Resistensi dalam Kajian Perubahan Organisasi - Repositori UIN Alauddin Makassar

  1 Anggriani Alamsyah

  Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar ABSTRAK

  

Organisasi yang sukses adalah yang bisa menguasai lingkungannya

dengan menemukan kesesuaian optimal antara karakteristik

organisasional, kekuatan lingkungan, dan apa yang ingin dicapai. Dalam

setiap perubahan organisasi akan selalu ada resistensi atau penolakan

terhadap perubahan tersebut. Tulisan ini mencoba menguraikan tentang

apa itu resistensi dari sudut pandang perubahan organisasi dan cara

mengatasi resistensi sebagaimana dikemukakan para ahli. Kotter

mengajukan empat penyebab resistensi dalam sebuah perubahan

organisasi: (1) Kepentingan pribadi parochial (2) Kesalahpahaman dan

kekurangan kepercayaan, (3) Perhitungan konsekuensi yang berbeda, (4)

Toleransi yang rendah pada perubahan. Terdapat delapan factor yang

diajukan untuk implementasi perubahan organisasi, dimana didalamnya

terdapat cara-cara yang ditempuh untuk mengatasi resistensi.

  Kata kunci: Lingkungan, Organisasi, Resistensi.

  

Successful organizations are able to master the environment by finding

the optimum fit between organizational characteristics, environmental

forces, and what is to be achieved. In any organization there will always

be changes in resistance or resistance to these changes. This paper

attempts to elaborate on what was resistance from the standpoint of

organizational change and how to overcome resistance as suggested by

experts. Kotter submitted four causes of resistance in an organizational

change: (1) personal interest Parochial (2) Misconceptions and lack of

trust, (3) The calculation of the different consequences, (4) low tolerance

to change. There are eight factors proposed for the implementation of

organizational change, in which there are ways in which to overcome the

resistance. Keywords: Environtment, Organization, Resistence

  Jika kita berbicara tentang organisasi, maka dapat

didefinisikan sebagai system kepentingan, sehingga unit atau

departemen akan dipandang sebagai subsistem, sementara

lingkungan dipandang sebagai supersistem dimana dia melekat

  (Hatch, 1997). Robert Merton dan siswanya pada Columbia University yang pada akhir 1940-an, misalnya, yang menguraikan batas bidang studi yang berhubungan dengan organisasi (Scott, 1992). Aliran system melihat organisasi melihat organisasi sebagai seperangkat elemen kompleks yang jalin-menjalin dan saling berhubungan (Shafritz, 1978). Sebuah sistem adalah entitas yang harus dipelajari dan dipahami sebagai suatu keseluruhan karena tiap bagiannya saling bergantung dengan bagian yang lain. Sebuah perubahan di satu bagian akan menghasilkan perubahan pada bagian lainnya. Sistem social adalah tipe sistem yang berisi komponen manusia dan fisik (Roethlisberger and Dickson, 1939).

  System biasanya diklasifikasikan sebagai system terbuka dan system tertutup. Aliran klasik melihat organisasi sebagai struktur yang statis. Katz dan Kahn menyimpulkan bahwa system tertutup melihat organisasi mengalami kegagalan untuk menghargai interdependensinya dan interaksi antara organisasi dan lingkungannya (Katz dan Kahn, 1966). Aplikasi analisa system untuk mempelajari organisasi lahir dengan nama teori system terbuka. Kelahiran ini dipengaruhi oleh Teori System Umum system hipotetis-deduktif, yakni prinsip yang dideduksi dari semua yang dipunyai system terbuka (Bertalanffy, 1951). Menurutnya, organisasi sebagai organic, termasuk organisasi, harus dipahami sebagai system

