WIRAMARANA - ISI Denpasar | Institutional Repository
WIRAMARANA
I Kadek Agus Cahaya Suputra, I NyomanWindha, dan I Ketut Sudhana
Institut Seni Indonesia Denpasar
Jalan Nusa Indah Denpasar, Telp (0361) 227316, Fax (0361) 236100 E-mail [email protected]
ABSTRAK Karya ini merupakan hasil eksekusi dari ide yang dibuat penata guna memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S1). Karya ini bertemakan tentang tumbuhan yang memberikan kita kehidupan, alangkah baiknya jika tumbuhan diperhatikan sesuai dengan ajaran agama Hindu yaitu palemahan yang merupakan bagian dari konsep Tri Hita Karana. Palemahan berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berarti bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah satu pemukiman atau tempat tinggal (Renawati, 2006 : 1).
Palemahan atau lingkungan terdiri atas unsur benda, daya, dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya (Aminudin, 2013:7). Dalam kehidupan manusia atau makhluk hidup tidak terlepas dari yang namanya lingkungan karena mempunyai ketertarikan erat dalam perkembangannya. Lingkungan memiliki banyak manfaat untuk kelangsungan hidup. Tumbuhan sangat penting dalam kehidupan karena tumbuhan yang memberi kita oksigen untuk bernafas, sayur untuk makanan, dan dapat dijadikan sebagai perlengkapan untuk kelangsungan hidup.
Penata merealisasikan ide ini melalui karya yang berjudul “Wiramarana”.Kata “Wiramarana” saya ambil dari bahasa sansekerta yaitu “Virama” yang artinya Irama/lagu dan “Arana” yang berarti tumbuh- tumbuhan. Jadi Wiramarana berarti irama/lagu dari tumbuh-tumbuhan yang merupakan ide dari garapan ini.Karya ini menggunakan barungan gamelan Semara Pegulingan sebagai media ungkap dengan didukung oleh 25 pemain gamelan termasuk penata.Suara vokal dan instrumental dipadukan didalam penggarapan karya ini, hal ini mengacu pada definisi karawitan pada umumnya. Suara vokal akan dilantunkan oleh 3 orang gerong sebagai pelantun pupuh dan dipadukan dengan vokal dari pemain gamelan. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa karya “Wiramarana” merupakan karya yang menggunakan tumbuhan sebagai ide dan dituangkan kedalam barungan gamelan semara pegulingan dengan pengolahan suara vocal dan instrumental.
Kata Kunci : Judul garapan, ide garapan , media ungkap ABSTRACT
This music composition is the result of the execution of the idea made by the stylists to fulfill the requirement to complete the Strata 1 (S1) education. This work is themed about plants that give us life, it would be nice if the plant is considered in accordance with the teachings of the Hindu religion palemahan which is part of the concept of Tri Hita Karana. Palemahan comes from a weak word which means land. Palemahan also means bhuwana or nature. In a narrow sense the palemahan means one residential or residential area (Renawati, 2006: 1)
Palemahan or environment consists of elements of objects, power, and conditions contained in a place or space of humans or living creatures are located and can affect his life (Aminudin, 2013: 7). In the life of humans or living things can not be separated from the name of the environment because it has a strong interest in its development. The environment has many benefits for survival. Plants are very important in life because plants that give us oxygen for breathing, vegetables for food, and can be used as survival tools.
The stylist realizes this idea through a work entitled "Wiramarana". The word "Wiramarana" I take from Sanskrit is "Virama" which means Rhythm / song and "Arana" meaning herbs. So Wiramarana means Semara Pegulingan as the media revealed by supported by 25 gamelan players including penata.Suara vocals and instrumental combined in the cultivation of this work, it refers to Definition of karawitan in general. The vocal sound will be sung by 3 gerongs as a pupil singer and combined with vocals from gamelan players. From the above definition can be concluded that the work "Wiramarana" is a work that uses plants as an idea and poured into barungan gamelan semara pegulingan with vocal and instrumental sound processing. Keywords: Title of arable, ideas arable, media revealed
I. PENDAHULUAN Dalam ajaran agama Hindu terdapat konsep Tri Hita Karana yang menjadi pedoman untuk menghormati dan menyayangi sesama ciptaan Tuhan. Tri Hita Karana merupakan tiga konsep harmonisasi yaitu parhyangan, pawongan, palemahan. Penerapan konsep Tri Hita Karana sangat penting untuk menjaga keharmonisan hidup.
Parhyangan berasal dari kata hyang yang artinya Tuhan. Parhyangan berarti ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam arti yang sempit parhyangan berarti tempat suci untuk memuja Tuhan.
Pawongan berasal dari kata wong (dalam bahasa Jawa) yang artinya orang. Pawongan adalah perihal yang berkaitan dengan orang dalam satu kehidupan masyarakat, dalam arti sempit pawongan adalah kelompok manusia yang bermasyarakat yang tinggal dalam satu wilayah hubungan atman dengan paramatman atau hubungan manusia dengan Tuhan, kita sebagai makhluk sosial juga harus membina hubungan dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya hendaknya dapat menciptakan suasana rukun, harmonis, dan damai serta saling membantu satu sama lain dengan hati yang penuh dengan cinta kasih.
Palemahan berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berarti bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah satu pemukiman atau tempat tinggal (Renawati, 2006 : 1).
Palemahan atau lingkungan terdiri atas unsur benda, daya, dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya (Aminudin, 2013:7). Dalam kehidupan manusia atau makhluk hidup tidak terlepas dari yang namanya lingkungan karena mempunyai ketertarikan erat dalam perkembangannya. Lingkungan memiliki banyak manfaat untuk kelangsungan hidup. Tumbuhan sangat penting dalam kehidupan karena tumbuhan yang memberi kita oksigen untuk bernafas, sayur untuk makanan, dan dapat dijadikan sebagai perlengkapan untuk kelangsungan hidup.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka muncul keinginan penata untuk mengangkat konsep palemahan yang dikhususkan pada tumbuhan untuk diwujudkan dengan karya komposisi karawitan. Keinginan ini terinspirasi dari melihat banyaknya manusia yang merusak lingkungan hidup mereka, padahal lingkungan yang terdiri dari tumbuhan tersebut yang memberikan kehidupan bagi manusia. Dengan keinginan diatas, penata membuat karya komposisi karawitan yang bertujuan sebagai penghormatan atau puji syukur kepada tumbuhan karena telah memberikan penghidupan kepada manusia. Penata merealisasikan ide ini melalui karya yang berjudul “Wiramarana”.
