T1 802010072 Full text

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI ORANGTUA-ANAK MENGENAI SEKS
DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH
PADA REMAJA DI PEDESAAN

OLEH:
Maria Stefani Zega
80 2010 072

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
2014

ffi

PERPUSTAxAAN UNIvERSITAS

UNIYERSITAS KNSTEN SATYA WACANA
Jl. Diponegorc 52 - 50 Salatiga 5071 I
Telp. 0298

-

Email: libmry@7dm.uksw-edu

lawa Tengah, Indresia
321212, Fu. 0298 321433
;

htq://library-ukv,edu

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

reGA


Narna

: MATTIA STEFANI

NIM

:8024rc072

Email

Fakultas

: PSTKOLOGT

Program

Judul tugas akhir

:


:

mariastefanizega@gmail.com

Studi : PSIKOLOGI

HUBUNGAN ANTARA KOML]NIKASI ORANGTUA-ANAK MENGENAI SEKS

DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA DI PEDESAAN

ini

non-elxklustf kepafu Perpustakaan Universitas - Universias Kristen Satya
menyimpan,
mengatur
akses serta melakukan pengelolaan terhadap karya saya ini dengan
Wacana untuk
mengacu pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai):

Dengan


saya menyerahkan hak

E a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas,
dan/atm portal GARUDA

n b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan
dan/atau portal GARUDA*

Universitaso

*

ij* n;i;an;;i,i;i'iii;:i;i;;;;';;A;;:A:;;t;;E;;;;:F;;;;j;;,-;;;itE';i;;-;;:;i';;i;;;w;;;,il;;;;i;i;ili;i;;;:;t;i;;di;W*i

i Repsitori Perpustakaan Universitas saat mengwnptlkan hasil karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebu. i
i"* Honya okan newmpilkan twlamut judul dan absoak Pilihar, ini lwvs ditantpiri dengan pryielasanl alasan @anis fui pnbinbing Mi
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnyaSalatiga | &S€&tr&r*20

t


+

I

r4A#.{A siEF4N( 7A64
& nama temng mlwsiwa

Mengetahui,

MA
Tnwln tmom ,$ nma t"frno tufrhimhiuo

Ratriana
I

TmrLt

Y


,mm

M.Si., Psi
,&

nmo ,amw rctuhibhino ,l

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI ORANGTUA-ANAK MENGENAI SEKS
DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH
PADA REMAJA DI PEDESAAN

Maria Stefani Zega
Berta E.A. Prasetya
Ratriana Y.E. Kusumiati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
2014


PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi dari masa anak-anak
menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional
(Santrock, 2007). Definisi yang dirumuskan oleh WHO, remaja adalah suatu masa
ketika individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu mengalami
perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak- kanak menjadi dewasa,
terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang
relatif lebih mandiri (Sarwono, 2006). WHO membagi kurun usia remaja dalam dua
bagian yaitu remaja awal dengan usia 10-14 tahun dan remaja akhir dengan usia 15-20
tahun.

Dalam

masa

ini


remaja

mengalami

masa

eksplorasi

seksual

serta

mengintegrasikan seksualitas kedalam identitas seseorang. Perkembangan yang terjadi
pada masa remaja salah satunya memiliki keinginan untuk berkencan atau ketertarikan
pada lawan jenis, dibarengi dengan berkembangnya hormon-hormon dan organ seksual
primer maupun sekunder pada masa remaja (Santrock 2003, 2007).
Realita yang terjadi di masyarakat, remaja berperilaku cukup ekstrem dalam
menjalin hubungan dengan lawan jenis dan ini yang menjadi permasalahannya bahwa
semakin maraknya premarital sexual atau perilaku seksual pranikah di kalangan remaja.
Seperti halnya yang tersorot oleh media yaitu sebanyak 62,7% remaja SMP kehilangan

virginitasnya dan 21,2% remaja mengaku pernah aborsi dan perilaku seks bebas pada
remaja tidak hanya tersebar di kota tetapi juga di pedesaan (Survei Komnas
Perlindungan Anak www.seputar-indonesia.com, dalam kompasiana 24/2-2012). Selain
itu data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang diungkapkan
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri
Syarif pada Selasa (12/2) di gedung Pengurus PBNU jalan Keramat Raya, Jakarta Pusat
menemukan sebanyak 1% remaja perempuan dan 6 % remaja laki-laki menyatakan
pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Fakta seks bebas ini diperkuat dengan
data kementrian kesehatan, dimana 35,9% remaja mempunyai teman yang sudah pernah
melakukan hubungan seks pranikah dan bahkan 6,9% responden telah melakukan
hubungan seks pranikah (Kompasiana, 2013). Semua remaja memiliki kehidupan seks,

baik dengan diri mereka sendiri atau dengan orang lain. Pertanyaannya adalah apakah
mereka memiliki pengetahuan mengenai seks, yang mana perilaku seks memiliki efek
bagi kesehatan remaja. (Ponton, 2000, hal. 2).
Free sex (seks bebas, pergaulan seks di luar pernikahan) awalnya mulai terlihat di
Amerika Serikat dan di United Kingdom (Kerajaan Inggris) sejak tahun 1960-an
meliputi dari anak-anak SMP (Junior High School), SMA (Senior High School),
universitas dan di antara teman sebaya di luar sekolah (Sadily, 1984:154). Perilaku
seksual pranikah yang dilakukan remaja yaitu segala tingkah laku remaja yang didorong

oleh hasrat, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan sebelum
adanya hubungan resmi sebagai suami istri. Bentuk-bentuk perilaku ini umumnya
bertahap dimulai dari tingkat yang kurang intim sampai dengan hubungan intim, seperti
bepegangan tangan, memeluk, ciuman, meraba daerah erogen, sampai pada hubungan
seksual (Soetjiningsih, 2008). Survey yang dilakukan pada tahun 2006 dengan
mengambil sampel 500 responden siswa SMP dan SMA yang menunjukkan 18,8%
kasus HIV/AIDS di kota Kupang terjadi pada remaja usia 15-24 tahun, 318 kasus IMS
pada remaja berusia 11-24 tahun dengan orientasi seksual (gay) dengan tingkat
pengetahuan kesehatan produksi IMS dan HIV/AIDS masih sangat rendah (Kompas, 23
Januari 2009).
Dari realita yang terjadi di masyarakat, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku
seksual pranikah bukan hal yang asing dalam lingkungan remaja saat ini dan cenderung
semakin meningkat (Central for Disease Control and Prevention, 2000). Perilaku
seksual pranikah atau premarital sexual merupakan topik pembicaraan yang tiada
hentinya dimasyarakat, karena jika melihat dampak perilaku seksual yang dilakukan
remaja, memiliki efek yang beruntun (multiplying effect) antara lain: rasa bersalah atau
berdosa, menyesal, self-respect rendah, emosi negatif, kehamilan yang tidak diinginkan,
rentan terhadap penyakit menular seksual, HIV/AIDS dan aborsi (Soetjiningsih, 2008),
tentu saja hal ini menjadi salah satu faktor yang menghambat upaya peningkatan
kualitas remaja sehingga perilaku seksual pranikah remaja sangat perlu untuk diatasi.

