M01802

 Thomas Groome mengatakan bahwa pendidikan,

education, berasal dari bahasa Latin yaitu e (keluar)ducare (memimpin) atau memimpin ke luar. Akar
kata ini menunjukkan bahwa pendidikan bertujuan
untuk menolong orang untuk menemukan kebenaran
yang telah ada di dalam diri mereka.
 Pendidikan bukanlah semata merupakan upaya dari
seorang pendidik untuk memindahkan pengetahuan
kepada para murid; lebih dari pada itu, pendidikan
menolong mereka yang dididik untuk mengingat apa
yang telah mereka ketahui sehingga mereka dapat
dengan kritis merefleksikan hal tersebut.
 Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan sesuatu
yang baru bagi masa depan.

 Dengan kata lain, pendidikan yang baik yang

mengintegrasikan/menggabungkan masa lalu, masa kini
dan masa yang akan datang secara bersama-sama dapat
menolong para pembelajar untuk menciptakan pedagogi
mereka sendiri.

 Salah satu pendekatan yang digunakan di dalam dunia
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
demikian adalah pedagogi kontekstual, mengajaran
konteks sebagai teks; dan hal ini bukanlah merupakan ide
yang baru di dunia pendidikan agama Kristen.
 Cara pendidikan ini menekankan pada pentingnya
menghubungkan pembelajaran peserta didik pada konteks
kehidupan dan juga menghubungkan realita-realita
kehidupan kekinian di dalam proses penafsiran ulang
teks-teks.

 Di dalam pedagogi Alkitab, hubungan di antara teks

dan konteks kehidupan para peserta didik dinilai
sebagai salah satu unsur yang paling penting.
 Di dalam bukunya, The Art of Teaching the Bible: A
Practical Guide for Adults (2001), Christine Blair
menggarisbawahi bahwa para orang dewasa dapat
belajar dengan maksimal ketika pembelajaran yang
mereka lakukan didasarkan pada pengalaman

kehidupan. Untuk itu Blair menekankan adanya
sebuah pendidikan Alkitab yang menghubungkan
teks dan konteks kehidupan para partisipan melalui
penafsiran kembali Alkitab di dalam realitas kekinian.

 Model pedagogi Alkitab yang bersifat kontekstual kini

telah diperkenalkan oleh berbagai ahli Alkitab seperti
Mary A. Tolbert dan lainnya di dalam buku Teaching
the Bible: The Discourse and Politics of Biblical
Pedagogy (1998).
 Mereka memfokuskan diri pada pendekatanpendekatan kontekstual terhadap kitab suci. Para
penulis ini mempertimbangkan secara serius
keberagaman para pembaca dan konteks mereka
terutama mereka yang telah dimarginalisasikan oleh
jenis-jenis penafsiran/hermeneutik yang dipimpin
oleh para ahli biblika yang berasal dari konteks Barat.

 Di dalam dunia penafsiran Alkitab, metode yang selama


ini mendominasi penafsiran terhadap kitab suci adalah
metode historis-kritis yang mulai berkembang pada tahun
1700 dan 1800 hingga kini.
 Metode ini memiliki tujuan utama untuk menafsirkan arti
kesejarahan yang objektif dari sebuah teks dengan
menggunakan metode-metode tata bahasa/kritik aparatus
dan sejarah.
 Seperti yang dikatakan oleh Klein, Blomberg, dan
Hubbard, tugas dari seorang penafsir yang menggunakan
metode historis-kritis adalah untuk merekonstruksikan
kondisi-kondisi sejarah dari penulisan sebuah teks dan
kemudian menentukan pesan yang ingin disampaikan
oleh penulis kepada para pembacanya.

 Namun sejak awal tahun 1960-an posisi ini berubah

seiring dengan kemunculan metode-metode lainnya
seperti kritik narasi (close reading) dan kritis
tanggapan-pembaca (reader-response criticism) yang
mempertanyakan dominasi dari metode historis-kritis.