“Wiramarana” berasal dari bahasa sansekerta yaitu “Virama” yang artinya Irama/lagu dan “Arana” yang berarti tumbuh-tumbuhan. Jadi Wiramarana berarti irama/lagu dari tumbuh-tumbuhan yang merupakan ide dari garapan ini. Karya ini diwujudkan dengan permainan harmoni dan ritme agar tercipta karya yang tepat untuk mengungkapkan ide dari karya ini. Karya Wiramarana ini merupakan karya komposisi Tabuh Kreasi Semara Pegulingan. Sebuah label tabuh kreasi ini disematkan agar karya ini tidak terlalu terikat kepada pakem. Sebenarnya tidak ada kriteria pasti untuk golongan tabuh kreasi, penata ingin membiarkan penilaian tersebut diberikan oleh penikmat karya ini, seperti pepatah dalam bahasa Bali yaitu ”depang anake ngadanin” yang artinya biarkan orang lain yang menamai atau menilai.
Berbekal pengalaman mendukung garapan karya komposisi karawitan pada ujian tugas akhir kakak berkomposisi di dalam maupun di luar kampus, akhirnya penata membuat sebuah karya komposisi karawitan baru yang digunakan sebagai karya tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S1) di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Ujian tugas akhir yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana (S1) mewajibkan mahasiswa untuk menggarap sebuah karya seni sebagai pertanggungjawaban pada akhir fase studi. Karya seni yang digarap akan dipentaskan dan diuji oleh dosen yang ditunjuk sebagai penguji. Setelah karya dipentaskan mahasiswa akan mempertanggungjawabkan karyanya pada sidang komprehensif.
Alasan lain terciptanya karya ini, penata ingin mengungkapkan ide-ide dan kreatifitas untuk dituangkan dalam karya ini. Selain itu penata juga ingin memberikan pesan kepada penikmat bahwa menjaga kelestarian alam sangat penting untuk kelangsungan hidup kedepannya. Terciptanya karya ini merupakan cerminan bahwa manusia tidak bisa terlepas dari keseimbangan hidup yang tercermin dari konsep Tri Hita Karana. Karena di dunia keseimbangan manusia dengan lingkungan sekitar akan selalu sejalan, seiring, dan seirama sehingga tercipta keseimbangan hidup yang harmonis.
II. IDE GARAPAN Membuat sebuah karya musik baru, tentunya di perlukan pemikiran dan imajinasi serta ide sebagai daya nalar untuk menangkap fenomena-fenomena yang berlangsung dalam keadaan tertentu. Membuat karya musik baru juga harus memiliki spirit dan bobot yang tinggi dan untuk mewujudkannya maka harus memiliki konsep dan ide yang kuat. Kemunculan ide merupakan kemampuan dari sensitifitas penata untuk memikirkan sesuatu melalui imajinasi dan diaktualisasikan melalu media yaitu dengan sebuah karya seni.
Ide dari garapan ini adalah palemahan yang merupakan bagian dari Tri Hita Karana. Dimana palemahan berarti hubungan baik antara manusia dan lingkungan. Dalam agama hindu di Bali khusunya ada hari yang diperingati sebagai “otonan” tumbuh-tumbuhan yang di sebut dengan “tumpek uduh’. Tumpek uduh ini diperingati 6 bulan sekali dimana pada hari itu tumbuh-tumbuhan di upacarai sebagai rasa syukur karena tumbuhan memberikan kehidupan kepada manusia.
Dalam pengertiannya, Karawitan merupakan seni suara vokal ataupun instrumental yang berlaraskan pelog dan selendro. Maka dari itu penggarap mencoba untuk menggarap nyanyian atau suara vokal yang dipersembahkan kepada tumbuh-tumbuhan sebagai rasa syukur atas segala yang diberikan. “Ide yang baik tanpa diikuti dengan kemampuan pengolahan teknik yang mantap tidak akan menghasilkan komposisi yang baik, dengan teknik yang mantap setidaknya menghasilkan komposisi yang enak didengar (Bandem, 1987:1)”.
Karya ini cenderung mengarah kepada vokal, agar vokal dengan instrumental porsinya sama. Di dalam garapan ini akan terdapat permainan tempo, ritme, dan tentunya harmoni. Harmoni akan dimainkan pada instrumen maupun vokal dengan pecah suara antara pemain gamelan dan gerong sehingga akan menimbulkan harmoni. Karya ini juga memainkan perpindahan patet atau modulasi dari gamelan Semara Pegulingan karena dengan media Semara Pegulingan mampu melakukan modulasi untuk menimbulkan nuansa yang berbeda .
“Dalam pembuatan sebuah karya tidak akan pernah lepas dari unsur yang paling pokok seperti nada- nada yang terjalin menjadi sebuah kesatuan yang utuh dan tersusun menjadi serangkaian melodi (Garwa, 2005:10)”. Karya ini memadukan suara instrumental dan vokal yang akan terjalin satu sama lain, menggunakan pengolahan ritme dan harmoni namun tetap mempertahankan roh atau jiwa dari media yang digunakan yaitu gamelan Semara Pegulingan. Gamelan Semara Pegulingan memliki karakter yang lembut dengan ciri khas dari bentuk komposisi klasik yang ada serta dengan ciri khas kebyar yang tidak keras seperti gamelan gong kebyar. Karya ini nantinya dimainkan 25 orang pemain gamelan di tambah 3 orang penyanyi putri (gerong).
Karya ini menggunakan barungan gamelan Semara Pegulingan sebagai media ungkap. Gamelan Semara Pegulingan merupakan barungan gamelan yang berlaraskan pelog 7 nada. Nada yang terdapat adalah nada ding, nada dong , nada deng, nada deung, nada dung, nada dang dan nada daing.
Intrumentasi atau alat yang dipergunakan dalam karya “Wiramarana” adalah sebagai berikut: 1. Empat buah gangsa pemade.
