ALOKASI DANA DESA DITINJAU DARI SEGI POL

ALOKASI DANA DESA DITINJAU DARI SEGI POLITIK
A. PENDAHULUAN
Pada 15 Januari 2014, Undang-Undang No. 06 Tahun 2014 tentang Desa telah
disyahkan oleh pemerintah. Keistimewaan undang-undang ini dibandingkan undangundang yang sebelumnya, antara lain adalah jabatan kepala desa diperpanjang selama
enam tahun, kepala desa juga dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara
berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Kedua, kepala desa dan perangkat desa
memperoleh penghasilan tetap setiap bulannya. Ketiga, adanya kewenangan tambahan
bagi kepala desa untuk mengatur pendapatan dari desa. Keempat, lembaga desa diberikan
kewenangan untuk mengawasi kinerja kepala desa. Kelima, tiap desa akan mendapatkan
kucuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau disebut Alokasi
Dana Desa (ADD) yang berkisar 1,4 milyar/ tahun/ desa. Sebelumnya desa belum pernah
mendapatkan porsi anggaran dari APBN. Dengan adanya ADD diharapkan pembangunan
desa akan lebih baik. Selanjutnya ADD akan dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBDes).
Pencairan ADD terbagi menjadi tiga termin, yaitu pada bulan April 40%, Agustus
40%, dan sisanya 20% bisa dicairkan di November. Setiap desa wajib menyelesaikan
laporan pada masing-masing termin. Menurut Undang-Undang No. 06 Tahun 2014 70%
ADD digunakan untuk mendanai biaya penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan
pembangunan desa, pembinaan dan pemberdayaan kemasyarakatan desa. Sedangkan sisa
30% digunakan untuk penghasilan tetap dan tunjangan kepala dan perangkat desa,
operasional pemerintah desa, tunjangan operasional Badan Permuswaratan Desa (BPD)

serta Insentif RT dan RW.
Proses pembuatan APBDEs diawali dengan pembuatan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJMD) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Setelah RPJMD
disusun oleh kepala desa maka rencana tersebut disosialisasikan kepada masyarakat dan
dibahas dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Hasil
Musrenbangdes dituangkan dalam Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa) yang
menjadi penjabaran dari RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. RPJMD ditetapkan
dengan peraturan desa dan RKP-Desa ditetapkan dalam keputusan kepala desa
berpedoman pada peraturan daerah. RKP-Desa akan menjadi dasar dalam pembuatan
Rencana APBDes. Rencana APBDes yang telah disahkan oleh kepala desa dan BPD akan

1

berubah menjadi APBDes. Proses perencanaan APBDes tertuang dalam gambar di bawah
ini:
Gambar 1:
Alur Pembuatan APBDes

Saat ini, di Indonesia terdapat sekitar 73.000 desa dan 8.000 kelurahan. Dengan
adanya dana bantuan dari pemerintah tersebut, tiap desa akan mendapatkan ADD berbedabeda, dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan

tingkat kesulitan geografisnya. ADD tersebut digunakan untuk meningkatkan pelayanan
publik dan pemerataan pembangunan desa. Namun, transfer dana dari APBN tersebut
hanya untuk desa. Sementara kelurahan tidak termasuk dalam program penerima
anggaran, karena kelurahan masuk struktur pemerintahan. Sementara desa merupakan
sebuah komunitas besar dan satu kesatuan dengan masyarakat hukum adat.
B. ARUS INFORMASI, DANA DAN BARANG
Aliran Dana

Aliran Informasi

PUSAT

PUSAT

KOTA / KABUPATEN

KOTA / KABUPATEN

DESA


KECAMATAN
FASILITATOR
DESA
2

Aliran Dana Desa dibagi menjadi 70% digunakan untuk belanja pemberdayaan
masyarakat dan 30% belanja aparatur dan operasional pemerintah desa. Belanja
pemberdayaan desa digunakan untuk belanja modal publik (pembangunan) sebesar 70%
dan penguatan kapasitas lembaga kemasyarakatan sebesar 30%. Sedangkan belanja
aparatur dan operasional pemerintah desa 50% digunakan untuk operasional pemerintah
desa, 25% untuk operasional BPD dan 25% untuk tunjangan kesejahteraan aparatur
pemerintah desa. Pencairan dana harus dilakukan dengan persetujuan Kepala Desa dan
dibawa atau dikelola oleh Bendahara Desa. Rekening yang digunakan untuk mencairkan
dana adalah satu rekening atas nama Kepala Desa dan Bendahara Desa.
1.