Metode-metode lainnya yang ikut muncul di
antaranya adalah kritik feminis, teologi pembebasan,
kritik ideologi, kritik Marxist yang kemudian diikuti
oleh kemunculan pendekatan poskolonial.
 Di dalam dunia biblika, para pioner dari pendekatan
postkolonial adalah R. S. Sugirtharajah, Fernando
Segovia, Kwok Pui-lan, Musa Dube, George SoaresPrabhu, dan Johnson Teng Kok Lim.

 Di dalam kritik mereka terhadap metode historis-

kritis, para ahli postcolonial seperti Sugitharajah
mengatakan bahwa metode historis-kritis baik yang
lama (kritik teks, kritik sumber, kritik bentuk dll)
beserta dengan metode historis-kritis yang baru
(metode sosial-science) merupakan produk kolonial.
 Hal ini disebabkan karena sifat dari pendekatanpendekatan ini yang bertujuan untuk melayani
kepentingan kolonial dan juga melanggengkan
kekuasaan dunia Barat yang dipandang sebagai pusat
dari ilmu pengetahuan.


 Dua hal mendasar yang merupakan kesalahan dari

metode historis-kritis yang disoroti oleh para ahli
postkolonial adalah berhubungan dengan pandangan
positivisme dan objektivisme. Soares-Prabhu
mengemukakan bahwa paham objektivitas
merupakan suatu bentuk ilusi tentang kenetralan
yang objektif yang meniru netralitas yang sudah
seharusnya di dalam ilmu fisika.
 Ketika pandangan ini dikenakan pada studi biblika
maka para ahli yang menggunakan metode historiskritis berharap bahwa mereka dapat menemukan
suatu arti yang pasti dan objektif yang telah terkunci
rapi di dalam teks Alkitab.

 Di sinilah ketika ideologi objektivisme ini

digabungkan dengan ilmu kebahasaan, tata bahasa,
dan sejarah maka “satu arti yang tepat dan benar”
dapat ditemukan.
 Hal ini berarti pula bahwa dengan menggunakan

metode historis-kritis maka para ahli Alkitab yang
berasal dari berbagai belahan dunia dapat
menghasilkan satu penafsiran yang sama terhadap
sebuah teks.

 Konsekuensi dari cara berpikir yang mengandalkan unsur

objektivitas di dalam menafsirkan teks-teks kitab suci
adalah sehubungan dengan hilangnya suara pembaca atau
penafsir yang dengan subjektivitas berpikirnya dapat
menjadi ancaman utama bagi terciptanya cara membaca
yang netral – yang objektif.
 Hal ini disebabkan karena pembaca dengan segala
pemikirannya (termasuk emosinya) tidak cocok jika
disejajarkan dengan model cara berpikir yang positif yang
menuntut adanya sebuah pandangan yang objektif.
 Berdasarkan keterangan inilah maka Soares-Prabhu
mengatakan bahwa objektivisme adalah landasan atau
alasan utama bagi kegagalan metode historis-kritis karena
ia tidak mengijinkan maupun mengikutsertakan “pembaca

yang nyata” beserta dengan latar belakang kebudayaan
dan lokasi sosialnya untuk turut berperan aktif di dalam
pembacaan sebuah teks seperti teks kitab suci.

 Hingga di sini seruan “keramat” untuk melakukan

eksegese (membawa keluar arti sebuah teks) dan
bukan eisegese (membawa masuk
pemikiran/pandangan seseorang ke dalam teks)
didasari oleh keinginan untuk menjauhkan penafsir
dari segala upaya untuk menafsirkan teks dari sudut
pandang yang lain selain dari sudut pandang
kesejarahan.
 Cara berpikir metode historis-kritis seperti inilah
yang ingin ditentang oleh Segovia yang berpendapat
bahwa adalah suatu kemustahilan untuk memisahkan
konteks sebuah teks dari konteks pembacanya yang
merupakan pembaca yang berdarah dan berdaging
(the flesh and blood reader) – pembaca yang hidup.


 Di dalam kerangka berpikir seperti inilah maka

pendekatan postkolonial yang merayakan peranan
para pembaca yang berasal berbagai lokasi sosialnya
di dalam menafsirkan teks kitab suci hadir dan turut
memperkaya dunia penafsiran teks-teks Alkitab.
 Pendekatan ini disambut baik terutama bagi para
pembaca Alkitab yang berada di negara-negara Asia,
Afrika dan Amerika Selatan karena pendekatan ini
memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi mereka
untuk membaca dan memaknai sebuah teks kitab suci
berdasarkan pengalaman kehidupan mereka sendiri.