  

yang terbuka, dimana terjadi pertukaran energy, materi dan

informasi dengan lingkungan sehingga mereka memperbaharui diri

dan terus bertumbuh (Bertalanffy, 1951). Alvin Gouldner menyatakan

  bahwa model rational dari teori klasik, berasal strategi system tertutup, sedangkan model system natural berasal dari strategi system terbuka (Gouldner, 1959). Konsep system terbuka dan tertutup sulit untuk dipertahankan secara absolut. Lebih baik kita berpikir terbuka-tertutup sebagai suatu dimensi; yakni system yang secara relative terbuka dan secara relative tertutup (Kast and Rosenzweig, 1972). James D. Thomson mengobservasi, organisasi tidak hanya organisme yang tempat penyimpanan kekuatan dari ketidakpastian dan perjuangan untuk memulihkan keseimbangan organic; mereka juga rasional, instrument yang berorientasi yang secara aktif mengikutsertakan lingkungan mereka, melakukan apa yang harus dilakukan untuk mencapai sasarannya dan bertahan untuk hari selanjutnya. Organisasi yang sukses adalah yang

  

bisa menguasai lingkungannya dengan menemukan kesesuaian

optimal antara karakteristik organisasional, kekuatan lingkungan, dan apa yang ingin dicapai (Thompson, 1967). akan selalu ada resistensi atau penolakan terhadap perubahan tersebut. Hal ini disebabkan karena anggota organisasi merasa sudah berada di posisi nyamannya masing-masing. Perubahan hanya akan membuat mereka keluar dari zona nyaman itu, dan berprilaku di luar dari kebiasaan mereka selama ini. Tulisan ini mencoba menguraikan tentang apa itu resistensi dari sudut pandang perubahan organisasi dan cara mengatasi resistensi sebagaimana dikemukakan para ahli.

  Richard Harker menyatakan “change is not made without

  

inconvenience, even from worse to better”. Kalimat ini menunjukkan

  bahwa betapa sebuah perubahan memang membuat kita melakukan hal- hal baru diluar kebiasaan kita selama ini. Walaupun arah peubahan itu membawa kita menjadi lebih baik, namun tetap saja, ketidaknyamanan itu akan terjadi.

  Sebagai pemimpin perubahan, anda telah melakukan analisis. Anda mengenali kebutuhan nyata akan perubahan, dan anda memahami masukan dan keluaran dari organisasi anda. Anda telah merangkai visi yang mengena dan mencerminkan perubahan. Namun orang tetap tidak berupaya untuk turut serta dan mematuhi anda, lalu mengimplementasikan perubahan. Resistensi terhadap perubahan

  

informasi, persepsi, kebutuhan dan kepercayaan. Juga, system

  informal dan formal yang telah ada, serta proses yang potensial untuk bertindak sebagai masalah dalam perubahan (Cawsey & Desczca, 2007).

  Sebagai pemimpin perubahan, seseorang biasanya melihat

  

penentang perubahan sebagai orang yang berseberangan dengan

  mereka. Para pendukung perubahan merasa di pihak yang baik dan benar, sementara penentangnya adalah orang-orang yang berada pada

  

posisi sebaliknya. Mereka kadang dianggap kaum “konservatif” yang

ingin berada pada situasi yang tetap sama dalam waktu yang lama.

  Orang-orang yang tidak punya visi besar untuk kemajuan organisasi.

  Ketika manajer berbicara tentang perubahan organisasi, mereka biasanya melihat resistensi terhadap perubahan menyangkut bagaimana “orang-orang itu tidak menyatu dengan program.” Manajer biasanya melihat orang tersebut sebagai terkekang dengan opininya dan yang semata-mata “tidak memahami situasi”. Orang yang dipandang sebagai pengganjal, biang kerok, penjaga tua, cepat puas, apatis, naïf dan lain- lain. Mereka diistilahkan negative dan pengelompokan itu tidak akan memperbaiki situasi! Sebaliknya, mereka yang dinamakan ‘penolak’ biasanya menggunakan kata-kata yang sama: agen perubahan yang tidak memahami bagaimana sesuatu bekerja; inisiator perubahan yang semata-mata tertuju pada sebuah program (termasuk sebuah pendekatan yang coba mereka laukan. Satu sama lain dipandang sebagai musuh, meningkatkan situasi yang memang sudah tidak sehat (Waddel & Sohal, 1998 dalam Cawsey & Desczca, 2007).