Secara garis besar, perilaku seksual pranikah remaja dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti faktor internal (biologis, psikologis, moral), dan faktor eksternal atau
faktor yang berasal dari lingkungan, seperti kebudayaan, media massa, pengaruh orang

lain yang dianggap penting (Azwar (1998). Faktor lain dari perilaku seksual pranikah
adalah remaja berkeinginan mendapatkan status sebagai orang dewasa, dimana mereka
merasa bebas (Sharon, 2002). Selain itu hasil dari beberapa penelitian, seperti yang
dilakukan oleh Soetjiningsih (2008), yang menjadi faktor perilaku seksual pranikah
adalah hubungan orangtua remaja, self-esteem, tekanan teman sebaya, religiusitas serta
media pornografi sebesar 79% dan peneliti menekankan bahwa hubungan antara
orangtua-anak ini menjadi faktor langsung dan tak langsung dalam perilaku seksual
yang remaja lakukan, serta menjadi faktor yang paling besar dibanding keempat faktor
lainnya. Dapat diartikan dalam hubungan yang baik antara orangtua dan anak terdapat
kualitas komunikasi yang baik. Penelitian lain yang dilakukan di Amerika menunjukkan
bahwa informasi yang akurat mengenai seks sangat mungkin untuk mengurangi perilaku
seksual remaja. Informasi akurat mengenai seks ini tentu didapatkan terlebih dahulu dari
dalam keluarga yaitu adanya komunikasi yang efektif orangtua-remaja mengenai
masalah seksualitas remaja (Holtzman & Robinson, 1995). Dengan adanya komunikasi
orangtua-remaja mengenai seksualitas, remaja diharapkan bertanggung jawab atas
perilaku seksualitas mereka. (Raffaelli, Bogenschneider,1998).
Keluarga merupakan tempat dimana seorang remaja mendapatkan informasi,
komunikasi yang dibangun dalam keluarga memberikan rasa nyaman, kedekatan dengan
orangtua serta keterbukaan dalam hal seksual bagi remaja, dan penting bagi remaja
untuk memiliki komunikasi yang baik dalam keluarganya dimana remaja mendapatkan
arahan dalam masa perkembangannya (Family Communication, 2005). Komunikasi
yang terbentuk dalam keluarga bukan hanya untuk memberikan informasi tetapi tidak
ada jarak antara orangtua dan anak untuk berkomunikasi dalam hal apapun termasuk
seks. Komunikasi seks dalam keluarga merupakan interaksi verbal mengenai seks di
lingkungan keluarga yang didalamnya terdapat informasi mengenai seks, kenyamanan
dari orangtua untuk membicarakan seks pada anak atau sebaliknya saat anak terbuka
untuk membicarakan seksualitasnya, dan adanya nilai, dimana remaja menganggap
bahwa keluarga merupakan tempat yang tepat untuk belajar mengenai seks (Warren&
Neer, 1982, 1983).
Saat komunikasi orangtua-anak terbangun atau terjalin dengan baik maka semakin
rendah pula perilaku seksual pranikah remaja. Pernyataan ini dibuktikan dalam

penelitian yang dilakukan Evidanika (2013) bahwa komunikasi orangtua yang
berdampak pada pengetahuan remaja mengenai seksual dapat mempengaruhi
terhindarnya perilaku seksual pranikah sebesar 35, 1%. Sama halnya dengan penelitian
di desa Turi, Lamongan Jawa Timur yang menunjukkan bahwa komunikasi orangtua
remaja dapat menghindarkan remaja dari perilaku seksual pranikah hal ini dikarenakan
antara orangtua dan anak terjalin hubungan atau komunikasi yang intensif sehingga
memungkinkan terjadinya diskusi, sharing, dan pemecahan masalah bersama (Laily &
Matulessy, 2004).
Penjelasan diatas menunjukkan komunikasi dalam keluarga membawa dampak
yang besar atas perkembangan remaja, dimana komunikasi orangtua-anak turut berperan
untuk menentukan terjadinya perilaku seksual pranikah. Orangtua adalah sumber
penting yang hilang dalam upaya memerangi perilaku seksual sehingga menyebabkan
kehamilan pada remaja dan penyakit menular seksual (Brock & Jennings, 1993; Frans,
dkk., 1992).
Dalam penelitian ini, hipotesis sementara menyatakan bahwa komunikasi
orangtua-anak mengenai seks merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
perilaku seksual pranikah remaja karena dalam komunikasi antara orangtua-anak
mengenai seks di dalamnya terdapat kenyamanan dari orangtua untuk membicarakan
seks pada anak atau sebaliknya saat anak terbuka untuk membicarakan seksualitasnya,
dan adanya nilai, dimana remaja menganggap bahwa keluarga merupakan tempat yang
tepat untuk belajar mengenai seks. Jika komunikasi orangtua-anak mengenai seks dapat
mempengaruhi perilaku seksual pranikah remaja, apakah hal ini juga berlaku di daerah
pedesaan yang masih kental dengan norma-norma sosial? Bagaimana dengan orangtua
yang mungkin terbatas untuk memberikan informasi mengenai seks dan topik mengenai
seks menjadi hal yang tabu atau kurang nyaman untuk dibicarakan bagi keluargakeluarga yang berada di pedesaan? Berdasarkan realita yang terjadi, maka maka peneliti
mengangkat hal tersebut untuk diteliti lebih lanjut, yaitu mengenai komunikasi
orangtua-anak mengenai seks dengan perilaku seksual pranikah remaja di pedesaan.
Dalam penelitian ini terdapat batasan teoritis dari perilaku seksual pranikah.
Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual
dengan lawan jenisnya mulai dari perasaan tertarik sampai dengan tingkah laku