2. Dua buah kantilan.
3. Dua buah calung.
4. Dua buah jegogan.
5. Setungguh terompong.
6. Sepasang kendang kerumpungan.
7. Sebuah kecek.
8. Setungguh gong.
9. Sebuah klentong.
10. Sebuah gentorag.
11. Sebuah suling kecil.
12. Empat buah suling besar.
13. Sebuah kajar.
14. Sebuah klenang.
15. Sebuah rebab. Penata menggunakan barungan gamelan ini karena memang dari kecil penata sangat senang dengan tabuh-tabuh semara pegulingan, dan dengan adanya patet penata semakin ingin untuk menggunakan barungan ini sebagai media ungkap. Tujuan Garapan
Dalam melakukan suatu aktifitas sudah barang tentu memiliki tujuan, tujuan yang hendak dicapai adalah untuk sebuah motivasi dalam mendorong terwujudnya suatu garapan, adapun tujuan dari proses pembuatan karya seni ini diantaranya : 1) Untuk mengembangkan seni karawitan Bali agar lebih dapat diterima oleh masyarakat.
2) Untuk mentransformasikan ide-ide menjadi sebuah wujud komposisi karawitan yang sesuai dengan konsep. 3) Mempraktekkan teori-teori yang didapat dalam berkomposisi pada sebuah komposisi karawitan. 4) Dapat memacu dan menumbuh kembangkan daya kreatifitas penata untuk memperdalam musik khusunya seni karawitan. 5) Untuk mencari kiat-kiat baru dalam mengolah unsur-unsur musikalitas dalam sebuah karya dengan menggunakan ensambel semara pegulingan. 6) Untuk menghasilkan karya seni baru yang mampu mendukung ide dalam garapan ini baik secara bentuk dan isi.
Manfaat Garapan Dengan terciptanya karya seni karawitan ini, selain mempunyai tujuan diharapkan juga memiliki manfaat bagi masyarakat dalam perkembangan seni karawitan Bali, dan diharapkan mampu memberikan manfaat bagi para penikmat seni, baik bersifat teoritis maupun praktis, antara lain :
a. Manfaat Teoritis
a) Hasil karya seni ini dapat bermanfaat untuk memperkaya teori-teori seni dan teknik mencipta karya seni.
b) Hasil karya seni ini diharapkan dapat memberikan sumbangan perkembangan ilmu seni khususnya seni karawitan. b. Manfaat Praktis a) Bagi penikmat karya seni ini dapat untuk menciptakan karya seni yang lebih baik.
b) Bagi penikmat karya seni ini dapat menambah minat dalam mengapresiasikan karya seni khusunya seni karawitan.
c) Bagi penata, karya seni ini dapat memperkaya wawasan seni dan menambah warna baru kesenian Indonesia sehingga bermanfaat bagi perkembangan seni Indonesia. Ruang Lingkup
Menghindari salah tafsir dan kerancuan dalam mengapresiasi karya musik ini, maka diperlukan adanya ruang lingkup yang jelas dalam membuat karya. Ruang lingkup tersebut dapat mengurangi adanya salah pengertian, diharapkan dapat menemukan adanya kesamaan persepsi atau tanggapan mengenai karya terutama mengenai isi dari karya sehingga kerancuan yang mungkin terjadi dapat dihindari. Adapun ruang lingkup karya seni karawitan ini adalah sebagai berikut :
1) Karya ini terinspirasi dari pentingnya tumbuhan dalam kehidupan ini, karena tumbuhan yang memberikan kita oksigen untuk bernafas, sayur untuk dimakan, dan dapat menjadi perlengkapan untuk hidup, atau dengan kata lain tumbuhan yang memberikan kita kehidupan. 2) Karya ini merupakan karya musik baru yang berangkat dari unsur-unsur musik, seperti : ritme, melodi, tempo, dan dinamika yang diolah, disiasati, dan diekspresikan kedalam bentuk komposisi musik baru. 3) Media ungkap yang digunakan adalah gamelan semara pegulingan lengkap yang terdiri dari, Empat buah gangsa pemade, Dua buah kantilan, Dua buah calung, Dua buah jegogan, Setungguh terompong, Sepasang kendang kerumpungan, Sebuah kecek, Setungguh gong, Sebuah klentong, Sebuah gentora, Sebarung suling, Sebuah kajar, dan Sebuah klenang. 4) Karya ini berdurasi sekitar 15 menit. 5) Karya ini melibatkan 25 orang pendukung termasuk penata. 6) Karya ini memiliki struktur yang dibagi dalam 3 bagian, yaitu :
Bagian 1: Menggambarkan bagaimana masyarakat mulai tidak memperdulikan keadaan lingkungan dengan membayangkan akar pohon. Bagian 2: Mencoba untuk mengingatkan kembali tentang pentingnya lingkungan dengan membayangkan bentuk batang pohon serta di dukung pupuh mijil sebagai tembang dalam bagian ini.
Bagian 3 : Mencoba menggambarkan suasana disaat semua hubungan baik dan harmonis, lingkungan dipelihara kelestariannya sehingga menimbulkan rasa bahagia bagi semua manusia.
III. PROSES KREATIVITAS Tahapan yang digunakan pada proses dari karya ini adalah : 1) tahap penjajagan (eksplorasi), 2) tahap percobaan (improvisasi), 3) tahap pembentukan (forming).
1. Tahap Penjajagan (Eksplorasi)
Langkah awal dari keseluruhan proses kerja komposisi adalah eksplorasi, menjelajahi kemungkinan terhadap komponen musik yang pada hakekatnya tidak hanya ditentukan oleh unsur-unsur yang tampak lahiriah. Pengamatan terhadap elemen-elemen komposisi yang dipakai sebagai alat ekspresi, seperti: material nada, tonalitas (laras), ritme, melodi, harmoni dan instrumentasi tidak cukup hanya dinikmati sebagai komposisi. Diperlukan pandangan yang menyeluruh terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti ekspresi musikal. Termasuk nilai-nilai estetika, nilai historis, dan nilai sosial sangat penting dilakukan sebagai pegangan langkah selanjutnya.