Fasilitas Umum ( berupa pembangunan gedung-gedung )
Berupa pembangunan fisik dimana Penanggung Jawab Operasional Kegiatan
(PJOK) adalah Kepala Desa dan Penanggung Jawab Anggaran Kegiatan (PJAK)
adalah bendahara desa. Untuk operasionalnya ditunjuk oleh Kepala Desa dari

warga desa. Kemudian Laporan Pertajunggjawaban Kegiatan (LPJ Kegiatan)
dibuat oleh Kepala Desa dan LPJ Anggaran dibuat oleh bendahara desa.

2.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
Berfungsi untuk permberdayaan unit-unit usahha yang ada di desa. Sistemnya
seperti koperasi yang menbantu masyarakat desa yang memiliki unit usaha,
menyalurkan dana, membantu mengumpulkan, menjualkan, dsb.
- Koperasi sebagai pemberi pinjaman modal
Koperasi memberikan pinjaman tanpa bunga kepada masyarakat desa yang
membutuhkan dana untuk usahanya. Proses peminjaman dilakukan dengan
perjanjian dengan agunan/jaminan seadanya seperti sertifikat tanah,motor,dll.
- Koperasi sebagai pengepul
Koperasi membantu menyalurkan hasil usaha kepada konsumen tanpa
mengambil keuntungan atas setiap penyalurannya.
LPJ Kegiatan dibuat oleh Ketua Koperasi dan LPJ Anggaran dibuat oleh
Bendahara Koperasi. Yang bertindak sebagai Ketua, Bendahara dan
Sekretaris Koperasi dipilih oleh Kepala Desa dan digaji oleh desa.


3.

Layanan Umum (Pemberdayaan)
Setiap desa mempunyai baadan-badan yang memberikan layanan umum seperti
PKK, Karang Taruna, Posyandu, dll. Masing-masing harus mengajukan
proposal kegiatan dan anggaran yang harus disetujui oleh Kepala Desa dan
Bendahara Desa.
3

Penanggungjawab Operasional Kegiatan (PJOK) adalah ketua dari masingmasing penyelenggara kegiatan sedangkan Penanggungjawab Anggaran
Kegiatan (PJAK) adalah bendahara dari masing-masing penyelenggara kegiatan.
Laporan Pertanggungjawaban Anggaran (LPJ Anggaran) dibuat oleh PJAK
masing-masing kegiatan dan diserahkan kepada Bendahara Desa.
C. TEORI
Teori Trias Politika adalah teori yang digagas oleh Montesqueiu. Trias Politika
merupakan teori yang mengindikasikan adanya pemisahan kekuasaan secara mutlak dalam
pemerintahan untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam pemerintah
sehingga hak masyarakat dapat terjamin. Kelly (2011) menyebutkan pula bahwa diantara
ketiga lembaga yang memiliki kekuasaan yang berbeda harus ada saling melakukan check
and balances, sehingga tidak ada satu lembaga yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi

dari pada lembaga yang lain. Pembagian kekuasaan yang disebutkan Montesquieu antara
lain:
1. Lembaga legislatif, yang terdiri dari orang-orang tertentu yang dipilih untuk
membuat undang-undang, sebagai refleksi dari kedaulatan rakyat, mediator dan
komunikator diantara rakyat dan penguasa, dan agretor aspirasi,
2. Lembaga eksekutif, yakni raja atau di era modern dikenal sebagai presiden yang
menjalankan undang-undang, dan
3. Lembaga yudikatif, yakni lembaga peradilan yang bertugas untuk menegakkan
keadilan.
Asumsi dasar yang menjadi penopang lahirnya ide separation of power adalah
adanya pemikiran mengenai bahwa kebebasan akan hilang ketika orang yang sama berada
dalam satu badan pemerintahan/kerajaan atau satu orang menjalankan tiga kekuasaan dan
pemikiran bahwa pelaksanaan lembaga eksekutif dan legislatif yang sama pada satu orang
atau satu badan akan mengurangi kebebasan. Oleh karenanya, lahirlah pemikiran
mengenai Trias Politika yang berimplikasi pada:
1. Terjaminnya kebebasan politik bagi rakyat
2. Mendeklarasikan kekuatan ilihayah bangsawan dan raja meskipun tetap
diakuinya hak istimewa para bangsawan lewat kabinet dua kamar yang saling
mengontrol dan mengawasi check and balance
3. Metode terbaik menghindari penyimpangan otoritas.