  Hal yang mungkin sulit dilihat oleh agen perubahan adalah setiap orang pada hakikatnya menginginkan perubahan, hanya saja mereka melihatnya dengan cara berbeda. Karena manusia maupun organisasi pasti menginginkan perubahan kea rah yang lebih baik. Yang berbeda biasanya besar kecilnya perubahan yang diinginkan dan proses yang dijalani ketika perubahan tersebut berlangsung.

  Kebanyakan apa yang dinamakan “resisten”, pada orang lain atas dasar perbedaan informasi, persepsi yang berbeda, perbedaan kebutuhan, perbedaan kepercayaan, dan impak system dan proses informal. Seringkali, agen perubahan gagal untuk memahami dinamika situasi dan posisi orang-orang dan kelompok penting dalam organisasi. Mereka cenderung untuk mengarahkan situasi yang membuat kesalahpahaman dan membuat resistensi semakin buruk. Kadangkala polarisasi tidak dapat dielakkan, tapi kasus-kasus ini biasanya bersifat khusus, tidak bersifat umum (Piderit S.K, 2000 dalam Cawsey & Desczca, 2007).

  Seorang agen perubahan harus mampu memahami resistensi secara komprehensif, jika tidak ingin menempatkan posisinya dalam kepada anggota organisasi lainnya. Perubahan top-down bukanlah jenis perubahan yang akan menghasilkan partisipasi penuh. Memahami resistensi tahu bahwa mereka menolak perubahan, namun lebih daripada itu, agen perubahan juga harus mengetahui dengan pasti apa yang menyebabkan mereka resisten.

  Perubahan organisasi pada organisasi public memang biasanya bersifat top down karena diinisiasi oleh top manajemen, namun tetap saja jika pendektan bootom up juga disertakan untuk menjamin partisipasi dan dukungan penuh dari anggota organisasi (Sminia & Nistelrooij , 2006).

  Salah satu metafora yang membantu adalah untuk melihat perubahan sebagai proses persuasi dan penerima perubahan sebagai suatu consumer potensial dari perubahan kami. Agen perubahan perlu memahami posisi penerima dan apa yang penting untuk mereka karena mereka dapat membujuknya. Tentu saja, prosesnya hubungan timbal balik. Agen perubahan yang terampil mendengar dengan seksama, memperoleh informasi dari apa yang mereka dengar, dan membuat perbaikan terhadap desain perubahan dan implementasinya. Ketika pelanggan diperkenalkan produk dan jasa baru dan lambat laun mengubah posisi pembelian, sehingga penerima perubahan dibujuk untuk mengadopsi perubahan. Ini lebih berhasil ketika penerima perubahan percaya bahwa perhatian dan pandangan mereka dipahami dan direspon Cawsey & Desczca (2007) memberikan dua contoh kasus perubahan organisasi yang berbeda (1) merger Daimler dan Crysler beberapa tahun yang lalu dan (2) perubahan terhadap 3M yang dilakukan oleh McNerney sebagai CEO baru mereka.

  Daimler & Chrysler merger beberapa tahun lalu menyajikan contoh klasik dari dampak system informal. Merger ini dianggap senjata yang mempunyai potensi bagi sinergi besar. Kebutuhan perubahan relative jelas, sejauh itu menyangkut pasar, dan merger membuat penilaian bisnis yang baik. Namun, kemampuan untuk mengimplementasikan perubahan itu tidak bergerak bebas dalam budaya yang berbeda dari dua perusahaan dan kebutuhan eksekutif.