Tahap penjajagan merupakan proses awal dari penataan sebuah karya seni. Akar dari semuanya adalah ketertarikan penata pada barungan gamelan Semara Pegulingan. Rasa ketertarikan ini muncul pertama kali saat penata mendengarkan lagu Sumambang Jawa, yang membuat penata tertarik adalah alunan melodi yang lembut dan ornamentasi yang sederhana dibalut dengan modulasi dan penggunaan nada pemero pada salah satu baris melodi membuat lagu Sumambang Jawa ini sangat nikmat ketika penata mendengarkannya. Kemudian penata mencari tahu lagu-lagu lain yang dimainkan pada gamelan Semara Pegulingan seperti : Perong condong, Subandar, Tabuh gari dan Godeg miring. Dari sanalah penata berkeinginan untuk mendalami tentang apa yang terdapat dalam barungan gamelan Semara Pegulingan. Pada saat bersekolah di SMK N 3 Sukawati (KOKAR/SMKI) penata mulai mengenal apa yang terdapat dalam barungan gamelan Semara Pegulingan, mulai dari nada-nada yang terdapat didalamnya, banyaknya patet yang dapat dipakai, hingga cara untuk membuat sebuah modulasi di dalam lagu. Semua unsur-unsur ini diajarkan oleh bapak I Gusti Ngurah Padang dalam mata pelajaran titi laras.
Kemudian dalam mata kuliah komposisi 2 dan 3 penata telah menggunakan gamelan Semara Pegulingan kedalam dua buah komposisi berbeda yaitu komposisi Legong kreasi dan komposisi Bebarongan. Dalam proses kedua komposisi yang berbeda ini penata memainkan melodi dengan perpindahan patet atau modulasi yang patah atau ngelung dalam bahasa Bali dan yang mencari jembatan nada untuk modulasi. Dalam komposisi bebarongan penata mulai mengadopsi teknik dari musik barat seperti: ketukan triplet, polimeter, polifoni dan polirhytm kedalam komposisi ini. Dari dua pengalaman berkomposisi menggunakan media ungkap Semara Pegulingan penata lebih terbiasa untuk membuat lagu pada laras pelog 7 nada. Namun dari kedua hasil komposisi tersebut penata masih belum puas dan harus belajar lebih banyak lagi terutama pada teknik baru dan pola garap baru namun masih dalam ranah mempertahankan roh atau jiwa dari barungan gamelan Semara Pegulingan.
Penciptaan suatu karya seni membutuhkan adanya pemikiran dan pematangan ide. Menurut penata ide dapat muncul kapan saja dan dimana saja, namun tindak lanjut dari ide ini yang kadang bisa atau tidak dilaksanakan. Kendala yang sering dialami penata adalah memilih sebuah ide yang pas atau cocok untuk direalisasikan, karena terkadang penata memiliki banyak ide yang seketika muncul sehingga membuat penata bingung untuk memilih ide yang akan digunakan. Menurut penata lebih mudah merealisasikan ide yang realistis atau nyata untuk diwujudkan kedalam sebuah komposisi karawitan, karena suatu yang realistis atau nyata akan lebih mudah digambarkan kedalam sebuah komposisi yang bersifat abstrak dan penikmatnya tentu akan lebih mudah mengerti.
Karya Wiramarana ini yang didasari oleh salah satu bagian dari konsep Tri Hita Karana yaitu palemahan dan lebih merujuk kepada tumbuhan, disinilah penata lebih mudah menggambarkan bagaimana sebuah tumbuhan itu untuk di tuangkan ke dalam komposisi karawitan. Namun, melihat perbuatan manusia yang tidak menghiraukan tumbuhan dan lingkungan penata mendapatkan ide tambahan untuk memasukkan vokal ke dalam karya ini. Masuknya vokal akan menjelaskan betapa pentingnya tumbuhan dan lingkungan untuk kelangsungan hidup manusia. Vokal diharapkan dapat memperjelas apa yang dimaksud penata untuk disampaikan kepada penikmat karya ini.
Keinginan yang besar untuk menggunakan barungan gamelan Semara Pegulingan didorong oleh karakter yang lembut dari lagu-lagu Semara Pegulingan. Di samping juga keinginan yang besar untuk berpartisipasi dalam penciptaan karya baru. Selanjutnya penata mendatangi perpustakaan untuk mencari sumber berupa buku berkopenten dengan ide yang digarap. Selang berapa lama, akhirnya penata membulatkan tekat untuk menentukan tema dan judul garapan melalui pengajuan proposal yang diberi judul Wiramarana. Setelah proposal disahkan oleh ketua jurusan karawitan, maka penata mulai mengadakan diskusi dengan berbagai pihak untuk mendapat masukan yang berguna bagi garapan.
Selanjutnya penata mulai mencari pendukung yang memang mempunyai skill di dalam bermain Namun karena penata telah memiliki sanggar yang beranggotakan teman-teman sejak dulu maka sangatlah mudah untuk meminta bantuan kepada mereka. Semua pendukung yang dipilih setuju untuk mendukung ujian tugas akhir ini secara tulus iklas.
2. Tahap Percobaan (Improvisasi)
Eksplorasi atau penjajagan adalah suatu langkah awal dari proses yang panjang. Pada tahap berikutnya dilakukan improvisasi untuk memulai menuangkan ide-ide hasil kontemplasi dalam bentuk percobaan yang mulai dituangkan. Tahap ini menjadi sangat penting dalam memilih, mempertimbangkan, membedakan membuat harmonisasi dan kontras-kontras tertentu. Di sini persoalan nilai sangat kompleks, melebar, dan menyangkut rasa mendalam. Singkatnya, bagaimana pengatur seluruh bunyi dengan aspek penciptaan untuk menuju satu garapan komposisi, sehingga menemukan kesatuan terhadap berbagai percobaan yang telah dilakukan.
Kesempatan berikutnya dipakai untuk Nuasen di tempat latihan (di sanggar) dengan pendukung yang dilakukan pada tanggal 4 Maret 2017, pukul 19.00 Wita. Pada acara nuasen atau pertama kalinya latihan ini penata meminta bantuan kepada seluruh pendukung untuk membantu dalam ujian tugas akhir ini. Salah satu pendukung bertanya tentang konsep garapan yang akan direalisasikan, maka penata menjelaskan konsep yang dipakai untuk garapan ini dan gamelan yang digunakan beserta alasan menggunakan gamelan terebut. Selanjutnya membahas tentang jadwal latihan selanjutnya. Adapun hari yang ditetapkan untuk latihan adalah setiap hari Senin pukul 18.00 Wita, hari Kamis dan Jumat pukul 19.00 Wita. Mengingat beberapa pendukung tidak hanya mendukung garapan penata saja, namun ada beberapa pendukung yang juga mendukung teman peserta lainnya, maka jadwal untuk latihan harus disosialisasikan agar jangan sampai menimbulkan benturan waktu latihan.