D. ISI

4

Dalam pengelolaannya, ADD harus dilaksanakan secara tepat sasaran, transparan,
efisien dan merata. Namun, pada kenyataannya banyak masalah yang mungkin timbul dari
adanya ADD tersebut, baik dari segi keuangan, politik, maupun kelembagaan. Masalah
pertama adalah pada pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 6 tahun 2014
dijelaskan bahwa masa jabatan kepala desa untuk satu periode dibatasi selama enam tahun,
dan dapat dipilih kembali sampai tiga periode selanjutnya atau 18 tahun. Periode tersebut
dapat menimbulkan sistem pemerintahan yang otoriter karena kepala desa terlalu lama
menjabat. Padahal presiden dan kepala daerah yang lain hanya memiliki masa jabatan
selama dua periode.
Masalah kedua yaitu kekuasaan kepala desa lebih besar dibandingkan dengan
kekuasaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sehingga menimbulkan hubungan yang
tidak harmonis. Seharusnya, dalam menjalankan Pemerintahan Desa, BPD selaku
pemegang kekuasaan legislatif desa berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kekuasaan
eksekutif (Kepala Desa). Kepala desa berkewajiban untuk memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa kepada bupati atau walikota, sedangkan tanggung
jawab kepala desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan

pertanggungjawaban, dan mereka hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada rakyat. Hal ini menunjukkan tidak ada lagi fungsi check and
balances sebagai prinsip demokrasi dalam pola hubungan antara BPD dan kepala desa.
Seharusnya BPD juga diberi kekuasaan untuk memperoleh laporan pertanggungjawaban
penyelenggaraan pemerintah desa.
Masalah ketiga, adalah sistem pemilihan kepala desa yang masih menggunakan
politik uang dan sistem premanisme. Calon kepala desa akan mengeluarkan modal yang
banyak guna membiayai pencalonannya. Dampaknya, saat terpilih ada kecenderungan
bagi kepala desa untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya. Sistem
pemilihan tidak langsung mampu menjadi solusi atas masalah tersebut. Selain itu, dana
pemilihan kepala desa seharusnya dibiayai oleh APBD pemerintah daerah.
Kenaikan dana untuk desa tidak diikuti dengan kenaikan kompetensi kepala desa
dan perangkat desa sebagai pengguna dan pelaksana anggaran. Sebagai Kuasa Pengguna
Anggaran masih banyak kepala desa yang tidak memahami tata cara pengelolaan,
pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan. Begitu juga yang terjadi pada perangkat
desanya. Hal ini akan berdampak buruk bagi desa, karena kepala dan perangkat desa bisa
saja menyelewengkan dana yang ada. Adanya fit and proper test diperlukan untuk menilai
kemampuan calon kepala dan perangkat desa dalam berbagai bidang sehingga diperoleh
5


calon yang berbakat dan kompeten. Syarat minimal pendidikan juga perlu ditingkatkan,
bukan sebatas pendidikan Sekolah Menengah Pertama.
Tumpang tindih fungsi dalam struktur organisasi di desa menjadi masalah tersendiri.
Kepala Desa terpilih akan menempatkan beberapa dari tim suksesnya untuk mengisi
beberapa jabatan penting seperti bendahara desa dan kasi. Dalam pengelolaan ADD, selain
Kuasa Pengguna Anggaran terdapat fungsi sebagai Penanggungjawab Operasional
Kegiatan (PjoK) dan Penanggungjawab Administrasi Kegiatan (PjaK). PjaK seharusnya
diisi oleh bendahara desa, namun pada kenyataannya PjaK dan bendahara desa
dilaksanakan oleh orang yang berbeda. Pengecekan Surat Keputusan Kepala Desa pada
awal tahun anggaran diperlukan guna menghindari hal tersebut.
E. PENUTUP
Setiap kebijakan tidak terlepas dari kelebihan dan kekurangan setelah disahkan.
Begitupula dengan kebijakan besaran ADD yang dinilai begitu besar. Beberapa masalah
yang terjadi adalah sebagai berikut:
-

Jangka waktu masa jabatan kepala desa selama 18 tahun

-


Hubungan kepala desa dan BPD yang tidak harmonis

-

Maraknya politik uang dalam pencalonan kepala desa

-

Kurangnya kompetensi kepala dan perangkat desa

-

Ketidaksesuaian tugas pokok dan fungsi pengelola ADD

6