berkencan, bercumbu, sampai bersenggama (Sarwono, 2000). Dalam defenisi yang lain
perilaku seksual pranikah diartikan sebagai kegiatan seksual yang melibatkan dua orang
yang saling menyukai atau saling mencintai, yang dilakukan sebelum perkawinan
(Indrijati, 2001). Selain itu Dhede (2002) menambahkan bahwa seks pranikah
merupakan perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi
menurut hukum maupun agama dan kepercayaan masing-masing individu. Jadi dapat
disimpulkan segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual dengan
lawan jenisnya yang dilakukan oleh remaja sebelum mereka menikah (Soetjiningsih,
2008).
Aspek perilaku yang terdapat dalam perilaku seksual pranikah dapat dilihat dalam
tahap-tahap perilaku seksual yang diberikan oleh Soetjiningsih (2008):
a. Berpegangan tangan
b. Memeluk/dipeluk bahu
c. Memeluk/dipeluk pinggang
d. Ciuman bibir
e. Ciuman bibir sambil berpelukan
f. Meraba/diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan
berpakaian
g. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian
h. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian
i. Meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian
j. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian
k. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa berpakaian
l. Hubungan seksual
Sedangkan menurut Reiss (1967)

ada beberapa dimensi afeksi dalam

perilaku seksual pranikah remaja, yang terbagi menjadi tiga, yaitu:

a.

Petting - yaitu perilaku seksual dengan merangsang lebih intim daripada
berciuman dan berpelukan sederhana, tetapi tidak termasuk intercouse.

b.

Strong Affection - yaitu rasa sayang yang lebih kuat dari daya tarik fisik
atau rasa suka, tapi belum sampai pada rasa cinta.

c.

Cinta – yaitu keadaan emosional yang lebih intens daripada kasih sayang.

Sedangkan definisi dari komunikasi merupakan suatu proses, bahwa komponenkomponennya saling terkait, dan bahwa para komunikatornya beraksi, bereaksi sebagai
suatu kesatuan atau keseluruhan mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih
yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi
dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk
melakukan umpan balik (Devito, 2011). Komunikasi mengenai seks dapat diartikan
sebagai interaksi verbal mengenai seks di lingkungan keluarga dengan rasa nyaman
yang didalamnya terdapat informasi mengenai seks. Orangtua membicarakan seks pada
anak atau sebaliknya saat anak terbuka untuk membicarakan seksualitasnya, dan adanya
nilai dimana remaja menganggap bahwa keluarga merupakan tempat yang tepat untuk
belajar mengenai seks (Warren& Neer, 1982, 1983).
Komunikasi selalu memiliki efek atau dampak atas satu atau lebih orang yang
terlibat dalam tindakan komunikasi. Pada setiap tindakan komunikasi selalu ada
konsekuensi. Berikut efek dari komunikasi dalam Devito (2011):
a. Memperoleh pengetahuan atau belajar bagaimana menganalisis, melakukan
sintesis atau mengevaluasi sesuatu.
b. Memperoleh sikap baru atau mengubah sikap, keyakinan, emosi, perasaan dan
dampak afektif.
c. Memperoleh cara-cara atau gerakan baru seperti cara melemparkan bola atau
melukis, dan nonverbal atau dengan kata lain ini adalah ini adalah dampak
psikomotorik.
Adapun dimensi komunikasi orangtua-anak mengenai seks yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan aspek yang dikemukakan oleh (Warren& Neer, 1982,
1983):
a. Komunikasi yang nyaman (Kenyamanan)
Komunikasi yang nyaman mencakup 6 hal penting untuk mengukur tingkat
keterbukaan dimana seks didiskusikan dalam keluarga. Sebagai contoh (aku dapat

memberitahukan orangtuaku hampir semua hal yang berkaitan mengenai seks, dan
aku merasa bebas bertanya pada orangtuaku pertanyaan mengenai seks).
Komunikasi yang nyaman menjadi bagian dari dimensi untuk mengukur hal ini
karena kehangatan dan situasi yang mendukung adalah pengalaman yang positif
dari anak dan hal yang esensi dari terbukanya jalan komunikasi terutama untuk
bertukar informasi antara orangtua dan anak (Roberts, Kline & Gagnin, 1978).
b. Informasi
Mencakup 6 pernyataan yang mengukur pandangan dari sejumlah informasi yang
dipelajari dan dibagikan selama diskusi. Seperti: aku merasa lebih baik
mendapatkan informasi jika aku berbicara dengan orangtuaku mengenai seks dan
sebagian besar yang aku tahu mengenai seks berasal dari diskusi dengan keluarga.
Dimensi ini dimasukkan karena diskusi keluarga, dirasa lebih mendalam, yang
seharusnya menyediakan berbagai informasi yang cukup sehingga rumah dapat
berfungsi sebagai tempat awal pembelajaran seks (alter, Baxter, Cook, Kirby,
&wilson, 1982).

c. Nilai
Dimensi nilai juga mencakup 6 pernyataan. Penyataan ini mencakup semua
pandangan yang penting dalam siklus pembelajaran seks. Seperti rumah
seharusnya menjadi tempat awal untuk mempelajari seks dan seks seharusnya
menjadi salah satu topik yang penting bagi orangtua dan anak untuk didiskusikan.
Dimensi ini dimasukkan karena dipercaya bahwa pembahasan dalam keluarga
memberikan nilai yang berdampak dalam jangka panjang sampai untuk generasi
berikutnya mengenai seks.
Istilah remaja atau adolescence berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang
berarti timbul menjadi dewasa. Remaja atau adolescence memiliki arti yang sangat luas
mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1999). Selanjutnya
Papalia & Olds (dalam Santrock, 2002) berpendapat bahwa masa remaja merupakan
masa antara kanak-kanak dan dewasa dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir

pada usia belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Dapat disimpulkan bahwa masa
remaja adalah masa dimana seseorang mengalami transisi dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa yang disertai dengan adanya perubahan fisik, kognitif, psikososial
dan dorongan-dorongan emosionalitas terhadap lawan jenis. Dalam penelitian ini
batasan usia yang dipakai adalah remaja tengah menurut Monks, Knoers, dan Haditono
(2006) yaitu 15-18 tahun.
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1990), tugas perkembangan masa remaja
antara lain:
a. Menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis. Disatu sisi, ia harus
dapat memenuhi kebutuhan dorongan biologis, namun bila dipenuhi hal itu
pasti akan melanggar norma sosial. Dengan demikian, dirinya dituntun untuk
dapat menyesuaikan diri dengan baik
b. Belajar bersosialisasi sebagai seorang laki-laki maupun perempuan. Pergaulan
dengan lawan jenis ini sebagai suatu hal yang dianggap penting, karena
dianggap sebagai upaya untuk mempersiapkan diri guna memasuki kehidupan
pernikahan nanti
c. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orangtua dan orang dewasa
lainnya.
d. Remaja bertugas untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab
e. Memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomi
Dengan telah matangnya organ-organ seksual pada remaja maka akan
mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Masalah mengenai seksual
pada remaja adalah berkisar tentang bagaimana mengendalikan dorongan seksual,
konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya
“ketidaknormalan” yang dialaminya berkaitan dengan organ-organ reproduksinya,
pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi, dan sebagainya (Santrock,
2003, Hurlock, 1991).

