T1 712006030 Full text

“Suatu Studi Komparatif Terhadap Konsep Tuhan itu Esa
menurut Kitab Ulangan 6:4 dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Pancasila”

1.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
17 Agustus 1945 merupakan peristiwa sejarah yang mempunyai makna

yang penting dan luhur bagi bangsa Indonesia, yakni perubahan dalam tatanan
kehidupan masyarakat dengan yang terbebas dari penjajahan asing menuju
kehidupan yang mandiri sebagai bangsa yang merdeka. Dalam wacana
kemerdekaan tersebut sebagai sebuah bangsa yang baru berdiri,

tentunya

Indonesia membutuhkan landasan atau falsafah hidup yang menjadi pedoman

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang juga sekaligus merupakan
kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia itu sendiri. Nilai-nilai lain yang
mendapat kesempatan rakyat Indonesia seluruhnya adalah pernyataan bahwa
Proklamasi itu merupakan penjelmaan cita-cita bangsa Indonesia, pandangan hidup
bangsa, falsafah hidup bangsa yang tertuang dalam Pancasila.1
Pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) mengesahkan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Ditinjau dari
sejarah pemikiran mengenai Pancasila, ada terjadi perubahan yang sifatnya
fundamental. Dengan di sahkannya Undang-Undang Dasar 1945, maka Pancasila,
1

R. Parmono dan Kartini, Pancasila Dasar Negara Indonesia ( Yogyakarta: Andi Offset,

1984), 35.

3

dalam arti lima dasar negara, menjadi dasar negara. Alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 itu memuat pernyataan sebagai berikut:
… yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang

berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.2

Alkitab juga membahas tentang Tuhan yang Esa tersebut khususnya dalam
Alkitab Perjanjian Lama (PL). Cerita tentang lahirnya bangsa Israel terdapat dalam
5 kitab Perjanjian Lama, yang juga disebut sebagai Pentateukh,3 merupakan suatu
kata yang berasal dari bahasa Yunani Pentateukos. Selain kata Pentateukh sering
juga disebut Taurat, kata ini berasal dari bahasa Ibrani Tora (hukum, pengajaran,
petunjuk) yang diterjemahkan dalam Perjanjian Baru oleh kata Yunani Nomos.
Seluruh kitab Ulangan merupakan sumber utama ketiga yang terdapat di
dalam Pentateukh. Nama bahasa latin dari kitab Ulangan adalah Deuteronomium
(baca: doiteronomium). Dari nama inilah diperoleh sebutan “Sumber D” atau
sumber Deuteronomium. Salah satu sumbangan para peneliti Alkitab abad 19 M
adalah keberhasilan mereka menemukan empat sumber

cerita di dalam


Pentateukh. Mereka juga berhasil menentukan waktu dari keempat sumber cerita
tersebut. Keempat sumber cerita beri tanda dengan huruf-huruf Y, E, D, P.4 Salah
satu nats dalam Perjanjian Lama khusus menuliskan tentang “Esa” yaitu Kitab
Ulangan 6:4, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, Tuhan itu
esa!.” Dikategorikan ke dalam sumber D.
Bertolak dari klasifikasi teori sumber tersebut, maka saat membicarakan
tentang konsep monotheisme akan berkaitan langsung dengan keempat sumber
yang ada karena semuanya secara tersirat mengandung gagasan percaya akan satu
Tuhan. Namun dalam sumber DH-lah, Penulis melihat signifikansi yang begitu
kuat tentang gagasan satu Tuhan tersebut. Dalam salah satu agenda reformasi
penulis DH yaitu Yosia, begitu jelas diungkapkan tentang monotheime, gagasan

2

Ibid, 285.
Wahono. S. Wismoady, Di Sini Kutemukan (Jakarta:PT. BPK Gunung Mulia, 2000), 55.
4
Ibid, 57.

3


4

tentang satu Tuhan, yang dalam bahasa Yosia disebut sebagai sentralisasi kultus,
hanya ada satu Tuhan yang berdiam di Yerusalem.
Apakah gagasan tentang satu Tuhan dalam Perjanjian Lama ini sama
dengan sila pertama Pancasila, “ke-Tuhanan yang maha esa”, atau sebaliknya
keduanya berbeda? Hal ini merupakan sesuatu yang menarik menarik yang harus
dikaji lebih dalam untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, baik itu tentang
monotheisme itu sendiri, maupun Ketuhanan Yang Maha Esa.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka
pertanyaan penelitian yang diangkat adalah:
1. Bagaimana makna Esa dalam kitab Ulangan 6:4 menurut Sumber D?
2. Bagaimana makna Esa dalam Pancasila sila pertama?
3. Apakah perbedaan dan persamaan makna Esa dari keduanya?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan makna Esa dalam Kitab Ulangan 6:4.

2. Mendeskripsikan makna esa dalam Pancasila sila pertama.
3. Mendeskripsikan perbedaan dan persamaan makana Esa dari keduanya.
1.4 Manfaat Penelitian
Kiranya melalui penulisan dapat memberikan sumbangsih bagi Fakultas
Teologi khususnya dalam bidang Sosiologi Gereja. Gereja dalam kehidupan
bermasyarakat perlu untuk menyadari akan adanya pluralitas dalam hal, kebebasan
beragama dan menghargai akan identitas keyakinan masing-masing.
1.5 Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Kualitatif,
yaitu metode yang didasarkan pada pemberian tekanan dalam aspek-aspek
“memahami” atau “pemahaman mendalam” dan bukan pada “mengukur”, dimana
titik tolaknya berasal dari pendekatan fenomenologis yang mengarahkan perhatian
pada fenomena-fenomena sosial yang nampak dalam realitas masyarakat dan

5

individu secara menyeluruh [holistik] dan sistematis.5 Metode ini digunakan untuk
mendapatkan data yang mendalam dan menekankan kedalaman informasi hingga
pada tingkat makna. Makna merupakan suatu nilai dibalik yang tampak dari
kumpulan korelasi data-data yang ada.6


II.

TUHAN ITU ESA DALAM KITAB ULANGAN 6:4

2.1

Kitab Ulangan Sebagai Bagian dari Sumber DH (Deuteronomistic
History)
Sampai pada akhir abad ke-XIX penyelidikan terhadap Tora mengalami

perkembangan pesat terutama di bawah usaha-usaha A. Kuenen dan J. Wellhausen.
Menurut para ahli-ahli ini, dalam pentateukh ada empat sumber, yaitu:7
a.

Sumber yang menggunakan nama “Yahwe” (Y);

b.

Sumber yang menggunakan nama “Elohim” (E);


c.

Sumber

yang

khususnya

terdapat

dalam

kitab

Ulangan

atau

Deuteronomium (D);

d.

Dan yang terakhir adalah sumber yang terutama dipelopori oleh imam-

imam yang disebut “Priester Codex” (P).
Ulangan merupakan Kitab kelima di dalam susunan kitab-kitab Perjanjian
Lama. Dalam bahasa Ibrani, kitab Ulangan disebut dengan Devarim, sedangkan
nama bahasa Latin dari kitab Ulangan adalah “Deuteronomium” yang berarti
„hukum kedua‟. Dari kata inilah, sumber DH atau sumber Deuteronomistic History
didapat.8 Deuteronomi

(Latin: Deuteronomium) berarti “Hukum kedua.”

Maksudnya bukanlah hukum baru, melainkan yang mengulang dan menguatkan
hukum yang lebih dahulu.

5

Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995), 3.

6
Usyiono, Pendekatan Kualitatif, (Bandung: Alfabeta ), 2-3.
7
Dr. J. Blommendal,Pengantar Kepada Perjanjian Lama. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2003), 17.
8
S. Wismoady Wahono, Disini Kutemukan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 68.

6

Ord dan Coote mengatakan, bahwa sumber-sumber pembentuk Alkitab
sebagian besar lahir dari pergulatan politik demi pencapaian dan legitimasi
kekuasaan yang ditempuh melalui produk-produk karya arsitektur, ritus-ritus
maupun sastra [tulisan-tulisan],9 maka tambahan-tambahan dan sisipan-sisipan
yang dilakukan para penulis Dh, tentunya dalam kerangka melegetimasi
kepentingan Dh. Dengan memahami latar belakang dan konteks sosial ketika
sumber Dh ditulis dan disampaikan kepada pembacanya, maka akan sangat
membantu kita dalam memahami inti pesan dari sumber Dh. Dalam kerangka
itulah maka, beberapa point penting dalam hubungan dengan sumber Dh akan
dibahas dalam bagian ini.

Ada dua kemungkinan masa penulisan DH, yaitu sebelum dan sesudah
pembuangan. Dalam studi Von Rad, yang mengacu pada Noth, ia berpendapat
bahwa DH ditulis pada masa pembuangan di Babel yaitu pada tahun 550 SZB.
Sementara itu Cross memberikan argumen bahwa DH ditulis dalam dua periode
yakni, pada masa reformasi Yosia di Selatan ( 640 – 609 SZB ) dan pada masa
pembuangan di Babel (550 SZB ). Dalam komposisinya Cross menamakan Dtr1
untuk penulisan di masa reformasi Yosia, dan Dtr2 untuk penulisan di masa
pembuangan.10
Adapun tujuan penulisan DH harus dilihat dalam konteks reformasi Yosia.
Oleh karena itu Chaney menyampaikan gagasannya yang berkaitan dengan hal
tersebut dalam enam pokok:11
1.

Reformasi Yosia menandakan tumbuhnya kembali nasionalisme Yehuda
yang telah dikuasai Asyur selama hampir satu abad sebagai daerah taklukan
sejak zaman Tiglath – Pilezer III ( 745 – 727 SZB ).

2.

Perbaikan Bait Suci yang dilakukan Yosia menandai perasaan anti Asyur

lewat dipindahkannya simbol – simbol Asyur yang ada di Bait Suci dan
ibadahnya ( II Raja – Raja 16 : 10 – 18 ).
9

David Robert Ord dan Robert B. Coote, Apakah Alkitab Benar?: Memahami Kebenaran
Alkitab pada Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 112.
10
Frank M. Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epic: Essay in History of the Religion of
Israel, ( Cambridge: Harvard University Press, 1973 ), 275 – 278.
11
Marvin L. Chaney, “Joshua” dalam, The Books of The Bible, (ed) Bernhard W.
Anderson (New York: Charles Sribner‟s Son, 1989), 103-112

7

3.

Ada unsur perluasan teritori dengan gerakan Yosia ini, terutama terhadap
daerah Utara yang dulu adalah bagian dari kerajaan Daud, sebelum
dipisahkan setelah kematian Salomo.

4.

Terhadap kenyataan ini Yosia memperjuangkan politiknya dengan
mempromosikan Hukum dan tradisi Musa sebagai alat legitimasi dengan
retorika Daud.
Perbaikan Bait Suci ditandai dengan ditemukannya hukum – hukum yang

5.

kemudian oleh Yosia dijadikan hukum seluruh negeri dengan satu upaya
perjanjian ( II Raja – Raja 22 : 3 – 14 ; 23 : 1 – 3 ).
6.

Penerapan hukum itu berarti pula pemusatan ( sentralisasi ) dari kerajaan.
Pemusatan secara politik terjadi dengan penegasan bahwa Yosia adalah
pewaris sah dari dinasti Daud, yang kekuasaannya meliputi seluruh Israel
Bersatu dulu.

2.2Analisa Teks Ulangan 6:412
‫אח ׃‬

‫אל ינ י‬

‫מע י ראל י‬

(syema yisrael, YHWH elohenu, YHWH ekhad)
‫( מע‬Syemah)



Syema merupakan kata benda maskulin turunan qal dan niphal yang dapat
diartikan „dengarlah‟ (to listen) atau „dengarlah dengan seksama‟, atau dengarlah
dengan perhatian‟, atau „dengarlah dan taati‟.


‫( י ראל‬Yisrael)

Yisrael merupakan kata benda nama diri maskulin yang biasanya diartikan
sebagai nama bangsa Israel sebagai keturunan Yakub. Yisrael sendiri dapat
diartikan sebagai „ia akan mengatur sebagai allah‟.
‫( י‬YHWH)



YHWH merupakan kata benda nama diri TUHAN. Yahwe merupakan nama
elohim dari bangsa Israel (sekarang Yahudi) yang biasa disebut dengan panggilan
adonay.


‫( אל ינ‬Elohenu)
12

Bible Works 6, SN BW 60-007635

8

Kata ini berasal dari kata dasar Elohym dan merupakan kata benda maskulin
bentuk plural. Elohim merupakan bentuk plural dari el. Dalam bentuk plural, dapat
diartikan sebagai „pengatur‟, „yang suci‟, „allah‟ atau „dewa‟ atau „dewi‟,
sedangkan

dalam bentuk plural intensif dapat diartikan juga sebagai bekerja

sebagai allah, sehingga Elohenu dapat diartikan sebagai allah kita.
‫( אח‬Ekhad)



Ekhad adalah kata sifat yang merupakan turunan dari dari hithpael kata akhad.
Ekhad dapat diartikan sebagai satu (numerik), telah bersatu, pertama, setiap, salah
satu, saja, sendiri, dan „tertentu’.
Usulan Terjemahan:
“Dengarkanlah Israel, Yahwe itu Allah kita, hanya Yahwe saja.”
2.3

Yahwe Itu Esa Dalam Reformasi Yosia
Raja Yosia berkata kepada bangsa Israel yang ada di Utara hanya Yahwe

saja Allah kita. Maksudnya adalah bukan allah lain yang di sembah, tetapi Yahwe
saja yang di sembah. Ekhad tidak memeliki arti numerik atau tidak berbicara
masalah jumlah, bahwa hanya ada satu Allah atau bahwa Allah itu esa. Keesaan
tersebut memiliki makna bahwa YHWH saja Allah yang harus mereka sembah.
Bukan Elohim atau El-El yang ada di Utara.13
Tujuan atau maksud Yosia mengatakan bahwa YHWH saja yang harus
disembah adalah agar Israel Utara menyembah kepada YHWH di Yerusalem.
Dalam ambisinya tersebut Yosia mengangkat hukum Musa. Hukum Musa pada
saat itu adalah hukum-hukum yang mewakili tradisi dari utara dijadikan sebagai
aturan normatif bagi seluruh negeri. Hukum-hukum ini mengikuti pola hukum
tunggal untuk kultus dan daerah pedesaan.14 Sebagai aturan-aturan adat desa
normatif yang telah direvisi dan diangkat menjadi hukum istana dalam periode
Hizkia

dan

kemudian

diperkuat

kembali

dalam

pemerintahan

Yosia,

13

Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), 88
Robert B. Coote & Mary P. Coote, Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 77.
14

9

menjadikannya mendapat dukungan penuh dari kalangan rakyat.15 Mengapa
hukum Musa? Karena dengan mengangkat hukum Musa, berarti Yosia dengan
sengaja menarik simpatik rakyat di Israel Utara yang sangat menjunjung Musa
sebagai tokoh leluhur yang cukup berpengaruh di Utara untuk bersatu dan
bergabung di bawah pemerintahan Yosia. Pelaksanaan hukum ini juga didukung
oleh pemusatan perayaan hari raya Paskah di Yerusalem, sebagai bagian
sentralisasi ibadat.16
Dengan menjadikan Yerusalem sebagai sentralisasi penyembahan terhadap
Yahweh ini mengakibatkan semakin besar kekuasaan Yosia pada saat itu dan
bertambah juga kekuasaan Yosia di Israel Utara.

3

MAKNA ESA DALAM PANCASILA SILA PERTAMA

3.1 Pendahuluan
Perkembangan pemikiran yang berkaitan dengan Konstitusi Negara
Republik Indonesia lazim di hubungkan dengan peristiwa yang terjadi di dalam
Sidang Umum Pertama Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Oleh karena itu maka inventarisasi pemikiran tentang
Pancasila juga dimulai dari masa pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Atas dasar itu maka inventarisasi pemikiran mengenai Pancasila ini dibagi
ke dalam liama periode: Periode Pertama, meliputi pemikiran-pemikiran tentang
Pacasila selama masa sidang BPUPKI (29 Mei 1945–17 Juli 1945). Periode Kedua,
pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama masa berlakunya UUD 1945 yang
pertama (18 Agustus 1945–26 Desember 1949). Periode Ketiga, pemikiranpemikiran tentang Pancasila selama masa berlakunya Konstitusi RIS (27 Agustus
1949–16 Agustus 1950). Periode Keempat, pemikiran-pemikiran Pancasila selama
masa berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950–5 Juli 1959). Periode Kelima,

15
16

Ibid, 83.
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, 88-89.

10

pemikiran-pemikiran tentang Pancasila selama masa berlakunya UUD 1945 yang
kedua kalinya (5 Agustus – sekarang).17
Pada Pembukaan sidang tanggal 29 Mei 1945, Dr. R. Wedyodiningrat
selaku ketua Badan Penyelidik dalam pidatonya mengajukan pertanyaan: “Apa
Dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk?” Usaha jawab atas pertanyaan
tersebut memarnai seluruh pembicaraan dalam sidang pertama Badan Penyelidik.18
Tentang dasar negara itu sekurang-kurangnya ada tiga anggota yang
mengemukakan pandangannya, yaitu Muh. Yamin, di dalam pidatonya pada
tanggal 29 Mei 1945, Soepomo di dalam pidatonya pada tanggal 31 Mei 1945, dan
Soekarno, di dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.19

3.2 Pidato Lahirnya Pancasila: Pancasila Soekarno
Pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia. Urutan sila-sila Pancasila Soekarno dalam pidato 1 Juni
1945: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme, atau Perikemanusiaan, (3)
Mufakat, atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan yang
berkebudayaan.20 Tentang prinsip Ketuhanan, Soekarno mengatakan:
Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen
menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, ber-Tuhan menurut
petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya
menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya berTuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoismeagama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen,
dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah
hormat menghormati satu sama lain… Marilah di dalam Indonesia
Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: Bahwa
prinsip daripada negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, ke-

17

A.M.W. Pranakarya, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: Yayasan
Proklamasi dan CSIS, 1985. Cet I), 23.
18
Hatta, dkk., Uraian Pancasila (Jakarta: Mutiara, 1984. Cet II), 25.
19
A.M.W. Pranakarya, Sejarah Pemikiran Tentang Pacasila, 26.
20
Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta: Sekretariatan Negara Indonesia, 1955), 80

11

Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormatmenghormati satu sama lain.21

Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam rangka memahami
Pancasila Soekarno: Pertama, Pancasila Soekarno diusulkan sebagai dasar bagi
sebuah negara-bangsa yang akan merdeka. Dengan kata lain, Pancasila merupakan
fundamen yang dipersiapkan untuk di atasnya akan di bangun sebuah gedung
Indonesia.22 Soekarno menggunakan kata “Gedung Indonesia” untuk menyebut
Negara Indonesia yang dicita-citakan.
kedua, Pancasila Soekarno digagas dari realitas empiris bangsa Indonesia
yang heterogen, sehinggga Indonesia yang merdeka tidak

mempunyai dasar

negara yang berdasarkan pada ras, suku, maupun agama tertentu. Artinya,
Pancasila sebagai dasar negara harus mampu mengakomodasi kepentingan seluruh
lapisan dan golongan masyarakat. Dengan kata lain, Pancasila yang diusulkan
Soekarno bertujuan untuk menggalang serta menciptakan persatuan bangsa
Indonesia. Menurut penjelasan Soekarno: “Pantja Sila adalah … dengan bahasa
Djerman: satu Weltanschauung di atas mana kita meletakkan Negara Republik
Indonesia itu … Pantja Sila adalah satu alat mempersatu, jang saja yakin sejakinjakinnja Bangsa Indonesia … hanyalah dapat bersatu-padu di atas dasar Pantja Sila
itu”.23
Ketiga, Soekarno tidak mengajukan Pancasila sebagai jalan kompromi
untuk menjembatani perbedaan pandangan golongan Nasionalis dengan golongan
Islam. Soekarno menginkan agar Pancasila dapat diterima melalui suatu
persetujuan berssama. Keinginan Soekarno agar Pancasila diterima lewat
persetujuan bersama ini ternyata kemudian mengalami kegagalan, karena baik
angota-anggota Badan Penyelidik maupun Panitia Persiapan terpolarisasi dalam
dua kelompok, yakni golongan Islam dan golongan Nasionalis. Perdebatan dalam
sidang-sidang Badan Penyelidikdan Paniti Persiapan mengarahkan kesepakatan
tentang dasar negara ditempuh dengan jalan kompromi.
21

Ibid. 80-81.
Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka (Jakarta: Inti Idayu Press – Yayasan
Pendidikan Soekarno, 1984), 44.
23
Soekarno, Pantja SIla sebagai Dasar Negara: Kursus-Kursus Presiden Sukarno tentang
Pantja Sila di Istana Negara Djakarta tgl. 26 Mei, 16 Djuni, 22 Djuli, 3 September 1958 dan
Kuliah Umum pada Seminar Pantja Sila di Jogjakarta tgl. 21 Pebr. 1959 (Jakarta: Prapantja, tt), 7.
22

12

Keempat, ide Pancasila Soekarno tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi telah
digumuli sejak masa mudanya. Gagasan-gagasan asli Soekarno dapat ditelusuri
dari beberapa tulisannya sejak tahun 1918. Soekarno meyakini, bahwa bagian
terbesar masyarakat Indonesia terhisab dalam tiga golongan faham, yakni:
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Untuk menggalang persatuan bangsa,
Soekarno berusaha memadukan pikiran-pikiran dari ketiga faham tersebut. Sejak
tahun 1918 Soekarno mulai usahanya untuk mensintesakan faham Nasionalis,
Islamisme, dan Sosialisme.24 Pada tahun 1926 Soekarno berupaya mempersatukan
golongan-golongan faham yang bertentangan melalui tulisannya “Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme.25 Dalam pengembaraan intelektualnya, Soekarno
senantiasa melakukan sintesis antara pengetahuan yang didapat, pengalaman dan
realitas masyarakat tersebut disaring oleh Soekarno untuk kemudian menghasilkan
apa yang di katakana sebagai pemikiran yang khas Soekarno, berupa sintesa dari
hal-hal yang ditemuinya.26
Setelah mengajukan empat sila pertama, Soekarno mengusulkan prinsip
yang terakhir: “bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah Ketuhanan yang
berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbukti pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormatmenghormati satu sama lain”.27
Sejauh masih dalam kerangka pikir Soekarno, sila Ketuhanan bertujuan
untuk mendorong terciptanya persatuan di lingkungan agama-agama yang
beranekaragam itu.28 Badingkan dengan pernyataan Soekarno, bahwa Pancasila
adalah alat yang membersatukan, baik fisik (territorial) maupun jiwa/semangat
(dalam perjuangan kemerdekaan) bangsa Indonesia. Dalam keterangan selanjutnya
Soekarno mengatakan bahwa: “Kalau kita mengetjualikan elemen agama ini, kita
membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia
dengan cara jang semesra-mesranja” Soekarno menegaskan, bahwa: “Jikalau
24

Ismaun, Tindjauan Pancasila: dasar Filsafat Negara Republik Indonesia (Bandung:
Carya Remadja, 1970), 104.
25
Sukarno, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, (Suluh Indonesia Muda, 1926) dalam
Di Bawah Bendera Revolusi I (Jakarta: Panitya Penerbitan Di Bawah Bendera Revolusi, 1963), 123.
26
Bandingkan Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia (Jakarta: LP3ES,
1982), 80-89.
27
Bahar, Risalah…, 81.
28
Soekarno, Pantja Sila sebagai Dasar Negara, 7, 49.

13

bangsa Indonesia tidak bersatu … tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan
menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya sampai ke akhir zaman”.29
Penegasan Soekarno bahwa sila Ketuhanan berfungsi sebagai pengikat
keseluruhan rakyat Indonesia tanpa keterkaitan kepada suatu ajaran agama,
menyebabkan sila Ketuhanan lebih dapat diterima sebagai landasan politik untuk
menghimpun dan mempersatukan bangsa Indonesia terutama agama-agama yang
diharapkan dapat bersatu dan bekerja sama demi tercapainya Indonesia merdeka.
Sila Ketuhanan adalah jaminan bahwa di lingkungan Negara Indonesia Merdeka,
agama mempunyai tempat yang sebaik-baiknya dan masing-masing agama punya
hak serta kewajiban yang sama terhadap negara-bangsa Indonesia.
Soekarno kemudian menyimpulkan bahwa “mengingat ini semua, … kita ini
harus satu rakyat jang mempunjai kepercajaan. Dus, kalau aku memakai keTuhanan sebagai pangikat keseluruhan, tentu bisa diterima “selanjutnya ditegaskan
bahwa “ … pada garis besarnya rakyat Indonesia ini pertjaja kepada Tuhan.
Bahkan Tuhan … jang kita kenal di dalam … agama kita. Dan formulering Tuhan
Jang Maha Esa bisa di terima oleh semua golongan agama di Indonesia ini”.30
3.3 Piagam Jakarta
Dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang menentukan berlakunya
kembali Undang-undang Dasar 1945 bagi seluruh tumbah darah Indonesia,
terdapat pula menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan
pernyataan, bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang beranggotakan,
Soekarno, Moh. Hatta, Maramis, Abikusno Tjokrosoejono, Abdulkarim Moezakir,
H.A. Salim, Ahmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Yamin, suatu rangkaian
kesatuan dengan Kontitusi tersebut. Maksud Dekrit Presiden itu ialah untuk
mengadakan Dekrit itu ialah disebut “hubungan Piagam Jakarta dengan Undangundang Dasar 1945”.31
Dalam piagam ini, Pancasila versi Soekarno dirumuskan kembali sebagai
sebagai berikut:
29

Saafroedin Bahar, Risalah Sidang…, 84.
Soekarno, Pantja Sila sebagai Dasar Negara, 44-49.
31
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Bina Aksara. 1984), 68. Lihat
juga Bahar, Risalah Sidang, 216.
30

14



Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemelukpemeluknya.



Kemanusian yang adil dan beradap.



Persatuan Indonesia.



Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.



Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari‟at bagi pemeluknya” tetap

menjadi

cita-cita

umat

Islam,

karena

aturan-aturan

tentang

bagaimana

menerapkannya secara menyeluruh dalam kehiduapan mereka belum berhasil.
Ketika itu, kelompok Nasionalis-Muslim menempatkan cita-cita mereka sebagai
hal utama, sementara kebijakan-kebijakan mengenai penerapan cita-cita ini baru
dirumuskan kemudian. Apapun yang mungkin terjadi, kalimat “ dengan kewajiban
menjalan syari‟at bagi pemeluknya” segera menimbulkan keberatan yang
mendalam, khususnya dari kelompok Kristen. Pada tanggal 11 Juli 1945,
Latuharhary, seorang pengikut Protestan yang setia dan anggota dari BPUPKI,
mengekspresikan keberatannya dengan mengatakan bahwa konsekuensi kalimat
Islamis tersebut mungkin akan besar, terutama berkaitan dengan agama-agama
lain, dan akan menghasilkan kesulitan-kesulitan berkaitan dengan hukum adat.32
Tentang Piagam Jakarta itu didalam lampiran suatu Keputusan Dewan
Pertimbangan Agung ditambahkan keterangan, bahwa “perwujudan daripada
realisasinya tidak mengurangi ketentuan-ketentuan, yang termaktub dalam
Undang-undang Dasar fasal 29 ayat (2) yang berbunyi: Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya”. Untuk jelasnya kita
tambahkan, bahwa ayai (1) daripada pasal 29 yang dijelaskan lebih lanjut, dalam
ayatnya (2) itu ialah berbunyi: “Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha
Esa.”
3.4 Pernyataan Indonesia Merdeka
32

Ibid, 47.

15

Pemahaman sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pernyataan Indonesia
Merdeka tidak ini pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang dipahami dalam
Piagam Jakarta. Bahkan terkesan makin kuat masuknya gagasan-gagasan Islami
dalam Pembukaan UUD Indonesia. Karena, kata Bismilah yang di tempatkan di
atas Pembukaan, tidak dapat dipahami sekedar suatu kebiasaan kaum Muslim
ketika hendak melakukan sesuatu. Karena dengan penempatan itu, kata
“Bismillah” akan menjadi pintu masuk yang harus dilalui orang ketika hendak
memahami Pembukaan yang menyebabkan paham Islam menjiwai seluruh isi
Pembukaan. Hal itu jelas akan mempengaruhi “ jiwa” Pembukaan UUD secara
menyeluruh. Dengan demikian, dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan
juga dijiwai oleh paham Islam. Jadi, Penggunaan kata Bismillah ini menegaskan
semakin kuatnya gagasan Islam mempengaruhi Pembukaan,33 terutama bila
dikaitkan dengan sila Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.
Pembahasan tentang Pernyataan Indonesia Merdeka dan Pembukaan,
rumusan sila Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya

dipersoalkan

kembali.

Hadikoesoemo

dan

Sanoesi

mengusulkan agar frase kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus saja,34
sehingga rumusannya menjadi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam”. Tetapi Soekarno menolak usul tersebut dengan alasan bahwa rumusan
tersebut merupakan hasil kompromi antara golongan kebangsaan dan Islam.35
Penambahan tujuh kata itu menimbulkan polemik. Pada tanggal 17 Agustus
1945 Agustus 1945 sore, Hatta menerima kunjungan seorang perwira angkatan
Laut Kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan dari penduduk Indonesia
Timur. Kalangan Katholik dan Protestan mengakui bahwa kalimat semacam itu
(tujuh kata) hanya diterapkan bagi umat Isalam, mereka menganggapnya sebagai
diskriminasi terhadapa semua golongan minoritas. Mereka tidak bisa menerima
dimuatnya Piagam Jakarta pada Mukadimah Undang-undang Dasar. Jika tidak

33

Bahar, Risalah Sidang…, 214.
Ibid, 241.
35
Ibid, 241-242.

34

16

berubah, mereka siap untuk tidak bergabung dengan Republik yang baru berumur
sehari itu.36
Dalam sidang PPKI yang berlangsung 18 Agustus 1945, terjadi perdebatan
di alinea ketiga tentang nama Yang Maha Kuasa yang memberkati kemerdekaan
Indonesia. Sesaat menjelang berakhirnya pembahasan pembukaan UUD 1945,
Soekarno selaku pimpinan sidang menawarkan apakah ada perubahan pada redaksi
pembukaan UUD 1945. I Gusti Ketut Pudja, salah satu anggota PPKI kemudian
mengusulkan agar kata “Allah” diganti dengan “Tuhan”.37
Keberatan dari wakil Indonesia Timur itu kemudian dapat di usahakan
penyelesaiannya oleh Bung Hatta dengan memanggil empat anggota PPKI yang
dianggap mewakili Islam; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku
Mohammad Hasan dan Wahid Hasyim. Hatta menyampaikan keberatan dari
masyarakat di Indonesia Timur tentang idiom Islam dalam Mukaddimah Undangundang Dasar. Wahid Hasyim kemudian mengusulkan agar rumusan tujuh kata itu
diganti dengan Yang Maha Esa. Penambahan kata Esa menggaris bawahi keesaan
Tuhan (Tauhid) yang tidak terdapat pada agama lain.38 Hal ini akan menimbulkan
masalah, karena dalam umat Kristen adanya konsep tentang Trinitas dan umat
Hindu mengenal konsep Politheisme.39 Dalam hal ini keTuhanan Yang Maha Esa
dalam Pancasila sangat berbau Islamis.
Dengan demikian makna Esa dalam Pancasila Sila Pertama keTuhanan
Yang Maha Esa adalah bersifat numerik (Tauhid) dalam arti Monotheisme.

4.

ANALISA TERHADAP KONSEP TUHAN ITU ESA
MENURUT KITAB ULANGAN 6:4 DENGAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA DALAM PANCASILA

36

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama (Yogyakarta, Pt. Tiara Wacana,

1999), 49.
37

Bahar, Risalah Sidang…, 419.
Andre Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian isi, Bentuk dan Makna ( Yogyakarta:
LKiS, 2009), 34-35
38

John A. Titaley, “A Sociohistorical Analysis of the Pancasila as Indonesia’s State
Ideology in the Light of the Royal Ideologi in the Davidic State”, Thesis (Th. D. Graduate
Theological Union, Berkeley, 1991), 71.
39

17

Pada bab-bab sebelumnya sudah diceritakan tentang tujuan-tujuan
Reformasi Yosia yang hal utamanya adalah menyatukan Israel Utara dan Israel
Selatan. Yosia dalam cita-citanya membawa bangsa Israel kembali kepada
kesatuan yang pernah dialami sejak zaman Daud berkuasa. Dalam mewujudkan
Reformasi Yosia untuk menyatukan Israel Utara dan Israel Selatan Yosia
melegitimasi hukum dengan menggunakan figur Musa. Mengapa Musa? Karena
pada saat Israel bersatu yang menjadi figur/bapak leluhur dari Israel bersatu yang
berperan pada saat itu adalah Musa. Yosia ingin mendapatkan simpati oleh rakyat
Israel Utara. Oleh karena itu Yosia memakai Figur Musa untuk menyatukan
kembali bangsa Israel.
Dalam analisa yang dilakukan terhadap Ulangan 6:4, telah penulis
ungkapkan bahwa kata ekhad yang menjadi persoalan dalam penelitian ini, ekhad
berarti saja. Ekhad disini tidak bersifat numerik atau dihitung secara matematis.
Dalam Alkitab bahasa Indonesia kata ekhad diartikan satu, seharusnya
diterjemahkan dengan kata “saja”.
Dalam Pancasila sila pertama, yaitu keTuhanan Yang Maha Esa makna
kata Esa bersifat numerik dalam arti Monotheisme.
Setelah melihat penjelasan tentang makna “Esa” dalam kitab Ulangan 6:4
dengan Pancasila Sila pertama yaitu, keTuhanan Yang Maha Esa kedua-duanya
tidak bisa dibandingkan.

18

Kesimpulan


Makna kata Ekhad dalam kitab Ulangan 6:4 adalah „saja‟ Ekhad disini
tidak bersifat numerik atau dihitung secara matematis.



Makna kata Esa dalam Pancasila sila pertama, keTuhanan Yang Maha Esa
adalah bersifat numerik dalam arti Monotheisme.



Setelah melihat penjelasan tentang makna “Esa” dalam kitab Ulangan 6:4
dengan Pancasila Sila pertama yaitu, keTuhanan Yang Maha Esa keduaduanya tidak bisa dibandingkan. Kenapa? Karena makna dari kedua-duanya
sudah berbeda dalam kitab Ulangan 6:4 makna kata “Esa” itu tidak bersifat
Numerik (angka), melainkan dalam Pancasila Sila pertama keTuhanan
Yang Maha Esa makna kata “Esa” itu bersifat Monotheis (satu).

Saran
Pancasila sebagai pengikat kemajemukan yang terjadi di Indonesia harus
benar-benar di jiwai oleh setiap warga Indonesia. Pancasila milik kita semua
(warga Indonesia), bukan milik perorangan atau golongan yang mempunyai
kepentingan di dalamnya. KeTuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai secara
nasional dan dengan kepercayaan agamanya masing-masing, bukan hanya makna
keIslaman (Tauhid). Dalam hal ini Pancasila, khususnya Sila pertama keTuhanan
Yang Maha Esa harus di kaji ulang lagi dan menemukan pemaknaan yang nasional
(bersama) bukan satu agama saja.

19

Daftar Pustaka

Alfian. Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1982.
Alim, Muhammad. Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam. Yogyakarta,
LKiS, 2010.
Anderson, Bernhard W (ed). The Books of The Bible. New York: Charles Sribner‟s
Son, 1989.
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh
Orang-Orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4.000 Tahun.
Bandung: Mizan, 2003.
Bahar, Saafroedin, Nannie Hudawati (eds.). Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945 – 22 Agustus
1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.
Blommendaal, J. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1998.
Coote, Robert B & David Robert Ord. Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan
Alkitab: Suatu Pengantar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
_________. Apakah Alkitab Benar?: Memahami Kebenaran Alkitab pada Masa
Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

20

Cross, Frank Moore. Canaanite Myth and Hebrew Epic: Essay in the History of the
Religion of Israel. Massachusetts: Harvard University Press, 1973.
El Muhammady, Usman T.M. Ilmu Ketuhanan Yang Maha Esa. Jakarta, Pustaka
Agussalim, 1963.
Feillard, Andre. NU vis a vis Negara: Pencarian isi, Bentuk dan Makna.
Yogyakarta: LKiS, 2009
Ismail, Faisal. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama. Yogyakarta, Pt. Tiara
Wacana, 1999.
Ismaun. Tindjauan Pancasila: dasar Filsafat Negara Republik Indonesia.
Bandung: Carya Remadja, 1970.
Moleong, Lexi. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1995.
Notonagoro. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bina Aksara. 1984.
Pamono R. Pancasila Dasar Negara Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset, 1984.
Panitia Lima: Moh. Hatta, A. Subardjo Dj., A.A. Maramis, dkk., Uraian
Pancasila. Jakarta:
Mutiara, 1980.
Pranakarya, A.M.W. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. Jakarta: Yayasan
Proklamasi dan CSIS, 1985.
Sukarno. Mencapai Indonesia Merdeka. Jakarta: Inti Idayu Press – Yayasan
Pendidikan Soekarno, 1984.
_______, Pantja-Sila Sebagai Dasar Negara, Jilid IV-V. Jakarta: Kementrian
Penerangan
RI, 1958.
_______. Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Suluh Indonesia Muda, 1926.
21

Titaley, John A. “A Sociohistorical Analysis of the Pancasila as Indonesia‟s State
Ideology in the Light of the Royal Ideologi in the Davidic State”.
Thesis Th. D. Graduate Theological Union, Berkeley, 1991.
Wahono, Wismoady. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Alkitab, Kamus
Alkitab Ibrani-Indonesia. Jakarta, Lembaga Alkitab Indonesia, 1999.
Biblia Hebranica Stutgartensia. Stuttgart, Deutsche Bibelgesellschaft, 1967.
Bible Works 6, SN BW 60-007635

22

23