TAP.COM - 1 ANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN ... - IPB REPOSITORY

ANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN PATIN BEKU
(Pangasius hypophthalmus)
DI KABUPATEN BOGOR

Oleh

RONNY MARTHA
FO3496087

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk maka

tingkat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Tentu saja kebutuhan akan
daging sebagai salah satu makanan pokok juga semakin meningkat. Saat ini
tingkat konsumsi daging sapi dan daging ayam di Indonesia masih lebih tinggi
dibandingkan tingkat konsumsi daging ikan. Akan tetapi masyarakat mulai
mengalihkan konsumsi daging sapi dan ayam ke daging ikan yang disebabkan
makin meluasnya pengetahuan masyarakat akan manfaat kesehatan yang
terkandung di daging ikan, serta harganya yang relatif lebih murah (Pikiran
Rakyat, 2002).
Ikan adalah salah satu sumber pangan yang nilai gizinya sangat baik karena
antara lain mengandung protein sebesar 16 persen sampai 26 persen dari
bobotnya. Bagi tubuh manusia, protein berfungsi untuk pertumbuhan dan
penggantian sel-sel yang rusak atau aus. Selain protein, ikan mengandung
omega-3 yang berfungsi mencegah terjadinya penyakit jantung, serta
mengandung kalsium, kalium, dan fosfor yang dibutuhkan untuk kesehatan tubuh
kita. Mutu protein ikan cukup baik (93%) dengan nilai cerna 100, artinya seluruh
kandungan protein bahan pangan tersebut dapat dicerna dan diserap oleh usus
untuk dimanfaatkan oleh tubuh (Subiyakto, 2003).
Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) adalah salah satu ikan yang banyak
ditemukan di perairan umum di Indonesia seperti sungai, waduk dan rawa. Ikan
patin juga memiliki sifat yang menguntungkan, antara lain fekunditas yang

tinggi, bersifat omnivora dan laju pertumbuhannya cepat sehingga dapat
dibudidayakan secara masal. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ikan
yang semakin meningkat, maka budidaya ikan patin dapat dijadikan sebagai
salah satu alternatif yang menguntungkan.
Selain itu, ikan patin dapat dijadikan sebagai bahan industri dengan
mengolahnya menjadi fillet. Hal ini dikarenakan Ikan patin memilki keunggulan
tersendiri, antara lain tidak bersisik, durinya relatif sedikit dan dagingnya putih
kemerahan serta mudah dikuliti sehingga relatif mudah dibuat fillet yang baik

2

(Susanto dan Amri, 1999). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ikan
patin memiliki prospek yang bagus dalam agroindustri.
Fillet merupakan bahan setengah jadi dari daging ikan yang nantinya akan
diolah menjadi makanan lain seperti abon, bakso, sosis, dan juga dapat
digunakan untuk fortifikasi berbagai aneka produk olahan. Fillet memiliki
beberapa keuntungan sebagai bahan baku olahan, antara lain bebas duri dan
tulang, dapat disimpan lebih lama, serta dapat menghemat waktu dan tenaga
kerja karena penanganannya lebih mudah, sehingga akan memudahkan dan
mengefesienkan proses produksi serta meningkatkan mutu produk olahannya.

Kabupaten Bogor dipilih sebagai lokasi pendirian industri karena industri
yang akan didirikan ini berorientasi pada kedekatan dengan konsumen, bukan
kedekatan dengan sumber bahan baku. Konsumen dari produk fillet ikan patin ini
adalah pengolahan bakso ikan, sosis, dan abon, dan letak industri pengolahan
tersebut tersebar di daerah DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten
Bogor..
B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan gambaran dasar tentang kemungkinan usaha fillet ikan

patin beku yang berlokasi di kabupaten Bogor.
2. Melakukan analisa sensitifitas terhadap perubahan komponen biaya

produksi yang mungkin terjadi pada usaha ini.
C. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Ruang lingkup pelaksanaan penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Usaha fillet ikan patin yang dijadikan sebagai referensi adalah unit usaha


fillet ikan patin “Patin Kita” yang berlokasi di Kecamatan Dramaga
Kabupaten Bogor.
2. Usaha fillet ikan patin yang dikaji meliputi kegiatan penyiangan,

pemotongan dan pemisahan daging, pencucian, dan pembekuan.
3. Aspek yang diamati adalah aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis

teknologis, aspek manajemen operasional, aspek finansial, serta aspek
yuridis.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. IKAN PATIN
Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) banyak ditemukan di perairan
umum seperti sungai, waduk, dan rawa. Kerabat dekat ikan patin yang ada di
Indonesia umumnya memiliki ciri-ciri keluarga Pangasidae, yaitu bentuk
badannya sedikit memipih, tidak bersisik, atau sisiknya halus sekali.
Kerabat ikan patin di Indonesia cukup banyak diantaranya : Pangasius

polyuranoda (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan roes, riu, lancang),
Pangasius micronemus (wakal, riuscaring), Pangasius nasutus (pedado),
Pangasius nieuwenhuisii (lawang). Gambar 1 di bawah ini menunjukkan gambar
fisik dari ikan patin. Berikut ini adalah klasifikasi ikan patin (Susanto dan
Amri,1999) :
Ordo : Ostariophysi
Sub ordo : Siluroidea
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius hypophthalmus.

Gambar 1. Gambar ikan patin (Pangasius hypophthalmus)
Selanjutnya Susanto dan Amri (1999) menyatakan bahwa ikan patin
memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung
berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya bisa mencapai 120 cm. Kepala ikan
patin relatif kecil dengan bukaan di ujung kepala di sebelah bawah. Pada sudut
mulutnya terdapat dua pasang kumis yang berfungsi sebagai peraba. Ikan patin
memiliki keunggulan tersendiri, yaitu memiliki fekunditas yang tinggi, bersifat
omnivora, laju pertumbuhan yang cepat sehingga dapat diproduksi secara masal,


4

tidak bersisik, durinya relatif sedikit dan dagingnya putih kemerahan serta mudah
dikuliti sehingga relatif mudah dibuat fillet yang baik.
B. FILLET IKAN PATIN
Fillet merupakan bahan setengah jadi dari daging ikan yang akan diolah
lagi menjadi makanan lain seperti abon, bakso, sosis, dan juga dapat digunakan
untuk fortifikasi berbagai aneka produk olahan. Secara teknis, proses pengolahan
ikan patin menjadi fillet tidak sulit. Menurut Peranginangin et.al. (1999), prinsip
dasarnya adalah daging ikan diambil, dibersihkan dari bahan-bahan yang tidak
diinginkan (tulang, sisik, kulit, dan lain-lain), dicuci, dan dibekukan. Selanjutnya
fillet dapat langsung diolah menjadi produk olahan lain.
Berikut ini beberapa keuntungan penggunaan fillet :
1. Dapat digunakan langsung untuk pengolahan produk-produk makanan
seperti bakso, sosis, kamaboko, burger dan lain-lain.
2. Tidak berbau, bebas tulang dan duri, sehingga produk-produk olahannya
mudah dikonsumsi oleh berbagai tingkat usia.
3. Suplai dan harganya relatif stabil karena fillet dapat disimpan lama dan
ini memudahkan perencanaan olahannya.
4. Biaya penyimpanan, distribusi dan transportasi lebih murah, karena fillet

merupakan bagian ikan yang bermanfaat saja.
5. Menghemat waktu dan tenaga kerja karena penanganannya lebih mudah.
6. Masalah pembuangan limbah yang relatif lebih mudah diatasi.
Satu hal penting yang perlu diperhatikan, bahwa dalam mengolah fillet
diperlukan daging ikan yang bermutu tinggi. Karena itu, cara yang ditempuh
harus selalu disertai upaya mempertahankan mutu daging ikan tetap tinggi.
Dalam hal ini penggunaan suhu rendah merupakan hal yang mutlak diperlukan,
baik selama penyiangan, pencucian, hingga pengemasan. Pencuciannya pun
menggunakan air bersih yang didinginkan (dengan es atau dengan cara lain).
Keteledoran dalam menerapkan sistem rantai dingin ini dapat berakibat
penurunan sifat fungsional fillet, yaitu kemampuan dalam membentuk gel
(Peranginangin et.al.,1999).