Untuk mewujudkan ide, yang pertama penata pikirkan adalah “arah”. Arah yang dimaksud adalah bagaimana nantinya perwujudan ide ini, dari awal dimulai sampai di akhir nanti. Dengan “arah” ini sangat mempermudah penata untuk memikirkan lagu yang akan dituangkan, walaupun dalam proses akan ada ide yang muncul secara spontan dan mengakibatkan beberapa perubahan pada beberapa bagian dari rancang arah karya yang akan penata buat. Pada tahap improvisasi ini, semua hasil percobaan demi percobaan sudah mulai diwujudkan pada media ungkap. Namun tidak dapat dipungkiri apa yang telah dicatat sedikit tidaknya akan mengalami perubahan demi perubahan. Hal ini disebabkan oleh ide yang muncul secara spontan, kesalahan dalam penulisan notasi. Bisa saja lagu yang awalnya sudah dibuat ketika dibaca ulang menjadi beda, kesalahan penulisan ini pun dapat menjadi ide spontan ketika perubahan yang terjadi membuat penata tertarik, Seperti misalkan lagu yang awalnya 8 (delapan ketuk) bisa saja menjadi 7 (tujuh) atau 9 (Sembilan) ketuk karena kesalahan penulisan ini.
Dalam penuangan lagu tentu mendapat beberapa kendala yang sangat mengganggu dan membuat penata berfikir keras. Namun dengan kemauan yang sangat besar untuk dapat mengikuti ujian TA (Tugas Akhir) kali ini, penata terus memotivasi diri untuk tetap maju. Dorongan dari keluarga dan sahabat yang selalu memberi semangat, membuat penata tambah termotivasi untuk menyelesaikan tugas ini sampai akhir.
3. Tahap Pembentukan (Forming)
Tahap akhir dari garapan komposisi musik Wiramarana yaitu tahap pembentukan menjadi sebuah komposisi karawitan yang utuh. Pada tahap ini penata mulai memilih, menghubungkan satu temuan dengan temuan dengan temuan yang lainnya, baik yang berupa warna suara, melodi, ritme dan dinamika. Tahapan ini juga menyangkut pengendapan hasil temuan, pertimbangan, dan pembobotan secara estetis musikalitas. Bagian-bagian yang telah dicari, dirangkai menjadi satu bentuk komposisi yang pada dasarnya masih kasar dan belum utuh. Perbaikan demi perbaikan terus dilakukan, agar komposisi ini menjadi lebih rapi dan bersih, sehingga enak untuk didengar. Disamping itu perlu juga diberi aksen-aksen, karakter, dan corak tertentu dan kekompakan pendukung terhadap garapan ini sangat dibutuhkan, karena hal tersebut menentukan dalam menyampaikan pesan dan kesan yang terkandung dalam garapan, supaya penonton mengerti maksud dari bahasa musik yang penata sajikan.
Gambaran kasar komposisi ini terus mengalami perbaikan demi perbaikan sampai mencapai hasil yang benar-benar diinginkan. Karena penata akan lebih mudah untuk menemukan ide terutama pada bagian transisi yang enak (dalam konteks estetis penata) ketika penata mendengar karya itu utuh dari awal sampai akhir. Dalam berkarya buatlah bentuk komposisinya terlebih dahulu setelah itu baru bisa memperbaiki bagian-bagian yang masih kurang bagus, sehingga dalam prosesnya akan mendapatkan hasil yang bagus. Maka dari itu pematangan konsep harus didukung juga oleh kematangan proses. Kehadiran pendukung juga merupakan faktor yang mempengaruhi lancarnya proses kreativitas pada tahapan ini.
Tahapan ini juga menyangkut pengendapan dari apa yang sudah diperoleh pada tahap sebelumnya. Pemotongan demi pemotongan juga dilakukan juga dilakukan pada tahapan ini, untuk menghindari bagian- bagian yang dianggap terlalu banyak pengulangan atau dianggap datar, termasuk memperhatikan kapan motif atau pola-pola tertentu dimunculkan. Pemberian porsi yang tepat akan menambah kekuatan dari karya ini, dan tentunya akan lebih menarik ketika dimainkan.
Pada kesempatan ini dimanfaatkan juga untuk memperhatikan perubahan-perubahan pada vokal yang telah disusun sedemikian rupa. Perubahan ini dilakukan guna memunculkan kekuatan ketika vokal akan masuk dan selesai. Selain itu juga memantapkan pecah suara antar gerong agar serentak dalam satu tempo karena memang sulit untuk menyatukan suara lebih dari satu orang.
Dalam tahap ini dapat dibayangkan bagaimana kesatuan konsep dengan garapan yang telah dicapai. Apakah serasi atau masih ada beberapa bagian yang kurang tepat, bahkan ada bagian kurang selaras dengan konsep semula. Jadi keutuhan dari garapan ini tercermin dari integritas antara ide dan konsep, sehingga pesan yang disampaikan dapat ditangkap melalui komposisi yang dihasilkan. Tahapan ini juga berguna untuk menginstropeksi garapan sehingga apa yang menjadi tema sentral garapan dapat terpenuhi. Hal ini menyebabkan masih adanya suatu perubahan-perubahan tertentu dalam prosesnya selalu menemukan yang lebih menyegarkan dari sebelumnya.
III. WUJUD GARAPAN Wujud garapan diterangkan dalam beberapa point penting diantaranya : 1) deskripsi garapan, 2) analisa materi, 3) sistem notasi, 4) analisa pola struktur.
1. Deskripsi Garapan
Setelah melalui proses kreatif yang panjang dengan beberapa tahapannya, komposisi karawitan Wiramarana ini akhirnya dapat terwujud menjadi sebuah karya yang utuh. Terwujudnya karya seni ini merupakan sebuah jawaban dari berbagai tantangan yang dihadapi selama menjalani proses kreatif. Mulai dari pencarian ide, perenungan konsep musikal, penuangan materi kepada pendukung, sehingga terwujud menjadi sebuah komposisi yang utuh dan sarat nilai artistik agar layak untuk dipertontonkan atau diperdengarkan.
Garapan ini merupakan sebuah bentuk penyajian komposisi karawitan yang terinspirasi dari konsep palemahan yang memiliki pengertian hubungan baik manusia dengan tumbuhan.Dimana manusia mulai melupakan pentingnya peranan tumbuhan dalam kelangsungan hidupnya. Tumbuhanlah yang memberi kita kehidupan dengan sayur, oksigen yang dihasilkan dalam proses fotosintesis, buah, dan lain sebagainya. Maka dari itu penata ingin mengajak untuk memelihara lingkungan melalui media karya komposisi ini.