 Di sinilah, pembacaan kitab suci yang selama ini

berpusat pada metode histori-kritis yang sangat
kental dengan budaya Barat/Eropa sedikit demi
sedikit kehilangan kekuatan dan dominasinya.
 Di sini pula metode poskolonial membantu kita untuk
memahami bahwa setiap bentuk pembacaan dengan

pendekatan yang berbeda yang berasal dari belahan
dunia manapun adalah setara dan sejajar dan yang
terutama adalah valid.

Pendekatan Poskolonial di dalam
Studi Biblika
 Pembahasan tentang alasan dasar kemunculan metode

poskolonial di dalam dunia penafsiran Alkitab membawa
kita pada pertanyaan mendasar tentang apa itu
pendekatan poskolonial.
 Di dalam tataran konseptual, pendekatan poskolonial
dapat dihubungkan dengan teologi pembebasan
(liberation theology) karena keduanya mempunyai tujuan
yang serupa yaitu untuk menopang dan mendukung
orang-orang yang dianggap sebagai “the Other” / Yang
Lain – orang-orang kecil dan mereka yang
termarginalisasikan di dalam konteks sosial dan latar
belakang kebudayaan mereka.


 Namun, pada tahun 1990-an, mereka yang

menggunakan teologi pembebasan mulai sadar
tentang tingkat kompleksitas yang belum disentuh
oleh gerakan pembebasan seperti dinamika
penindasan yang terjadi mulai dari lingkungan
internal hingga kepada lingkungan komunitas,
kompleksitas bangsa, kebudayaan, dan bahkan
identitas seksual yang bersifat ambigu dan bahkan
berubah, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk
membentuk dan menjalin hubungan berkelanjutan
dengan kelompok-kelompok yang tidak
merepresentasikan kalangan yang tertindas.

 Dengan kata lain teologi pembebasan hanya

memfokuskan dirinya pada isu kemiskinan dan kekayaan
dan belum mempertimbangkan secara serius tentang
berbagai dimensi dari penindasan yang dapat muncul di
dalam berbagai bentuk yang dihadapi di dalam konteks

kekinian kita.
 Di sinilah, pendekatan poskolonial hadir sebagai suatu
kerangka berpikir alternatif yang bertujuan untuk
menbahas tantangan-tantangan dan peluang-peluang baru
yang kita hadapi di masa kini.
 Metode ini terutama mengakui adanya pluralitas
penindasan dan tidak melihat “Yang Lain” sebagai sebuah
kategori yang homogen. Metode ini, dengan kata lain,
mempertimbangkan keanekaragaman identitas yang
didasarkan kepada perbedaan kelas, seks, etnisitas, dan
gender.

 Di dalam studi biblika, kritik postkolonial dapat dilihat

sebagai suatu gerakan yang memisahkan diri dari cara
pembacaan Alkitab yang berpusat pada para ahli biblika
yang berasal dari Amerika Utara dan Eropa yang telah
mendominasi dunia penafsiran Alkitab selama ini.
 Di sini para penafsir kitab suci dituntun untuk menuju
kepada suatu pembacaan yang lebih beragam dengan
menggunakan metode yang beragam pula.
 Seperti yang telah dikatakan oleh Sugirtharajah, tujuan
pendekatan ini adalah untuk mempertimbangkan masalah
kolonialisme sebagai isu penting di dalam membaca teksteks kitab suci.
 Kritik ini menaruh perhatian terhadap masalah yang
berhubungan dengan perluasan kekuasaan,
pendominasian, dan imperialisme sebagai kekuatan utama
di dalam menggambarkan cerita-cerita Alkitab maupun
menafsirkan maksud dari cerita-cerita tersebut.