5

C. STUDI KELAYAKAN
Studi kelayakan merupakan evaluasi pendahuluan yang bertujuan untuk
menghemat waktu dan biaya evaluasi sehingga investor dapat menentukan
apakah proyek masih berarti untuk dilanjutkan atau harus dihentikan. Laporan
studi kelayakan haruslah meyakinkan, dengan disertai tentang harapan

keberhasilan proyek, dengan didukung oleh bukti-bukti realistis dan dengan tidak
lupa menunjukkan berbagai resiko yang mungkin dihadapi (Sutojo,1993).
Menurut Husnan dan Suwarsono (1997), studi kelayakan adalah penelitian
tentang dapat tidaknya suatu proyek investasi dilaksanakan dengan berhasil.
Umumnya penelitian studi kelayakan dilakukan terhadap aspek-aspek pasar,
teknis, keuangan, hukum dan ekonomi negara.
Tolak ukur studi kelayakan adalah nilai moneter. Dalam studi kelayakan,
semua komponen manfaat dan biaya dinilai dengan harga pasar.

Penilaian

terhadap keadaan dan prospek suatu industri dilakukan atas kriteria tertentu yang
disusun dengan mempertimbangkan manfaat bagi perusahaan dan negara.
Kriteria-kriteria tersebut mencakup aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis
teknologis, aspek manajemen operasional dan aspek finansial (Sutojo, 1993).
1. Aspek Pasar dan Pemasaran
Menurut Sutojo (1993), dalam melakukan analisa aspek pasar dan
pemasaran terdapat lima hal yang diteliti yaitu kedudukan produk yang
direncanakan akan diluncurkan, komposisi dan perkembangan permintaan
dari masa yang telah lampau hingga sekarang, proyeksi permintaan produk di

masa mendatang, kemungkinan persaingan dengan industri sejenis serta
peranan pemerintah dan swasta dalam menunjang perkembangan pemasaran
produk. Husnan dan Suwarsono (1997) menambahkan, bahwa analisa aspek
pasar dan pemasaran terhadap usulan suatu proyek ditujukan untuk
mendapatkan gambaran mengenai besar pasar potensial yang tersedia untuk
masa yang akan datang, besar pangsa pasar yang dapat diserap oleh proyek
tersebut dari keseluruhan pasar potensial, serta perkembangan pangsa pasar
tersebut di masa yang mendatang dan gambaran mengenai strategi pemasaran
yang digunakan untuk mencapai pangsa pasar yang telah ditetapkan.
2. Aspek Teknis Teknologis

6

Aspek teknis teknologis merupakan aspek yang berkenaan dengan
proses pembangunan industri secara teknis dan operasi setelah industri itu
dibangun (Husnan dan Suwarsono, 1997). Ditambahkan oleh Sutojo (1993),
evaluasi aspek teknis teknologis meliputi penentuan kapasitas produksi
ekonomis proyek, jenis teknologi yang paling cocok serta penggunaan mesin
dan peralatan. Di samping itu perlu diteliti dan diajukan saran tentang tempat
dan tata letak pabrik.

Dari hasil analisa aspek teknologis maka dapat diketahui rancangan
awal penaksiran biaya investasi termasuk biaya eksploitasinya. Pelaksanaan
dari evaluasi aspek teknologis seringkali tidak memberikan keputusan yang
baku, atau dengan kata lain masih tersedia berbagai alternatif jawaban.
Karenanya sangat perlu diperhatikan suatu atau beberapa pengalaman pada
proyek lain yang serupa dilokasi lain dengan menggunakan teknik dan
teknologi serupa. Keberhasilan penggunaan teknologi serupa di tempat lain
sangat

membantu

dalam

pengambilan

keputusan

akhir,

setidaknya


memperhatikan pengalaman di tempat lain tidak dapat begitu saja
ditinggalkan (Husnan dan Suwarsono, 1997).
a. Pemilihan Teknologi
Biasanya suatu produk tertentu dapat diproses dengan lebih dari
satu cara. Ketepatan pemilihan teknologi yang sesuai menggunakan
kriteria derajat mekanisasi yang diinginkan, manfaat ekonomi yang
diharapkan, bahan mentah yang digunakan, keberhasilan penerapan
teknologi sejenis di tempat lain, kemampuan tenaga kerja dalam
pengoperasiannya, dan pertimbangan kemungkinan teknologi lanjutan.
b. Kapasitas Produksi
Kapasitas produksi adalah jumlah produk yang seharusnya
diproduksi

untuk

mencapai

keuntungan

yang

optimal,

dengan

mengkombinasikan faktor internal dengan faktor eksternal perusahaan.
Faktor eksternal adalah pangsa pasar yang mungkin diraih, sedangkan
faktor internal adalah usaha pemasaran yang dilakukan dan variabel
teknik yang berkaitan langsung dengan proses produksi (Husnan dan
Suwarsono, 1997).

7

Faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan kapasitas produksi
adalah :
1. Batasan

permintaan,

yang

telah

diketahui

dalam

dalam

penghitungan pangsa pasar.
2. Tersedianya kapasitas mesin yang dibatasi oleh kapasitas teknis atau
kapasitas ekonomis.
3. Jumlah dan kemampuan tenaga kerja
4. Kemampuan finansial dan manajemen
5. Antisipasi terhadap kemungkinan perubahan teknologi.
c. Penentuan Lokasi
Lokasi penting bagi perusahaan, karena mempengaruhi kedudukan
perusahaan dalam persaingan dan menentukan kelangsungan hidup
perusahaan tersebut. Penentuan lokasi yang kurang tepat merupakan
salah satu penyebab perusahaan beroperasi secara tidak efisien dan
efektif, sehingga biaya operasi menjadi tinggi. Oleh karena itu dalam
penentuan lokasi suatu industri diperlukan suatu pengkajian terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dari industri tersebut. Lokasi
suatu industri sangat dipengaruhi oleh strategi pemerintahan, letak
sumber bahan baku, daerah pemasaran, serta faktor lingkungan (Sutojo,
1993).
Menurut Husnan dan Suwarsono (1997), variabel yang perlu
diperhatikan dalam penentuan lokasi proyek dibedakan menjadi 2 (dua)
golongan, yaitu faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer akan
berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan produksi dan distribusi
dari proyek yang akan didirikan. Faktor primer tersebut adalah :
1. Ketersediaan bahan baku
2. Letak pasar yang dituju
3. Tenaga listrik dan air
4. Ketersediaan tenaga kerja
5. Fasilitas transportasi
Faktor sekunder yang perlu mendapat perhatian dalam penentuan
lokasi proyek adalah :