  Ketika Daimler-Chrysler Corp. Mengumumkan “merger seimbang” sebesar 36 milliar dollar di tahun 1998, dianggap sebagai pernikahan yang terjadi di surga. Pada waktu itu, Chrysler adalah pembuat mobil yang paling profitable dan efisien, sementara Daimler dikenal sebagai pembuat mobil lux premier di seluruh planet. DaimlerChrysler menjadi model terbaru bagi rumah otomotif global dan sahamnya melesat menjadi tiga digit, memaksa pembuat mobil pesaing untuk juga melakukan merger. Tapi dalam waktu yang singkat persatuan massa / kelas telah meluncur, diperlemah oleh pertikaian budaya antar atlantik dan eksodus talent yang merusak. Secara virtual keseluruhan “dream team” dari eksekutif Chrysler yang telah membangun model- model terbaik dan profit yang besar di tahun 1990-an, telah pergi, meninggalkan operasi Amerika yang kacau dimana biaya-biaya melesat tanpa control (Naughtan, 2000 dalam Cawsey & Desczca, 2007).

  Sebagaimana seorang auto analis Merril Lynch berkata, “Masalah bukannya bukanlah konsep kerjasama tapi pelaksanaannya....ini adalah yang dipahami dan diterima oleh eksekutif tidak cukup untuk menjalani hari dengan sekumpulan individu yang merupakan penerima perubahan dan kunci implmentasi yang efektif. Individu-individu ini melihat segalanya dengan cara yang berbeda, bingung atau salah menerjemahkan tentang apa yang diminta dari mereka, dan bertindak sesuai hal itu! Sebuah kerjasama yang mempunyai potensi signifikan untuk menenggelamkan karena ketidakmampuan manajemen mengkomunikasikan visi yang menarik, terhubung dan memperoleh umpan balik dan dukungan, dan mengantisipasi dan mengatasi dengan respon yang dapat diduga oleh orang lain.

  Sebaliknya, kedatangan McNerney di 3M sangat berbeda. Disini, CEO mampu bekerja dengan orang-orang disekitarnya:

  Gaya McNerney di 3M membiarkan mereka merasa bahwa mereka, bukan McNerney, mengendalikan perubahan. Dia mampu memperkenalkan perubahan yang diarahkan data tanpa memaksa idenya dari General Electric kepada organisasi tersebut. McNerney mampu bersandar pada manajemen 3M daripada mengimpor eksekutif GE lainnya. “Saya pikir kisah disini adalah penguatan kembali sekelompok orang berbakat dari pada penggantian dari kelompok orang yang tidak terlalu bagus,” katanya. Sebagai bagian dari rencana perubahannya dia menghindari untuk memberikan perintah dan menguatkan budaya

  3M kapanpun dia bisa. “Ini adalah perusahaan dengan dasar yang kuat. Ide temuan dari orang-orang ini, berbeda dengan yang saya lihat di tempat lain. Setiap orang bangun di pagi hari mencoba untuk mencari tahu bagaimana mereka tumbuh. Itulah yang sebenarnya.” Diplomasi telah benar-benar dimainkan dengan baik dengan tekad 3M. “Dia menyampaikan pesan yang sangat konsisten,”kata Althea Rupert, keluar dari Forum Teknis, masyarakat internal bagi semua orang-orang teknis 3M. “Ada

  Dalam kasus 3M, ada pemahaman jelas dijelaskan oleh para pemain, perspektifnya, dan kebutuhannya, yang membuat implementasi jauh lebih mudah untuk dicapai. Mungkin McNerney tidak punya pilihan. Tapi dia bertindak dengan cara yang melibatkan orang-orang, berfokus perhatian dan kepentingan mereka, dan menyertakannya, daripada berusaha untuk memaksakan sejumlah pandangan. Sementara dua situasi ini berbeda, keduanya mendemonstrasikan dampak system informal. Bagaimana pemimpin perubahan berhubungan dengan system ini akan mempengaruhi jumlah dan sifat resisten untuk berubah yang terjadi dalam sebuah proses perubahan (Cawsey & Desczca, 2007).