2. Analisa Materi
Teknik Kotekan Teknik kotekan merupakan salah satu pola permainan pada gamelan Bali. Kotekan merupakan kombinasi antara sifat ekspresi, ketangkasan teknis, serta dorongan untuk mencapai ketelitian individu dan ensambel menghasilkan sesuatu yang luar biasa dan terbukti menjadikan sebuah karya lebih menarik (Tenzer as cited in Purnama Gita, 2015 : 32). Kotekan terdiri dari pukulan Polos dan Sangsih yang memiliki sistem tersendiri sehingga menghasilkan sebuah jalinan.Tentu saja tehnik kotekan ini dituangkan pada instrumen kantil dan Pemade, tapi tidak menutup kemungkinan dituangkan pada intrumen jublag dan jegog.
Teknik kotekan diatas dikomposisikan melalui teknik komposisi yang telah ada dengan mempertimbangan unsur musik sebagai berikut :
Motif Counterpoint
Counterpoint adalah teknik komposisi yang memiliki pola antara satu, dua atau lebih, dimainkan secara bersamaan atau dalam kata lain berkontraksi dalam waktu yang sama, dan ukuran yang sama juga (Andika Putra, 2013: 67). Dalam garapan Wiramarana teknik counterpoint diaplikasikan pada bagian vokal. Harmoni
Dengan harmoni sebuah karya memiliki suatu keselarasan antara bagian-bagian atau komponen- komponen yang tersusun menjadi kesatuan.Keharmonisan memperkuat rasa keutuhan karena memberikan rasa tenang, nyaman, dan tidak mengganggu penangkapan oleh Panca Indera. Harmoni timbul akibat adanya perpaduan atau bertemunya beberapa nada yang tidak sama (Tenzer, as cited in Purnama Gita, 2015 : 32). Ngempyung merupakan sistem harmoni dalam karawitan Bali.Dalam karya Wiramarana ini harmoni dituangkan pada instrumen Jublag, Jegog, kantil, pemade, dan Suling.
Tempo
Tempo adalah waktu, kecepatan dalam langkah tertentu (Aryasa, 1984: 84).Dalam pola permainan yang dimainkan/dilakukan dalam garapan memegang peran yang sangat penting.Adapun tempo yang digunakan dalam garapan Wiramarana meliputi, lambat, sedang, dan tempo cepat.
Dinamika
Dinamika berarti keras lembutnya dalam cara memainkan musik (Aryasa, 1984: 84). Dinamika merupakan salah satu bagian terpenting dalam garapan.Dinamika sebagai ekspresi dalam penggarapan, menyangkut aksen pada teknik permainan setiap instrumen, keras lirihnya suara, serta panjang pendeknya motif maupun teknik permainan instrumen yang dilakukan untuk menghasilkan kesan dinamis dalam sebuah garapan.
Melodi
Melodi merupakan rangkaian nada secara berurutan yang berbeda panjangpendeknya dan berbeda pula tinggi-rendahnya, teratur susunannya dan memiliki irama (Aryasa, 1984: 84).Melodi sangat berperan penting dalam terwujudnya sebuah komposisi khususnya komposisi karawitanWiramarana.
Modulasi
Modulasi merupakan perpindahan dari satu nada dasar (patet) ke nada dasar yang lain (Aryasa, 1984: 83).Dalam komposisi Wiramarana penata menggunakan patet yang terdapat pada gamelan Semara Pegulingan.
Adapun patet yang digunakan dalam garapan ini adalah sebagai berikut :
- patet Selisir : 345.71. - patet tembung : 71.345
- patet Sunaren : .71.345 - patet Patemon : 1.345.7
- patet Baro : .345.71 - patet Pangenter Ageng : 5.71.34
- patet Pangenter Alit : 45.71.3
Sistem notasi merupakan sebuah cara atau aturan-aturan yang digunakan sebagai sarana pendokumentasian karya seni. Sistem notasi ini sangat diperlukan untuk mengingat inspirasi ketika menciptakan sebuah karya dan sebagai sarana yang dibayangkan dalam konsep lagu sebelum dituangkan kepada pendukung.
Dalam penciptaan karya “Wiramarana” ini akan menggunakan simbol-simbol tertentu menurut pengertian penata sendiri, seperti penganggening aksara Bali seperti yang terdapat pada sistem notasi dingdong dan beberapa simbol-simbol yang diciptakan oleh penata sendiri. Hal ini dikarenakan tidak adanya aturan pasti dalam penotasian karawitan Bali.
Adapun simbol-simbol notasi karya “Wiramarana” ini seperti dalam tabel berikut: No Simbol Aksara Keterangan 1.
3 Ulu Nding 2.
4 Tedong Ndong 3.
5 Taleng Ndeng 4.
6 Suku ilut Ndeung 5.
7 Suku Ndung 6.
1 Cecek Ndang 7.
2 Pepet Ndaing 1. Simbol-simbol berbentuk garis.
∙ = Tanda titik. Memiliki arti 1 (satu) ketukan.
∙ ∙ = garis nilai ½ ketukan.
∙∙∙ ∙∙∙∙ = garis nilai 1/3 ketukan.
= garis nilai ¼ ketukan. ∙∙∙∙ = tanda perulangan.
2. Simbol-simbol berbentuk singkatan dari masing-masing instrumen dan peniruan bunyi dari instrumen tertentu.
- jg = Jegogan.
- jb = Jublag.
- kt = kantil.
- gs = gangse/pemade.
- Vok = Vokal.
- Vb = Vokal bersama.
- Vg1 = Vokal gerong 1.
- Vg2 = Vokal gerong 2.
- Vg3 = Vokal gerong 3.
- Tr = Terompong.
- O = Pukulan pada muka kanan kendang krumpungan wadon.
- v = Pukulan pada muka kanan kendang krumpungan lanang.
- k = Pukulan ka pada muka kiri kendang krumpungan wadon.
- p = Pukulan pak pada muka kiri kendang krumpungan lanang.
- u = Pukulan pung pada muka kiri kendang krumpungan lanang.
- t
= Pukulan teng pada muka kiri kendang krumpungan lanang.
