekan siklus estrus (gambar 2).

  Gambar 2. Rataan panjang fase dan onset estrus kelompok diestrus awal (injeksi dan kontrol)

  Pada pengamatan hari pertama fase diestrus tengah, sel- sel polymorphonuclear sudah tidak terlihat sedangkan sel- sel parabasal sudah mulai berkembang menuju sel- sel intermediet. Sel- sel intermediet terus berkembang dan akan menjadi sel- sel superfisial. Sel epitel intermediet dicirikan dengan mengecilnya inti sel sehingga rasio inti sel dengan sitoplasma lebih besar. Sel intermediet memiliki ukuran 30- 50 µm dan inti sel sekitar 8 µm [8].

  Gambar 3. Sitologi vagina pengamatan hari ke-2 kelompok diestrus tengah. Sel intermediet ( panah biru) dan sel parabasal (panah hitam) perbesaran 100x pada kelompok kontrol (a) dan pada kambing yang diinjeksi PGF 2 α perbesaran 200x (b)

  Ketika sebagian besar sel epitel telah menjadi sel- sel superfisial maka hal ini menandakan bahwa kambing telah masuk fase proestrus yang selanjutnya akan mengalami tanda- tanda estrus yang akan diikuti terjadinya birahi dan ovulasi. Pada preparat, estrus akan ditandai dengan munculnya sel- sel epitel yang terkornifikasi dengan inti sel yang telah terdegradasi. sel superfisial merupakan sel pada tingkat kematangan akhir, diameter sel superfisial sekitar 50 hingga 60 µm, sitoplasma sel superfisial berbentuk polygonal [8].

  Kelompok yang diinjeksi pada fase diestrus tengah dan kelompok kontrol fase diestrus tengah merupakan kambing yang berbeda dari kambing yang diinjeksi pada fase diestrus awal dan kontrol diestrus awal. Pada kelompok kambing yang mengalami injeksi PGF 2

  α pada fase diestrus tengah, mengalami rata- rata diestrus selama 2,3 hari, sedangkan pada b a kelompok kontrol memiliki panjang fase diestrus selama 8 hari. Berdasarkan analisis dengan metode Mann–Whitney menunjukkan signifikansi yang lebih rendah dari alfa (0,05) sehingga H0 ditolak, hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kambing yang diinjeksi pada fase diestrus tengah dengan kambing kontrol pada fase diestrus tengah.

  Pada fase proestrus, kelompok yang diinjeksi α sedangkan kelompok kontrol mengalami proestrus selama 3 hari dengan kesimpulan bahwa injeksi PGF 2

  α tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fase proestrus. Durasi onset estrus berbeda secara signifikan pada kedua kelompok. Kelompok yang diinjeksi PGF 2

  α memiliki rata- rata onset estrus 6,7 hari, sedangkan kelompok kontrol memiliki onset estrus 12 hari (gambar 4).

  Gambar 4. Rataan panjang fase dan onset estrus kelompok diestrus tengah (injeksi dan kontrol)

  Waktu injeksi sangat mempengaruhi onset estrus dan panjang fase pada siklus estrus. Hal ini dapat dilihat pada durasi fase diestrus dan onset estrus antara kelompok yang diinjeksi saat diestrus awal dan diestrus tengah. Pada injeksi diestrus awal rata- rata panjang fase diestrus 11,3 hari sedangkan pada kelompok diestrus tengah memiliki rata- rata diestrus 2,3 hari. Dari analisis Mann–Whitney menunjukkan bahwa waktu injeksi berpengaruh secara signifikan terhadap fase diestrus hal ini berhubungan dengan usia korpus luteum. Pada fase proestrus, kelompok injeksi pada awal diestrus memiliki rata- rata fase proestrus selama 2,7 hari, sedangkan kelompok diestrus tengah selama 3,3 hari sehingga tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok. Rata – rata onset estrus pada kelompok injeksi saat fase diestrus awal adalah 15 hari, sedangkan pada kelompok injeksi fase diestrus tengah selama 6,7 hari hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu yang signifikan terhadap onset estrus. Jadi, dapat disimpulkan bahwa fase injeksi diestrus tengah lebih efektif untuk memperpendek onset estrus dibanding fase diestrus awal (gambar 5).