8

1. Hukum dan peraturan yang berlaku
2. Iklim, keadaan tanah
3. Sikap dari masyarakat setempat, termasuk adat istiadatnya
4. Rencana masa depan perusahaan, dalam kaitannya dengan perluasan
d. Perencanaan Tata Letak Mesin dan Ruangan
Layout merupakan keseluruhan proses penentuan bentuk dan
penempatan fasilitas-fasilitas yang dimiliki perusahaan. Perencaan ini
bertujuan untuk mengoptimalkan keterkaitan antar pekerja, aliran bahan,
aliran informasi dan metoda yang dibutuhkan dalam rangka mencapai
tujuan perusahaan secara efisien, ekonomis dan aman (Apple, 1990).
Keterkaitan aktivitas akan menjadi pedoman dalam perancangan
tata letak ruang suatu pabrik secara menyeluruh. Derajat hubungan
aktivitas dapat diberi sandi sebagai berikut :
ƒ

A (absolutely necessary) menunjukkan bahwa letak antar
kegiatan yang satu harus saling berdekatan dan bersebelahan
dengan kegiatan yang lain

ƒ

E (especially important) menunjukkan bahwa letak antar
kegiatan harus bersebelahan

ƒ

I (important) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan
dengan kegiatan lain cukup berdekatan

ƒ

O (ordinary) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan
dengan kegiatan lain tidak harus saling berdekatan

ƒ

U (unimportant) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan
dengan kegiatan lain bebas dan tidak saling terkait

ƒ

X (undesirable) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan
dengan kegiatan lain tidak boleh saling berdekatan, atau harus
saling berjauhan.
Derajat keterkaitan ini kemudian digunakan dalam bagan

keterkaitan antar aktivitas. Berdasarkan bagan keterkaitan antar aktivitas
kemudian disusun suatu tata letak fasilitas. Tabel 1 menunjukkan alasan
dalam penilaian derajat hubungan aktivitas.

9

Tabel 1. Derajat hubungan antar aktivitas.
Sandi

Alasan

1

Urutan Kerja

2

Penggunaan Peralatan Yang Sama

3

Penggunaan Ruang Yang Sama

4

Penggunaan Pekerja Yang Sama

5

Efisiensi Jarak, Waktu dan Kerja

6

Kemudahan Melakukan Pengawasan

7

Adanya Kontak Kerja

8

Adanya

Komunikasi

Lisan

Atau

Tulisan
Sumber : Apple (1990)

3. Aspek Manajemen Operasional
Menurut Ariyoto (1980), manajemen adalah cara mencapai tujuan dari
sumber-sumber yang ada. Sumber-sumber ini adalah uang (modal), mesin
dan peralatan, tenaga kerja, dan material. Dalam aspek manajemen dan
operasi ini terutama dibahas tentang pertimbangan-pertimbangan pokok
dalam membentuk organisasi, bentuk kepemilikan, struktur organisasi,
deskripsi tugas, tenaga kerja dan persyaratannya, dan jadwal proyek.
Analisa aspek manajemen operasional dimaksudkan untuk memberikan
gambaran mengenai struktur organisasi dan perusahaan sehingga akan
diketahui tenaga manajemen apa dan berapa yang diperlukan untuk
mengelola proyek secara berhasil (Sutojo, 1993).
4. Aspek Finansial
Menurut Edris (1983) masalah yang hendak dikaji dalam aspek
finansial adalah masalah keuntungan proyek. Kesehatan keuangan
perusahaan ditentukan oleh profitabilitas dan likuiditas, namun profitabilitas
adalah

yang

terpenting.

Evaluasi

finansial

dimaksudkan

untuk

memperkirakan jumlah dana yang diperlukan, baik untuk dana tetap
maupun modal kerja awal. Selain itu pada evaluasi aspek finansial juga
dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana yang menguntungkan,

10

sumber dana modal yang digunakan, berapa bagian dari jumlah kebutuhan
dana tersebut yang wajar dibiayai dari pinjaman pihak ketiga serta dari
mana sumbernya dan berapa besarnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisa finansial adalah
diantaranya modal investasi, modal kerja, dan penyusutan (Ariyoto, 1980).
Menurut Kadariah et al (1987), analisa finansial suatu proyek memandang
perbandingan pengeluaran uang dan perolehan keuntungan dari proyek
tersebut. Bila analisa tersebut menunjukkan net benefit yang positif, maka
proyek tersebut dapat dilanjutkan. Bila sebaliknya, yaitu jika net benefit
bernilai negatif, maka proyek tersebut sebaiknya dibatalkan.
Menurut Gray et al (1997), analisa finansial dalam kerangka evaluasi
proyek lebih bersifat analisa tentang arus dana, baik dana tetap maupun
modal kerja awal. Proyek dikatakan layak dijalankan secara finansial
dengan melihat kriteria-kriteria investasi sebagai berikut :
1. Net Present Value (NPV), yaitu selisih antara nilai sekarang dari
penerimaan (benefit) dengan nilai sekarang dari pengeluaran (cost)
pada tingkat suku bunga tertentu.
2. Internal Rate Of return (IRR), yaitu suatu tingkat bunga modal yang
mengakibatkan nilai sekarang dari aliran uang suatu proyek sama
dengan nol.
3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), yaitu perbandingan antara NVP
positif terhadap NVP negatif.
4. Break Even Point (BEP), waktu pengembalian investasi awal dimana
keputusan yang diambil berdasarkan kriteria waktu.
5. Analisa sensitifitas, analisa mengenai sensitifitas proyek terhadap
perubahan kenaikan biaya operasional maupun perubahan harga jual
produk.

5. Aspek Yuridis
Aspek yuridis juga merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya
dalam hal pendirian usaha karena dalam aspek yuridis seperti yang
diterangkan oleh Ariyoto (1980) dibahas mengenai perijinan usaha, status

11

usaha, pajak dan lain sebagainya. Aspek ini sangat berkaitan langsung
dengan langkah yang diambil oleh badan usaha. Untuk menampung aspirasi
dalam tujuan usaha diperlukan suatu wadah untuk melegalisasi usaha.

12

III. METODE PENELITIAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN
Ikan patin digolongkan sebagai salah satu komoditas unggulan sub-sektor
perikanan yang dapat digunakan untuk menanggulangi krisis moneter dan
ekonomi dikarenakan mempunyai sifat yang menguntungkan yaitu ukuran per
individu yang besar, kebiasaan makan yang omnivora, mudah bertelur, serta
memiliki mutu daging yang digemari masyarakat luas.
Selain itu ikan patin pun memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan untuk
membuat fillet yang baik. Hal tersebut menyebabkan kegiatan usaha fillet ikan
patin memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan. Kajian Usaha fillet Ikan
Patin dilakukan agar dapat memberikan gambaran kepada pihak-pihak yang
terkait dalam pendirian usaha fillet ikan patin sejauh mana usaha ini dapat
memberikan keuntungan di masa yang akan datang. Gambaran selengkapnya
mengenai kerangka pemikiran ada pada Lampiran 1.
B. METODE PENGUMPULAN DATA
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data bertujuan untuk memperoleh informasi, gambaran dan
keterangan tentang hal-hal yang berhubungan dengan studi kelayakan yang akan
dikaji, sehingga diharapkan data-data yang diperoleh dapat digunakan untuk
pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan.
Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan survei lapangan dengan
instansi serta para pakar pada bidang terkait, diantaranya dengan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, diskusi dan pencatatan data
dengan pimpinan usaha serta karyawan Usaha fillet Ikan Patin “Patin Kita”, serta
pengamatan terhadap kegiatan usaha fillet ikan patin beku. Data primer yang
dikumpulkan meliputi komponen dan nilai investasi, biaya tetap, biaya variabel,
modal investasi, teknik pembenihan, pemasaran hasil usaha, serta komponen
keputusan penentuan lokasi usaha.
Data sekunder berupa informasi-informasi yang berhubungan dengan objek
penelitian yang diperoleh dari studi pustaka, serta laporan dari berbagai instansi.
Data sekunder meliputi data potensi dan keadaan umum wilayah, harga tanah,