= Pukulan tong pada muka kiri kendang krumpungan wadon.
- d
- S = Suling.
4. Analisis Pola Struktur Karya komposisi karawitan Wiramarana ini memiliki 3 bagian yang berhubungan sebagai bahan penyusunnya, diantaranya :
a. Bagian I
Pada bagian awal dari karya ini penata memulai karya ini dengan pengenalan nada daing pada masing-masing instrumen yang dipukul secara bergantian dimulai dari instrumen jegog, dilanjutkan dengan instrumen jublag, kemudian kantilan, dan terakhir instrumen gangsa pemade bersamaan dengan instrumen terompong. Pemilihan nada daing ini karena nada ini merupakan nada tertinggi yaitu nada ke-7 yang penata tujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang menciptakan alam semesta, maka dari itu nada daing ini digunakan pada bagian awal dari karya Wiramarana ini. Setelah itu dilanjutkan dengan kebyar pendek yang di sambung dengan pengulangan pemukulan nada daing pada masing-masing instrumen dengan jarak pergantian yang dipercepat.Kemudian dilanjutkan dengan kebyar yang diakhiri dengan pukulan gong sebagai transisi menuju pada bagian gegineman.
Pada bagian gegineman penata merealisasikan tafsir penata tentang pondasi dari pohon yaitu akar. Menurut tafsir penata sendiri, akar pohon yang masih hidup tidak akan terlihat karena tertancap pada tanah. Namun, kita dapat memperkirakan bentuk akar pohon tersebut walaupun tidak akan sama dengan yang kita bayangkan. Tafsir penata ini dituangkan pada pengrangrang terompong yang menggunakan patet Sunaren dibalut dengan permainan melodi pada instrumen jublag dan jegog sebagai bentuk realisasinya. Kemudian penata memasukan vokal gerong setelah bagian gegineman tersebut sebagai salam pembuka atau istilah Balinya Pengastungkara. Vokal ini bernuansa selendro tepatnya pada patet pangenter ageng.Sistem perpindahan patet yang digunakan adalah sistem menggunakan jembatan nada, nada tumbuk yang digunakan adalah nada ndang pada patet selisir yang merupakan nada ndung pada patet pangenter ageng.Selanjutnya disambung oleh vokal bersama antara penabuh dan gerong.
Setelah bagian gegineman dilanjutkan dengan transisi menuju pada satu bait melodi yang kembali menggunakan patet sunaren. Bait lagu ini menggambarkan tentang bagian lengkungan dari akar pohon menuju pada batang pohon yang penata realisasikan pada perbedaan jumlah ketukan pada salah satu gatra pada satu baris melodi. Bagian I ini diakhiri oleh kebyar sebagai transisi dari bagian I ke bagian II.
b. Bagian II Pada bagian II dari garapan ini penata menafsirkan bagian batang dari sebuah pohon. Penggambaran batang penata tafsirkan kedalam ukuran lagu, dimana batang berbentuk lurus dan di bagian ujung akan mulai timbul sebuah dahan. Bagian batang yang hanya satu garis lurus penata tuangkan kedalam sebuah pola seperti pengawak pada tabuh-tabuh Semara Pegulingan klasik dengan ukuran melodi yang sama. Namun, penata menempatkan 5 (lima) ketukan pada 1 (satu) gatra dimana dalam satu baris lagu ini terdiri dari 4 (empat) gatra. Alasan penata menggunakan ketukan 5 karena penata ingin keluar dari kebiasaan yang menggunakan 4 (empat) ketuk dalam 1 (satu) gatra.
Selain penggunaan ketukan yang berbeda dari biasanya, dalam bagian pengawak ini penata menggunakan 2 (dua) buah melodi yang berbeda.Melodi pokok dimainkan pada instrumen jublag dan melodi kedua dimainkan pada instrumen jegogan dengan panjang melodi sejumlah dua baris. Melodi ini ketika dimainkan akan memunculkan harmoni dan adanya sistem ngempyung pada nada tertentu di dalam dua baris melodi yang berbeda tersebut. Kotekan pada bagian ini mengacu kepada melodi pokok yang dimainkan oleh instrumen Jublag.Melodi ini dimainkan pada patet Baro yang bernuansa Selendro, penggunaan patet Baro ini dikarenakan adanya lantunan pupuh yang mengisi melodi ini.Pupuh yang digunakan adalah Pupuh Mijil.
Pupuh Mijil ini dipilih karena penata sangat suka dan tertarik untuk menggunakannya pada garapan ini. Awal dari ketertarikan penata ketika menonton pementasan taman penasar duta kabupaten Badung pada tahun 2015. Hal yang disampaikan pada pupuh ini adalah pesan tentang bagaimana kita seharusnya memperhatikan tumbuhan dan menjaganya dengan baik karena tumbuhan yang memberi kita kehidupan.Pupuh ini akan mengawali secara mandiri kemudian diiringi dengan masuknya pola pengawak yang telah dibahas diatas.
Setelah Pupuh Mijil selesai dilantunkan satu bait utuh, penata menempatkan vokal penabuh dengan pola meter yang berbeda pada vokal 1 dan vokal 2. kemudian dilanjutkan dengan peralihan dari patet Baro menuju ke patet Pangenter Alit. Peralihan ini menggunakan melodi pada patet tembung sebagai perantara. Kemudian dilanjutkan dengan perpaduan ketukan antara melodi dan kotekan.Ketukan yang dipilih adalah ketukan 4 (empat) pada melodi dan ketukan 3 (tiga) pada kotekan.Sebagai akhir dari bagian ini penata menggunakan kebyar yang menggambarkan bagian dahan pohon yang bercabang.
c. Bagian III
Bagian ini merupakan bagian akhir dari garapan Wiramarana.penata memasukan sebuah pupuh yaitu pupuh ginanti pengalang yang berlaraskan pelog sebagai awal pada bagian ini. Penata memilih pupuh ini dikarenakan masukan dari bapak I Nyoman Windha sebagai pembimbing penata.Menurut beliau pupuh ginanti pengalang ini sangat cocok untuk menggambarkan alam. Lantunan pupuh ini akan diiringi oleh intrumen rebab, suling, dan jegog. Pupuh ginanti pengalang ini akan menceritakan tentang bagaimana alam itu memberi kita sebuah kehidupan. Selanjutnya bagian ini menggambarkan tentang bagian atas dari pohon, dimana bagian atas pohon terdiri dari dahan, daun, dan bunga.