  Kedua contoh yang dikemukakan oleh Cawsey & Desczca di atas telah memperlihatkan kepada kita bahwa betapa dua organisasi yang besar dan sama-sama potensial, jika digabungkan belum tentu menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Salah satu penyebabnya karena ketidakmampuan agen perubahan untuk mengkomunikasikan tujuan utama dari perubahan organisasi / merger ini. Contoh berikutnya memperlihatkan kerendahan hati seorang McNerney untuk tidak menempatkan dirinya sebagai pemimpin agen perubahan, melainkan membiarkan perubahan itu dikendalikan oleh orang-orang yang dipimpinnya. Perubahan memang tidak semata dikendalikan oleh teknik- teknik yang mumpuni, tapi juga ketulusan dan tekad orang-orang di

  Kotter (1982) menggambarkan empat alasan mengapa orang secara aktif dan pasif menentang perubahan: 1) Kepentingan pribadi parochial. Perubahan yang diajukan akan membawa kepada kehilangan sesuatu yang berharga dan sebagai hasil dari resistensi pribadi. Mereka mungkin tidak punya waktu untuk membuat perubahan, atau mereka percaya perubahan akan berbahaya bagi mereka atau organisasi. 2) Kesalahpahaman dan kekurangan kepercayaan. Biasanya pekerja tidak memahami implikasi atas apa yang diajukan.

  Jika sejarah atau budaya organisasi berada pada tingkat kepercayaan yang tidak tinggi, menghasilkan kecurigaan dan mengarah kepada resistensi. 3) Perhitungan konsekuensi yang berbeda. Pekerja akan mempunyai perspektif yang berbeda tentang perubahan – biasanya biasanya lebih dekat terhadap segala sesuatunya daripada manajemen senior. Mereka mungkin menyadari detail yang membuat perubahan tidak berhasil. 4) Toleransi yang rendah pada perubahan. Beberapa pekerja tidak siap berubah. Mereka mungkin tidak punya keterampilan, atau kepribadian mereka senang pada stabilitas. Organisasi mungkin mempunyai terlalu banyak perubahan – perubahan Uraian tentang penyebab perubahan di atas dapat kita kelompokkan dalam dua bagian: (1) sifatnya pribadi, yang ditunjukkan dengan ketakutan akan kehilangan sesuatu. Keadaan organisasi memberikan keuntungan / sesuatu yang begharga bagi dirinya, sehingga jika organisasi berubah, keuntungan itu akan hilang. Demikian pula mereka yang merasa keterampilannya kurang, sehingga kahwatir mereka tidak akan dapat beradaptasi dengan keadaan baru organisasi. Mereka takut untuk keluar dari kebiasaan alamnya untuk “move on” dan memulai kebiasaan-kebiasaan baru; (2) bersifat tidak pribadi, yang ditunjukkan pada budaya organisasi yang menunjukkan tingkat kepercayaan yang rendah pada organisasi. Penyebab lainnya adalah sekelompok orang yang memang mengetahui detail-detail organisasi yang mendasari mereka untuk memberikan argument bahwa perubahan tersebut tidak akan berhasil.

  Uraian berikut menunjukkan beberapa factor yang dapat diterapkan pada perubahan organisasi, dimana didalamnya termaktub hal-hal yang ditempuh untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan organisasi.

  Fernandez & Reiney (2006) dalam Alamsyah (2015) mengajukan delapan faktor yang berkontribusi terhadap kesuksesan implementasi menambahkan efek dari faktor-faktor lainnya. Kedelapan faktor ini didukung oleh berbagai penelitian.

  Faktor 1: Pastikan Kebutuhan.