13

pajak bumi dan bangunan, data volume perdagangan ikan patin dan fillet ikan,
serta biaya tetap dan tidak tetap. Data sekunder diperoleh melalui pencatatan
data yang telah tersedia di instansi-instansi terkait seperti data dari Biro Pusat
Statistik (BPS), BAPPEDA Kabupaten Bogor, departemen kelautan dan
perikanan, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, perpustakaan,
kantor kecamatan, serta instansi terkait lainnya.
C. ANALISA DATA
Analisa data bertujuan untuk meyederhanakan data dalam bentuk yang
mudah dipahami. Analisa data meliputi analisa aspek pemasaran, analisa aspek
teknis teknologis, analisa aspek manajemen operasional, analisa aspek yuridis,
dan analisa aspek finansial. Data yang sudah terkumpul diolah dengan bantuan
komputer dan disajikan dalam bentuk tabulasi yang digunakan untuk
mengelompokkan dan mengklasifikasi data yang ada serta mempermudah dalam
melakukan analisa data.
1. Analisa Pasar dan Pemasaran
Analisa pasar dan pemasaran berpedoman pada Husnan dan Suwarsono
(1997), yang menyatakan bahwa aspek pasar dan pemasaran mempelajari :
a. Permintaan produk serta proyeksi permintaan produk tersebut pada masa
yang kan datang.
b. Supply

yang

berasal

dari

dalam

negri

maupun

impor

dan

perkembangannya, serta faktor yang mempengaruhinya seperti produk
saingannya.
c. Harga produk dan perbandingannya dengan barang-barang impor atau
produksi dalam negri lainnya, serta kecenderungan harga tersebut.
2. Analisa Teknis dan Teknologis
Analisa teknis dan teknologis mengkaji pemilihan teknologi, penentuan
kapasitas produksi, pemilihan lokasi pabrik, serta tata letak mesin dan ruangan.
Kapasitas produksi ditentukan dari hasil analisa aspek pemasaran. Kebutuhan
ruang dan tata letak ditentukan dengan menggunakan konsep lay out produk
(lay out garis) dimana mesin dan peralatan disusun berdasarkan urutan operasi
pembuatan produk dan derajat hubungan antar aktivitasnya.
3. Analisa Manajemen Operasional

14

Kajian aspek manajemen operasional ini meliputi :
a. Rencana struktur organisasi yang sesuai
Struktur

organisasi

perusahaan

formal

dapat

membantu

menjelaskan tugas, wewenang, dan tanggung jawab manajemen.
b. Pelaporan
Segala bentuk kegiatan perusahaan akan dicatat. Hal ini diperlukan
untuk mengendalikan perusahaan agar dapat berjalan dengan baik.
c. Kebutuhan tenaga kerja dan spesifikasinya
Setiap tenaga kerja dibutuhkan persyaratan tertentu ditinjau dari
pendidikan, pengalaman, kesehatan dan lain sebagainya yang
menunjang fungsi tugas dari pekerjaannnya.
4. Analisa Finansial
Analisa finansial mengkaji jumlah dan sumber dana yang digunakan, serta
keuntungan yang didapat setelah proyek berjalan. Dari perhitungan tersebut
dapat diperoleh sebuah keputusan apakah proyek bisa menguntungkan secara
finansial bagi investor. Faktor-faktor yang dikaji adalah sebagai berikut :
a. Net Present Value (NPV)

NPV adalah metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang
investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih
(operasional maupun terminal arus kas) di masa yang akan datang. Untuk
menghitung nilai sekarang, tingkat bunga yang dianggap relevan perlu
ditentukan terlebih dahulu. Tingkat bunga tersebut dapat diperoleh dengan
memelihara tingkat bunga pinjaman jangka panjang yang berlaku di pasar
modal atau dengan mempergunakan tingkat bunga pinjaman yang harus
dibayar oleh pemilik proyek (Gray et al, 1997).
Menurut Gray et al (1997), formula yang digunakan untuk menghitung
NPV adalah :

n

Bt − Ct

∑ (1 + i)

NPV = t = 0

t

dimana

15

Bt = benefit social bruto pada tahun t
C = biaya social bruto sehubungan dengan proyek pada tahun t
i

= tingkat suku bunga pada periode-i

t

= periode investasi (t=0, 1, 2, 3, ...,n)

Dari

hasil

perhitungan

nilai

NPV,

akan

memunculkan

tiga

kemungkinan, yaitu apabila hasil perhitungan nilai NPV dalam evaluasi
suatu proyek didapatkan nilai yang lebih besar atau sama dengan nol, maka
artinya proyek tersebut layak untuk dilaksanakan. Apabila hasil
perhitungan NPV menghasilkan nilai sama dengan nol, proyek tersebut
akan mengembalikan biaya persis sebesar opportunity cost faktor produk
modal. Sedangkan apabila dari hasil perhitungan NPV mengahasilkan nilai
kurang dari nol, hal ini berarti bahwa proyek tidak dapat menghasilkan
senilai biaya yang dipergunakan dan oleh karena itu pelaksanaannya harus
ditolak (Gray et al, 1997).

b. Internal Rate of Return (IRR)

Menurut Sutojo (1993), IRR adalah tingkat bunga yang bila
dipergunakan untuk mendiskonto seluruh kas masuk pada tahun-tahun
operasi proyek akan menghasilkan jumlah kas yang sama dengan investasi
proyek. Pada dasarnya IRR menggambarkan persentase laba nyata yang
dihasilkan proyek. IRR adalah nilai discount rate social yang membuat
NPV proyek sama dengan nol. Formula matematik IRR menurut Gray et al
(1997) adalah :

n

Bt

t
t = 0 (1 + i ) =

n

Ct

t
t = 0 (1 + i )

n

atau

Bt − Ct

∑ (1 + i)
t =0

t

=0

dimana
Bt

= benefit social bruto pada tahun t

Ct

= biaya social bruto sehubungan dengan proyek pada tahun t

i

= tingkat suku bunga (%)
n

= umur ekonomis proyek

16

c.