 Di sini pembacaan secara poskolonial mengijinkan

para penafsir untuk mengkritik cerita-cerita yang
syarat dengan agenda imperialisme dan bahkan
mengkritik ideologi para penulis teks-teks Alkitab
tersebut.
 Lebih lanjut, pendekatan ini digunakan untuk
mengkritisi bentuk penafsiran-penafsiran teks-teks
Alkitab yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu
terutama oleh kaum penguasa untuk melegitimasikan
penjajahan mereka di negara-negara yang bukan
wilayah kekuasaan mereka.

 Di dalam konteks Indonesia sendiri yang pernah hidup di

dalam penjajahan bangsa Eropa terutama Belanda selama
kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun, metode
postkolonial sangat berguna untuk memahami
penggunaan teks-teks kitab suci oleh pihak penjajah
untuk melegitimasikan bentuk penjajahannya di Indonesia.
 Selain itu, metode ini juga diperlukan untuk menganalisa
pengaruh dari penjajahan itu sendiri terhadap cara umat
Kristen di Indonesia membaca dan menafsirkan kitab suci.
 Hal ini penting mengingat bahwa kekristenan yang
dianut oleh umat Kristen di Indonesia tidak lepas dari
campur tangan para misionaris Eropa yang datang dan
menyebarkan Injil di berbagai wilayah di Indonesia.

 Ketika kita dengan sadar mengkritisi bentuk-bentuk

penafsiran yang kebanyakan tertuang di dalam tradisi dan
dogma gereja kita yang tidak sesuai dengan semangat
keIndonesiaan kita maka kita secara sadar pula berusaha
untuk membebaskan diri dari berbagai rantai penjajahan
yang membelenggu kehidupan kekristenan kita yang telah
berlangsung selama berabad-abad lamanya.
 Di samping itu dan yang terutama menurut hemat saya
adalah bahwa metode ini juga akan memungkinkan kita
untuk secara kritis menganalisa berbagai bentuk
penjajahan yang terjadi di dalam negara kita yang
dilakukan oleh para penguasa kita sendiri dan kemudian
secara sadar dan berani mengkritik dan melakukan
perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan dan
ketidakbenaran yang sementara dialami oleh bangsa kita
secara luas.

 Satu hal penting yang harus diingat tentang

pendekatan poskolonial adalah bahwa pendekatan ini
bersifat interdisiplinari. Artinya bahwa ia
membutuhkan pendekatan-pendekatan lainnya yang
sudah ada di dalam studi biblika seperti sosiologi,
antropologi, arkeologi, feminis, dll untuk mendekati
teks secara mendalam.
 Fernando Segovio mengatakan bahwa ada tiga dunia
penting yang harus diselidiki dan dianalisa oleh
pembaca: dunia di dalam text, dunia modern, dan
dunia kini.
 Pertama, para pembaca Alkitab harus menganalisa
dunia Timur Dekat atau dunia Mediteranian di mana
Alkitab ditulis dan diedit.

 Dunia ini merupakan dunia kekaisaran kolonial seperti

Asiria, Babilonia, Persia, Yunani dan Romawi. Di sini,
dinamika politik, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan
di antara kekuasaan sentral dan mereka yang tidak
memiliki kekuasaan di dalam kekaisaran2 tersebut sangat
mempengaruhi penulisan Alkitab.
 Contohnya: kekuasaan Raja Yosia pada masa kekuasaan
Asiria mempengaruhi penulisan kitab Yosua-Raja-raja;
kekuasaan kekaisaran Persia mempengaruhi kemunculan
kitab Ezra dan Nehemiah.
 Di sini tulisan-tulisan yang dihasilkan menyangkut kawin
campur misalnya yang ada di Ezra-Nehemiah ataupun
penggambaran tentang peran perempuan di Amsal dan
Pengkhotbah sangat dipengaruhi oleh hubungan mereka
dengan negara super power Persia.

 Dunia kedua yang harus diselidiki adalah dunia

modern yang sangat mendominasi pembacaan dan
penafsiran Alkitab. Segovia mendorong pembaca
untuk menaruh perhatian pada ekpansi imperialisme
Barat yang merupakan bagian dari manifestasi
kekristenan Barat.
 Perlu kita ingat bahwa sejak awal perdagangan
imperialise Eropa pada abad ke-15 hingga pada masa
pendirian kekaiseran Barat di abad ke-19 hingga pada
tahap kontemporari kapitalisme yang dipimpin oleh
super-power Amerika-Eropa, tradisi imperialistik
Barat dan gerakan misionaris Kekristenan berjalan
beriringan.