Dalam masa ini, seorang remaja perlu mengetahui tentang masalah seksualitas
namun terkadang remaja mendapat hambatan dari orangtua, dikarenakan seks sering
kali dianggap tabu dan jarang dibicarakan dalam keluarga. Sebuah studi penelitian yang
dilakukan mengenai komunikasi mengenai seks dalam keluarga oleh Dr Joy Koesten
dan rekan (dalam Noland, 2010) menegaskan bahwa kompetensi komunikasi yang
penting bagi perkembangan remaja dan cenderung untuk dikembangkan di dalam
keluarga, yang menekankan pada intensitas percakapan tinggi dan memberikan anakanak banyak kesempatan untuk berpartisipasi serta memberikan ide dalam percakapan
keluarga. Komunikasi yang terbentuk dalam keluarga bukan hanya untuk memberikan
informasi tetapi tidak ada jarak antara orangtua dan anak untuk berkomunikasi dalam
hal apapun termasuk seks. Namun apakah hal ini juga berlaku didaerah pedesaan, jika
melihat data dalam berita perilaku seks bebas pada remaja tersebar di kota dan desa
pada tingkat ekonomi kaya dan miskin, 62,7% remaja wanita tidak memiliki virginitas
lagi (Survei Komnas Perlindungan Anak-seputar-indonesia.com, 24/2-2012).
Desa secara umum dapat didefinisikan sebagai sebuah aglomerasi pemukiman di
area pedesaan. Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di
Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Defenisi lain sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyrakat setempat, berdasarkan asal-usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut tingkat perkembangannya desa dibagi menjadi beberapa jenis:
a. Desa Swadaya adalah desa yang memiliki potensi tertentu tetapi dikelola
dengan sebaik-baiknya, dengan ciri:
1. Daerahnya terisolir dengan daerah lainnya
2. Penduduknya jarang
3. Mata Pencaharian homogen bersifat agraris
4. Bersifat tertutup

5. Masyarakat memegang teguh adat
6. Teknologi masih rendah
7. Sarana dan prasarana sangat kurang
8. Hubungan antarmanusia sangat erat
9. Pengawasan sosial dilakukan oleh keluarga
b. Desa Swakarya adalah peralihan atau transisi dari desa swadaya menuju desa
swasembada. Ciri-ciri desa swakarya adalah:
1. kebiasaan atau adat istiadat sudah tidak mengikat penuh
2. Sudah mulai mempergunakan alat-alat dan teknologi
3. Desa swakarya sudah tidak terisolasi walau letaknya jauh dari pusat
perekonomian
4. Telah memiliki tingkat perekonomian, pendidikan, jalu lintas prasarana lain
5. Jalur lalu lintas antara desa dan kota sudah agak lancar
c. Desa Swasembada adalah desa

yang masyarakatnya telah mampu

memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan potensinya sesuai
dengan kegiatan pembangunan regional. Ciri-ciri desa swasembada:
1. Kebanyakan berlokasi di ibukota kecamatan
2 Penduduknya cukup padat
3. Tidak terikat dengan adat istiadat
4. Telah memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai dan lebih maju dari desa lain
5. Partisipasi masyarakatnya sudah lebih efektif.
Dari penjelasan latar belakang dan teori yang telah dipaparkan maka penelitian ini
bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif antara komunikasi orangtua-anak
mengenai seks dengan perilaku seksual pranikah pada remaja di pedesaan?

METODE
Partisipan

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA negeri 1 Suruh,
Kabupaten Semarang yaitu sebanyak 350 siswa, dan jumlah sampel 171 siswa.
Adapun karakteristik yang ditentukan dalam pengambilan sampel penelitian ini
adalah sebagai berikut.
a. Subjek yaitu siswa/i kelas X-XII yang berjumlah 171 orang.
b. Subjek yang dipilih peneliti merupakan siswa/i SMAN 1 Suruh,
Kabupaten Semarang yang berusia 15-18 tahun.
c. Status subjek belum menikah

Prosedur Sampling
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dinamakan
penelitian sampel apabila kita bermaksud untuk menggeneralisasikan hasil
penelitian sampel, artinya mengangkat kesimpulan penelitian sebagai suatu yang
berlaku bagi populasi (Arikunto, 2002).
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik simple
purposive sampling, yaitu pemilihan sampel didasarkan pada karakteristik atau
ciri-ciri tertentu berdasarkan ciri atau sifat populasinya. Sedangkan cara
pengambilan sampel yaitu dengan menggunakan rumus Slovin, sehingga
diperoleh 171 sampel.
n= N / 1+(N.e)2
n= 350 / 1+ (350. 0,05 . 0,05)2 = 171

Pengukuran
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian berupa angket.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini mencakup:
1.

Skala Perilaku seksual Pranikah Remaja
Skala untuk mengukur perilaku seksual pranikah remaja menggunakan

metode Guttman. Skala pengukuran dengan tipe ini, akan di dapat jawaban yang
tegas, yaitu sudah atau belum. Data yang di peroleh dapat berupa data rasio
dikhotomi (dua alternatif). Ciri penting dari skala Guttman adalah bahwa skala ini
merupakan skala kumulatif. Jika seseorang mengiyakan pertanyaan atau
pernyataan yang berbobot lebih berat, maka ia juga akan mengiyakan pertanyaan
atau penyataan yang kurang berbobot lainnya (Nazir, 2005).
Skala ini terdiri dari 12 item yang mengacu pada tahap yang diberikan oleh
Soetjiningsih (2008). Adapun 12 item yang menjadi aspek dalam perilaku seksual
pranikah remaja dalam penelitian ini, yaitu:
a. Berpegangan tangan
b. Memeluk/dipeluk bahu
c. Memeluk/dipeluk pinggang
d. Ciuman bibir
e. Ciuman bibir sambil berpelukan
f. Meraba/diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan
berpakaian
g. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian
h. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian
i. Meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian
j. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian

k. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa berpakaian
l. Hubungan seksual
Perhitungan validitas menghasilkan 12 butir yang sahih dengan nilai r
hitung ≥ 0.21– 0.3 (Azwar, 2012). Nilai r berkisar antara 0.319 - 0.760 (pada
lampiran 1), sedangkan nilai reliabilitas diukur dengan Cronbach’s Alpha adalah
0.864 artinya alat tes ini memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi sehingga disebut
sebagai pengukuran yang reliabel (Azwar, 2012).
2.