  Pemimpin manajerial harus membuktikan dan secara persuasif mengkomunikasikan kebutuhan akan perubahan. Penelitian mengindikasikan bahwa implementasi perubahan yang terencana umumnya mensyaratkan pemimpin membuktikan kebutuhan akan perubahan dan membujuk anggota lain dalam organisasi dan stakeholder eksternal yang penting (Armenakis, Harris, and Feild, 1999; Burke, 2002; Judson, 1991; Kotter, 1995; Laurent, 2003; Nadler and Nadler, 1998). Proses meyakinkan individu akan pentingnya perubahan biasanya dimulai dengan merangkai visi yang memaksakan visi untuk itu. Sebuah visi menyajikan gambaran atau imaji tentang masa depan yang mudah dikomunikasikan dan dianggap menarik oleh anggota organisasi (Kotter, 1995); sebuah visi menyediakan keseluruhan arah proses perubahan dan bertindak sebagai dasar untuk mengembangkan strategi khusus agar tiba pada masa depan yang diinginkan. Faktor 2 : Menyediakan Rencana

  Pimpinan manajerial harus membangun serangkaian tindakan atau strategi untuk mengimplementasikan perubahan. Meyakinkan anggota- anggota organisasi tentang kebutuhan akan perubahan jelas tidaklah tujuan dan rencana untuk mencapainya (Abramson and Lawrence, 2001; Carnall, 1995; Judson, 1991; Kotter, 1995; Lambright, 2001; Nadler and Nadler, 1998; Young, 2001). Strategi ini berfungsi sebagai peta arah bagi organisasi, menawarkan arah tentang bagaimana tiba pada keadaan akhir yang diinginkan, mengidentifikasi hambatan, dan mengajukan pengukuran untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

  Sebagaimana dijelaskan Kotter (1995) elemen dasar bagi visi harus diorganisasikan ke dalam strategi untuk mencapai visi sehingga transformasi tidak terpisahkan ke dalam aktivitas-aktivitas dan arah yang tidak berhubungan dan membingungkan.

  Faktor 3 : Membangun Dukungan bagi Perubahan dan Mengatasi Resistensi

  Pimpinan manajerial harus membangun dukungan internal bagi perubahan dan mengurangi resistensi terhadap hal tersebut, melalui partisipasi yang meluas dalam proses perubahan dan alat-alat lainnya. Pelajar perubahan organisasional utama secara khusus melaporkan bahwa kesuksesan pimpinan memahami bahwa perubahan melibatkan proses politik tentang pengembangan dan pemeliharaan dukungan dari stakeholder utama dan anggota-anggota organisasi. Individu dalam resisten terhadap perubahan bagi beragam alasan (Kets de Vries and Balazs, 1999) – misalnya, beberapa ide perubahan semata-mata sulit perubahan tersebut dapat dibenarkan dan terencana dengan baik, bagaimanapun, pemimpin harus membangun dukungan internal dan mengatasi resistensi. Faktor 4 : Memastikan Dukungan Top Manajemen dan Komitmen

  Individu atau kelompok dalam organisasi harus memenangkan penyebab perubahan. Dukungan top manajemen memainkan peran penting khusus dalam (Burke, 2002; Carnall, 1995; Greiner, 1967; Johnson and Leavitt, 2001; Kotter, 1995; Nadler and Nadler; Yukl, 2002).

  Beberapa penelitian perubahan organisasional menekankan pentingnya agen perubahan tunggal atau “juara ide” yang memimpin transformasi.

  Sebuah juara ide menghargai individu yang memelihara momentum dan komitmen terhadap perubahan, biasanya memerlukan resiko personal dalam prosesnya (Kanter, 1983). Peneliti implementasi kebijakan telah menawarkan bukti bagaimana pemimpin yang terampil dan strategis atau “pemadu” dapat dapat dengan sukses mengkoordinasikan prilaku aktor yang sama sekali berbeda dan mengatasi hambatan dengan meningkatkan hambatan dengan meningkatkan ikatan dan mencapai jalan informal atas pengaruh (Bardach, 1997; O Toole, 1989).