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Net B/C merupakan angka perbandingan antar jumlah present value
yang positif dengan present value yang negatif. Secara umum Gray et al
(1997) menjelaskan rumus Net B/C sebagai berikut :
n

Bt − Ct

∑ (1 + i)
t =0

t

untuk

Bt − Ct > 0

untuk

Bt − Ct < 0

Net B/C =
n

Ct − Bt

∑ (1 + i)
t =0

t

Kriteria kelayakan proyek adalah jika Net B/C lebih besar sama
dengan satu dan dikatakan tidak layak apabila kurang dari satu.

d. Break Even Point (BEP)

Menurut Sotojo (1993), proyek dikatakan impas apabila jumlah hasil
penjualan produk pada suatu periode tertentu sama dengan jumlah biaya
yang ditanggung dimana proyek tersebut tidak mengalami kerugian tetapi
juga tidak mengalami untung. Jumlah hasil penjualan minimal yang harus
dilampaui dapat dihitung dengan rumus :

BT
h − bv

N =

dimana
N = jumlah penjualan yang dicari
BT =

jumlah biaya yang ditanggung oleh proyek tiap masa

operasi tertentu
h

= harga jual yang direncanakan untuk setaip satuan produk

bv = jumlah biaya variable tiap satuan produk
e. Jangka Waktu Pengembalian Modal (Pay Back Period)

17

Pay Back Period menunjukkan berapa lama modal yang ditanam

dalam investasi akan kembali, dimana pengembalian modal ini
dipandang dari arus kas masuk (cash in flow). Penilaian terhadap Pay
Back Period dilakukan dengan menggunakan rumus

∑ ( Rk − Ek )( P / F , i

0

0

, k) − P > 0

dimana :
m

= nilai pay back period

R

= pendapatan bersih untuk periode ke-i

E

= pengeluaran untuk periode ke-k

P

= investasi awal

f. Analisa Sensitivitas
Analisa sensitivitas bertujuan untuk mengkaji sejauh mana
perubahan unsur-unsur dalam aspek finansial mempengaruhi keputusan
yang diambil. Gray et al (1997) menambahkan bahwa analisa sensitivitas
diperlukan apabila terjadi kesalahan dalam menilai suatu biaya atau
manfaat serta untuk mengantisipasi terjadinya perubahan suatu unsur
harga pada saat proyek tersebut dilaksanakan. Perhitungan kembali perlu
dilakukan mengingat proyeksi-proyeksi yang dilaksanakan mengandung
unsur ketidakpastian tentang apa yang terjadi dimasa yang akan datang.
Gray et al (1997) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang
mungkin terjadi adalah sebagai berikut :


Kenaikan dalam biaya kontruksi (cost over-run) karena perhitungan
yang terlalu rendah dimana kemudian ternyata pada saat
pelaksanaan biaya-biaya meningkat karena peningkatan harga
peralatan, mesin dan bahan bangunan.



Perubahan dalam harga hasil produksi, misalnya karena turunnya
harga produk di pasaran umum.



Terjadinya

penurunan

pelaksanaan

pekerjaan

(produktivitas

menurun), dan lain-lain.

18

19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ANALISA PASAR DAN PEMASARAN
Fillet patin merupakan bahan baku untuk industri pengolahan lanjutan

lainnya, seperti industri pengolahan sosis dan industri pengolahan bakso. Oleh
karena itu, pangsa pasarnya adalah industri-industri pengolahan lanjutan lainnya,
baik skala besar maupun kecil. Fillet patin merupakan produk baru, di Kabupaten
Bogor industri pengolahan fillet patin hanya terdapat di Kecamatan Dramaga,
yaitu industri pengolahan fillet patin “Patin Kita” yang merupakan proyek
percontohan milik IPB, sedangkan di wilayah Indonesia lainnya sampai saat ini
belum tercatat di departemen perindustrian dan perdagangan.
1. Permintaan dan Penawaran
Data permintaan dan penawaran fillet ikan patin tidak tercatat di
Departemen Perindustrian dan Perdagangan serta di Departemen Kelautan
dan Perikanan, begitu pula di Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun
di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. Hal ini karena fillet
patin merupakan produk baru.
Begitu pula data permintaan dan penawaran fillet ikan untuk pasar
domestik tidak tercatat di Departemen Kelautan dan Perikanan maupun
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Data yang tercatat pada kedua
departemen tersebut adalah data perkembangan ekspor komoditi hasil
perikanan, untuk fillet/hasil perikanan lainnya yaitu sebesar 11.571.942 kg
pada tahun 2001 dan 15.622.156 kg pada tahun 2002, atau naik sebesar 35
persen. (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004). Data selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 2.
Dalam beberapa tahun terakhir ini ekspor komoditi perikanan Indonesia
terus menunjukkan laju kenaikan. Berbeda dengan komoditi lain yang
mengalami kemerosotan ekspor sebagai dampak krisis moneter, ekspor
produk perikanan hampir tidak terpengaruh oleh resesi ekonomi bahkan
nilainya cenderung meningkat. Dari data ekspor perikanan tahun 1994 – 1998
menunjukkan kenaikan 7,01 % pertahun (volume) dan 4,9 % pertahun (nilai)
(Ditjen Perikanan, 2000). Kecenderungan ini nampaknya disebabkan karena

20

kandungan lokal komoditi perikanan sangat tinggi sehingga daya saingnya di
pasaran global lebih kuat. Selain itu pula kekurangan pasokan ikan di pasaran
dunia ikut mempengaruhi kecenderungan tersebut, dimana menurut FAO
diperkirakan kekurangan tersebut hingga tahun 2010 dapat mencapai 2 juta
ton pertahun.
Tabel 2. Perkembangan ekspor komoditi hasil perikanan menurut komoditas
utama Tahun 2001-2002.
Komoditas Utama

Volume (kg)
Tahun 2001

Tahun 2002

Kenaikan (%)

Udang Tidak Beku

3 373 201

2 958 277

-12,30

Udang Beku

36 257 874

36 214 324

-0,12

Udang Dalam Kaleng

642 544

1 463 510

127,77

Tuna Segar

7 907 122

8 976 410

13,52

Tuna/Cakalang Beku

5 419 738

6 702 690

23,67

Tuna Dalam Kaleng

9 828 919

9 579 144

-2,54

Ikan Lainnya Hdp/Sgr

24 050 819

22 943 870

-4,60

Ikan Lainnya Beku

23 537 753

26 904 991

14,31

Ikan Kering/Asin/Asap

2 660 913

3 327 317

25,04

Ikan Lainnya Kaleng

479 008

347 628

-27,43

Kepiting Segar/Dingin

1 483 339

1 275 554

-14,01

Kepiting Beku

912 723

1 076 996

18,00

Kepiting Dalam Kaleng

1 534 120

2 185 679

42,47

Paha Kodok

1 008 247

1 316 591

30,58

Ubur-ubur Kering/Asin

1 791 964

3 417 153

90,69

Siput/Bekicot

1 087 090

952 654

-12,37

Kerupik Udang

1 846 251

2 280 585

23,53

Lemak dan Minyak Ikan

7 429

120 692

1524,61

Rumput Laut Kering

9 204 296

8 192 820

-10,99

Koral dan Kulit Kerang

1 008 462

1 256 292

24,58

Mutiara

14 204

2 616

-81,58

Ikan Hias

1 103 818

1 389 040

25,84

Ikan Kering Teri Asin

1 980 805

1 999 450

0,98

Hasil Perikanan Lain

11 571 942

15 622 156

35,00

Jumlah Total

148 711 861

160 506 443

7,93

Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2004.