Skala Komunikasi Orangtua-Anak mengenai Seks
Skala untuk mengukur komunikasi orangtua-anak mengenai seks dengan

menggunakan metode Likert yang telah dimodifikasi menjadi 5 alternatif
jawaban, yaitu: Sangat setuju (SS), setuju (S), Tidak Tahu (TT), Tidak Setuju
(TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS), yang didalamnya dibagi menjadi kalimat
favourable dan unfavourable. Ketentuan pemberian skor untuk setiap item
favourable adalah skor 5 untuk jawaban Sangat Setuju (SS), skor 4 untuk jawaban
Setuju (S), skor3 untuk jawaban Tidak Tahu (TT), skor 2 untuk jawaban Tidak
Setuju (STS) dan skor 1 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju (STS). Enam dari
butir-butir tersebut perlu dijumlahkan terbalik (4, 9,10, 13, 14, 16).
Adapun dimensi komunikasi orangtua-anak mengenai seks yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan aspek yang dikemukakan oleh (Warren& Neer,
1982, 1983) :
a.

Komunikasi yang nyaman (Kenyamanan)

Komunikasi yang nyaman mencakup 6 hal penting untuk mengukur tingkt
keterbukaan dimana seks didiskusikan dalam keluarga. Sebagai contoh (aku
dapat memberitahukan orangtuaku hampir semua hal yang berkaitan
mengenai seks, dan aku merasa bebas bertanya pad orangtuaku pertanyaan
mengenai seks). Komunikasi yang nyaman menjadi bagian dari dimensi
untuk mengukur hal ini karen kehangatan dan situasi yang mendukung
adalah pengalaman yang positif dari anak dan hal yang esensi dari

terbukanya jalan komunikasi utamauntuk bertukar informasi antara orangtua
dan anak (Roberts, Kline & Gagnin, 1978).

b.

Informasi

Mencakup 6 pernyataan yang mengukur pandangan dari sejumlah informasi
yang dipelajari dan dibagikan selama diskusi. Seperti : aku merasa lebih
baik mendapatan informasi jika aku berbicara dengan orangtuaku mengenai
seks dan sebagian besar yang aku tahu mengenai seks berasal dari diskusi
dengan keluarga. Dimensi ini dimasukkan karena diskusi keluarga, dirasa
lebih mendalam, yang seharusnya menyediakan berbagi informasi yang
cukup sehingga ruma dapat berfungsi sebagai tempat awal pembelajaran
seks (alter, Baxter, Cook, Kirby, &wilson, 1982).
c.

Nilai

Dimensi nilai juga mencakup 6 pernyataan. Penyataan ini mencakup semua
pandangan yang penting dalam siklus pembelajaran seks. Seperti rumah
seharusnya menjadi tempat awal untuk mempelajari seks dan seks
seharusnya menjadi salah satu topik yang penting bagi orangtua dan anak
untuk didiskusikan. Dimensi ini dimasukkan karena ini dipercaya bahwa
pembahasan dalam keluarga memberikaan nilai yang berdampak dalam
jangka panjang sampai untuk generasi berikutnya mengenai seks.
Data komunikasi orangtua-anak mengenai seks termasuk dalam data interval
dimana data ini dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:
Skor tertinggi

= 5 x jumlah aitem yang valid
= 5 x 14 = 70

Skor terendah

= 1x jumlah aitem yang valid
= 1x 14 = 14

Lebar Interval

= Skor tertinggi – skor terendah / banyaknya pilihan
jawaban

= 70 – 14 / 5 = 11.2
Kategori Komunikasi Orangtua- Anak Mengenai Seks:
Tinggi

: 59 ≥ 70

Sedang

: 48 ≥ 59

Rendah

: 37 ≥48

Tabel 1
Blue Print Skala Komunikasi Orangtua-Anak Mengenai Seks
Family Sex Communication Quotient
(Warren & Neer, 1982, 1983)
Dimensi

Sifat

Total

Favourable

Unfavourable

1. Kenyamanan

2, 5, 8, 11, 17

14

6

2. Informasi

3, 6, 12, 15, 18

9

6

3. Nilai

1, 7

4, 10, 13, 16

6

Total

12

6

18

Perhitungan uji validitas menunjukkan bahwa dari 18 aitem terdapat lima
butir aitem yang gugur yaitu nomor 9, 10 dan 13 (pada lampiran 2). Ketiga butir
dinyatakan tidak valid (gugur) karena masing-masing nilai r memiliki r hitung
lebih kecil dari batas yang digunakan ≥0.21- 0.3 (Azwar, 2012). Selanjutnya tiga
butir aitem gugur tersebut keluar dari analisis dan dilakukan uji validitas kedua
sebanyak 15 butir aitem, dan terdapat satu aitem yang gugur yaitu nomor 14
sehingga aitem tersebut keluar dari analisis dan dilakukan uji validitas kembali
sebanyak 14 butir aitem. 14 butir aitem ini tergolong valid dengan r hitung
berkisar antara 0.315 – 0.783, sedangkan nilai reliabilitas diukur dengan
Cronbach’s Alpha adalah 0,911 artinya alat tes ini memiliki tingkat reliabilitas
yang tinggi sehingga disebut sebagai pengukuran yang reliabel (Azwar, 2012).

Desain Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 september 2014, dilakukan
sekitar pukul 11.00-14.30 WIB. Dengan di dampingi guru BK, sebelum peneliti
membagikan kuesioner ke setiap kelas, peneliti menjelaskan prosedur pengisian
kuesioner, kemudian membagikannya sesuai dengan jumlah siswa di masingmasing kelas. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif untuk melihat
korelasi antara dua variabel dengan uji korelasi non parametrik, dalam hal ini uji
korelasi Spearman Rho.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian
Uji Asumsi
Uji asumsi ini dilakukan sebagai syarat untuk dapat menggunakan analisis
teknik korelasi Product Moment. Uji asumsi terdiri dari uji normalitas sebaran dan
uji liniearitas hubungan. Uji normalitas sebaran dilakukan untuk mengetahui
normal atau tidaknya sebaran skor atau variabel bebas dan variabel terikat
(Syofian, 2012). Uji liniearitas dilakukan untuk melihat apakah hubungan ke dua
variabel linier atau tidak. Perhitungan data menggunakan program SPSS for
Windows Release16.0.
1. Uji Normalitas
Pada tabel 4.1 variabel penelitian diuji normalitas sebarannya dengan
menggunakan uji Kolmogorov-smirnov. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa
data yang diperoleh untuk variabel Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja
dengan nilai K-S Z = 0.195 dengan p= 0.000 dimana p0.05 yang berarti
sebarannya berdistribusi normal.

Tabel 4.2
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova

Shapiro-Wilk

Statistic

Sig.

Statistic

Df

Sig.

.059

.982

171

.024

Df

komunikasi
.067
171
orang-tua
a. Lilliefors Significance Correction

2. Uji Linieritas
Hubungan antara Komunikasi Orangtua-Anak Mengenai Seks dan Perilaku
Seksual Pranikah Pada Remaja, menunjukkan nilai Flinier = 1.787 dengan nilai
signifikan sebesar 0.006 dimana p0.05). Oleh karena nilai
signifikan seharusnya p< 0.05, maka hasil uji dinyatakan tidak signifikan. Hasil
uji tersebut menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara variabel komunikasi
orangtua-anak mengenai seks dengan perilaku seksual pranikah pada remaja di
pedesaan. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan “ada hubungan negatif
antara komunikasi orangtua-anak mengenai seks dengan perilaku seksual pranikah
pada remaja di pedesaan” ditolak.
Tabel 4.4
Correlations
perilaku seks
Spearman's rho

perilaku seks

komunikasi
orangtua-anak

komunikasi
orangtua-anak

Correlation Coefficient 1.000

-.113

Sig. (1-tailed)

.

.071

N

171

171

Correlation Coefficient -.113

1.000

Sig. (1-tailed)

.071

.

N

171

171

Hasil penelitian secara deskriptif menunjukkan bahwa 27 orang subjek
(15.8%) berada pada kategori tinggi, sedangkan 44 orang subjek (25.7%) berada
pada kategori sedang dan sebanyak 100 orang subjek (58.5%) berada pada
kategori rendah.

Tabel 4.5 Kategorisasi Hasil Pengukuran Skala Komunikasi OrangtuaAnak Mengenai Seks
Kategori

Interval

N (Jumlah)

Prosentase

Tinggi

59 ≥ 70

27

15.8%

Sedang

48 ≥ 59

44

25.7%

Rendah

37 ≥48

100

58.5%

171

100%

Jumlah

Nilai Mean

38.58

Selain itu, pada tabel 4.6 diketahui hasil pengukuran perilaku seksual
pranikah di pedesaan, diukur dengan melihat berapa banyak subjek yang telah
melakukan perilaku seksual hingga batasan tertentu pada tiap tahapan perilaku
seksual.
Tabel 4.6 Kategorisasi Hasil Pengukuran Perilaku Seksual Pranikah
Tahap

Perilaku Seksual

0
1
2
3
4
5
6

Berpegangan Tangan
Memeluk/ dipeluk di bahu
Memeluk/ dipeluk di pinggang
Ciuman bibir
Ciuman bibir sambil berpelukan
Meraba/ di raba daerah erogen (alat kelamin/
payudara) dalam keadaan berpakaian
Menciumi/ di cium daerah erogen (alat
kelamin/
payudara)
dalam
keadaan
berpakaian
Saling menempellan alat kelamin dalam
keadaan berpakaian
Menciumi/ di cium daerah erogen (alat
kelamin/ payudara) dalam keadaan tanpa
berpakaian
Menciumi/ di cium daerah erogen (alat
kelamin/ payudara) dalam keadaan tanpa
berpakaian
Saling menempellan alat kelamin dalam
keadaan tanpa berpakaian
Hubungan seksual

7

8
9

10

11
12

Banyaknya
Subjek
26
44
27
18
17
17
3

Prosentase
(%)
15.2%
25.7%
15.8%
10.5%
9.9%
9.9%
1.8%

6

3.5%

2

1.2%

2

1.2%

1

0.6%

0

0%

8

4.7%

Pembahasan

Berdasarkan hasil pengujian terhadap hipotesis penelitian, diperoleh hasil
bahwa hipotesis yang diajukan ditolak. Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai
koefisien korelasi (r) = -0.113 dengan p= 0.071 (p> 0.05), artinya tidak terdapat
hubungan antara komunikasi orangtua-anak mengenai seks dengan perilaku
seksual pranikah pada remaja di pedesaan.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Evidanika (2013), bahwa komunikasi orangtua yang berdampak pada
pengetahuan remaja mengenai seksual dapat mempengaruhi terhindarnya perilaku
seksual pranikah sebesar 35, 1%. Selain itu, penelitian ini juga tidak mendukung
penelitian yang dilakukan di Amerika Latin (Trejos-Castillo & Vazonyi, 2009)
menjelaskan tentang komunikasi orangtua-anak mengenai seks (misalnya
komunikasi yang baik dari ibu kepada remajanya mengenai hubungan seks dan
dampak negatif yang mungkin terjadi) maka akan mengurangi perilaku seksual
oleh remaja. Namun, hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Kus
Wulandari (2006) dan Lianna (2007) yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan
antara kualitas komunikasi orangtua-anak dan perilaku seksual pranikah.
Pada masa remaja tidak hanya dicirikan dengan pertumbuhan fisik dan
perkembangan otak yang signifikan. Remaja memiliki rasa ingin tahu dan
seksualitas yang hampir tidak dapat dipuaskan. Remaja memikirkan apakah
dirinya secara seksual menarik, bagaimana cara melakukan hubungan seks, dan
bagaimanakah nasib kehidupan seksualitas mereka (Santrock, 2012). Informasi
mengenai seks yang didapatkan remaja lebih banyak melalui media, seperti data
yang diperoleh Zhou (2005), remaja di Beijing mendapatkan informasi mengenai
seks dari majalah atau koran (56%) dan informasi dari televisi (53%), sedangkan
berdasarkan data yang diperoleh Soetjiningsih (2008) pada remaja yang berada di
daerah Yogyakarta, sebanyak 60% remaja mendapatkan informasi mengenai seks
dari media. Hal ini kemungkinan dikarenakan pembicaraan mengenai seks
merupakan hal yang tabu untuk didiskusikan dalam keluarga terlebih bagi
keluarga yang berada di pedesaan. Dapat dilihat dari hasil penelitian yang telah

dilakukan, bahwa komunikasi orangtua-anak mengenai seks di pedesaan
cenderung rendah.
Tidak adanya hubungan antara komunikasi orangtua-anak mengenai seks
dengan perilaku seksual pranikah remaja di pedesaan dalam penelitian ini,
kemungkinan disebabkan karena informasi bahwa seharusnya keluarga berfungsi
sebagai tempat awal pembelajaran seks dan nilai yang memberikan pandangan
bahwa pembicaraan mengenai seks itu penting di dalam keluarga masih cukup
tabu di pedesaan. Karena dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 8 orang dari
remaja di pedesaan yang telah mencapai 12 tahap perilaku seksual pranikah
sehingga sebenarnya

infomasi mengenai seks diperlukan bagi remaja.

Kemungkinan lain dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan antara
komunikasi orangtua-anak dengan perilaku seksual pranikah pada remaja di
pedesaan juga dikarenakan faktor lain yang mempengaruhi perilaku seksual,
seperti yang disimpulkan oleh Soetjiningsih (2008) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa, faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah remaja
yaitu faktor Individual (self-esteem dan religiusitas), faktor keluarga (hubungan
orangtua-remaja), faktor di luar keluarga (tekanan negatif teman sebaya, eksposur
media pornografi).
Penelitian ini juga dapat dijelaskan secara deskriptif dengan melihat
kategorisasi hasil pengukuran komunikasi orangtua-anak mengenai seks pada
tabel 4.5 dalam hasil penelitian, menunjukkan bahwa 27 orang subjek (15.8%)
berada pada kategori tinggi, sedangkan 44 orang subjek (25.7%) berada pada
kategori sedang dan sebanyak 100 orang subjek (58.5%) berada pada kategori
rendah.
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata komunikasi
orangtua-anak mengenai seks di pedesaan dengan nilai 38.58 (dalam tabel 4.7),
tergolong dalam kategori rendah yang artinya bahwa komunikasi orangtua-anak
mengenai seks di pedesaan merupakan topik pembicaraan yang belum
diprioritaskan dalam keluarga.

Tabel 4.7 Statistik Deskriptif Skala Komunikasi Orangtua-Anak Mengenai
Seks di Pedesaan
Descriptive Statistics

Komunikasi
Orangtua-Anak

N

Minimum Maximum Mean

Std. Deviation

171

15

11.989

70

38.58

Valid N (listwise) 171

Berikutnya pada tabel 4.6 dalam hasil penelitian menunjukkan bahwa, dari
12 tahapan perilaku seksual pranikah, subjek paling banyak melakukan sampai
pada tahapan pertama yaitu berpegangan tangan 44 orang (25.7%), kemudian
pada tahapan ke-2 yaitu memeluk/ di peluk di bahu 27 orang (15.8%), subjek yang
sama sekali tidak melakukan 12 tahapan perilaku seksual sebanyak 26 orang
(15.2%) dan 8 orang (4.7%) remaja di pedesaan ini sudah sampai tahap hubungan
seksual.
Masa remaja adalah masa seseorang mencari jati diri, dimana remaja
mengalami masa eksplorasi seksual serta mengintegrasikan seksualitas kedalam
identitas seseorang (Santrock 2003, 2007). Oleh sebab itu, walaupun pengaruh
komunikasi orangtua-anak mengenai seksualitas cukup tinggi, bisa saja remaja
tetap melakukan perilaku seksual. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian yang
telah dilakukan, menjelaskan bahwa tidak ada hubungan komunikasi orangtuaanak mengenai seks dengan perilaku seksual remaja.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini, diantaranya yaitu:
1. Tidak ada hubungan antara komunikasi orangtua-anak mengenai seks dengan
perilaku seksual pranikah pada remaja di pedesaan, dengan koefisien korelasi
sebesar -0.113 dengan nilai signifikan 0.071 (p>0.05).

2. Komunikasi orangtua-anak mengenai seks pada subjek dalam penelitian ini
tergolong dalam kategori yang rendah dengan prosentase sebesar 58.5%.

3. Pada skala perilaku seksual pranikah menunjukkan bahwa dari ke-12 tahapan
perilaku seksual pranikah, subjek paling banyak melakukan sampai pada tahapan
pertama yaitu berpegangan tangan (25.7%), kemudian pada tahapan ke-2 yaitu
memeluk/ di peluk di bahu (15.8%), subjek yang sama sekali tidak melakukan 12
tahapan perilaku seksual (15.2%) dan 8 orang (4.7%) remaja di pedesaan ini
sudah sampai tahap hubungan seksual.

Saran

1. Dalam penelitian ini ditemukan 8 orang remaja yang sudah melakukan perilaku
seksual pranikah sampai pada tahap hubungan seksual, artinya perlu adanya peran
orangtua untuk memantau aktifitas remaja baik di dalam maupun luar sekolah,
dan mengenal lingkungan pergaulan anak-anak mereka.

2. Bagi peneliti selanjutnya lebih memperhatikan teknik pengambilan sampel serta
penggunaan bahasa/kalimat yang lebih dapat dimengerti oleh subyek sehingga
menghasilkan data yang lebih representatif dan lebih baik.

3. Selain itu, peneliti selanjutnya juga dapat melihat perilaku seksual tidak hanya
dari faktor komunikasi orangtua-anak mengenai seks, tetapi dari beberapa faktor
lain yang mempengaruhi perilaku seksual remaja, terkait muncul perilaku seksual
ini tidak hanya pada remaja yang berada di kota tetapi juga di pedesaan sehingga
dapat menambah wawasan mengenai perilaku seksual dalam dunia psikologi
remaja.

Lampiran 1

Validitas dan Reliabilitas Perilaku Seksual Pranikah

Reliability Statistics
Cronbach's Alpha

Part 1

Value

.864
6a

N of Items
Part 2

Value

.955
6b

N of Items
Total N of Items

12

Correlation Between Forms

.509

Spearman-Brown
Coefficient

Equal Length

.674

Unequal Length

.674

Guttman Split-Half Coefficient

.640

a. The items are: item1, item2, item3, item4, item5, item6.
b. The items are: item7, item8, item9, item10, item11, item12.
Item-Total Statistics

Item1
Item2
Item3
Item4
Item5
Item6
Item7
Item8
Item9
Item10
Item11
Item12

Corrected
Scale Mean if Scale Variance Item-Total
Item Deleted if Item Deleted Correlation

Cronbach's
Alpha if Item
Deleted

2.11
2.36
2.52
2.63
2.73
2.82
2.84
2.88
2.89
2.90
2.91
2.91

.907
.900
.892
.887
.885
.886
.887
.890
.891
.893
.895
.895

7.836
6.938
6.639
6.624
6.789
7.134
7.228
7.485
7.593
7.725
7.803
7.803

.319
.550
.673
.728
.750
.760
.757
.725
.705
.670
.644
.644

Lampiran 2

Validitas dan Reliabilitas Komunikasi Orangtua-Anak Mengenai Seks

Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
.911

N of Items
14

Tahap 1:
Item-Total Statistics
Scale Mean if Scale Variance
Item Deleted if Item Deleted
Item1
Item2
Item3
Item4
Item5
Item6
Item7
Item8
Item9
Item10
Item11
Item12
Item13
Item14
Item15
Item16
Item17
Item18

43.44
43.57
43.86
43.57
43.68
43.93
43.84
44.11
43.48
44.05
44.25
44.11
43.84
43.77
43.53
43.63
44.06
44.04

122.566
121.447
126.980
128.623
126.114
128.830
123.785
124.111
149.945
139.356
127.645
133.723
141.522
136.259
129.474
130.493
127.013
124.799

Corrected
Item-Total
Correlation
.656
.750
.625
.488
.617
.574
.585
.721
-.225
.140
.673
.451
.057
.290
.493
.384
.621
.685

Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
.846
.842
.849
.854
.848
.851
.849
.844
.882
.868
.848
.856
.872
.862
.854
.859
.849
.846

Tahap 2:
Item-Total Statistics
Scale Mean if Scale Variance
Item Deleted if Item Deleted
Item1
Item2
Item3
Item4
Item5
Item6
Item7
Item8
Item11
Item12
Item14
Item15
Item16
Item17
Item18

35.63
35.75
36.04
35.75
35.86
36.11
36.02
36.29
36.43
36.29
35.95
35.71
35.81
36.25
36.22

121.836
119.707
125.475
127.754
123.486
127.029
122.017
122.502
126.258
131.832
138.151
126.653
130.800
124.739
122.865

Corrected
Item-Total
Correlation
.649
.781
.648
.486
.683
.610
.614
.749
.693
.494
.174
.564
.343
.676
.726

Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
.895
.890
.896
.902
.894
.897
.897
.892
.895
.901
.911
.898
.908
.895
.893

Tahap 3:
Item-Total Statistics
Scale Mean if Scale Variance
Item Deleted if Item Deleted
Item1
Item2
Item3
Item4
Item5
Item6
Item7
Item8
Item11
Item12
Item15
Item16
Item17
Item18

33.00
33.12
33.42
33.12
33.23
33.49
33.39
33.67
33.80
33.67
33.09
33.19
33.62
33.59

116.706
114.544
119.797
122.979
118.098
121.428
116.428
117.153
120.772
126.294
121.375
126.294
119.425
117.843

Corrected
Item-Total
Correlation
.648
.783
.667
.467
.691
.624
.628
.756
.704
.503
.565
.315
.680
.720

Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
.903
.898
.903
.910
.902
.904
.904
.899
.902
.908
.906
.917
.902
.901

Daftar Pustaka

Santrock. (2007). Remaja ( Ed. 11). Jakarta: Erlangga.
Southard, Helen. (1967). Sex Before 20. New York: E. P. Dutton & Co,. Inc, New York.
Sarwono. (2000). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Santrock. (2003). Adolescence, Perkembangan Remaja (Ed. 6). Jakarta: Erlangga
Rice& Dolgin. (2008). The Adolescent. Development, Relationship, and Culture (Ed.
12). USA: Pearson International Edition.
Terri D. Fisher, et al. (2013). Handbook of Sexuality-Related Measure Routledge. http:
//google.buku.com
Olson, David H.L &John Defrain. (2006). Marriages and Families: Intimacy, Diversity,
and Strengths. America, New York: McGraw-Hill, Inc.
Degenova, Mary Kay. 2005. Intimate Relationship, Marriages and Family. America,
New York: McGraw.-Hill Companies, Inc
Joseph A. Devito. (2011). Komunikasi Antar Manusia (Ed 5). Tangerang Selatan:
Karisma Publishing Group.
Kompasiana. (2013). Seks Bebas di Kalangan Remaja Makin Mengkhawatirkan.
http://google.com pada tanggal 30 Agustus 2014
Kompasiana. (2012). Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Bias Gender.
http://google.com pada tanggal 30 Agustus 2014
Raffaell & Crockett. (2003). Sexual Risk Taking in Adolescence: The Role of SelfRegulation and Attraction to Risk (Vol. 39, No. 6). American Psychological
Association.
Lehr ST, Dilorio C, Dudley Wn, Lipana JA. (2000). The Relationship Between ParentAdolescent Communication and Safer Behaviours in College Students.
Clay Warren and Michael Neer. (1986). Family Sex Communication Orientation.
Journal Of Applied Communication Research.

Soetjiningsih. (2008). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah
Pada Remaja.
Iindarda. (2010). Hubungan Antara Komunikasi Orangtua-Remaja Tentang Seksualitas
Dengan Perilaku Seksual Pranikah Remaja Tengah. Skripsi. Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana.
Lianna. (2007). Perilaku Seksual Pada Remaja Ditinjau Dari Komunikasi Orangtua dan
Anak

Tentang

Seksualitas.

Skripsi.

Fakultas

Psikologi

Universitas

Katolik

Soegijapranata.
Laily & Matulessy. (2004). Pola Komunikasi Orangtua dan Anak. Fakultas Psikologi
Universitas 17 agustus 1945
Kus Wulandari. (2006). Vol.No.2 Fakultas Psikologi Univarsitas Muhamadiyah
Surakarta
Prihartini, Titi . (2002). Vol.No.2, hal 124-139. Hubungan Antara Komunikasi Efektif
Tentang Seksualitas Dalam Keluarga Dengan Sikap Remaja Awal Terhadap Pergaulan
Bebas Antar Lawan.
Evidanika, Nifa. (2013). Hubungan Antara Pengetahuan Seksualitas dan Kualitas
Komunikasi Orangtua dan Anak Dengan Perilaku Seks Bebas Remaja Siswa-Siswi
MAN GondangRejo KarangAnyar.
Munawaroh, Faizatul. (2012). Vol.1.N.2, hal 105-113. Konsep Diri, Intensitas
Komunikasi Orang Tua-Anak, dan Kecenderungan Perilaku Seks Pranikah
Sugiyono. (2011). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Azwar. (2012). Reliabilitas dan Validitas (Ed IV). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syofian. (2012). Statistika Deskriptif Untuk Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers.
Wikimedia. 2014. Pengertian Desa. http//google.com pada tanggal 3 November 2014