  Gambar 5. Rataan panjang fase dan onset estrus perlakuan injeksi diestrus tengah dengan injeksi diestrus awal

  Kelompok injeksi pada fase diestrus awal tidak mengalami pemendekan siklus disebabkan karena belum adanya korpus luteum atau korpus luteum yang dimiliki belum fungsional sehingga penyuntikan PGF 2

  α tidak mampu melisiskan korpus luteum dan perkembangan oosit primer tidak terjadi sehingga tidak muncul tanda- tanda birahi. Pada kambing yang diinjeksi pada fase diestrus tengah, korpus luteum telah fungsional dan mampu diregresi oleh PGF 2

  α sehingga terbentuklah siklus estrus yang baru dimana terjadinya perkembangan oosit primer menjadi oosit sekunder yang selanjutnya akan mengalami ovulasi yang didahului dengan tingkah laku estrus/ birahi. Pada sapi, diasumsikan bahwa transisi dari korpus luteum sapi dari masa refraktori menuju respon terjadi pada hari ke-5 dari siklus estrus (hari pertama= estrus) karena pada 5 dari 8 sapi yang diberikan pada PGF 2

  α hari ke-5, regresi luteal awal tampak jelas selama pemeriksaan 24 jam setelah pemberian PGF 2

  α . Hal ini diasumsikan bahwa respon dari korpus luteum untuk PGF 2

  α tergantung pada usia yang tepat dari korpus luteum pada saat pemberian PGF 2

  α [9]. Penelitian pada kelinci [10] dan babi [11] mnunjukkan bahwa konsentrasi reseptor PGF 2

  α meningkat hingga 5 kali lipat dari awal fase luteal hingga pertengahan fase luteal dan konsentrasi tertingggi didapatkan pada akhir fase luteal. Sebaliknya, konsentrasi tertinggi reseptor PGE 2 berada pada awal fase luteal dan terus menurun hingga akhir fase luteal. Rendahnya reseptor PGF 2

  α pada awal fase luteal dimungkinkan menjadi penyebab ketidaksensitifan korpus luteum terhadap kehadiran PGF 2

  α sehingga injeksi PGF 2 α pada awal fase diestrus tidak mampu menyebabkan luteolisis yang lebih cepat. Rendahnya reseptor PGF 2

  α kemungkinan berhubungan dengan tingginya reseptor PGE 2 pada awal fase luteal [10].

  Widayati. 2011. Respon Estrus Pada Kambing Peranakan Ettawa Dengan Body Condition Score 2 Dan 3 Terhadap Kombinasi Implant Controlled Internal Drug Release Jangka Pendek Dengan Injeksi Prostaglandin F 2 Alpha. Jurnal Kedokteran Hewan. SSN : 1978-225X. Vol.

  Receptors and Role of G Protein- Activated Pathways on Corpora Lutea of Pseudopregnant Rabbit in Vitro. Journal of Endocrinology vol 168 (11): 141–151.

  Analogue on the Cyclic Corpus Luteum during its Refractory Period in Cows. Wenzinger and Bleul BMC Veterinary Research 2012, 8:220. [10] Boiti, C., D. Zampini, M. Zerani, G. Guelfi dan A. Gobbetti. 2001. Prostaglandin

  Prostaglandin F 2 α

  Universidad Nacional de Colombia. [9] Wenzinger, B. dan U. Bleul. 2012. Effect of a

  [8] Casallas, L. H. C. 2012. Classication of Squamous Cell Cervical Cytology. Thesis.

  [7] Siregar, T. N. 2009. Profil Hormon Estrogen Dan Progesteron Pada Siklus Berahi Kambing Lokal. J. Ked. Hewan. 3(2):240- 247.

  2009. Treatment of First Degree Endometritis by Cloprostenol and Estradiol in Choolistani Cows. The Journal of Animal dan Plant Sciences 19(1):20-21.ISSN: 1018- 7081.

  [6] Akhtar, M. S., A. A. Farooq and S. Inayat.

  [5] Sutama, I K. 2011. Inovasi Teknologi Reproduksi Mendukung Pengembangan Kambing Perah Lokal. Pengembangan inovasi pertanian 4(3):231-246.

  Hamdan. 2011. Persentase Berahi Dan Kebuntingan Kambing Peranakan Ettawa (PE) Setelah Pemberian Beberapa Hormon Prostaglandin Komersial. Jurnal Kedokteran Hewan. ISSN : 1978-225X. 5 (2).

  Azevedo, J., Fontes, P. dan Mascarenhas, R. 2008. Time of ovulation in nulliparous and multiparous goats. Animal. 2(5):761– 768.doi: 10.1017/S175173110800195X. [4] Hafizuddin, Wenny N. S., T. N. Siregar, dan

  5(1). [3] Simoes, J., Baril, G., Almeida, J. C., .

  [2] Dewi, R. R., Wahyuningsih dan D. T.