Pasar domestik cukup besar, dari produksi perikanan 1998 tercatat 4,7
juta ton yang dipasarkan dalam negeri dan ini masih belum cukup memenuhi

21

kecukupan pangan penduduk akan ikan. Berdasarkan tingkat konsumsi ikan
per kapita penduduk Indonesia pada tahun 1998 baru mencapai 19,25
kg/kapita/tahun atau 72,5 % dari standar kecukupan pangan akan ikan
sebesar 26,55 kg/kapita/tahun (Kusumastanto, 2001). Dengan ditargetkan 22
kg/kapita saja, pasar domestik masih memerlukan tambahan pasok ikan lebih
0,5 juta ton/tahun (Suboko, 2001).
Dari data-data diatas maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
peluang pasar produk olahan hasil perikanan masih luas. Untuk menentukan
kapasitas produksi yang direncanakan, akan menggunakan data referensi dari
Unit Usaha fillet ‘Patin Kita’ yang merupakan unit usaha yang sejenis
dengan industri yang akan didirikan. Kapasitas produksi unit usaha fillet
‘Patin Kita’ mencapai 144 ton per tahunnya.
2. Penentuan Harga Jual
Fillet patin yang akan dipasarkan, dikemas dalam kemasan plastik.

Harga jual yang ditetapkan sebesar Rp. 19.300,- per kg berdasarkan harga
jual dengan margin keuntungan sebesar 35%. Penghitungan selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 2. Dalam penentuan harga jual, margin
ditentukan dengan angka dari 1-100% dan margin yang diinginkan
dinyatakan dalam persentase (Ibrahim, 1998).
Pada tahun 2003, harga ikan patin di wilayah Kabupaten Bogor di
tingkat petani adalah Rp. 6000,- per kg, sedangkan harga di tingkat pengecer
berkisar antara Rp. 7000 – Rp. 7500 per kg. Oleh karena itu penetapan harga
bahan baku untuk industri fillet patin ini menggunakan harga bahan baku
terendah di tingkat pengecer, yaitu sebesar Rp. 7000,- per kg.
3. Konsep Produk
Menurut Peranginangin (1999), fillet ikan merupakan bahan setengah
jadi dari daging ikan yang nantinya akan dijadikan lagi menjadi makanan lain
seperti bakso, abon, dan sosis. Oleh karena itu target pasar yang akan
dijadikan sebagai konsumen untuk industri fillet ikan patin ini adalah
produsen pengolahan makanan berbahan dasar daging atau ikan.
Konsumsi fillet untuk konsumen rumah tangga tidaklah populer di
Indonesia dikarenakan harga fillet yang relatif lebih mahal dibandingkan

22

harga ikan atau daging segar. Sebagai perbandingan, harga ikan patin segar di
pasaran berkisar diantara Rp. 9000 – Rp. 11.000,- per kg, sedangkan harga
fillet di iusaha yang akan direncanakan ini adalah Rp. 19.3000 per kg.

Sedangkan untuk industri pengolahan makanan, fillet mempunyai beberapa
kelebihan, yaitu biaya penyimpanan, distribusi, dan transportasi yang lebih
murah karena fillet merupakan bagian ikan yang bermanfaat saja, serta
menghemat waktu dan tenaga kerja karena penanganannya lebih mudah.
Dalam proses produksi, bahan baku ikan patin yang digunakan
berukuran 1 – 2 kg. Kemudian dari ikan patin berukuran 1 kg didapat fillet
ikan berukuran 0,65 kg yang dikemas dalam ukuran 2 kg. Kemasan 2 kg
dipilih untuk mempercepat proses pembekuannya. Hal ini diperhitungkan
karena penggunaan suhu rendah merupakan hal mutlak untuk menjaga mutu
fillet, semakin cepat fillet mencapai suhu yang diinginkan dalam

penyimpanan maka semakin baik mutu fillet. Jika fillet dikemas dalam
ukuran lebih besar dari 2 kg maka semakin lama waktu yang dibutuhkan
untuk membekukannya sehingga mutunya menjadi kurang baik.
Begitu pula dalam proses pendistribusiannya penggunaan suhu rendah
juga adalah hal penting. Oleh karena itu selama proses distribusi produk ke
konsumen yang ditargetkan digunakan mobil boks berpendingin.
B. ANALISA TEKNIS TEKNOLOGIS
1. Penentuan Lokasi
Penentuan lokasi penting untuk dilakukan karena berkaitan dengan
efisiensi transportasi, sifat bahan baku atau produk, dan kemudahan
mencapai konsumen. Dengan kata lain, lokasi menentukan besaran biaya
produksi. Oleh karena itu penentuan lokasi mempengaruhi kedudukan
perusahaan dalam persaingan dan kelangsungan hidup di masa yang akan
datang.
Menurut Husnan dan Suwarsono (1997), dalam penentuan lokasi pabrik
terkadang sering terjadi perbedaan antara bobot faktor ketersediaan bahan
mentah dan letak pasar yang dituju, artinya suatu pabrik kadang-kadang
memerlukan kedekatan dengan bahan mentah tetapi karenanya harus
berjauhan dengan pasar yang dituju atau sebaliknya. Lokasi yang dipilih

23

untuk pendirian industri ini adalah Kabupaten Bogor karena lokasi ini dekat
dengan konsumen yang akan dibidik, yaitu industri pengolahan hasil
perikanan.
Kriteria pemilihan lokasi pabrik yang akan didirikan antara lain :
a. Kedekatan dengan jalan raya.
Karena pabrik yang akan dibangun ini mengutamakan kedekatan
dengan konsumen, maka kedekatan dengan jalan raya menuju
lokasi konsumen merupakan faktor penting untuk kemudahan
sarana transportasi.
b. Tenaga listrik dan air.
Pasokan tenaga listrik penting dalam industri ini mengingat faktor
pembekuan sangat penting untuk mutu produk fillet. Ketersediaan
air selain dibutuhkan dalam proses produksi juga dibutuhkan
untuk

kolam

penampungan

bahan

baku

untuk

menjaga

kesegarannya. Oleh karena itu kedekatan dengan sumber air
seperti

sungai

atau

waduk

turut

menjadi

faktor

yang

diperhitungkan.
c. Lingkungan
Karena dalam proses produksi dan hasil akhir produk
mementingkan kebersihan sebagai bahan baku untuk produk
konsumsi, maka lokasi pabrik yang didirikan pun harus bersih
dan jauh dari lokasi pembuangan sampah atau pembuangan
limbah. Selain itu untuk kelancaran proses produksi, maka lokasi
pabrik harus jauh dari lokasi yang sering terkena bencana alam
seperti banjir, longsor, atau gempa bumi.
2. Perencanaan Kapasitas
Walaupun tidak tersedia data fillet ikan untuk pasar domestik,
berdasarkan analisa pasar dan pemasaran

disimpulkan masih luasnya

peluang pasar untuk produk pengolahan hasil perikanan. Dalam penentuan
kapasitas produksi digunakan data produksi pada unit usaha fillet ‘Patin
Kita’, yang menggambarkan jumlah permintaan fillet ikan patin yang ada di
unit usaha tersebut.