 Para misionaris yang dilindungi oleh kekaiseran

membenarkan dominasi Barat sebagai kehendak Allah.
 Dengan mendasarkan diri pada teks-teks seperti Keluaran,
banyak misionaris Kristen yang datang dan menguasai
tanah yang merupakan kepemilikan orang2 non-Kristen
Asia, Afrika dan suku Asli Amerika.
 Para misionaris itu mengkristenkan para penduduk asli
tersebut atau mempromosikan klaim akan kesuperioritas
dan keterpilihan mereka sebagai umat Allah (Dube 2000,
17). Contoh hal ini dapat dilihat di dalam banyak cerita
tentang masuknya para misionaris di Pulau Timor,
Sulawesi, Jawa, Ambon, Papua dll.

 Di sinilah, di dalam pedagogi Alkitab, adalah sangat

penting untuk menganalisa bagaimana orang2 Barat
membaca dan menafsirkan Alkitab dan mempelajari
asumsi-asumsi sosiopolitik-ekonomi yang dimiliki oleh
pembaca2 modern.
 Hanya dengan tindakan itulah maka kita bisa secara kritis
menilai apakah tafsiran2 yang telah dihasilkan tersebut
menindas dan menjajah kita.
 Dunia ketiga yang harus kita pertimbangkan adalah dunia
pembaca kini. Segovio mengatakan bahwa realitas
imperialisme dan kolonialisme tidak pernah diberikan
atau diterima dengan pasif. Memang benar ada orang yang
dengan sepenuh hati menerima dominasi Barat tetapi
tidak sedikit pula mereka yang berjuang melawan.

 Dengan menganalisa bagaimana pembaca modern

berhubungan dan menafsirkan kita suci maka kita
dapat menempatkan Alkitab pada koteks kehidupan
kita dan memeriksa dinamika center dan margin di
antara kita.
 Singkatnya, di dalam pedagogi Alkitab, analisa
realitas dari dunia para pembaca dan reaksi2 mereka
adalah sama pentingnya dengan sudut pandang para
penulis Alkitab.

 Lebih lanjut, dengan memfokuskan diri pada unsur-

unsur politik dan operasi kekuasan di dalam proses
produksi dan transmisi Kitab Suci yang merupakan
fokus utama dari pendekatan poskolonial maka
pedagogi yang dilakukan dapat diarahkan pada tujuan
untuk memberdayakan diri sendiri maupun mereka
yang dididik untuk menjadi agen-agen di dalam
proses transformasi sosial.

 Para peserta didikpun akan dimampukan untuk

menetapkan dan memformulasikan kembali sejarah
dan pengalaman2 mereka.
 Upaya pemberdayaan ini akan memampukan peserta
didik untuk pada akhirnya berbicara untk diri mereka
sendiri - memperjuangkan dan mempertahankan
agenda2 mereka sendiri.
 Di sinilah mereka menolak untuk diwakili atau
direpresentasikan oleh pihak yang memiliki agendaagenda yang bertujuan untuk mencari keuntungan
diri sendiri (Lihat Gayatri Spivak, Can Subaltern
Speak?).

 Hingga di sini ketika pendekatan poskolonial

digunakan untuk pegagogi Alkitab maka menurut
Boyung Lee ada beberapa implikasi dari pendekatan
ini bagi pedagogi Alkitab yang membebaskan:
1. PAK harus didasarkan pada pemahaman bahwa
Alkitab adalah kitab yang dihasilkan di dalam suatu
kebudayaan tertentu sehingga ia bersifat kontekstual
dan dialogis. Hal ini berarti bahwa Alkitab
mengundang para pembaca modern untuk
menafsirkan kembali dengan mempertimbangkan
realitas modern yang ada. Pertanyaan yang diajukan
adalah bagaimana caranya untuk membaca pesan
kehidupan Allah kepada umat Allah di dalam konteks
kebudayaan, waktu dan tempat mereka sendiri.

2. PAK harus menantang teologi-teologi kolonial Barat
yang membenarkan adanya upaya penguasaan dan
penindasan bangsa lain.
3. PAK harus menjadi “countercultural discipline” yang
menaruh perhatian pada suara-suara yang tersembunyi
baik di dalam gereja maupun masyarakat. Alkitab harus
dipahami sebagai yang merupakan “roti dan batu” bagi
kaum yang termarginalisasi seperti para perempuan.
Pedagogi PAK harus bertujuan untuk mencari kebenaran,
pembebasan dan keadilan.
4. PAK harus menganalisa tatanan sosial seperti hirarki,
seksisme dll yang mendukung penindaan. PAK harus
menyediakan alat2 yg memampukan orang2 Kristen utk
dapat menantang imperialisme dan tradisi2 penindasan
Barat.

Pedagogi Alkitab Poskolonial di
dalam Praksis
Ada lima tahap membaca Alkitab secara poskolonial
menurut Christine Blair (The Art of Teaching the
Bible):
1. Reading the Ground (Membaca latar belakang): di
tahap ini para partisipan dan pendidik mengenal satu
dengan yang lainnya khususnya latar belakang sosiokebudayaan yang mereka bawa untuk mempelajari
Alkitab. Bagi pendidik, inilah saatnya untuk menilai
sudut pandang setiap orang tentang otoritas kitab
suci dan implikasinya bagi studi Alkitab.

 Remembering (Mengingat): di tahap ini kelas akan

menyelami teks, pasal2, atau topik yang ada di Kitab
Suci. Fokus utamanya adalah untuk mengajak orang
untuk berbagi apa yang telah mereka ketahui tentang
teks atau topik. Misalnya tentang makna kisah Rahab
di dalam Yosua 2:1-24: Apa dan bagaimana gereja
membaca teks memahami teks ini; perspektif mereka
sendiri, bagaimana para anak didik memahami
tentang fenomena pelacur di wilayah mereka sendiri;
bagaimana dengan penutupan Gang Dolly pada
tanggal 18 Juli lalu. Apakah ada cerita tentang Rahab
masa kini yang mereka bisa bagikan? Apakah cerita
Rahab di Yosua 2:1-24 memberikan relevansi bagi
fenomena pelacuran di konteks kekinian kita?

 Reflecting (refleksi): pada tahan ini pendidik

memperkenalkan berbagai penafsiran tentang cerita
yang dibahas seperti Rahab tadi: bagaimana
penafsiran androsentris/berpusat pada laki-laki yang
kita ketahui tentang Rahab; bagaimana para Rabi
membaca Rahab; bagaimana penafsiran feminis
tentang cerita ini; bagaimana penafsiran para ahli
poskolonial terdahulu tentang cerita ini? Setelah itu
peserta diajak untuk berefleksi secara kritis semua
perbedaan pendapat ini dan memberikan tanggapan
mereka. Pendidik semampunya menyediakan
keterangan tentang latar belakang sejarah setiap
penafsiran yang berbeda tersebut dan juga tentang
tafsiran2 tradisional dari para ahli Barat.

 Reinterpreting (Menafsirkan ulang): pada tahap ini

pendidik memperkenalkan pendekatan poskolonial
yang akan membahas hal-hal seperti  dinamika
kekuasaan di antara kekaisaran Timur Dekat Kuno
dan Israel pada saat teks ditulis; situasi2 sosio-politik
internal dan kebijakan2 politik Israel menganalisa
pengkonstruksian karakter seperti Rahab dan tokoh2
lainnya di dalam teks; sejarah penafsiran2 teks yang
dilakukan oleh berbagai kekuasaan imperialisme
Barat (misalnya bangsa Eropa, Amerika, dll).

 Re-searching (Mencari ulang):bagaimana kita sendiri

yang hidup di konteks kekinian menafsirkan teks
tersebut? Apa pesan yang baru yang kita temukan
sebagai pembaca di masa kini? Bagaimana penafsiran
akan cerita Rahab ketika dilihat dari perspektif poko?
Bagaimana kita memahami fenomena pelacuran di
Gang Dolly? Bagaimana kita merespon isu ini?

Dokumen yang terkait