  Injeksi PGF 2 α pada pertengahan diestrus mampu meregresi korpus luteum lebih cepat dibandingkan siklus normal sehingga progesteron segera turun dan anterior pituitari mensekresikan FSH sehingga siklus yang baru merespon kehadiran PGF 2

  Tikus Putih (Rattus norvegicus, L.). Skripsi. Program Studi Biologi,Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

  [1] Syari, T. N. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Brotowali (Tinospora crispa, l.) terhadap Perkembangan Folikel Ovarium

  M.Ag serta Bapak Harmaji yang telah banyak membantu selama penelitian, terima kasih juga kepada Winda Rahayu, Ariani Mahdiyah dan M. Rizar Zakaria.

  Agung Pramana W. M. M.Si., Drs. Aris Soewondo M.Si. dan Dr. Ir. Gatot Ciptadi, DESS yang telah memberikan banyak masukan yang sangat membangun. Tidak lupa juga kepada Bapak Ir. Agus Tumulyadi M.P. selaku pemilik peternakan yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian dipeternakan Bulu Lawang. Bapak Slamet dan Bapak Sumali S.Pt.

  UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.

  Perubahan siklus akibat injeksi PGF 2 α pada kelompok injeksi fase diestrus tengah memiliki fase diestrus lebih pendek yaitu 2,3 dibandingkan kambing kontrol diestrus tengah yang memiliki panjang diestrus 8 hari.

  PGF 2 α pada fase diestrus tengah mampu memperpendek siklus estrus.

  KESIMPULAN Single injection

  α telah ditemukan sejak awal fase luteal [11, 12].

  α yang rendah pada awal fase luteal, pada sapi konsentrasi afinitas yang tinggi terhadap PGF 2

  α dan memberikan respon luteolisis. Bagaimanapun juga, hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut karena kemungkinan terdapat mekanisme yang berbeda pada spesies yang berbeda. Berbeda dengan kelinci [10] dan babi [11] yang memiiki konsentrasi reseptor PGF 2

  α pada pertengahan fase, sehingga korpus luteum menyadari kehadiran PGF 2

  α dimungkinkan karena tingginya konsentrasi reseptor PGF 2

DAFTAR PUSTAKA

  [11] Wiltbank, M.C., T. F. Shiao, D.R. Bergfelt, α dan OJ. Ginther. 1995. Prostaglandin F 2 Receptors in the Early Bovine Corpus

  Luteum. BIOLOGY OF REPRODUCTION vol 52 (5): 74-78. [12] Levy, N., S. Kobayashi, Z. Roth,

  D.Wolfenson, A. Miyamoto,dan R. Meidan. 2000. Administration of

  α Prostaglandin F During the Early 2 Bovine Luteal Phase Does Not Alter the

  Receptor: A Possible Cause for Corpus Luteum Refractoriness. BIOLOGY OF REPRODUCTION vol 63 (6): 377–382.

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Penyinaran Sinar Gamma terhadap Kadar Insulin Pankreas Sebelum dan Sesudah Pemberian Ekstrak Buah Pare (M. charantia) Pada Mencit yang Dibebani Glukosa

0 0 6

Kadar Xanton dalam Jus Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) dan Efek Inhibisi Jus Kulit Buah Manggis Terhadap Aktivitas Enzim  -Glukosidase

0 1 5

Pengaruh Radiasi Gamma dan Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) terhadap Kadar SGPT Hepar Mencit (Mus musculus)

0 0 5

Analisis Karakteristik Beda Potensial Membran Albumin Dan Membran Vitellin Telur Puyuh (Coturnix coturnix) Akibat Tercemar Hidrogen Peroksida (H2O2)

0 0 5

Penggunaan Media Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas III B SDN 005 Awang Long Samarinda

0 0 8

Penerapan Metode Mind Mapping dalam Peningkatan Prestasi Belajar IPA Siswa Kelas 5 SDIT Cordova Samarinda

0 0 13

170 Peningkatan Hasil Belajar IPS Materi Jenis-jenis Pekerjaan Melalui Model Pembelajaran Make A-Match pada Siswa Kelas III SD Muhammadiyah 2 Samarinda

0 0 10

Potensi Fraksi Etanol Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra) sebagai Agen Anti Kanker Kolon pada Mencit (Mus musculus Balbc) setelah Induksi Dextran Sulvat (DSS) danAzoxymethane (AOM)

0 1 5

Potensi Hidromakrofita Lokal Untuk Peningkatan Kualitas Air Irigasi Tercemar Residu Pupuk NPK Dengan Sistem Batch Culture

0 0 5

149 Peningkatan Kualitas Air Irigasi Akibat Penanaman Vegetasi Riparian dari Hidromakrofita Lokal selama 50 Hari

0 0 5