  Dalam sektor publik, dukungan top manajemen bagi perubahan biasanya mensyaratkan kerjasama pegawai negeri sipil tingkat tinggi dengan pejabat eksekutif politik. Terlebih lagi, kebutuhan kontinuitas beberapa eksekutif dalam agen pemerintahan dibandingkan eksekutif bisnis. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa, kontras dengan kebanyakan, banyak perubahan signifikan, seperti yang diinginkan dalam pemerintahan – dan telah – dipimpin oleh pegawai negeri karir (Holzer and Callahan, 1998). Faktor 5 : Membangun Dukungan Eksternal

  Pemimpin manajerial harus mengembangkan dukungan dari pengamat politik dan stakeholder kunci eksternal. Perubahan organisasional dalam sektor publik juga bergantung pada derajat dukungan dari pengamat politik dan stakeholder ekternal kunci lainnya.

  Dampak dari aktor-aktor ini pada hasil upaya perubahan, berakar dari kemampuan mereka untuk memaksakan perubahan undang-undang dan mengendalikan arus sumberdaya vital bagi organisasi publik. Pengamat politik dapat mempengaruhi hasil perubahan terencana dengan menciptakan dan mengajukan visi yang menjelaskan kebutuhan akan perubahan, juga dengan menyeleksi pejabat politik yang diangkat yang simpati terhadap perubahan dan mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola transformasi.

  Sebagaimana disarankan oleh Golembiewski (1985), memperoleh dukungan pihak berwenang dan aktor politik melibatkan tantangan yang serius, membatasi konteks politik dimana organisasi beroperasi. Agen- mempunyai hubungan yang lemah dengan pegawai negeri karir. Meskipun dengan tantangan ini, manajer publik mengimplementasikan perubahan dalam organisasi mereka harus menampilkan keterampilan dalam memperoleh dukungan dari aktor eksternal yang sedang berkuasa.

  Faktor 6 : Menyediakan Sumberdaya Kesuksesan perubahan biasanya mensyaratkan sumberdaya untuk mendukung proses. Penemuan yang cukup konsisten dalam literatur adalah bahwa perubahan tidaklah cukup atau tanpa standar harga. Perencanaan organisasi yang terencana melibatkan penyebaran kembali atau pengarahan kembali sumberdaya organisasi yang langka menuju sekumpulan aktivitas baru, termasuk mengembangkan proses dan praktek baru, menstruktur kembali dan mengorganisir kembali organisasi, melatih pekerja dan melakukannya dengan inovasi (lihat Burke, 2002; Mink et al. 1993; Nadler and Nadler, 1998). Kegagalan untuk menyediakan sumberdaya yang cukup dalam mendukung perubahan terencana, mendukung pada upaya implementasi yang lemah, tekanan interpersonal tingkat tinggi, dan bahkan mengabaikan aktivitas dan fungsi inti organisasi. Review riset Boyne (2003), misalnya, menemukan bahwa “sumberdaya” adalah salah satu faktor penting untuk memperbaiki pelayanan publik (dan sebab itu, menghasilkan perubahan). Rossotti (2005) berinvestasi terutama pada sumberdaya dalam perubahan utama dia tidak mencari pada dukungan anggaran penjamin yang lebih kuat bagi reformasi dari pejabat departemen keuangan.

  Faktor 7 : Melembagakan Perubahan Manajer dan pekerja harus dilembagakan dan menanamkan perubahan secara efektif. Untuk membuat perubahan berlangsung terus, anggota organisasi harus menyatukan kebijakan atau inovasi baru ke dalam rutinitas harian mereka. Secara virtual semua perubahan organisasi melibatkan perubahan dalam prilaku anggota organisasi. Pekerja harus belajar dan merutinkan prilaku ini dalam jangka pendek, dan pemimpin harus melembagakannya selama helaan yang panjang, sehingga pola prilaku baru menggantikan yang lama (Edmondson, Bohmer, and Pisano, 2001; Greiner, 1967; Kotter, 1995; Lewin, 1947).