Pada bagian selanjutnya adalah realisasi dari daun dan bunga, ketika kita melihat daun dan bunga yang indah rasa kagum akan muncul karena melihat keindahaan tersebut. Daun dan bunga yang indah ini penata realisasikan dengan alunan melodi layaknya pengecet pada tabuh semara pegulingan klasik namun ada pengembangan pada pola garap dan ornamentasinya. Pada pola ini akan masuk vokal dari gerong yang mengikuti melodi pokok. Masuknya vokal memberikan sebuah pesan tentang apa yang terjadi jika kita memperhatikan dan merawat tumbuhan. Kemudian dilanjutkan dengan vokal yang berbeda dari ketiga gerong. Perbedaan yang di maksud adalah pada konteks meter atau ukuran lagunya yang nantinya jika dilagukan secara bersama akan membuat jalinan pada vokal itu sendiri. Vokal ini diikuti oleh melodi gamelan pada patet patemon.
Sebagai akhir dari garapan Wiramarana ini penata membuat melodi pendek yang berulang pada patet patemon dengan kotekan pada ritme triplet. Dalam melodi ini akan masuk vokal sebanyak satu baris dan masuknya kotekan pada ketukan 4/4 yang muncul dari instrumen kantilan dan diikuti oleh instrumen gangsa sebelum ditutup oleh kebyar dan vokal bersama dengan kata “Wiramarana”sebagai akhir dari garapan ini.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan Garapan Wiramarana adalah sebuah karya komposisi karawitan yang terinspirasi dari tumbuhan, dalam konsep palemahan diajarkan untuk menjaga hubungan manusia dengan alam, namun yang terjadi malah sebaliknya. Fenomena ke tidak harmonisan tersebut dituangkan ke dalam sebuah karya komposisi karawitan secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut.
Karya Wiramarana dengan menggunakan media ungkap dari barungan gamelan Semara Pegulingan.
Gamelan Semara Pegulingan dipilih sebagai media ungkap karena ketertarikan penata pada gamelan ini dari sejak kecil dan adanya patet yang memungkinkan untuk melakukan modulasi sehingga lebih banyak mendapat bahan untuk diolah. Secara struktural karya Wiramarana terdiri dari tiga bagian yaitu bagian satu, dua, dan tiga yang masing-masing bagian memiliki penggambaran dalam suatu objek tersendiri namun masih dalam satu kesatuan.
Karya Wiramarana dimainkan oleh dua puluh lima pemain termasuk penata dan tiga orang gerong.
Para pemain adalah para anggota sanggar Padma Sari dan spesialis vokal gerong dalam konteks pertunjukan seni karawitan Bali. Karya Wiramarana mengolah unsur bunyi dari masing-masing instrumen kemudian ditata dengan unsur musik lainnya seperti tempo, harmoni dan dinamika. Karya komposisi musik Wiramarana disajikan konser dengan durasi waktu 13 menit, 29 detik di panggung berbentuk proscenium Gedung Natya Mandala ISI Denpasar.
Aspek-aspek penting diluar unsur musikal yang berperan penting untuk kesempurnaan penyajian
karya komposisi musik Wiramarana adalah penggunaan sound system, tata lampu (lighting) dan kostum
.
2. Saran-saran Seni karawitan khususnya karawitan Bali sebenarnya masih banyak menyimpan keunikan-keunikan yang dapat memberikan rangsangan untuk kita gunakan sebagai sarana berkreativitas atau lahan garap ketika akan mewujudkan suatu karya seni. Kreativitas dalam berkarya tidaklah bersifat statis melainkan bergerak secara dinamis seiring dengan pola pikir manusia. Hal ini patut kita jadikan renungan khusus bagi generasi muda untuk tidak terikat pada aturan atau konvensi-konvensi yang bersifat mengikat sehingga akan lebih berkembang daya kreativitas. Jadi yakini diri kita untuk berkarya sesuai hati nurani dan kesukaan, sehingga karya tersebut dapat terwujud agar memeberikan kepuasan tersendiri dan memberikan warna baru pada dunia karawitan Bali. Jangan dibelenggu oleh hasil, tetapi teruslah mencoba dan mencoba dengan sikap kreatif yang kita miliki masing-masing.
Gamelan Semara Pegulingan adalah sebuah barungan gamelan dengan ciri khas kelembutan dan permainan modulasinya. Gamelan Semara Pegulingan ini sangat dikenal di khalayak umum, dan banyak yang menggunakan gamelan ini menjadi media untuk berkreatifitas. Namun sayangnya masih banyak karya baru yang menggunakan gamelan ini dengan jiwa kebyar. Sebenarnya memang sulit untuk menggarap gamelan Semara Pegulingan dengan jiwa lembutnya, namun jika dicermati hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari gamelan gong kebyar yang membuat kita selalu mengacu pada jiwa kebyar yang terdapat dalam gamelan itu. Jadi yang seharusnya dilakukan adalah menyingkirkan pemikiran terhadap gamelan yang lain dan fokuskan pada gamelan yang digunakan.
Untuk lembaga diharapkan lebih menyediakan ruang yang lebih luas lagi kepada mahasiswa agar mampu mengekspresikan daya kreativitasnya ke dalam sebuah karya seni. Selain mendapatkan ilmu di dalam perkuliahan regular, event-event terkait diharapkan mampu memberikan wawasan baru.
V. DAFTAR PUSTAKA Aminudin.2013. Menjaga Lingkungan Hidup dengan Kearifan Lokal.Jakarta: Titian Ilmu. Aryasa, I WM dkk.1985.Pengetahuan Karawitan Bali. Bali: Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Bandem, I Made. 1998. Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali.Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. Dwi Andika Putra, I Made. 2013. Skrip Karya Seni Kirtanam. Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar. Diana Putra, I Wayan. 2011. Skrip Karya Seni Ruang Tiga. Denpasar : Institut Seni Indonesia Denpasar. Eka Udyana, I Wayan. 2016. Skrip Karya Seni Shantika. Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar. Garwa, I Ketut. 2009. Buku ajar komposisi karawitan IV. Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar.
Hadi, Y. Sumandiyo.2003. Mencipta Lewat Tari. Yogyakarta: Manthili Yogyakarta. Kartawan, I Made. 2009. Reformulasi Sistem Patutan Pada Gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu.Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar.