M02038

SITOTOKSISITAS BATANG DAN DAUN
Albertisia papuana Becc. TERHADAP
SEL KANKER PAYUDARA DAN SEL KANKER RAHIM
Elizabeth BE Kristiani, Rarastoeti Pratiwi, Ifandari, Puji F Zainal,
Laurentius H Nugroho*)
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
E-mail: [email protected]

Abstract: Ethnobotanical bioprospecting approach widely applied in the discovery of new cancer drugs.
Albertisia papuana Becc., an endemic plant in East Kalimantan, Indonesia has been used by Dayak
people for cancer drugs. This purpose of this study was to determine the most toxic fraction of the stems
and leaves Albertisia papuana Becc. on breast cancer cell lines MCF-7 and cervical cancer cell lines
HeLa. Samples macerated using chloroform and methanol. The potent extract and fraction fractionated
using VLC and PTLC. The cytotoxicity assay using MTT methods and determination of IC50 (ug / ml)
extracts / fractions using SPSS (Probit / logit). The most toxic extract/fraction of stems on MCF-7 cell
lines namely BK (181.4 ± 23.2), FB1.5 and FB1.6 (221.8 ± 15.8 and 207.8 ± 19.2) and FB2.4 (43.3 ±
19.7) while on leaves namely DK (155.4 ± 4.4), FD1.2 (525.1 ± 183.7), and FD2.2.6 (382.6 ± 145.5).
The most toxic extract/fraction of stems on HeLa cell lines namely BK (63.9 ± 7.9), FB1.5 and FB1.6
(56.3 ± 4.1 and 50.6 ± 6.9), and FB2.14 (127.8 ± 39.8) while on leaves namely DK (166.0 ± 6.9), FD1.4
(394.5 ± 175.6), and FD2.4.1 (48.4 ± 3.8). The most toxic fraction of the stems (FB2.4) and leaves
(FD2.4.1) were obtained from two times the potential extract fractionation.

Keywords: Albertisia papuana Becc., extraction, fractination, cytotoxicity
Abstrak: Ethnobotanical bioprospecting approach banyak diterapkan dalam pencarian obat kanker baru.
Albertisia papuana Becc., tumbuhan endemik di Kalimantan Timur Indonesia telah digunakan suku Dayak untuk obat kanker. Penelitian ini bertujuan mendapatkan fraksi paling toksik dari batang dan daun Albertisia papuana Becc. terhadap sel kanker payudara MCF-7 dan kanker rahim HeLa. Sampel dimaserasi
menggunakan kloroform dan metanol. Fraksinasi menggunakan VLC dan PTLC. Uji sitotoksisitas
menggunakan metode MTT dan penentuan IC50 (µg/ml) ekstrak/fraksi menggunakan SPSS (Probit/Logit).
Nilai IC50 ekstrak dan fraksi paling toksik terhadap sel MCF-7 pada batang yaitu BK (181,4±23,2), FB1.5
dan FB1.6 (221,8±15,8 dan 207,8±19,2), dan FB2.4 (43,3±19,7); pada daun yaitu DK (155,4±4,4), FD1.2
(525,1±183,7), dan FD2.2.6 (382,6±145,5). sedangkan terhadap sel HeLa pada batang yaitu BK
(63,9±7,9), FB1.5 dan FB1.6 (56,3±4,1 dan 50,6±6,9), dan FB2.14 (127,8±39,8); pada daun yaitu DK
(166,0±6,9), FD1.4 (394,5±175,6), dan FD2.4.1 (48,4±3,8). Fraksi paling toksik pada batang (FB2.4) dan
daun (FD2.4.1) diperoleh dari 2 tahap fraksinasi ekstrak potensial.
Kata kunci: Albertisia papuana Becc, ekstraksi, fraksinasi, sitotoksisitas