24

Produksi fillet pada unit usaha ‘Patin Kita’ tahun 2002 sebesar 80 ton,
sedangkan pada tahun 2003 sebesar 144 ton. Pada tahun 2002 produksi fillet
tersebut belum berjalan optimal karena unit usaha tersebut baru berdiri di
tahun 2002, sedangkan pada tahun 2003 kapasitas produksi telah berjalan
sesuai dengan kapasitas yang direncanakan. Oleh karena itu, kapasitas
produksi untuk industri yang akan didirikan ini sebesar 144 ton per tahun.
Untuk menghasilkan 144 ton fillet per tahun, maka bahan baku berupa
ikan patin segar yang dibutuhkan adalah sebanyak 221.540 kg. Jumlah ini
akan dapat terpenuhi mengingat jumlah penawaran ikan patin di kabupaten
Bogor pada tahun 2003 mencapai 759.910 kg. Data penawaran ikan patin di
Kabupaten Bogor pada tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Jumlah penawaran ikan patin di Kabupaten Bogor tahun 2003
Bulan

Jumlah (kg)

Januari

-

Februari

59.650

Maret

68.900

April

68.900

Mei

68.900

Juni

68.900

Juli

64.900

Agustus

64.900

September

68.900

Oktober

72.350

November

75.590

Desember

74.020

Total

759.910

Sumber : Laporan Tahunan, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2003

3. Neraca Massa
Efektifitas proses produksi yang telah berjalan dapat di awasi dengan
memperhatikan necara massa dan diagram alir proses produksi perusahaan.
Neraca massa terdiri dari sejumlah jumlah input dan output bahan dalam suatu
rangkaian proses. Selain berfungsi sebagai upaya pengendalian ketika proses
telah berjalan, neraca ini juga berfungsi untuk menentukan kapasitas produksi

25

dari jumlah bahan baku yang tersedia atau besaran jumlah bahan baku yang
dibutuhkan untuk dapat memenuhi kapasitas produksi yang diinginkan.
Diagram alir dan neraca massa dari proses pengolahan fillet patin beku dapat
dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

26

Ikan patin 1000 gram

Air 850 g

Pencucian

Penyiangan

Air 850 g

(Buang Kepala & Isi Perut)
Loss 190 Gram

Air 1200 g

Pencucian

Skinning/Boning

Air 1200 g

(Buang Kulit & Tulang)
Loss 160 Gram

Air 1200 g

Pencucian

Air 1200 g

Fillet Patin 650
gram
Gambar 2. Neraca massa proses pengolahan fillet ikan patin

27

Ikan Patin

Penimbangan

Air

Pencucian

Penyiangan
(Buang Kepala & Isi
Perut)

Air

Pencucian
(Pembersihan Darah)

Pemisahan Kulit &
Tulang
(Skinning/Boning)

Air

Pencucian
(Pembersihan Darah)

Air Kotor

Kepala & isi perut ikan patin

Air Kotor & darah ikan patin

Kulit & tulang ikan patin

Air Kotor & darah ikan patin

Penimbangan

Packing/Pengemasan

Pembekuan/Freezer

Fillet Patin Beku
Gambar 3. Diagram alir proses pengolahan Fillet patin

28

4. Teknologi Proses Produksi
Fillet merupakan daging yang telah dibersihkan dan dicuci berulang-

ulang sehingga sebagian besar bau, darah, pigmen, dan lemak hilang. Khusus
untuk fillet ikan, mutu kesegaran ikan yang digunakan harus benar-benar
terjaga. Penggunaan ikan yang kurang segar maupun ikan yang telah
dibekukan akan menurunkan mutu fillet.
Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan fillet. Menurut
Peranginangin (1999), jenis ikan yang akan memberikan hasil fillet yang lebih
baik setidaknya memiliki klasifikasi ikan yang berdaging putih, tidak berbau
lumpur dan tidak terlalu berbau amis serta mempunyai kemampuan
membentuk gel yang bagus. Bahan dasar (ikan) yang dipilih untuk industri ini
adalah ikan patin (Pangasius hypophthalmus) karena ikan ini mempunyai sifat
yang memenuhi kesesuaian yang dibutuhkan untuk menghasilkan fillet yang
baik. Berikut ini adalah tahapan proses yang dibutuhkan dalam pengolahan
fillet patin :

a. Persiapan Bahan Baku
Tahapan ini terdiri dari proses penerimaan ikan patin hidup,
penimbangan, penampungan, serta pencucian. Ikan patin hidup yang
dibawa dari petani/pengecer disimpan di kolam penampungan yang
tersedia. Hal ini dibutuhkan untuk menjaga kesegaran ikan yang akan
diolah.

Ikan

yang

siap

dipotong

terlebih

dahulu

dicuci

untuk

menghilangkan kotoran-kotoran yang mungkin menempel dikulitnya.
Pencucian ini termasuk penting agar kotoran-kotoran tersebut tidak
mencemari daging saat dilakukan proses penyiangan.
b. Penyiangan
Proses penyiangan bertujuan untuk menghilangkan kepala dan isi
perut lalu dicuci bersih. Penyiangan dilakukan dengan hati-hati agar isi
perut tidak mencemari daging. Bagian kepala dan isi perut banyak
mengandung enzim protease dan lemak serta menjadi sumber bakteria
yang dapat menurunkan mutu ikan dan akibatnya dapat menurunkan
kemampuan fillet dalam membentuk gel. Selain itu, isi perut ikan dapat
berpengaruh terhadap penampakan produk karena mengakibatkan warna

29

fillet dan produk olahannya menjadi gelap. Contoh daging patin yang telah

disiangi dan dicuci bersih nampak pada Gambar 4. di bawah ini.

Gambar 4. Daging patin yang telah disiangi.
c. Pemisahan Kulit dan Tulang (Skinning & Boning)
Ikan patin yang digunakan sebagai bahan baku berukuran minimal 1
kg sehingga lebih mudah dalam membuang kulit dan tulangnya. Proses
pembuangan kulit dan tulang adalah sebagai berikut: ikan diletakkan
dengan posisi miring, lalu menggunakan pisau, daging pada pangkal insang
dipotong sampai ke tulang. Selanjutnya ikan dibalik dan daging disayat
dari arah ekor ke kepala. Agar tidak banyak daging yang tertinggal di
tulang, pisau agak ditekan menempel ke tulang. Setelah daging terpisah
dari tulang, kulit ikan dipisahkan sehingga diperoleh daging yang bebas
tulang dan kulit.
Fillet lalu dicuci bersih dalam suatu wadah dengan air dingin, untuk

menghilangkan kotoran dan sisa darah. Bak fiber glass merupakan pilihan
yang baik sebagai medium wadah karena mudah dibersihkan, dipindahkan,
dan dikeringkan. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah selama proses ini
dan seterusnya adalah penambahan es secukupnya secara kontinyu untuk
menghambat penurunan kesegaran ikan.
d. Penimbangan
Sebelum tahapan penimbangan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan
pemeriksan kebersihan daging, apakah telah benar-benar bersih dari kulit,
tulang, dan kotoran lainnya. Proses penimbangan diperlukan untuk proses
pengemasan. Daging ditimbang dan dipotong untuk ukuran 2 kg. Gambar 5

30

di bawah ini, memperlihatkan contoh fillet ikan patin sebelum dilakukan
langkah pengemasan.

Gambar 5. Fillet sebelum dikemas

e. Pengemasan
Setelah

daging

dipotong,

maka

tahapan

berikutnya

adalah

memasukkannya ke dalam kantong plastik kemasan berukuran 2 kg dan
diletakkan dalam wadah pre-cooling yang berisi es sebelum dipindahkan
ke ruang penyimpanan. Contoh fillet ikan patin yang telah dikemas dapat
dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Fillet yang telah dikemas

31

f. Pembekuan
Fasilitas pendingin yang digunakan adalah freezer (alat pembeku).
Suhu yang dibutuhkan adalah -20°C agar fillet dapat bertahan hingga 3
bulan atau lebih, tanpa banyak mengalami perubahan sifat fungsionalnya.
Bahkan, apabila proses pengolahan berjalan benar, pembekuan berjalan
cepat dan penyimpanan memenuhi standar persyaratan, maka fillet dapat
bertahan hingga 1 tahun. Apabila suhu penyimpanan sekitar -10°C, fillet
hanya dapat bertahan hingga 1 bulan, namun tidak dapat dipakai lagi
setelah 3 bulan karena sifat fungsional (kemampuan membentuk gel) fillet
telah rusak.
Fasilitas pendingin yang tersedia dipasaran terdiri dari berbagai jenis
daya, mulai dari 350 watt, 500 watt, 700 watt, dan 1000 watt. Dengan daya
350 watt maka dapat menurunkan suhu fillet hingga -20°C dalam waktu 12
jam sebanyak 99 kg fillet daging. Kapasitas dari freezer dengan daya 350
watt tersebut adalah sebesar 50 kg daging. Dengan kapasitas produksi yang
direncanakan sebesar 144 ton/tahun atau sekitar 600 kg/harinya maka
dibutuhkan 12 unit freezer dan cadangan freezer sebanyak 3 unit untuk
mengantisipasi kerusakan freezer dan kelebihan produksi yang mungkin
terjadi. Karena fluktuasi suhu yang terjadi selama proses penyimpanan
dapat menurunkan kemampuan fillet dalam membentuk gel, maka
penyediaan gen-set dibutuhkan agar dapat memasok penyediaan listrik jika
terjadi sesuatu pada pasokan listrik dari PLN.
5. Bahan Baku dan Input
Bahan baku utama yang digunakan dalam industri ini adalah ikan patin
(Pangasius hypophthalmus) hidup. Berdasarkan analisa penentuan jumlah
kapasitas produksi yang telah dilakukan, maka jumlah bahan baku yang
dibutuhkan adalah 221.540 kg per tahun, setara dengan 4.615 kg ikan patin per
minggu, atau sebanyak 923 kg per hari. Jumlah penawaran ikan patin di
Kabupaten Bogor sebagian besar berasal dari pengecer dari waduk cirata,
waduk saguling dan waduk jatiluhur. Produksi ikan patin di waduk jatiluhur
sebesar 10 ton/bulan (Dinas Kukm Jabar, 2003), sedangkan produksi ikan

32

patin di waduk cirata sebesar 12 ton/bulan dan di waduk saguling sebesar 15
ton/bulan (Hikmayani et.al, 2003).
Bahan baku berupa ikan patin hidup diperoleh dari petani produsen
yang ada di wilayah kabupaten Bogor, serta dari penyalur yang berasal dari
wilayah di luar kabupaten Bogor. Jumlah yang dibutuhkan sebanyak 4.615 kg
ikan patin per minggu. Pengiriman bahan baku ini diantar langsung menuju
pabrik secara rutin oleh penyalur setiap harinya dengan jumlah rata-rata 923
kg.
6. Pemilihan Mesin dan Peralatan
Untuk pengolahan fillet, peralatan yang diperlukan dapat sederhana dan
dapat pula berupa peralatan serba mesin tergantung pada skala dan bentuk
usaha. Skala yang dipilih untuk industri fillet patin ini adalah skala kecil
karena adanya keterbatasan pasar dan penekanan biaya investasi. Jika memilih
bentuk usaha dengan skala besar, maka biaya investasi yang diperlukan untuk
peralatan akan semakin besar. Susunan peralatan yang dibutuhkan dapat dilihat
pada Tabel 4 berikut ini.

33

Tabel 4. Kebutuhan Alat Berdasarkan proses/diagram alir.
Proses
Bahan Baku

Pencucian

Peralatan

Spesifikasi

-Timbangan gantung

- Kapasitas 100 kg

1

-Gentong Timbang

- Kapasitas 50 l

1

-Bak Segi Empat

Jumlah

- Ukuran 70 cm x 60 cm

2

x 50 cm
Penyiangan/Pencucian

- Pisau

- Pisau Daging

- Meja pengolahan

-

5

Darah
Terbuat

dari

ubin,

2

ukuran 3 m x 1 m x
0.75 m
-Bak/Ember

penampung - Kapasitas 50 kg

2

limbah
- Baki penampung daging

- Ukuran 0.75 m x 0.5 m

2

x 0.5 m
- Baki dorong
Pemisahan

Kulit

dan - Meja pengolahan

daging

- Kapasitas 100 kg

2

- Stainless steel, 3 m x 1

2

m x 0.75 m
- Pisau

- Pisau Daging

5

Penimbangan

-Timbangan digital

- Kapasitas 50 kg

1

Packing

-Wadah pre-Cooling

- Ukuran t = 0.75 m;

1

d = 1.5 m
Pembekuan/penyimpanan - Freezer

- ukuran 1.5 m x

15

0.75 m x 0.6 m

7. Kebutuhan Ruangan
Ruangan yang dibutuhkan oleh industri mencakup 2 (dua) jenis ruangan,
yaitu ruangan untuk produksi (pabrik) dan ruangan non-produksi. Ruangan
produksi adalah tempat pengolahan ikan patin menjadi fillet, sedangkan
ruangan non-produksi, yaitu ruangan untuk kegiatan yang secara langsung
tidak berkaitan dengan proses produksi tetapi mendukung kegiatan produksi
meliputi ruangan perkantoran dan kegiatan lainnya.

34

a. Ruangan Produksi
Penentuan kebutuhan ruangan yang akan digunakan mengacu pada
dasar perhitungan sebagai berikut :
ƒ

Kebutuhan luas ruangan mesin adalah maksimum panjang mesin/alat
dikalikan maksimum lebarnya.

ƒ

Kebutuhan luas ruangan untuk operator adalah maksimum panjang
peralatan dikalikan satu meter.

ƒ

Kebutuhan luas ruangan untuk bahan disesuaikan dengan bentuk
wadah/bahannya.

ƒ

Kelonggaran

yang

dipakai

adalah

150%,

kelonggaran

ini

dipergunakan untuk jarak antar peralatan serta lorong untuk
pergerakan orang dan barang. (Apple,1990).
Kebutuhan luas ruangan untuk proses produksi fillet patin dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Kebutuhan luas ruangan di industri pengolahan fillet patin
Lokasi
Peralatan
Penimbangan
0.44
Pencucian dan Penyiangan
6.43
Skinning/Boning &
4.5
Pencucian
Penimbangan
0.25
Packing
1.77
Total
‫)٭‬kelonggaran = Sub Total x 150%

Luas (m²)
Operator
Sub
Total
0.75
1.19
3
9.43
3
7.5
1
3

Kelonggaran‫٭‬
1.785
14.145
11.25

1.25
4.77

1.875
7.155
36.21

b. Ruangan Non-Produksi
Ruangan

non-produksi

meliputi

kantor,

kolam

penampungan

(penyimpanan bahan baku), tempat pembekuan (penyimpanan barang jadi),
pos keamanan, dan lahan parkir. Kebutuhan luas ruangan non-produksi
dalam