  Faktor 8 : Mengejar Perubahan Komprehensif Pemimpin manajerial harus mengembangkan pendekatan yang integratif, komprehensif terhadap perubahan yang mencapai kesejajaran subsistem. Banyak peneliti menekankan bahwa agar terjadi perubahan prilaku yang fundamental, pemimpin harus membuat perubahan sistemik terhadap susbsistem organisasi mereka. Perubahan sistemik ini harus sesuai dengan keadaan akhir yang diinginkan. Perubahan hanya pada satu atau dua subsistem tidak akan menghasilkan kekuatan yang cukup untuk menghasilkan transformasi organisasi (Meyers and Dillon, 1999; yang berlapis tanpa memahami struktur dan sifat interkoneksi di antara subsistem dapat menghasilkan biaya tambahan dan periode implementasi yang lebih lama, daripada yang diantisipasi (Hannan, Polos, and Caroll, 2003).

  Jika kita berbicara tentang organisasi, maka dapat didefinisikan sebagai system kepentingan, sehingga unit atau departemen akan dipandang sebagai subsistem, sementara lingkungan dipandang sebagai supersistem dimana dia melekat. Organisasi yang sukses adalah yang bisa menguasai lingkungannya dengan menemukan kesesuaian optimal antara karakteristik organisasional, kekuatan lingkungan, dan apa yang ingin dicapai. Penyesuaian dengan lingkungan, kadang harus ditempuh dengan melakukan perubahan organisasi. Dalam setiap perubahan organisasi akan selalu ada resistensi atau penolakan terhadap perubahan tersebut.

  Kotter mengajukan empat penyebab resistensi terhadap sebuah perubahan organisasi: (1) Kepentingan pribadi parochial, (2) Kesalahpahaman dan kekurangan kepercayaan, (3) Perhitungan konsekuensi yang berbeda, (4) Toleransi yang rendah pada perubahan.

  Sementara Fernandez & Reiney (2006) dalam Alamsyah (2015) mengajukan delapan faktor yang berkontribusi terhadap kesuksesan

  Memastikan Dukungan Top Manajemen dan Komitmen, Membangun Dukungan Eksternal, Menyediakan Sumberdaya, Melembagakan Perubahan, Mengejar Perubahan Komprehensif.

  

Daftar Pustaka

  Alamsyah, Anggriani. 2015. Perubahan Organisasi di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Makassar. Bertalanffy, Ludwig Von. 1951."General System Theory: A New Approach to Unity Science," Human Biology 23. Hal : 304. Cawsey, Tupper & Deszca, Gene. 2008. Toolkit for Organizational Change. Sage Publications, Inc. California.

  Fernandez, Sergio &Rainey, Hal. G. 2006. Managing Successful

  Organizational Change in the Public Sector. Public Administration Review. March – April, 168-176.

  Gouldner, Alvin W. 1959. "Organizational Analysis," in Robert K. Merton, Leonard Broom, and Leonard S. Cottrell (eds.), Sociology Today: Problems and Prospects Basic Books. New York. Hal: 400 (28).

  Hatch, Mary Jo. 1997. Organization Theory (Modern, Symbolic, and Postmodern Perspectives. Oxford University Press. United States.

  Hal: 39. Kast, Fremont E. and James E. Rosenzweig. 1972. "General Systems

  Theory: Applications for Organization and Management," Academy of Management Journal 15 (December). Hal: 447 ( 6 5).

  Katz, Daniel dan Robert L.Kahn. 1966. The Social Psycology. John O Wiley and Sons. New York. Kotter, J dan Sclesinger, L. (1982). Choosing Strategies for Change In Managing Organization Reading and Cases. Boston: Little Brown. Roethlisberger, F.J. and William J. Dickson. 1939. Management and the

  Worker: Harvard University Press. Cambridge. Hal: 20

  Scott, W. Richard. 1992. Organizations: Rational, Natural, and Open Systems. Prentice Hall. Englewood Cliffs, NJ. Hal: 9. Shafritz, Jay. M. 1978. Classics of Organization Theory, Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove. California. Hal: 234. Thompson, James D. 1967. Organizations in Action. McGraw-Hill. New York.Hal: 10.