Kanker merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia dan menjadi masalah
serius bagi masyarakat baik negara maju
maupun negara berkembang (Tan dkk.,
2014; Jemal dkk., 2011; Islam dkk., 2009).
Salah satu usaha menemukan obat kanker
adalah dengan eksplorasi tanaman obat yang
telah digunakan oleh masyarakat secara

tradisional dan diduga memiliki aktivitas anti
kanker yang biasa dikenal dengan ethnobo-

tanical bioprospecting approach (Kashani et
al., 2012; Samuelsson, 1999).
Tumbuhan mekai (Albertisia papuana
Becc.) adalah salah satu tumbuhan endemik
di Kalimantan yang dipercaya oleh
masayarakat Suku Dayak untuk pengobatan
berbagai penyakit degeneratif, hipertensi,
dan kanker. Setiap organ (daun, batang, dan
akar) mengandung senyawa yang tidak sama,
termasuk metabolit sekundernya. Salah satu
faktor
penting
yang
mempengaruhi

Kristiani, Sitotoksisitas Batang dan Daun A. papuana


kandungan metabolit sekunder adalah organ
tumbuhan.
Studi oleh Widyasari (2012) terhadap
sel kanker payudara T47D mendapatkan
bahwa nilai IC50 ekstrak kloroform akar
tumbuhan mekai 4,42 μg/mL dengan senyawa aktif berupa alkaloid. Duffy dkk. (2012)
dalam ulasannya menyebutkan A. papuana
merupakan tumbuhan yang memiliki kemampuan antimalaria dan antikanker.
Angerhofer dkk. (1999) menyatakan bahwa
alkaloid bisbenzyl-isoquinoline dari A.
papuana toksik terhadap sel HeLa. Sejauh
ini belum ditemukan kajian tentang efektivitas organ lain tumbuhan mekai terhadap sel
kanker payudara dari sel MCF-7 maupun sel
kaker rahim HeLa belum diketahui.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendapatkan fraksi aktif dari batang dan
daun tumbuhan mekai (A. pauana Becc)

yang bersifat sitotoksik terhadap sel kanker
payudara MCF-7 dan sel kanker rahim
HeLa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya pengetahuan ilmiah tentang aktivitas antikanker tumbuhan mekai sehingga
mendorong upaya penggalian lebih lanjut
senyawa bioaktif antikanker utama pada
tumbuhan tersebut.

dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl-tetrazoliumbromide) (MTT) ultra pure (Bio Basic
Canada Inc.). Penentuan nilai IC50
menggunakan program SPSSInc/SPSS16
(Logit/Probit).
Fraksinasi ekstrak potensial menggunakan teknik vacuum liquid chromatography
(VLC) (Kristiani dkk., 2016b). Setiap fraksi
hasil VLC dianalisis dengan kromatografi
Lapis Tipis (KLT) dengan fase diam pelat
silica gel GF254 dan fase gerak berupa
campuran heksana : kloroform : etil asetat :
etanol (1:1:1:1).
Fraksinasi fraksi potensial menggunakan teknil preparative thin layer chromatography (PTLC). Fase diam menggunakan

ini pelat pelat kaca Kieselgel 60F254 dengan
ketebalan 0,25 mm (Merck). Fase gerak
campuran pelarut (Merck) yaitu heksana :
kloroform : etil asetat : etanol dengan perbandingan 1:60:10:5.

HASIL
Bagian organ tumbuhan mekai yang
digunakan sebagai sampel adalah batang dan
daun (Gambar 1).

METODE
Tumbuhan Mekai (A. Papuana Becc.)
diambil dari daerah Mejug, Kesik, Muara
Pedohon, Longsan, Jong, Sungai Pa’it
Kabupaten Kutai Kartanegara Propinsi
Kalimantan Timur, Indonesia pada bulan
Maret 2016. Sel kanker uji (sel kanker
payudara MCF-7 dan sel kanker rahim
HeLa)
diperoleh

dari
Laboratorium
Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Ekstraksi serbuk kering sampel (batang
dan daun) secara maserasi menggunakan dua
jenia pelaut yaitu kloroform (Merck) dan
metanol (Merck). Perendaman sampel
selama 48 jam dan diulang 3 kali.
Perbandingan sampel dengan pelarut (b/v)
yaitu batang 1:4 sedangkan daun 1:14.
Uji sitotoksisitas menggunakan uji MTT
(Kristiani dkk., 2016a). Senyawa 3-(4,5-

Gambar 1. Tumbuhan Mekai (Albertisia
papuana Becc.). A. Tumbuhan
Mekai; B. Batang Mekai; C.
Daun Mekai
Besarnya kemampuan sitotosisitas dapat
dilihat dari nilai IC50 ekstrak terhadap sel uji.

Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa ekstrak
dengan pelarut kloroform menunjukkan sifat
2

Kristiani, Sitotoksisitas Batang dan Daun A. papuana

toksik lebih kuat dibandingkan ekstrak
dengan pelarut metanol terhadap kedua sel
uji. Nilai IC50 sitotoksik ekstrak tersebut
(kisaran 50-150 µg/ml) masih dibawah kemampuan doxorubicin (8,6 µg/ml terhadap
sel MCF-7 dan 1,0 µg/ml terhadap sel
HeLa). Ekstrak metanol menunjukkan nilai
IC50 pada kisaran 200-750 µg/ml.

Tabel 1. Nilai IC50 ekstrak batang dan
daun A. papuana Becc.
Organ

Batang
Daun


Kode
Dx
BK
BM
DK
DM

Nilai IC50 (µg/ml)
terhadap sel
MCF-7
HeLa
8,6 ± 0,2
1,0 ± 0,9
181,3 ± 23,2
63,9 ± 7,9
202,4 ± 13,3
214,2 ± 4,5
155,4 ± 4,4
165,5 ± 6,9

383,4 ± 34,0
763,4 ± 107,9

Gambar 2. Kromatogram KLT hasil VLC ekstrak potensial batang dan daun A.
papuana Becc. A. Batang (BK); B. Daun (DK)

Ekstrak potensial BK dan DK difraksinasi
menggunakan metode VLC dan diperoleh 17
fraksi. Analisis KLT pada setiap fraksi dan
penggabungan fraksi yang menunjukkan pola pemisahan mirip ditampilkan pada Gambar 2. Fraksi batang menjadi sembilan fraksi
gabungan sedangkan daun menjadi empat
fraksi gabungan (Tabel 2 dan Tabel 3).

Tabel 3. Penggabungan fraksi hasil VLC
ekstrak kloroform daun A.
papuana Becc.
Fraksi gabungan
F1.D1
F1.D2
F1.D3

F1.D4

Tabel 2. Penggabungan fraksi hasil VLC
ekstrak kloroform batang A.
papuana Becc.
Fraksi gabungan

Pelarut

F1.B1
F1.B2
F1.B3
F1.B4
F1.B5
F1.B6
F1.B7
F1.B8
F1.B9

H:K = 9:1

H:K = 1:1
H:K = 1:4
K:EA = 3:2
K:EA = 2:3
EA = 1
EA:E = 7:3
EA:E = 1:4
A

Pelarut
H:K = 7:3
H:K:EA:E =
1:19:22:3
EA:E = 3:7
E:A = 1:1

Fraksi
asal
1–4
5 – 13
14 – 15
16 – 17

Uji sitotoksisitas terhadap kedua sel uji
dilakukan terhadap fraksi gabungan dari
hasil VLC terhadap BK dan DK (Tabel 4 dan
Tabel 5). F1.B5 dan F1.B6 menunjukkan
aktivitas sitotoksik mirip yaitu nilai IC50
(µg/ml) berturut-turut 221,8 dan 207,8
terhadap sel MCF-7 sedangkan terhadap sel
HeLa 56,3 dan 50,6. Fraksi lain tidak
mempunyai kemampuan sitotoksik terhadap
sel MCF-7 (semua sel hidup pada semua
konsentrasi uji) sedangkan terhadap sel
HeLa F1.B7 dan F1.B8 nilai IC50 pada
kisaran 100 µg/ml.

Fraksi
asal
1–2
3–4
5
6–7
8 – 10
11
12 – 13
14 – 16
17

3

Kristiani, Sitotoksisitas Batang dan Daun A. papuana

Tabel 4. Nilai IC50 fraksi hasil VLC
ekstrak kloroform batang A.
papuana Becc.
Fraksi
F1.B1
F1.B2
F1.B3
F1.B4
F1.B5
F1.B6
F1.B7
F1.B8
F1.B9

Tabel 5. Nilai IC50 fraksi hasil VLC
ekstrak kloroform daun A.
papuana Becc.

Nilai IC50 (µg/ml) terhadap sel
MCF-7
HeLa
NT
NT
NT
NT
NT
NT
NT
6.057,0 ± 7.347,8
221,8 ± 15,8
56,3 ± 4,1
207,8 ± 19,2
50,6 ± 6,9
NT
11,9 ± 12,7
NT
107,9 ± 15,1
NT
NT

Fraksi
F1.D1
F1.D2
F1.D3
F1.D4

Nilai IC50 (µg/ml) terhadap sel
MCF-7
HeLa
NT
464,6 ± 98,5
525,1 ± 183,7
3.841,0 ± 5.765,8
NT
394,5 ± 175,6
NT
166,0 ± 6,9

Catatan: NT (No toxicity) = Tidak ada kematian sel uji
Sitotoksisitas F1.B4 sangat lemah yaitu
IC50 6.057,0 µg/ml, dan ketiga fraksi lainnya
(F1.B1-F1.B3) tidak toksik.

Catatan: NT (Not detected) = Tidak ada kematian sel uji

Gambar 3. Pola pemisahan KLTP fraksi potensial A. papuana Becc. A. Batang
(F1.B5+F1.B6); B. Daun (F1.D2)
Pada uji terhadap sel MCF-7, hanya ada
satu ekstrak yang menunjukkan sifat toksik
yaitu F1.D2 (nilai IC50 525,1 µg/ml). Uji
terhadap sel HeLa, menunjukkan bahwa
keempat fraksi masih bersifat toksik yaitu
F1.D4 paling toksik (nilai IC50 166,0 µg/ml),
F1.D1 dan F1.D3 (nilai IC50 ± 400 µg/ml),
dan F1.D2 paling lemah toksisitasnya (nilai
IC50 3.841 µg/ml).
Tahap berikutnya adalah fraksinasi II
fraksi paling toksik hasil VLC yaitu gabungan F1.B5 dengan F1.B6 dan F1.D4
menggunakan teknik PTLC. Pita pemisahan
yang mirip digabungkan, sehingga diperoleh
14 fraksi pada gabungan F1.B5 dan F1.B6, 9
fraksi pada F1.D2, dan 6 fraksi dari F1.D4
seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.

Tabel 6. Nilai IC50 fraksi hasil PTLC
batang A. papuana Becc.
Fraksi
F2.B1
F2.B2
F2.B3
F2.B4
F2.B5
F2.B6
F2.B7
F2.B8
F2.B9
F2.B10
F2.B11
F2.B12
F2.B13
F2.B14

Nilai IC50 (µg/ml)
MCF-7
HeLa
133,3 ± 54,7
1.067,8 ± 372,5
ND
525,0 ± 64,9
435,4 ± 482,1
390,0 ± 59,1
43,3 ± 19,7
> 10.000
57,7 ± 30,5
2.868,9 ± 2.653,0
547,0 ± 720,0
654,8 ± 112,6
344,8 ± 229,8
454,5 ± 112,6
1.273,6 ± 709,3
375,4 ± 106,2
3.616,7 ± 1.497,8
204,1 ± 15,4
2.881,0 ± 2.370,4
412,1 ± 267,7
1.923,0 ± 505,3
239,2 ± 16,6
> 10.000
503,8 ± 476,0
5.829,4 ± 337,7
285,0 ± 89,6
5.312,6 ± 2.824,3
127,8 ± 39,8

Catatan: ND (Not dtected) = tidak terdeteksi
2

Kristiani, Sitotoksisitas Batang dan Daun A. papuana

Semua fraksi diuji sitotoksisitasnya terhadap sel MCF-7 dan sel HeLa (Tabel 6 dan
Tabel 7). Fraksinasi II ekstrak batang A.
papuana Becc. menghasilkan fraksi dengan
toksisitas lebih kuat terhadap MCF-7 dari
fraksi paling toksik hasil fraksinasi I yaitu
F2.B4 dengan nilai IC50 43,3 µg/ml. Fraksi
F2.B1-F2.B7 menunjukkan nilai IC50
berkisar 100-500 µg/ml sedangkan fraksi
F1.8-F1.B14 menunjukkan nilai IC50 lebih
dari 1.000 µg/ml. Pada sel Hela,
sitotoksisitas semua fraksi hasil fraksinasi II
lebih rendah (nilai IC50 pada kisaran 100-500
µg/ml) dibandingkan fraksi paling toksik
hasil fraksinasi I.

PEMBAHASAN
Saat ini banyak dilakukan upaya
pencarian obat baru bersumber dari bahan
alam
yang dikenal
Bioassay-Guided
Isolation.
Bioassay-Guided
Isolation
merupakan serangkaian langkah pemisahan
senyawa dalam campuran menggunakan
metode analitik dan uji farmakologinya.
Proses tersebut diulang sampai diperoleh
senyawa aktif yang diharapkan (Rimando et
al., 2001; Samuelsson, 1999).
Masyarakat
suku
Dayak
biasa
menggunakan akar Mekai untuk obat kanker.
Penggunaan akar akan membuat keseluruhan
tumbuhan menjadi mati. Oleh karena itu pada penelitian ini, selain akar juga diteliti organ batang daun, dengan tujuan untuk
mengetahui kemungkinan kemampuan sitotoksik dua organ tersebut. Katno dan
Purnomo (2002) menyatakan bahwa sebagian besar senyawa kimia yang dimanfaatkan dalam obat pada tumbuhan
adalah metabolit sekunder. Kemungkinan
pada daun dan batang juga terdapat senyawa
yang memilki kemampuan sitotoksik karena
metabolit sekunder tersebar terbatas dalam
organisme, kelompok organisme (Dewick,
2002), atau bagian tubuh dalam satu individu
(Shrikumar dan Ravi, 2007).
Pada penelitian ini, tahap awal sampel
diekstraksi kemudian diuji sitotoksisitasnya.
Ekstraksi merupakan proses awal dalam
proses pemisahan senyawa di dalam suatu
bahan (Sticher, 2008). Pada proses ekstraksi,
bagian aktif di dalam tumbuhan dipisahkan
menggunakan pelarut spesifik (Azwanida,
2015). Secara umum proses ekstraksi meliputi pengeringan sampel, penggerusan sampel, pemilihan prosedur ekstraksi, dan pemilihan pelarut sesuai dengan bahan yang akan
diisolasi (Samuelsson, 1999; Kashani et al.,
2012, Azwanida, 2015). Metode maserasi,
yang digunakan dalam penelitian memiliki
kelebihan yaitu perendaman pada suhu ruang
mengurangi kemungkinan proses dekomposisi senyawa yang terekstrak, namun metode
ini juga memiliki kekurangan dalam hal
waktu yang lama dan kebutuhan pelarut yang
banyak. (Kashani et al., 2012; Sticher,
2008).

Tabel 7. Nilai IC50 fraksi hasil PTLC daun
A. papuana Becc.
Fraksi
F2.D21
F2.D22
F2.D23
F2.D24
F2.D25
F2.D26
F2.D27
F2.D28
F2.D29
F2.D210
F2.D41
F2.D42
F2.D43
F2.D44
F2.D45
F2.D46

Nilai IC50 (µg/ml)
MCF-7
HeLa
709,4 ± 61,0
601,6 ± 88,0
708,2 ± 10,9
721,5 ± 74,3
641,4 ± 116,4
382,6 ± 145,5
443,0 ± 249,0
475,0 ± 160,9
414,0 ± 216,6
401,8 ± 211,2
48,4 ± 3,8
82,3 ± 3,0
89,4 ± 3,5
88,7 ± 0,6
383,6 ± 75,0
611,5 ± 33,3

Pada daun, proses fraksinasi II menghasilkan
fraksi dengan sitotoksisitas lebih kuat
dibandingkan fraksi potensial hasil fraksinasi
I yaitu F2.D26 (nilai IC50 382,6 µg/ml
terhadap sel MCF-7) dan F2.D41 (nilai IC50
48,4 µg/ml terhadap sel HeLa). Sitotoksisitas
F2.D26 terhadap sel MCF-7 tersebut
walaupun paling toksik dalam tahap
fraksinasi II tetapi lebih rendah dari ekstrak
sebelum difarksinasi. Dengan demikian,
ekstrak awal daun merupakan agen paling
toksik terhadap sel MCF-7.

2

Kristiani, Sitotoksisitas Batang dan Daun A. papuana

Skrining sitotoksisitas in vitro merupakan strategi yang cocok sebagai studi awal
untuk menyeleksi adanya aktivitas antikanker suatu ekstrak tumbuhan (Arullappan
et al. 2013). Ekstrak dengan pelarut kloroform menunjukkan sitotoksisitas lebih tinggi
dibandingkan dengan metanol. Kemampuan
farmakologi obat herbal dipengaruhi oleh
keberadaan senyawa bioaktif senyawa metabolit sekunder di dalamnya (Arullappan et
al., 2013; Prakash & Gupta, 2013; Almehdar
et al. 2012; Kashani et al., 2012). Jenis senyawa metabolit sekunder yang diperoleh
ditentukan oleh pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi. Penggunaan kloroform
dapat mengekstrak senyawa non polar seperti asam lemak dan terpena (Cowan, 1999)
dan sedikit tannin (Azwanida, 2015).
Crude extract masih berupa campuran
kompleks berbagai jenis senyawa yang
mungkin dapat bersifat sinergis ataupun
antagonis dalam peran farmakologisnya.
Fraksinasi secara kromatografi merupakan
salah satu pendekatan untuk memisahkan
kompleksitas senyawa tersebut menjadi
beberapa fraksi dengan jenis senyawa lebih
terkonsentrasi sesuai dengan pelarutnya
(Nwodo et al., 2010).
Sesuai dengan Bioassay-Guided Isolation, ekstrak potensial difraksinasi,
kemudian sitotoksisitas setiap fraksi diuji
kembali. Pada batang, fraksi paling toksik
adalah gabungan F1.B5 dan F1.B6 dengan
nilai IC50 pada kisaran 200 µg/ml terhadap
sel MCF-7 dan 50 µg/ml terhadap sel HeLa.
Proses fraksinasi I ini menurunkan sitotoksisitas terhadap MCF-7 tetapi terhadap sel
HeLa meningkat. Pada daun, kedua fraksi
tidak meningkatkan sitotoksisitas terhadap
kedua sel uji. Penurunan sitotoksisitas
kemungkinan disebabkan ada senyawa pada
fraksi tersebut yang bersifat antagonis terhadap sifat sel uji yang bersangkutan. Fraksi
tersebut merupakan fraksi dengan pelarut
kloroform : etil asetat (3:7). Hal tersebut
menunjukkan bahwa senyawa bioaktif lebih
cenderung merupakan senyawa dengan kecenderungan polar.
Fraksinasi II menggunakan teknik PTLC.
Prosedur PTLC mempunyai kelebihan dalam

hal peralatan sederhana dan biaya murah
tetapi memiliki kelemahan dalam hal jumlah
sampel yang bisa diproses hanya sedikit sehingga perolehan rendemen akhir sedikit
(Kristanti, 2008). Sampai saat ini, prosedur
ini dapat manjadi prosedur alternatif apabila
jumlah sampel sedikit yang tidak memungkinkan untuk di VLC. Berdasarkan pemisahan pada kromatogram, tampak bahwa kandungan senyawa pada batang lebih beragam
dibandingkan pada daun. Hasil uji sitotoksisitas pada batang, F2.B4 sangat toksik terhadap sel MCF-7 (nilai IC50 43,3 µg/ml)
tetapi terhadap sel HeLa sitotoksisitas semua
fraski menurun. Kondisi sebaliknya terjadi
pada fraksi daun. Sitotoksisitas fraksi
F2.D41 terhadap sel HeLa meingkat dengan
nilai IC50 48,4 µg/ml. Dalam Syarifah dkk.
(2011), suatu bahan disebut memiliki
kekuatan sitotoksik moderat jika nilai IC50
antara 10-50 µg/ml.
Studi oleh Widyasari (2012) mendapatkan bahwa ekstrak kloroform akar tumbuhan
mekai bersifat sitotoksik terhadap sel kanker
payudara (T47D) dengan IC50 4,42 μg/mL.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sifat
sitotoksisitas ekstrak batang dan daun lebih
rendah dari akar, tetapi proses fraksinasi
memungkinkan diperolehnya fraksi dengan
kekuatan sitotoksisitas sepadan dengan akar.
Sampai dengan proses fraksinasi II, aktivitas sitotoksik ektrak atau fraksi potensial
di bawah kemampuan doxorubicin (nilai IC50
8,6 µg/ml terhadap sel MCF-7 dan 1,0 µg/ml
terhadap sel HeLa. Hal tersebut kemungkinan karena ekstrak/fraksi masih merupakan
campuran senyawa yang mungkin ada sifar
sinergis dan antagonis didalamnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Fraksi paling toksik terhadap sel kanker
payudara MCF-7 dari tumbuhan Mekai (A.
papuana Becc.) yaitu dari batang F2.B4
(nilai IC50 43,3 µg/ml), dan dari daun (nilai
IC50 165,5 µg/ml). Fraksi paling toksik
terhadap sel kanker rahim HeLa yaitu dari
batang F1.B5 (nilai IC50 56,3 µg/ml) dan
F1.B6 (nilai IC50 50,6 µg/ml), dan dari daun
F2.D41 (nilai IC50 48,4 µg/ml).
3

Kristiani, Sitotoksisitas Batang dan Daun A. papuana

Katno, S. dan Pramono, S. 2002. Tingkat
Manfaat
dan
Keamanan
Obat
Tradisional. Balai Penelitian Tanaman
Obat Tawanmangu. www.litbang.
depkes.go.id. Akses tanggal 7 Juli
2010.
Kashani, H.H., Hoseini, E.S., Nikzad, H.,
Aarabi, M.H. 2012. Pharmacological
properties of medicinal herbs by focus
on secondary metabolites. Life Science
Journal. 9 (1) : 509-520.
Kristanti, A.N. 2008. Buku Ajar Fitokimia .
Airlangga University Press, Surabaya.
Kristiani, E.B.E., Nugroho, L.H., Moeljopawiro, S., Widyarini, S. 2016b.
Characterization of volatile compounds
of Albertisia papuana Becc root
extracts and cytotoxic activity in breast
cancer cell line T47D. Tropical
Journal of Pharmaceutical Research.
15 (5): 959-964.
. 2016b. The Cytotoxicity of
Mekai (Albertisia papuana Becc.) Root
Extract on Breast Cancer Cell Lines
T47D and Vero Cell Lines. AIP
Conference
Proceedings.
1744,
020016: 1-8; doi: 10.1063/ 1.4953490.
Nwodo, U.U., Ngene, A.A., Iroegbu, C.U.,
Obiiyeke GC. 2010. Effects of
fractionation on antibacterial activity of
crude extracts of Tamarindus indica.
African Journal of Biotechnology
9(42): 7108-7113.
Prakash E & Gupta D.K. 2013. In Vitro
Study of Extracts of Ricinus communis
Linn on Human Cancer Cell lines.
Journal of Medical Sciences and
Public Health. Vol. 2, No. 1, 15-20.
Rimando, A. M., Olofsdotter, M.S.O.D.,
Dayan, F.E. 2001. Searching for rice
allelochemicals: an example of
bioassay-guided isolation. Agron. J .
93:16–20.
Samuelsson, G. 1999. Drugs of Natural
Origin: A Textbook of Pharmacognosy,
4th ed., Swedish Pharmaceutical
Society, Stockholm, 551p.
Shrikumar, S., and Ravi, T.K. 2007.
Approaches Towards Development and
Promotion of Herbal Drugs. Pharma-

Saran
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut meliputi
uji sitotoksisitas fraksi paling toksik terhadap
sel kanker lain, sel normal, dan pendalaman
mekanisme antikanker dari farski potensial
DAFTAR RUJUKAN
Angerhofer,
C.K.,
Guinaudeau,
H.,
Wongpanich, V., Pezzuto, J.M.,
Cordell, G.A. 1999. Antiplasmodial
and cytotoxic activity of natural
bisbenzylisoquinoline alkaloids. J. Nat.
Prod. 62 : 59-66.
Arullappan, S. et al. 2013. Cytotoxic
Activity of the Leaves and Stem
Extracts of Hibiscus rosa sinensis
(Malvaceae) against Leukaemic Cell
Line (K-562). Tropical Journal of
Pharmaceutical Research. 12 (5): 743746.
Azwanida, N.N. 2015. A Review on the
Extraction Methods Use in Medicinal
Plants, Principle, Strength and Limitation. Med Aromat Plants. 4: 196.
doi:10.4172/2167-0412.1000196
Cowan M.M. 1999. Plant Products as
Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology Review. Vol. 12 No. 4: 564582.
Dewick, P.M. 2002. Medicinal Natural
Products: A Biosynthetic Approach.
2th edition. John Wiley dan Sons. New
York. 507 p.
Duffy, R., Wade, C., Chang, R. 2012.
Discovery of anticancer drugs from
antimalarial natural products: a
MEDLINE literature review. Drug
Discovery Today. 17 (17/18): 942-953.
Islam, M.S., Akhtar, M.M., Rahman, M.M.
2009. Antitumor and phytotoxic
activities of leaves metahanol extract of
Oldenlandia diffusa (Willd.) Roxb.
Global Journal of PharmacologyI. 3
(2): 99-106.
Jemal A, Bray F, Center MM, Ferlay J, Ward
E, et al. 2011. Global Cancer statistic.
CA Cancer J CLin. Doi:10.3322/
caac.20107.
4

Kristiani, Sitotoksisitas Batang dan Daun A. papuana

cognosy Reviews. 1 (1): 180-184.
Sticher, O. 2008. Natural product isolation.
Natural Product Reports. 25 : 517-554.
Syarifah, M.M.S., Nurhanan, M.Y., Haffiz,
J.M., Ilham, A.M., Getha, K., Asiah,
O., Norhayati, I., Sahira, H.L., Suryani,
S.A. 2011. Potential Anticancer
Compound from Cerbera odollam.
Journal of Tropical Forest Science. 23
(1): 89-96.
Tan, K.K., Bradshaw, T.D., Jessica C, Jin
K.T., Christope W. 2014. In Vitro
Anticancer Effect Of Artabotrys
Crassifolius Hook.F. & Thomson
Against Human Carcinoma Cell Lines.
Journal of Drug Delivery & Therapeutics. 4(1), 1-4.
Widyasari.
2012.
Efek
Sitotoksik,
Proliferasi, dan Apoptosis Fraksi Aktif
Akar Tumbuhan Mekai (Albertisia
papuana Becc.) Terhadap Sel Kanker
Payudara (T47D). Thesis. Yogyakarta:
Program Pasca Sarjana Fakultas
Biologi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

5

Dokumen yang terkait